“Gimana makanannya enak, nggak?” Sebria Adreena Mahreen. Mendaratkan tubuh di atas kursi setelah kembali dari toilet. Gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu tengah makan siang bersama teman sekantornya. Perawakan tidak tinggi, rambut sebahu lurus dan halus membuatnya terlihat mungil dan menggemaskan. Tidak hanya itu dia sering disebut bayi oleh teman-temannya sebab memiliki baby face.
“Enak, rekomendasi dari siapa ?” Vaila Shahira teman pertama dari Sebria saat bergabung dalam perusahaan induk bergerak di bidang fashion itu. Mereka menemukan kecocokan dan perlahan akrab dengan sendiri nya.
“Dari Oji.”
“Oji, anak kebersihan ?” Vaila memastikan lagi. Maklum seorang Sebria ramah pada siapapun. Sayangnya sulit untuk didekati secara pribadi.
Sebria memiliki kepribadian ramah dan murah senyum tapi tidak mudah mengakrabkan diri pada orang lain. Fokus bekerja dan pulang tepat waktu. Sekilas kehidupannya membuat orang iri. Sebria tergolong berjiwa bebas dan sesuka hati melakukan apa saja. Sehingga beberapa orang mulai iri dengan kehidupannya.
“Kemarin kami pulang bareng, terus mampir kesini katanya baru buka banyak menu baru juga.”
Vaila mengangguk sambil menikmati makan siangnya. “Nanti sore ada rencana nggak?”
“Nggak ada kayanya, kenapa?” Sebria menggosok bibirnya dengan tisu lalu meraih ponsel membuka aplikasi kamera. Seperti pada umumnya perempuan. Dia melihat tampilan wajahnya. “Cepat makannya, aku mau ke belakang lipstik aku kehapus.”
“Nggak dandan juga udah cantik kok !”
“Jadi mau ngajak aku kemana?” Sebria penuh kesabaran menunggu serta mengabaikan pujian.
“Besok malam ulang tahun pernikahan orang tua aku. Temenin beli kado ya…”
Sebria mengangguk. “Oke.”
Setelah selesai ritual mempercantik wajah. Sebria dan Vaila bergegas kembali ke kantor sebelum habis jam istirahat. Setiba disana, ponsel Sebria berdering. Ternyata atasan yang cukup gila menurutnya itu memintanya membawakan americano dingin. Gadis itu langsung memutar tumit ke kafe kantor mengantri sabar untuk satu cup americano dingin. Sepanjang waktu itu juga, spam pesan masuk ke nomornya dari atasan gilanya.
“Kenapa ibu nya lupa meminta kesabaran saat hamil cowok ini !” Geram Sebria tanpa berniat membalas pesan. Gadis itu menghembuskan nafas berkali-kali sampai gilirannya tiba. Setelah menerima langkah kecilnya langsung menuju lantai dimana sang atasan menunggu dengan tidak sabarnya. “Permisi pak, ini kopi nya.”
“Apa kafe kantor saya berpuluh kilometer jauhnya ?!” Deep voice langsung mengisi ruang dingin bernuansa abu-abu itu.
“Maaf Pak, saya baru kembali dari makan siang.”
“Sekretaris macam apa kamu ini ?! Kamu enak-enakan makan siang sementara saya kelaparan disini.” Rasa dongkol belum juga reda dalam dada pria berusia tiga puluh tahun itu. Bagaimana tidak, setumpuk dokumen berada di atas meja nya setelah dia tinggalkan pergi ke luar kota. “Bikin sesuatu yang bisa aku makan.” Titahnya sambil menyedot americano dingin.
“Kalau begitu jangan minum kopinya dulu, taruh di kulkas aja lambung bapak kosong saat ini.” Sebria langsung menuju dapur kecil yang terletak di ujung ruang presiden direktur itu. Entah bagaimana ceritanya ada dapur disana lengkap dengan perlengkapan masaknya.
“Kalau saya sakit itu kesalahan kamu karena membuat saya kelaparan.” Tanpa membantah si atasan langsung menaruh cup americano nya ke dalam kulkas. Sambil melirik merepet tanpa henti duduk di sofa menunggu makanan di sajikan.
Sebria menarik nafas panjang memupuk kesabaran bagaimanapun juga pria bak raja duduk sambil merentangkan tangan pada sofa itu adalah pimpinan tempatnya mengumpulkan pundi uang.
“Permisi Pak.” Lazion Marshilo masuk setelah mengetuk pintu. Manik matanya menangkap sosok mungil di sudut ruang. “Bapak belum makan siang?” Tanya nya ikut duduk di sofa.
“Belum sekretaris saya belum memesan makanan. Dia sudah kenyang jadi melupakan saya.” Pria bernama lengkap Alderic Zefiro itu bicara dengan nada sedikit nyaring.
Sikapnya nggak sesuai sama arti namanya.
Sebria menggerutu dalam hati. Beberapa menit kemudian makanan siap. Ada beberapa makanan yang siap dimasak dan perbumbuan tersedia disana yang sengaja di siapkan oleh Nyonya besar. Sebab putra tunggalnya memiliki riwayat asam lambung yang parah.
“Makanannya siap.” Sebria meletakan nampan makanan di atas meja. “Lain kali kalau saya lupa memesan makanan bapak pesan sendiri. Atau suruh Lazion. Jangan memesan americano sudah tahu lambungnya manja masih aja ngeyel.”
Rahang Deric hampir saja jatuh saat menyuap makanannya. Gadis di depannya bisa mengomel sepanjang itu. “Kamu sudah seperti mama saya saja.”
Sebria langsung sadar. “Maaf Pak saya kelepasan, kalau begitu saya kembali bekerja.” Tanpa menunggu jawaban gadis itu langsung keluar dari ruangan.
“Kamu lihat ?! Dimana mama menemukan gadis itu.” Adu Deric kepada Lazion.
“Tapi, Bria benar Pak. Harusnya bapak pesan sendiri. Kalau saya sibuk atau dia lupa.”
Fokus Deric bukan kalimat terpanjang yang Lazion ucapka tapi pada panggilan yang tersemat untuk si gadis mungil. “Bria ? Kamu panggil gadis itu Bria ?”
“Iya, memang dari dulu saya panggil dia seperti itu pak.”
Tanpa bicara Deric menyantap makan siang yang nyaris tertunda. Satu tahun lalu pria itu pernah dilarikan ke rumah sakit karena lambung yang bermasalah. Kecintaan pada pekerjaan membuat Deric sering mengabaikan asupan gizi nya. Karena itu sang Mama meminta Lazion menyiapkan dapur mini di dalam ruangnya. Dilengkapi beberapa makanan siap saji yang memenuhi standar gizi keluarganya.
Dua tahun lalu…
Seorang wanita berpenampilan glamor menyeleksi pegawai wanita di beberapa anak cabang kantor perusahaannya. Ia memilih dengan teliti sampai ke latar belakangnya.
“Aku mau dia.” Tunjuk wanita itu pada lembar profil di atas meja. “Pertemukan kami.”
“Baik Bu, saya akan memintanya datang kesini besok.” Sang asisten langsung sigap mengiyakan.
“Deric akan kembali memimpin kantor induk. Dia butuh sekretaris kompeten.” Wanita bernama Laura itu berkata tegas.
“Tapi kenapa anda memilih gadis ini?”
“Karena dia cukup kompeten.”
Sebria adalah sekretaris pilihan Nyonya Laura. Meski sudah lama bekerja dalam naungan perusahaan fashion ini. Tapi Sebria tetap baru jadi sekretaris. Andai tahu sikap Deric seperti itu maka Sebria akan memilih tetap di kantor cabang.
Angin sore sudah memeluk segala lelah, sehingga seluruh pekerja bersiap kembali pulang. Termasuk Sebria dan Vaila, wajah lelah yang sempat membingkai luruh begitu saja ketika langit sore sudah terpampang di depan mata. Belum lagi suara kendaraan berlalu lalang semakin memacu semangat pulang.
“Sebria.”
Langkah pemilik nama terhenti begitu pun Vaila. Mereka sama-sama menoleh ke belakang dimana sumber suara berada. Mereka menampilkan senyum terbaik ketika bertemu tatap dengan sang atasan.
“Iya Pak.”
“Ikut saya malam ini menghadiri acara perjamuan.”
Manik mata Sebria membesar karena Deric memberitahu secara tiba-tiba. “Saya nggak bisa Pak. Sudah janjian sama Vaila.”
“Saya atau dia atasan kamu.” Nada bicara Deric sudah berubah. Itu artinya tidak ada penolakan. “Undangannya baru saya terima dalam perjalanan kesini.” Lanjut pria itu lagi.
“Bapak atasan saya tapi Vaila lebih dulu mengajak saya.”
“Kamu keberatan kalau janji kalian dibatalkan?!” Deric berkata tanpa melirik manik matanya hanya tertuju pada gadis setinggi dada nya itu.
“Nggak Pak, besok siang juga bisa karena acara nya malam jadi masih sempat.” Vaila menjawab kaku.
“Kamu dengarkan?”
Sebria memaksakan senyum sambil mengangguk. “Iya, jam berapa?”
“Dua jam lagi saya jemput.” Deric lebih dulu meninggalkan tempat setelah Lazion datang membawa mobil nya.
“Aku kesal, Vai. Aku kesal !” Sebria hampir saja berteriak. “Maaf ya…”
“Resiko jadi sekretaris.” Vaila tertawa. “Besok makan siang kita masih bisa cari hadiah nya. Kita ajak Oji besok.”
Memasuki kilas balik
Sebria mengayunkan langkah menyebrang jalan ke gedung sebelah yang berhadapan dengan gedung apartemen tempat tinggalnya. Setelah lulus dari perguruan tinggi. Sebria melamar di salah satu cabang perusahaan yang kebetulan merekrut beberapa karyawan. Disini lah gadis itu diterima bekerja. Kemarin baru saja pindah ke apartemen yang tidak jauh dari kantornya.
“Karyawan baru ya kak?” Seorang security menyapa sambil tersenyum.
“Iya Pak.”
“Semangat bekerja, hari senin adalah hari tersibuk.” Ujar bapak security lagi.
Sebria tersenyum sambil mengangguk. Wajahnya berseri dengan iris mata bergulir ke setiap penjuru lobi kantor. Rasanya Sebria tidak sabar ingin menerima gaji pertamanya. Sambil menunggu lift terbuka teman seangkatan masuk kemarin juga menyapa sambil berkenalan lebih akrab. Percakapan mereka terputus karena getaran dari benda pipi lipat di dalam tas Sebria.
“Halo, Je.”
“Sudah berangkat ke kantor?”
Sebria mengangguk meski tidak terlihat. “Sudah, kamu sendiri?”
“Baru sampai.” Suara lelaki menjawab lembut dari seberang sana. “Nanti malam aku mampir ke apartemen kamu. Sekalian mau liat apa aja yang kurang.”
“Iya Je, aku tunggu. Ayusa juga datang.”
“Oke kalau begitu, semangat di hari pertama kerja ya sayang.”
Senyum Sebria semakin lebar mendapatkan perhatian dan dukungan dari kekasihnya. Seluruh sudut hatinya berbunga-bunga. Jehan Kelvin Sanjaya. Ceo sebuah perusahaan menengah. Tiga tahun lalu menjalin kasih dengan Sebria.
“Aku dengar kamu lulusan universitas ternama.” Celetuk salah satu dari orang-orang baru itu.
“Iya, aku dapat beasiswa.” Sebria tidak menutupi latar belakang pendidikannya.
“Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik.”
Sebria mengangguk. “Aku harap juga begitu.”
Pintu kotak besi itu terbuka dimana letak kubikel Sebria berada. Ia mencari meja yang sudah ada nama nya tertulis di atasnya. Senyumnya semakin mengembang melihat seperangkat komputer sudah tertata rapi. Sebria mengelus tiap sisi meja. Disana juga tertulis departemen pemasaran. Sebria meraih sesuatu dari dalam tas nya. Sebingkai foto anak-anak. Ia meletaknya sejajar dengan LCD komputer. Bekerja dimulai, Sebria melakukannya dengan cukup baik. Ia semakin menggali potensi dalam dirinya.
...----------------...
Jarak tempuh antara kantor dan apartemen tidak jauh membuat Sebria lebih santai karena tidak memesan taksi atau ojek saat pulang. Dia cukup berjalan kaki menyeberang. Gadis berperawakan mungil itu berhenti di supermarket. Mengingat kekasih dan sahabat nya akan datang ia berniat memasak sesuatu untuk merayakan kepindahan dan di terima bekerja setelah berbulan-berbulan bekerja paruh waktu. Sebria memilih dengan cermat bahan yang akan dimasak.
“Ayusa alergi kacang.” Sebria berpikir keras menu apa yang sajikan malam ini. “Jehan juga nggak terlalu suka sayur.” Sedikit lebih lama. Ia mengambil apa saja yang ada. Selesai dengan perbelanjaan. Sebria kembali ke apartemennya. Langit membentang cantik senja itu, semakin dinikmati cepat pula menghilangnya di telan gelap. Sebria melepas sepatu dan memakai sandal rumahan. Tanpa berganti baju ia memulai memasak. Sampai indra pendengarannya menangkap suara bel.
“Ayusa.”
“Gimana rumah baru nya, nyaman, ‘kan?” Ayusa Vinata. Sahabat yang dimiliki Sebria saat ini. Mereka berteman sejak masih di semester awal perkuliahan. “Aku bawa kue. Jehan sudah datang?”
“Belum, nyaman kok aku bisa jalan kaki ke kantor. Ayam nya kita makan bareng-bareng aja ya.”
“Nanti kalau sudah dapat gaji beli motor biar kemana-kemana mudah.” Saran Ayusa mendaratkan tubuh di sofa. Kalau nggak minta aja sama Jehan.”
“Nggak lah, aku beli sendiri aja.” Sebria menolak ide itu. “Sebentar lagi matang semua kita tunggu Jehan. Sementara itu aku mandi.”
Ayusa mengangguk sambil bermain ponsel. Tidak lama bel kembali berbunyi. Gadis itu beranjak dari tempatnya duduk membuka pintu. Kekasih sang sahabat menjulang di depan pintu.
“Mana Sebria?” Jehan masuk setelah melepas sepatu.
“Mandi, kamu bawa apa, Je?”
“Ini cemilan, Bria sering lapar kalau malam.” Jehan menyusun cemilan ke dalam kulkas.
“Jadi iri perhatiannya.” Ayusa kembali duduk.
Jehan hanya terkekeh mendengar celotehan Ayusa. Menunggu beberapa menit Sebria keluar sudah segar memakai pakaian rumahan. Ia langsung menyajikan makanan karena sudah memasuki jam makan malam.
“Je, kamu bawa cemilan.” Ujar Sebria setelah melihat kulkas nya penuh.
“Iya, kamu sering lapar kalau malam.”
Sebria tersenyum senang kekasihnya ini memang sangat tahu apa yang dibutuhkan nya. “Terimakasih…”
“Jadi, kapan kalian menikah?” Ayusa melontar tanya sambil menikmati makanannya.
“Menikah nggak sesederhana kalimatnya, Yus. Perlu persiapan yang matang.” Sahut Jehan serius. “Kalau sudah siap pasti kami menikah.”
“Saat ini fokus menata semuanya dulu.” Timpal Sebria lagi.
Ayusa mengangguk setuju. “Benar, menikah nggak cuma tentang cinta tapi juga finansial.”
“Nah, itu paham.” Ucap Jehan menoleh.
Makan malam itu selesai banyak hal yang mereka bahas sampai waktu masuk awal pertengahan malam. Ayusa memutuskan menginap sementara Jehan harus pulang.
...----------------...
Sebria bangun lebih pagi menyiapkan sarapan. Rambut pendeknya di ikat ekor kuda tapi tetap tersisa berhelai ke bawah. Kesan manis dan imutnya semakin terpancar. Sambil cekatan mempersiapkan sarapan tanpa dia sadari Ayusa sudah bangun dan memperhatikan segala pergerakannya.
“Pantas Jehan cinta sama kamu, karena Sebria memang secantik ini. Aku belum nemuin yang jelek dari kamu.” Ayusa berucap sambil melangkah mendekat.
“Kamu juga cantik Yus, aku juga belum nemuin hal jelek dari kamu.” Sebria membalas pujian.
“Tapi serius, bangun tidur wajah bantal kaya gini aja kamu imut loh.” Ayusa langsung duduk berniat menyantap sarapan.
“Ayo sarapan.” Sebria mengabaikan pujian itu.
Ayusa menikmati sarapannya tanpa mandi. Ia akan pulang ke rumah dulu sebelum ke kantor. Terlahir kaya membuat gadis itu tidak perlu bekerja keras menghamburkan lamaran kerja.
“Aku mau potong rambut, menurut kamu bagusnya gimana?”
Sebria meletak sendok mengakhiri sarapan. “Tapi rambut kamu sehat loh. Sayang kalau di potong.”
“Aku gerah Bria, bosan juga rambut panjang. Model rambut kamu oke juga tuh. Boleh ya pakai style rambut kamu.”
“Ya terserah kamu, tapi kalau hasil nya nggak memuaskan jangan ngamuk ya…”Sebria membereskan meja.
“Oke, tunggu saja tampilan baru aku.” Ayusa langsung meraih tas nya untuk pulang.
Sebria menggeleng sambil tersenyum. Sahabatnya itu ada-ada saja. Tapi kalau Ayusa ingin meniru style nya maka Sebria tidak masalah. Itu artinya dia bisa jadi inspirasi orang lain. Lamunannya terhenti saat dering ponsel terdengar.
"Iya Je."
"Sudah berangkat?"
"Belum sebentar lagi." Sebria menjawab sambil melangkah ke kamar.
"Istirahat siang, mau makan bersama?"
"Kaya nya nggak bisa deh, hari ini ada meeting dari departemen ku." Sebria sangat tidak enak hati.
"Ya udah nggak apa-apa, lain waktu aja. Wajar kamu sibuk sekali. Aku dengar kabar perusahaan kalian akan mengeluarkan produk baru."
"Iya, maka dari itu kami sedikit sibuk." Sebria meninggalkan unitnya setelah bersiap. "Aku jalan dulu."
"Kamu karyawan baru departemen saya?"
Langkah Sebria terhenti ketika berhadapan dengan seseorang.
Sebria tersenyum tipis mengangguk saat berhadapan dengan sosok tinggi yang merupakan kepala departemen nya.
“Iya Pak.”
“Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik.” Ucapnya sambil berlalu.
Kanaga Argatama. Kepala departemen pemasaran. Banyak ide yang sudah dia berikan untuk meraih pemasaran yang fantastis. Kadang Naga begitu orang memanggilnya melakukan riset di lapangan. Kemungkinan kedepannya Naga akan membawa Sebria mengatur strategi dalam pemasaran baik lewat media maupun yang lain. Setelah dia membuka profil gadis itu banyak pencapaian kecil yang Naga yakini bisa menjadi sesuatu yang besar.
Satu jam kemudian seluruh staf pemasaran berkumpul dalam satu ruangan. Mereka membahas apa saja bentuk pemasaran kali ini. Tidak tanggung-tanggung. Sebria mengusulkan untuk memakai jasa beberapa model papan atas pada event yang diselenggarakan oleh perusahaan.
“Bagaimana?”
Kanaga berpikir sejenak lalu bersuara. “Akan saya diskusikan dengan presdir kita. Tunggu saja kabar selanjutnya. Ingat jangan sampai bocor hasil dari meeting ini kalau nggak mau gagal dalam pemasaran produk. Selama perusahaan berdiri dan merintis usaha di bidang ini belum ada produk yang gagal. Semuanya terjual habis.”
Usai meeting Sebria kembali ke mejanya berselancar dalam dunia sosial media. Dia mempelajari beberapa iklan dan melakukan riset beberapa model papan atas. Sebria tidak mau ide pertamanya gagal. Sebab yang dia tahu perusahaan ini selalu memakai model dari perusahaan saja. Sebria ingin gebrakan baru agar semakin pecah di pasaran internasional.
...----------------...
“Taraaaa…”
Sebria tersentak kaget saat membuka pintu Ayusa langsung bersuara nyaring. Bibirnya tertarik lebar melihat sang sahabat masuk dengan tampilan berbeda. “Kamu ngagetin aku.”
“Gimana?” Ayusa berputar-putar sambil mengibaskan rambutnya.
“Cantik, model rambutnya cocok banget sama kamu.” Puji Sebria mengamati dengan baik. “Kita hampir mirip cuma beda beberapa senti saja tinggi badan nya.”
“Kepala aku ringan banget deh rasa nya.” Ayusa menarik nafas puas. “Aku nggak jelek, ‘kan?” Tanya nya memastikan sambil menjatuhkan tubuh di sofa.
“Nggak kamu cantik kok.” Sebria juga mendaratkan tubuh nya. “Habis pulang kerja kamu langsung ke salon.”
“Iya.”
“Makan malam disini?” Sebria beranjak dari posisi nya melangkah mengecek isi kulkas.
“Nggak deh, aku mau pulang nanti orang rumah cemas.”
Sebria mengantarkan sahabatnya itu keluar. Ia masih memperhatikan tampilan Ayusa yang terlihat menggemaskan. Tinggi tubuh yang tidak kentara menjadikan mereka sedikit mirip.
“Sayang.” Jehan terkejut. “Maaf aku kira Sebria.” Ucapnya lagi.
Ayusa terkekeh. “Kenapa kamu kira aku Sebria.”
“Iya rambut kalian sama.” Jehan terlihat canggung.
“Dia sudah bosan rambut panjang jadi potong rambut tapi malah pakai gaya rambut aku.” Jelas Sebria melangkah mendekati kekasihnya.
“Kamu sudah makan?” Jehan bertanya sangat lembut.
“Belum.”
“Sebagai ganti tadi siang kita nggak bisa makan siang bersama ayo makan sekarang di luar.”
“Duh kalian membuat aku iri deh, aku pulang dulu ya…” Ayusa mengayunkan langkahnya.
“Masuk dulu aku mau siap-siap.” Sebria menarik tangan kekasihnya itu ke dalam.
Malam itu terasa damai untuk sejoli yang kini menikmati makan malamnya di rumah makan berkonsep outdoor. Jehan sengaja memilih tempat favorit mereka itu untuk menghabiskan waktu. Ya, hanya malam mereka memiliki waktu agak banyak untuk bersama. Obrolan mereka mulai merembet kemana-mana tentang masa depan hubungan yang sudah mereka jalani. Makan malam itu selesai kini mereka mencari tempat untuk bersantai.
“Kamu mau konsep seperti apa jika suatu hari nanti kita menikah?” Jehan bertanya sambil menatap penuh cinta.
“Nggak yang muluk-muluk dihadiri beberapa orang terdekat saja. Aku nggak punya pesta pernikahan impian cukup mengikuti saja apa yang sudah kamu tentukan.” Manik mata Sebria terlihat tulus diiringi kalimatnya. “Kadang aku merasa kurang pantas berdiri di samping kamu, Je…”
“Kamu pantas dan sangat pantas.” Jehan sangat mengerti kenapa kekasihnya ini bisa merasa seperti itu.
Sudut hati Sebria menghangat sejak dulu Jehan tidak mempermasalahkan latar belakang kehidupannya. “Selain kamu dan Ayusa, apa ada orang lain yang bisa melihat hal baik dari hidupku?”
“Banyak kita saja nggak tahu.” Jehan menggenggam lembut jari-jari Sebria. “Kamu berharga terlepas dari asal usul mu. Semua manusia itu berharga.”
Sebria memiringkan kepala di atas bahu Jehan. Bahu itu yang menjadi tempat ternyaman nya disaat perasaan tidak baik-baik saja. Genggaman di jarinya adalah kekuatan disaat dia merasa rapuh oleh keadaan. Kata-kata positif yang lahir dari bibir Jehan adalah motivasi untuk Sebria bangkit ketika terjatuh. Jehan adalah pasangan yang nyaris sempurna. Sebria sangat mencintainya.
“Bagaimana pekerjaanmu?”
“Sejauh ini lancar dan baik.” Jehan merangkul pundak Sebria agar semakin rapat. Tidak dipungkiri tamparan angin malam sedikit memberi efek dingin.
“Syukurlah, kalau capek istirahat jangan memaksakan tubuh.”
Jehan tersenyum. “Itu berlaku juga buat kamu, apalagi baru bekerja kantoran semangatnya masih tinggi jadi kadang lupa waktu. Nanti semakin lama tekanannya semakin besar saat itu kita baru sadar kalau menyisihkan waktu istirahat itu penting.”
“Siap pak CEO.”
“Sudah malam ayo pulang.”
...----------------...
Pantulan sepatu di atas lantai menunjukan betapa sibuk itu sudah menyerang. Para pekerja kantoran masing-masing dengan pekerjaan nya. Begitupun dengan Sebria. Dia hanya sesekali berdiri dari tempatnya duduk mengambil air dan membuat kopi.
“Sebria, ikut saya keluar untuk riset lapangan.”
“Baik Pak.”
“Untuk yang lainnya kerjakan bagian yang belum di kita bahas. Sebelum pulang meeting lagi dan saya akan menyampaikan hasilnya kepada atasan besok baru kita dengar keputusannya hasil meeting sebelumnya.”
Siang hingga sore menjelang, Sebria dan Kanaga baru kembali ke kantor. Wajah kedua kentara sekali lelah. Satu cup americano dingin di genggaman masing-masing. Beristirahat sejenak dilanjutkan meeting seperti yang terjadwal.
“Ide kalian disetujui.” Ujar Kanaga di akhir rapat.
Semua staf departemen sumringah mereka berharap ini tidak gagal. Sebria merasa ini adalah tantangan yang memacu semangatnya. Seluruh pekerja sudah menuju rumah masing-masing begitupun Sebria. Di apartemennya yang tidak berjarak jauh. Ia sudah tiba beberapa menit lalu. Menikmati angin senja di balkon apartemennya. Rasanya sejuk, nyaman dan damai. Sebria tidak mau itu cepat berakhir. Dalam jauh tatapannya, dia masih seolah bermimpi bisa melepaskan beberapa kerja paruh waktunya dari sejak SMA sampai lulus kuliah. Dan pada akhirnya mendapatkan pekerjaan tetap saat ini.
...----------------...
“Je, apa yang kamu lihat dari dia ? Gadis itu nggak bisa kasih kamu keuntungan apa-apa. Lihat, dia malah bekerja di perusahaan lain ketimbang di kantor kamu.” Seorang wanita terlihat marah.
“Ma, Sebria punya alasan kenapa nggak mau masuk di kantor aku. Dia nggak mau disebut memanfaatkan aku.”
“Alasan saja ! Pokok nya Mama nggak suka kamu berhubungan sama dia ! Selama ini dia juga memanfaatkan kamu. Dari mana uang yang selama ini dia dapat buat hidup kalau nggak dari kamu.”
“Sebria kerja, Ma. Aku sendiri yang mau ngasih dia barang-barang branded. Bukan dia yang minta.” Jehan sangat kecewa dengan tanggapan sang mama saat dia mulai ingin mendekatkan pada Sebria. Ini lah alasan kenapa Sebria tidak pernah dipertemukan dengan keluarganya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!