NovelToon NovelToon

Gadis Kesayangan Om Tampan

Bab 01

"Lily ... dalam lima menit elu harus udah sampai!" 

"Elu gila! Gimana bisa ...." 

Tut Tut Tut 

Panggilan itu terputus begitu saja. Gadis itu menggeram marah. Melihat jam di layar ponsel yang sudah beralih angka.

Ini benar-benar gila! 

Ia tidak mungkin sampai di toko hanya dalam waktu lima menit apalagi harus dengan mengayuh sepeda butut. 

Lily ... semakin elu banyak berpikir, maka elu akan semakin telat! 

Gadis itu menggeleng cepat. Bisikan itu membuat Lily dengan segera naik sepeda dan mengayuh sekuat tenaga. Jika terlambat maka bisa saja ia akan mendapat pesangon dan tidak diizinkan bekerja lagi. Bekerja selama lima tahun, ia sudah paham seperti apa bosnya. 

Sembari mengayuh cepat, gadis itu melirik jam tangan yang terus berputar. Waktunya semakin mepet, sepertinya sudah jelas bahwa ia akan terlambat. Namun, apa salahnya mencoba. Barangkali Dewi Fortuna berpihak padanya. Begitulah batinnya berusaha meyakinkan. 

"Aaaaaaaaa!!!" Teriakan Lily terdengar melengking. Bersamaan dengan itu ia jatuh bersama sepedanya. Tubuhnya bersimpuh di atas aspal. "Sial!" 

Lampu mobil di depan Lily mendadak padam. Tepat ketika itu pintu mobil terbuka dan seorang pria tampan keluar dari pintu bagian sopir. Saat melihat ada goresan di mobil mewah itu, seketika Lily menelan ludah. Ini mobil mewah, sudah pasti pemiliknya bukan dari kalangan biasa. 

Lily bergegas bangkit lalu membungkuk dengan sangat dalam. "Maaf, Pak. Saya tidak sengaja. Saya benar-benar tidak sengaja." 

Batin Lily gelisah. Bagaimana ia mengganti rugi goresan itu. Pasti harganya tidaklah murah. 

"Sengaja atau tidak sengaja. Anda tetap harus mengganti rugi, Nona." Pria itu berbicara tegas. Lalu berjalan mendekati mobil. Membuka pintu belakang dan seorang pria tampan terlihat keluar dari sana. 

Bola mata Lily membulat penuh. Bibirnya melongo melihat pria dengan sejuta pesona itu.  

"Dia seperti seorang dewa. Tampan sekali." Lily bergumam lirih. Mengagumi pria yang sudah berdiri tegak di depannya. Pria itu hanya tersenyum sinis saat melihat respon Lily tadi. 

"Heh!" dengkusnya. "Apa kamu menggunakan trik murahan untuk mencoba merayuku? Jangan harap, Nona." 

Mendengar itu, seketika kekaguman tadi lenyap entah ke mana. Tatapan Lily beralih menjadi sengit. 

"Elu bilang apa? Mencoba merayu elu? Jangan narsis! Gue bukan wanita murahan!" bantah Lily. Tangannya berkacak pinggang menantang. 

"Jangan lancang, Nona. Apakah Anda tahu kalau dia adalah ...." Pria pertama tadi terdiam saat ditahan oleh atasannya. 

"Apa? Elu mau bilang kalau dia adalah seorang direktur dari perusahan ternama di negara ini?" ujar Lily sembari tersenyum meledek. "Kalau begitu, kenapa tidak sekalian kita menikah. Biar seperti alur novel. Putri miskin menikahi pria kaya. Hahaha." Lily tergelak keras. Membuat kedua pria itu tersentak kaget. 

"Bagaimana kalau memang itu benar-benar terjadi?" tanya Pria tampan itu. Bukannya diam, Lily justru makin tergelak keras. 

"Enggak akan mungkin!" 

Ponsel Lily berdering. Saat melihat nama sahabatnya tertera di layar, seketika Lily menepuk kening. 

"Mampus gue! Gue udah telat! Gue harus pergi sekarang." Lily mengambil pulpen. Menarik tangan pria tampan di depannya dan menuliskan beberapa angka. "Ini nomor ponsel gue, elu tenang aja gue bakal ganti rugi." 

"Jangan kabur!" 

"Gue enggak akan kabur." Lily mendirikan sepedanya. "Gue udah telat kerja. Gue harus pergi sekarang. Elu bisa hubungi gue tentang masalah ganti rugi." 

Lily pun menaiki sepeda itu. Menatap sekilas jam di tangannya. "Gue pergi dulu, Om Tampan." 

Gadis itu mengayuh sepeda sambil melambaikan tangan. Meninggalkan kedua pria itu yang masih bergeming di tempatnya. 

"Yosep, apakah aku terlihat tua? Berani sekali dia memanggilku dengan sebutan Om." 

"Tuan Brian, jangan memikirkan ucapan gadis itu. Tapi menurut saya, umur tiga puluh tiga memang sudah waktunya menikah," kata Yosep menahan tawa.

"Kamu berani padaku? Apa kamu mau aku memotong ...."

"Jangan, Tuan. Saya hanya bercanda saja." Yosep segera meminta maaf. Lalu membuka pintu belakang dan menyuruh Brian masuk. Tidak ingin pembicaraan tadi semakin panjang kali lebar. Bisa-bisa gajinya benaran dipotong. 

***

"Lilyyyyyyyy!!! Bukankah sudah gue bilang kalau elu—" 

"Diem dulu! Gue mau minum. Capek!" Lily mengambil botol minum dan menenggaknya segera. Lalu terduduk lemas. 

"Pak Rama belum manggil gue, 'kan?" tanya Lily saat napasnya sudah stabil. 

"Elu beruntung. Pak Rama belum dateng." 

Huhhh. Lily mengembuskan napas lega. Setidaknya ia bisa sedikit terlepas dari bosnya yang begitu disiplin dan tepat waktu. Kalau sampai ketahuan terlambat maka ia benar-benar akan mendapatkan pesangon. 

"Nes, gue mau cerita sama elu. Nasib gue lagi sial banget hari ini." 

"Kenapa?" 

Lily pun menceritakan yang barusan terjadi kepada Ines—sahabatnya. Hal itu pun membuat Ines terbengong sekaligus bingung mau merespon seperti apa. 

"Biasa aja!" Lily menepuk pipi Ines untuk membuat gadis itu tersadar. 

"Elu yakin, pria itu tampan?" tanya Ines tidak percaya. 

"Ya, walaupun sedikit tua. Tapi wajahnya tampan. Kulitnya putih bersih tanpa ada jerawat satupun," ujar Lily bersemangat. 

"Lalu?" 

"Lalu, Lalu. Lalu sekarang gue bingung kalau dia minta ganti rugi. Gue dapat uang dari mana? Elu tahu, gaji gue aja cuma tiga juta dan itu selalu habis." 

"Ya elu bisa nyari kerja sampingan. Ada kerja mudah dengan bayaran yang besar," kata Ines sambil berusaha menahan tawa. 

Melihat itu, Lily pun menatap sahabatnya dengan curiga. Sepertinya ada yang tidak beres. 

"Kerja apa? Jangan bilang ...." 

"Elu tahu apa yang gue pikirkan? Hahaha. Aduhh!" Ines tersentak ketika Lily sudah mendorong keningnya cukup keras. 

"Gue benci punya sahabat bangs*t kayak elu!" Lily berdecih sebal. Ia dan Ines sudah terbiasa bertengkar seperti ini. Jadi, mereka sudah paling paham karakter satu sama lain. 

"Ehm!" 

Obrolan mereka terhenti ketika mendengar dehaman dari arah pintu. Keduanya membulatkan mata penuh ketika melihat siapa yang datang. 

"Pak Rama." Mereka memanggil bersamaan. 

"Aku membayar kalian bukan untuk mengobrol. Kalau kalian sudah tidak mau bekerja maka—"

"Kami bekerja sekarang." 

Kedua gadis itu pun segera melakukan pekerjaan, sedangkan Rama segera masuk ke ruangannya. Baru saja duduk, tiba-tiba ada sebuah panggilan masuk. Bibirnya tersenyum simpul saat melihat siapa yang sedang memanggilnya saat ini. 

"Hallo, Tuan Brian. Tumben sekali Anda menghubungi saya?" sapa Rama sambil menahan senyumnya. 

"Rama ... jangan membuatku muak!" 

"Baiklah, baiklah. Sekarang katakan apa yang kamu mau, sahabatku?" 

"Aku membutuhkan satu bucket bunga yang simpel tapi elegan. Antarkan ke kantorku sekarang."

"Apa kamu mau melamar seseorang?" 

"Aku tidak suka kamu banyak bicara. Apa kamu ...." 

"Baiklah. Aku akan menyuruh karyawanku segera mengantar ke sana." 

Panggilan itu pun terputus. Rama lalu keluar ruangan dan berjalan mendekati Lily yang sedang mengurus beberapa bunga. 

"Lily, antar bucket itu sekarang juga." 

"Tapi, Pak  ... bucket itu." 

"Aku tidak menyuruhmu untuk melawan perintahku." 

"Baiklah saya berangkat sekarang." 

Bab 02

Perusahaan Anggara Group. 

Lily melongo ketika melihat gedung yang menjulang tinggi di depannya. Bukan hanya satu dua, tapi puluhan lantai. Ini adalah pertama kalinya ia datang ke tempat itu. Rasanya sungguh sangat gugup. 

Sepeda butut Lily terparkir di sebelah mobil mewah. Ia mengamati mobil sampingnya. Sepertinya tidak asing. Lalu, ia memutari mobil tersebut dan matanya membulat penuh ketika melihat goresan di mobil itu. 

"Ini mobil yang gue tabrak tadi pagi?" gumam Lily. "Bagaimana bisa ada di sini?" 

Dengan gegas, Lily pun memindah sepedanya. Menuju ke parkiran paling ujung yang hampir tidak terlihat. Lalu ia memakai masker dan membawa bucket bunga itu menuju ke resepsionis. 

Mata gadis itu celingukan. Berharap tidak akan bertemu dengan pria tadi pagi. Kalau sampai kembali bertemu, sudah pasti ia harus segera mengganti rugi, sedangkan saat ini dirinya tidak membawa uang sepeser pun. 

"Nona? Ada perlu apa?" tanya resepsionis mengejutkan Lily. 

"E—saya mau mengantar bucket bunga ini." 

"Pesanan dari?" 

Lily menunduk mengambil ponsel dari dalam tas kecilnya. Untuk melihat data pemesan bunga itu. Ia tidak menyadari kalau di belakangnya, baru saja lewat pria yang ia sebut Om Tampan. Melangkah keluar dari perusahaan itu. 

"Atas nama Tuan Brian Setya Anggara." 

"Tuan Brian? Dia baru saja keluar dari pintu, Nona. Lebih baik Anda mengejarnya sebelum terlambat." Resepsionis itu memerintah. 

Lily menoleh ke belakang. Melihat dua pria yang memang baru keluar pintu. Dengan berlari cepat, ia mengejar mereka. Sambil melindungi bucket bunga itu agar tidak rusak. 

"Tuan, tunggu ...." Lily berteriak. Menghentikan langkah keduanya. "Tuan, ini bucket bunga dari Pak Rama." 

Kedua pria itu menoleh. Tepat ketika Lily mendongak. Matanya mendelik tajam ketika melihat mereka. Jantungnya berdebar kencang. Seolah hendak meledak. 

Sialan! Kenapa harus ketemu Om Tampan lagi. 

"Hei!" Brian melambaikan tangan di depan Lily untuk menyadarkannya. "Kenapa kamu melamun?" 

"Tuan, Maaf. Saya hanya lapar. Ini pesanan Anda. Kalau begitu saya permisi." Lily memberikan bucket itu dengan cepat. Lalu melangkah lebar hendak pergi. 

Ah! Aman. 

Eittsss!! Tapi itu salah. Gadis itu justru tersentak ketika kedua kakinya menggantung. Brian sudah menarik kerah bajunya. 

"Apa elu mau bunuh gue?!" sentak Lily tanpa sadar. Wajahnya sudah memerah karena napasnya hampir habis. Brian pun segera melepaskan hingga membuat gadis itu jatuh di lantai. 

"Tidak salah lagi! Kamu gadis yang tadi pagi." 

"Tu-tuan. Anda salah mengenali orang. Saya bukan—" 

"Kamu pikir aku bodoh?"

"Hehehe." Lily menunjukkan rentetan gigi putihnya. Juga dua jari tanda damai saat Brian sudah membuka masker yang dikenakan Lily. Sekarang, ia tidak bisa lagi menyanggah apa pun. 

Tatapan Brian yang begitu dalam membuat Lily beringsut takut. Ia sedikit mundur untuk menghindar. Namun, Brian sudah terlebih dahulu mencekal tangannya dengan kuat. 

"Saya harus pergi sekarang. Sebelum Pak Rama memecat—"

"Bukankah kamu bilang kalau lapar? Sekarang, ikut sarapan denganku." Brian memerintah. 

"Tapi bagaimana dengan—"

"Urusan Rama, biar Yosep yang mengurusnya." 

"Oh astaga ....." Lily berdecak kesal ketika Brian sudah menarik tangannya. Tanpa memberi waktu padanya untuk menolak. Menyuruh masuk ke mobil belakang dan segera meminta Yosep untuk melajukan mobil itu. 

"Kita mau ke mana?" tanya Lily. Ia menatap ke luar jendela. Khawatir Brian akan menculiknya. 

"Kamu tidak perlu tahu." Brian menjawab jutek. 

"Jangan bilang kalau elu mau nyulik gue," tuduh Lily. "Masalah ganti rugi, gue usahain nanti. Kalau elu berani nyulik gue maka gue akan teriak." 

"Silakan kalau berani," tantang Brian sambil tersenyum sinis. 

"Toloonggggg!! Tol— emmmm ...." 

"Kamu gila!" sentak Brian kesal. Jantungnya hampir copot. Jika sampai ada yang mendengar, bisa-bisa ia dianggap penculik sungguhan. "Aawwww!! Berani sekali kamu menggigitku!" 

"Rasain!" Lily justru menjulurkan lidah. Meledek tanpa takut sedikit pun pada Brian. 

"Yosepppp!" 

"Maaf, Pak." Yosep menahan tawa. Hampir saja meledak. Sepuluh tahun berada di samping Brian, baru kali ini dirinya melihat ada wanita yang berani terhadap atasannya itu. 

Mobil yang dikemudikan Yosep berhenti di depan sebuah restoran mewah. Lelaki itu segera keluar dan membuka pintu untuk Brian. Sementara Lily keluar dari pintu sebelah. Langsung meregangkan ototnya. 

"Ahhh!!" Lily menguap, tapi langsung menutup mulut ketika Brian menyentil keningnya. 

Tanpa berbicara apa pun, Brian berjalan lebar masuk ke restoran itu. Disusul oleh Yosep dan Lily di belakangnya. Lagi dan lagi, Lily dibuat terpukau dengan mewahnya restoran itu. Mereka menuju ke ruangan VIP. Brian segera duduk di sofa. Yosep pun duduk di sebelahnya. 

"Gue duduk di mana?" tanya Lily. Ia terkejut ketika Brian sudah menarik tangannya hingga ia pun duduk tepat di samping pria itu. 

Mereka pun sarapan bersama. Setelah selesai, Brian mengantar Lily sampai ke toko bunga milik Rama. Tidak ada pembicaraan apa pun. 

"Terima kasih." Lily sedikit membungkuk hormat. 

"Untuk apa berterima kasih? Sarapan tadi, aku tambahkan ke biaya ganti rugi. Totalnya nanti biar Yosep yang mengirimkan datanya untukmu." 

"Apa?!" Baru saja Lily hendak mendebat. Mobil itu melaju pergi begitu saja. Hal itu membuat Lily naik pitam. Ia berkacak pinggang sambil terus mengumpati pria tersebut. "Dasar Om Tampan yang menyebalkan!" 

"Lily, elu kenapa?" tanya Ines ketika melihat sahabatnya marah-marah.

"Apa elu tahu, Nes?" 

"Kagak." Ines menjawab santai. 

"Oh, astaga! Elu makin bikin gue kesal!" Lily berjalan menghentak meninggalkan sahabatnya. Bibirnya terus saja menggerutu. Merasa sangat kesal. 

"Lily ...."

"Apa?! Elu juga mau bikin gue kesal! Setelah Om-om itu, ditambah Ines. Sekarang elu mau bikin gue kesal?!" Lily kembali berkacak pinggang. Memasang wajah yang begitu menantang. 

"Kamu sudah berani padaku? Apa kamu mau ku pecat?" 

"E-eh, Pak Rama. Maaf, Pak. Saya hanya terbawa emosi. Izin kembali bekerja, Pak." Lily berjalan cepat hendak meninggalkan Rama, tapi karena tidak hati-hati, ia justru menabrak dada bidang bosnya itu. "Oh, astaga." 

"Kamu tidak perlu bekerja hari ini. Sekarang ikut aku ke ruangan dan setelahnya kamu bisa pulang," kata Rama. Melangkah pergi hendak kembali ke ruangan. Namun, Lily menahan lengan pria itu dengan segera. 

"Saya mohon jangan pecat saya, Pak. Saya masih butuh pekerjaan ini." Lily merengek. Seperti anak kecil yang meminta permen. Sementara Rama berdecak kesal. Tanpa peduli pada gadis itu, ia kembali ke ruangan disusul oleh Lily. 

"Aku mau tanya, dari mana kamu mengenal Brian?" tanya Rama penuh penekanan. 

"Brian?" Alis Lily saling bertautan. Nama yang tidak asing. "Oh, Om Tampan itu. Saya hanya tidak sengaja bertemu dengannya tadi pagi. Saya ... menabrak mobilnya." 

"Apa? Lalu bagaimana keadaannya?" 

"Bapak lihat? Saya baik-baik saja. Tidak ada lecet sedikit pun. Bapak tenang saja, walaupun saya tidak cantik, tapi saya tidak akan membiarkan tubuh saya terluka sedikit pun. Au!" Lily berkedip ketika Rama menyentil keningnya. 

"Bukan kamu, bagaimana keadaanya mobilnya? Apa rusak parah?" 

Lily mengembuskan napas kasar. Ternyata ia terlalu percaya diri. 

Ternyata mobil lebih berharga daripada gue. 

Bab 3

"Lily ... nama yang cantik," gumam Brian tanpa sadar. Bibirnya tersenyum ketika teringat kelakuan Lily tadi. Sungguh menjadi hiburan tersendiri untuknya. 

Sementara itu, Yosep yang melihat senyuman sang atasan dari kaca kecil, ikut merasa bahagia. Lima tahun setelah kematian Nyonya Besar, Brian menjadi lelaki yang dingin dan jarang sekali tersenyum. Lelaki itu hanya tersenyum di depan para klien itu pun hanyalah senyum penuh kepalsuan. Namun, kini Yosep melihat sendiri senyuman tanpa beban itu lagi. 

"Yosep, tolong aku. Cari tahu data tentang Lily," perintah Brian. 

"Anda menyukainya, Tuan?" tanya Yosep sembari mengulas senyum. Tidak ada jawaban. Brian hanya melayangkan lirikan maut. "Maaf, saya hanya memastikan perasaan Anda saja, Tuan." 

"Kamu yang lancang, ya. Mana mungkin aku jatuh cinta dengan gadis menyebalkan seperti itu. Aku hanya ingin memastikan kalau dia tidak kabur dari tanggung jawab," Brian menyanggah. Tidak berani menatap asistennya itu. 

"Sepertinya Nona Lily bukanlah gadis yang suka lari dari tanggung jawab. Bukankah Anda sudah mencatat nomor Nona Lily di ponsel pribadi Anda, Tuan? Kenapa Anda tidak mencoba menghubungi?" Yosep berusaha mengompori. 

"Diamlah. Lebih baik kamu kemudikan mobil dengan benar. Aku sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah." Brian duduk bersandar sambil memejamkan mata. 

"Tuan, Anda harus ingat satu hal bahwa cinta bisa datang dari sebuah pertengkaran yang menghadirkan rindu." 

"Yosepppp ...." 

"Baik, Tuan. Saya diam sekarang." 

Suasana di dalam mobil pun mendadak hening. Hampir setengah jam, akhirnya mobil tersebut masuk ke halaman yang luas. Rumah megah nampak jelas. Brian segera turun dari mobil dan bergegas masuk. Tidak peduli pada sang papa yang sedang duduk di ruang tamu. Ia tidak mengacuhkan pria paruh baya itu. Langsung naik ke lantai tiga di mana kamarnya berada. 

Setelah membersihkan diri, Brian segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang king size miliknya. Bibirnya lagi-lagi tersenyum ketika teringat Lily. 

Ah! Sial! Jangan sampai aku jatuh cinta padanya.

Brian menepuk pipi untuk menyadarkan dirinya. Ia tidak boleh membayangkan gadis itu. Namun, lain di bibir lain di hati. Brian justru mengambil ponsel dan menekan nomor Lily. Menghubungi gadis tersebut. Akan tetapi, sebelum panggilan itu diterima, Brian langsung mematikan. 

"Apa yang aku lakukan?" gumam Brian sambil menaruh ponselnya kembali. "Sepertinya aku harus segera tidur." 

Lelaki itu berusaha memejamkan mata dan tidur. Tidak mau lagi mengingat Lily. Tidak akan! Tidak akan lagi! 

Eittsss!! 

Tapi boong ( emoticon menjulurkan lidah) hahaha. 

***

Lily menyandarkan sepedanya di tembok. Lalu masuk ke rumah sederhana. Ia bukanlah gadis kaya raya atau gadis miliader yang berpura-pura menjadi anak orang miskin seperti dalam drama. Saat ini ia memang hidup dalam keluarga yang sederhana. Ayahnya dulu adalah seorang pengusaha cukup ternama di desa. Banyak orang yang menyanjung dan memuji mereka. Namun, semua berubah total sejak delapan tahun yang lalu. 

Ibunya Lily menderita penyakit akut dan biaya pengobatan tidaklah murah. Harta benda habis untuk berobat. Ya, walaupun pada akhirnya sang ibu harus kembali pada Sang Pencipta, tetapi Lily dan sang ayah tidak menyesal kehilangan harta. Setidaknya mereka sudah berusaha. 

"Ayah, Lily pulang." 

Gadis itu membuka pintu. Saat melihat sang ayah duduk di ruang tamu, seketika senyum Lily nampak melebar. Gadis itu merangkul lengan sang ayah. Membenamkan ciuman di pipi lelaki paruh baya tersebut. 

"Bagaimana dengan hari ini? Apa ada masalah?" 

"Tidak ada, Yah. Semua baik-baik saja. Seperti biasa, ada satu dua orang yang rewel," keluh Lily. 

"Syukurlah. Lebih baik sekarang kamu mandi dan kita makan bersama. Bibi Imah sudah memasak," perintah Pak Faiz, ayahnya Lily. 

"Baiklah." 

Sebelum masuk kamar, Lily melihat Bibi Imah sedang menata makanan. Wanita paruh baya yang sudah bekerja dengan keluarganya sejak Lily lahir ke dunia. Mereka sudah menganggap Bibi Imah seperti keluarga sendiri. Seterpuruk apa pun, Bibi Imah selalu setia kepada mereka. 

"Bi, gaji bulan ini ...." 

"Neng, jangan dipikirin. Bibi tidak minta gaji. Bibi senang sekali bisa tinggal di sini. Neng Lily 'kan tahu kalau bibi ini sekarang sebatang kara," kata Bibi Imah. Berjalan mendekati Lily dan merangkul gadis itu dengan lembut. 

"Tapi, Bi—"

"Neng, bibi sudah bilang jangan dipikirkan. Tanpa digaji pun Bibi akan tetap tinggal di sini. Bibi justru senang sekali, bisa berada di keluarga ini yang begitu hangat," timpal Bibi Imah. 

"Makasih banyak ya, Bi." 

"Sudah, sudah. Lebih baik sekarang Neng Lily mandi dulu. Setelah itu kita makan malam bersama," perintah Bibi Imah. Lily mengangguk mengiyakan lalu berjalan menuju ke kamarnya. 

Sebelum mandi, Lily terlebih dahulu mengecek ponselnya. Kening gadis tersebut mengerut dalam ketika melihat ada satu panggilan tidak terjawab. Nomor asing. Mencoba berpikir siapakah gerangan pemilik nomor tersebut. Tidak ada foto profil, tidak ada nickname. 

Huuuh. Sungguh misterius. 

Lily hendak menaruh kembali ponselnya. Namun, ia terdiam seketika saat mengingat sesuatu.  Tadi pagi ia baru saja memberikan nomor ponselnya kepada Brian. Apakah pria itu yang menelepon dirinya? 

Mampus gue kalau beneran itu nomor Om Tampan. Gue belum ada uang. Batinnya gelisah. 

Walaupun Yosep belum mengirimkan nominal datanya, tetapi Lily yakin kalau biayanya sudah pasti tidak murah. Ia harus memikirkan cara untuk mendapatkan uang. 

Lily menekan nomor sahabatnya, mencoba menghubungi Ines. Akan tetapi, tidak ada sahutan dari seberang. Membuat gadis tersebut menggeram kesal. Padahal ia sudah berusaha menghubungi sebanyak lima kali. 

Sekarang, jalan terakhir adalah Pak Rama. Dengan wajah serius, Lily berusaha mencari kontak bosnya itu. Untuk meminta bantuan pastinya. Namun, belum juga icon panggil ditekan. Ada satu nomor baru memanggil. Nomor yang berbeda dari tadi. 

Gadis itu pun mengembuskan napas kasar. Mencoba menghiraukan sampai dering itu berhenti sendiri. Akan tetapi, seolah tidak menyerah, panggilan dari nomor tersebut kembali masuk. Dengan terpaksa Lily pun menerima. 

"Nona Lily?" 

"I-iya." Lily mendadak gugup ketika mendengar suara Yosep dari seberang. 

Benar 'kan? Ia harus segera mengganti rugi. 

"A-Ada apa, Tuan?" 

"Jadi begini, data ganti rugi sudah saya akumulasikan. Total keseluruhan ganti rugi yang harus Anda bayar sekaligus biaya sarapan tadi pagi adalah tiga puluh juta." 

"Apa?! Kalian gila?!" sentak Lily tanpa sadar. Namun, saat menyadari bahwa ia di rumah tidak sendiri, Lily pun segera menutup mulut. Khawatir sang ayah dan Bibi Imah akan mendengar lengkingan suaranya. "Jangan mencoba memer*sku!" 

"Tidak ada yang memer*s siapa pun di sini, Nona. Semua ada nota nya. Jika Anda tidak percaya, silakan datang ke kantor." 

"Baiklah, besok gue ke kantor!" ujar Lily berani. 

"Tapi, jika Anda mau ke kantor, usahakan memakai baju yang cantik dan feminim, Nona. Karena Tuan Brian tidak suka kedatangan tamu yang—"

"Baiklah, diam. Gue udah paham." 

Panggilan itu pun terputus sepihak. Dari seberang sana, Yosep sedang tertawa sendiri. Tidak sabar melihat pertunjukan besok. 

Tuan ... saya sungguh tidak sabar melihat Anda bertemu Nona Lily. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!