NovelToon NovelToon

Anak Haram Kaisar

Bab 1: Belajar Menulis

Di dalam sebuah rumah kayu yang sederhana, seorang gadis kecil bersurai merah muda dengan mata berwarna merah muda yang begitu cantik sedang asik membolak-balikkan sebuah buku bergambar dengan wajah senang.

Di setiap lembar buku itu menampilkan sebuah gambar yang sangat cantik di mata gadis itu. Seperti gambar seorang pangeran yang sedang berdansa dengan belahan jiwanya, dan betapa cantiknya hutan yang ada di buku itu.

Kreet!

Suara pintu kayu terbuka dan menampilkan sosok wanita paruh baya dengan keranjang bunganya. "Elena, apa yang kamu lakukan disana?" tanya wanita paruh baya itu yang bernama Delia.

Gadis bernama Elena itu mendongak dan berlari memeluk ibunya dengan wajah bahagia. "Aku sedang membaca buku yang ibu belikan untukku!" jawab Elena dengan riang.

Delia tersenyum lembut sembari mengusap rambut merah muda anaknya itu. "Maaf, ibu tidak bisa membelikan Lena buku yang lebih baik."

"Tidak apa, ibu. Elena sudah cukup dengan ini. Terimakasih atas bukunya, ibu!"

Elena sungguh anak yang baik dan perhatian. Bagi Delia, Elena adalah anaknya yang paling berharga dan imut di dunia. Ia sangat bahagia bisa memiliki Elena dalam hidupnya.

"Bagaimana kalau kita makan malam? Ibu akan memasak sup kentang kesukaan Lena."

"Lena suka sup kentang buatan ibu!"

Mereka berdua pun pergi ke arah dapur dimana ruangan itu menyatu dengan ruang tamu. Walau rumah itu terlihat kecil, Delia dan Elena hidup bahagia disana bersama warga yang ada di desa.

Saat Delia sedang memasak sup kentang, Elena kembali membolak-balikkan kertas bergambar itu sembari mengagumi lukisan yang ada di kertas itu.

Tuk!

Delia kembali dengan dua mangkuk sup kentang yang masih mengeluarkan uap hangat. "Ayo di makan dulu, Lena."

"Ibu, kapan ibu akan mengajariku membaca?"

"...."

Pertanyaan Elena sontak membuat Delia terdiam sejenak.

"Aku ingin tahu apa yang di tulis dalam buku ini, ibu."

Terlihat sekilas raut Delia yang ragu. Namun, ia menghela napas lembut dan tersenyum kepada anak semata wayangnya.

"Baiklah, akan ibu ajari."

Mendengar hal itu, Elena merasa sangat senang hingga rasanya ia bisa melompat saat itu juga. "Terimakasih, Ibu!"

Delia senang jika itu yang di inginkan putrinya. Walau di dalam hatinya menyimpan perasaan gelisah dan bersalah. Tapi, jika itu untuk putrinya ia akan melakukan apapun, bahkan memberikan nyawanya pada iblis.

"Cepat habiskan dan tidur. Besok ibu akan mengajarimu membaca."

"Baik, ibu!"

"Akhirnya aku bisa mengetahui tulisan apa yang selalu ada di atas kepala ibu."

...★----------------★...

Setelah janji Delia pada Elena kemarin, pagi ini Delia menepati janjinya sebelum pergi menjual bunga ke kota terdekat.

"Baiklah, bentuk ini adalah A. Sedangkan yang ini adalah B." Delia mencoba menuliskan satu per satu huruf di atas tanah menggunakan garis. Delia tidak menggunakan kertas karena kertas sangat mahal, dan itu juga yang membuat Delia tidak bisa membelikan buku lain untuk putrinya.

Memperhatikan instruksi dari ibunya, elena mencoba mengikuti garis yang di gambar oleh sang ibu. Menekan ranting di atas tanah dan menariknya untuk membentuk sebuah huruf yang ia inginkan.

"Lena sungguh pintar! Bagaimana bisa kamu melakukannya hanya dengan beberapa kali percobaan saja?" Delia terlihat begitu senang ketika melihat putrinya menuliskan namanya dengan huruf-huruf yang ia ajarkan.

"Hehe... Itu semua berkat ibu yang pandai mengajari Lena," tawa konyol Elena, membuat ibunya tersenyum sangat bahagia.

"Anakku sangat manis dan baik!" Delia memeluk putrinya dengan gemas hingga membuat Elena tertawa geli melihat tingkah ibunya.

"Akhirnya aku bisa membaca sekarang! Aku penasaran apa yang tertulis di atas kepala ibu..." Di dalam pelukan Delia, Elena mengangkat sedikit pandangannya ke atas kepala Delia.

'12 Tahun'

"12 tahun? Apa maksudnya itu?" Angka yang muncul itu membuat Elena bingung. Namun, Elena mengesampingkan pikiran itu terlebih dahulu dan kembali menghapal semua huruf yang di ajarkan oleh Delia.

...★----------------★...

Setelah selesai belajar, waktu sudah menunjukkan siang hari. Delia sudah pergi menjual bunga di kota seperti biasanya, sedangkan Elena mendatangi rumah temannya untuk bermain.

Ia mengetuk pintu rumah tetangganya dan keluarlah seorang pria paruh baya dengan tubuh berotot. "Oh, Elena. Apa kau mencari Ralf dan Mega?" tanya pria bernama Glen.

"Halo, paman Glen. Benar, aku mencari Ralf dan Mega. Apa mereka ada di rumah?"

"Oh, mereka ada di kamar. Kamu bisa langsung masuk saja."

"Terimakasih, paman."

Elena pun berjalan masuk ke dalam rumah Glen dan berjalan ke arah sebuah pintu yang mengarah ke arah kamar Ralf dan Mega.

Elena mengetuknya dan memanggil mereka, "Ralf, Mega, kalian di dalam?"

Setelah Elena memanggil nama mereka, sebuah suara rusuh dari dalam terdengar. Pintu kayu terbuka dan menampakkan sosok anak laki-laki bersurai biru tua dengan mata yang serasi dengan rambutnya.

"Elena! Kau kesini?" Anak yang terlihat bersemangat itu bernama Ralf. Wajahnya terlihat berseri saat melihat ke datangan Elena.

"Halo, Ralf. Aku kesini untuk mengajak kalian bermain."

"Oh! Ayo!" Ralf terlihat tidak sabaran dan berakhir mendapat pukulan di pundak oleh saudarinya.

"Kenapa kakak selalu heboh ketika Lena datang, sih?" Itu adalah Mega, adik dari Ralf. Ia memiliki rambut berwarna biru keunguan, mirip dengan warna rambut ibunya. Namun, matanya berwarna biru tua seperti Ralf dan ayahnya.

"Halo, Mega. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu hari ini. Pasti kamu akan menyukainya!" ucap Elena dengan wajah berseri.

Mendengar hal itu membuat raut wajah Mega penasaran. Ia mendatangi Elena sembari mendorong Ralf sedikit untuk memberinya jalan. "Apa itu Lena?"

"Kenapa kamu langsung berubah jika bersama Elena?" Ralf yang melihat sikap adiknya yang langsung terlihat seperti anak bebek merasa terheran-heran. Namun, ucapan Ralf hanya mendapat tatapan malas dari Mega. Hal itu membuat Ralf tidak bisa berbuat apapun lagi.

"Kamu akan mengetahuinya nanti, Mega."

...★----------------★...

Di pinggir hutan Elena membuat sebuah huruf dari ranting yang ditekan ke arah tanah. Mega yang melihat huruf-huruf itu merasa kagum dan bersemangat.

"Jika kamu menulisnya seperti ini ... Itu akan menjadi namamu, Mega." Elena menunjuk kumpulan huruf yang menjadi satu.

"Itu keren, Lena! Aku ingin mencobanya juga!" Mega langsung berusaha mengikuti tulisan yang ditulis oleh Elena sebelumnya.

"Sudah! Bagaimana, Lena?"

Dapat Elena lihat tulisan yang dibuat oleh Mega terlihat berantakan. Namun, itu hal wajar karena ini pertama kalinya bagi Mega mengenal huruf.

"Kamu hebat, Mega!" puji Elena.

Ketika Mega dan Elena asik menulis banyak hal di tanah, Ralf datang dari dalam hutan sambil menenteng seikat kayu bakar. "Kalian sedang apa?" tanyanya setelah meletakkan kayu bakarnya di bawah pohon.

"Lihat kak! Lena mengajariku menulis!"

Ralf yang melihat bentuk-bentuk yang tidak ia kenali merasa bingung. "Itu huruf?" tanyanya sekali lagi.

"Benar. Ini huruf, Ralf."

"Darimana kamu mempelajarinya, Elena? Kita kan rakyat biasa, seharusnya tidak mengetahui tentang huruf."

Di dunia ini, terdapat sebuah kasta antara rakyat biasa, bangsawan, dan kekaisaran. Rakyat biasa pada umumnya tidak bisa membaca ataupun menulis karena mereka tidak memerlukan pengetahuan tersebut.

Namun, Elena pernah mendengar ibunya meminta maaf terus menerus saat malam hari. Ia mengatakan maaf kepada seorang nyonya yang mungkin itu adalah bangsawan tempat Delia dulu bekerja.

Saat itu Delia terlihat begitu putus asa dan membuat Elena bingung. Namun, di dalam pengalamannya di kehidupan sebelumnya. Orang tua nya sering menangis sendirian dan ketika Elena mendekatinya, mereka akan marah dan mulai melempar barang.

Benar. Ini bukanlah kehidupan pertama bagi Elena. Di kehidupan sebelumnya, nasib Elena kurang baik dan berakhir ia mati dengan rasa kesepian mendalam. Namun, seperti hadiah dari surga. Elena di beri kehidupan kedua bersama Delia yang begitu hangat dan menyayanginya. Walau tanpa sosok ayah, Elena begitu bahagia bisa merasakan kehangatan seseorang setelah sekian lama.

"Ibu yang mengajariku. Mungkin dia pernah bekerja di tempat seorang bangsawan," jawab Elena. Ralf hanya mengangguk dan memperhatikan adiknya yang asik menggores-gores tanah.

"Aku juga mau coba!"

Ralf langsung mencari ranting di sekitarnya dan mencoba menulis huruf-huruf yang ada disana.

To be Continued:

Bab 2: Masa Lalu

Matahari sudah berada di atas kepala namun Elena hanya bisa berdiam diri di dalam rumah. Delia sudah pergi berjualan bunga di kota terdekat, sedangkan Mega dan Ralf sedang pergi bersama ayahnya.

Elena hanya bisa duduk termenung sambil melihat ke arah jendela yang terbuka. Karena waktu yang membosankan ini membuat Elena kembali terpikirkan tentang angka di atas kepala Delia kemarin.

Sebenernya apa yang dimaksud dengan 12 tahun?

Ketika Elena bertemu dengan Ralf dan Mega pun, mereka memiliki angka 30 tahun dan 70 tahun. Sedangkan dirinya sendiri memiliki angka 13 tahun.

Apa akan ada yang terjadi saat aku berusia 13 tahun? Tapi Delia sudah melewati angka 12 tahun....

"...."

Elena sebenernya tidak ingin berspekulasi sesuatu. Namun, hal yang paling memungkinkan adalah ... Apakah itu angka kematian? Tapi kenapa? Kenapa Elena bisa melihat hal seperti itu?

Hal ini membuat kepala kecil Elena sakit. Pemikiran seperti ini sungguh berat untuk diterima oleh anak yang baru berusia tujuh tahun.

Sebenernya selama tujuh tahun Elena hidup di dunia ini, ia berpikir mungkin saja ini seperti dunia novel yang pernah ia baca dulu. Tapi, selama ini ia tidak pernah mendapatkan ingatan apapun. Jadi, Elena berkesimpulan kalau dunia ini hanyalah dunia baru untuk ditinggalinya.

"Walaupun ini dunia novel, aku pasti karakter sampingan yang tidak pernah muncul dalam buku." Bergumam akan hal itu, Elena memejamkan mata sembari menggoyangkan kedua kakinya yang tergantung, menikmati angin yang masuk melalui jendela.

"Tapi, kapan ibu akan pulang? Aku bosan." Elena melihat di sekeliling ruangan, mencari sesuatu yang mungkin bisa ia lakukan.

Saat itulah ia melihat sapu yang bertengger apik di pojok ruangan. Dengan ide kecilnya, ia berjalan mendekati sapu itu dan berniat untuk bersih-bersih sembari menunggu Delia pulang.

Elena mulai menyapu dari ujung ruangan ke ujung ruangan. Ia juga tidak lupa mengelap beberapa perabotan yang tidak seberapa di rumahnya. Hingga, matanya menangkap sesuatu yang bersinar di sela-sela lemari.

"Apa ini?" Elena mengulurkan tangan pendeknya dan menemukan sebuah liontin perak dengan lukisan seorang wanita di dalamnya.

Wanita itu bersurai hitam seperti batu obsidian, sangat elegan dan cantik. Matanya yang berwarna biru terang seperti sebuah permata mahal, dan gaunnya yang berwarna biru tua dengan beberapa permata yang tidak berlebihan. Bentuk wajahnya begitu halus dan lembut, dan matanya terlihat sayu.

"Cantik sekali ...." Elena terpesona dalam sesaat ketika melihat lukisan seseorang di dalam liontin itu.

"Dia pasti seorang bangsawan ... Tapi kenapa ini ada disini? Apakah ini milik ibu?"

Elena berpikir sejenak lalu menyimpannya dalam sakunya. Mungkin ia bisa bertanya pada Delia nanti.

Setelah selesai melakukan bersih-bersih, Elena merasa sangat puas ketika melihat rumahnya terlihat bersih. "Ini terasa sangat nyaman."

Langit sudah berubah menjadi kekuningan namun Delia belum kunjung kembali. Karena kelelahan, Elena berbaring di atas kasurnya. Rasa kantuk mulai merayapi tubuhnya, dan akhirnya ia tertidur.

...★----------------★...

Di dalam sebuah rumah yang terlihat begitu suram. Lantai penuh dengan botol alkohol yang sudah kosong. Lalu, seorang gadis dengan surai hitamnya yang diikat dua melihat dari balik pintu.

Gadis itu memeluk boneka beruangnya yang terlihat sudah lusuh. Namun, apa yang dilakukan gadis itu di balik pintu? Apa yang ia lihat?

Prang!

Sebuah botol kaca pecah di lantai hingga membuat lantai berantakan. Suara wanita dan pria dengan nada tinggi mengalun di dalam ruangan itu.

Sang wanita terus berteriak ke arah sang pria dengan wajah memerah kesal. Sedangkan sang pria menampar wanita tersebut hingga ia tersungkur di lantai. Hal itu membuat suasana di dalam seketika menjadi hening.

Sang pria berjalan dengan langkah berat ke arah sebuah pintu. Saat ia melihat gadis berkepang dua itu menatapnya dengan tatapan getir, ia hanya berdecak kesal dan meninggalkan anak itu disana.

Sang gadis yang melihat pria itu telah pergi langsung mendatangi wanita yang masih terduduk di bawah pecahan botol kaca.

"I-ibu... Apa ibu baik-baik saja...?" Suara gadis itu gemetar sembari mengulurkan tangan kecilnya untuk menyentuh ibunya.

Namun, tangan itu langsung ditepis dengan begitu kasar. Raut wajah kesal ibunya membuat sang gadis hanya bisa terdiam membeku.

"Apa yang kau lakukan disini?!"

"Ti-tidak ... Ibu, kamu terluka disana ...." Gadis itu masih berusaha menolong ibunya. Melihat tangan sang ibu yang terluka akibat terkena pecahan kaca membuatnya gemetar.

"MENYINGKIRLAH!!!" Gadis itu di dorong dengan begitu keras hingga ia terlempar ke lantai.

"Tidak usah sok peduli dengan wajah polosmu itu! Membuatku muak saja." Setelah mengatakan hal yang begitu tidak etis pada anaknya sendiri. Wanita itu berjalan dengan sedikit pincang, keluar dari ruangan itu tanpa memperdulikan putrinya.

Tes.

Air mata menetes ke atas lantai yang kacau. Hatinya begitu sakit hingga terasa sesak.

Pada akhirnya gadis itu hanya bisa menangis dan meringkuk di atas lantai itu hingga air matanya mengering dengan sendirinya.

...★----------------★...

"Lena? Bangun Lena!" Suara Delia perlahan terdengar masuk ke dalam pendengaran Elena.

"Elena, ada apa? Apa kau bermimpi buruk?" Raut wajah Delia terlihat begitu khawatir. Ketika ia pulang terlambat hari ini, ia merasa bersalah karena membuat putrinya menunggu. Namun, yang ia dapatkan adalah putrinya menangis diatas kasurnya dengan wajah kesakitan. Hal itu sontak membuat Delia ketakutan dan langsung menghampiri anaknya.

"Apa ada yang sakit, Lena?"

"I-Ibu ...." Elena memanggil Delia dengan suara lemah. "Kenapa ibu terlihat khawatir?" Elena tidak menyadari apa yang terjadi pada dirinya sebelumnya.

"Kamu menangis dalam tidurmu. Apa Lena bermimpi buruk?

Elena tidak langsung menjawab dan hanya memeluk Delia dengan erat, membenamkan wajahnya di tubuh Delia.

Delia yang mendapat pelukan tiba-tiba itu hanya tersenyum lemah dan mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Mimpi buruk pergilah, pergilah." Ia mengatakan seperti itu seakan mengusir mimpi buruk yang menghinggapi Elena.

Setelah merasa tenang, Elena melepaskan pelukannya dan tersenyum cerah pada Delia.

"Ibu, aku lapar!"

Mendengar hal itu membuat Delia tertawa geli. "Hari ini ibu akan memasak sup kentang kesukaan Lena. Akan ibu masukkan lebih banyak kentang agar Lena menjadi bahagia," ucap Delia dengan senyum hangatnya.

Delia pun segera membuat sup kentang kesukaan putri semata wayangnya itu, sedangkan Elena hanya duduk memandangi punggung Delia.

"Sekarang dia ibuku ...."

"Makanlah Lena." Delia memberikan semangkuk sup kentang dengan isi yang berlimpah. Uap hangat masih mengepul di atas sup, membuat Elena yang melihatnya menjadi semakin lapar.

Elena pun memakannya dengan lahap. Sup yang hangat membuat tubuhnya seakan dipeluk, dan rasa kentang yang manis membuat cita rasanya menjadi begitu segar.

"Oh iya, ibu." Elena merogoh kantongnya dan memberikan liontin perak itu kepada Delia. "Apa ini milik ibu?"

Melihat liontin yang begitu familiar di tangan putrinya membuat Delia terdiam seketika. Wajahnya berubah menjadi gelisah dan ia bertanya, "Dimana kamu menemukannya, Lena?"

"Aku menemukannya di sela-sela lemari saat membersihkan rumah tadi."

Delia mengambil liontin itu lalu membukanya. Wajahnya tersenyum namun terlihat sedih di waktu bersamaan.

Keterdiaman Delia membuat suasana menjadi hening. Elena yang merasa ragu-ragu ingin bertanya pun membulatkan tekad untuk bertanya.

"Ibu ... Siapa wanita di dalam liontin itu?" tanya Elena dengan hati-hati.

Delia hanya menatap putrinya dengan lembut. Memeluk liontin itu seakan itu adalah hal berharga lalu berkata, "Dia adalah majikan ibu dulu ...."

"... Dialah yang mengajari ibu menulis dan membaca ... Dia permaisuri."

Pengakuan ibu sontak membuat Elena terbelalak bukan main. Ia tidak menyangka wanita yang ada di dalam liontin itu adalah permaisuri. Pantas saja sosoknya begitu elegan dan berwibawa.

"Tapi karena kesalahan ibu, ibu tidak bisa melayaninya lagi ...." Suara Delia semakin mengecil namun masih bisa terdengar oleh Elena.

Elena menatap ibunya yang terlihat begitu merasa bersalah akan sesuatu.

"Sebenernya apa yang sudah ibu lakukan hingga ibu membuat raut wajah seperti itu ...?"

To Be Continued

Bab 3 : Keturunan

Elena POV

Lima tahun sudah berlalu sejak aku mengerti maksud dari angka-angka yang ada di atas kepala semua orang, dan saat ini aku telah berusia 12 tahun.

Awal mula ketika aku mengetahui maksud dari semua angka acak itu adalah ketika tetanggaku, nenek Von meninggal. Angka yang berada di atasnya telah habis, dan sesuatu yang baru ku sadari ketika melihat kematian nenek Von adalah sesuatu yang tertulis di bawah angkanya.

'Umur'

Hanya dengan satu kalimat itu dapat menjelaskan segala hal. Kekuatan ini dapat melihat sisa waktu orang lain, dan alasan kematiannya.

Pada awalnya aku benar-benar ketakutan dan meringkuk di pojok rumah. Aku tidak mengerti mengapa aku bisa mendapatkan kemampuan mengerikan seperti ini. Melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain, dan mengetahui sesuatu yang tidak masuk akal membuatku merasa akan gila.

Delia saat itu begitu panik ketika melihatku gemetar ketakutan setelah pemakaman nenek Von.

"Lena? Sayang? Kenapa, nak?" Delia mengangkat wajahku yang sudah pucat. Namun, hal itu membuatku dapat melihat alasan kematian Delia.

'Penyakit Menular'

Saat itulah rasanya duniaku hancur.

Penyakit menular? Jika itu benar-benar terjadi, rakyat biasa seperti kami hanya akan mati seperti tikus.

Tuhan, kenapa kau memberiku penglihatan seperti ini? Lebih baik cabut saja mataku jika harus melihat hal seperti ini!

"Elena, cerita pada ibu. Apa yang terjadi denganmu?" Delia begitu khawatir melihat raut wajahku yang kosong. Ia menggoyangkan badanku dengan wajah yang hendak menangis.

Dalam sunyi aku mulai berkata dengan lirih, "Ibu... Ada apa denganku? Aku bisa melihat sesuatu yang tidak seharusnya kulihat."

Mendengar hal itu Delia menjadi bingung. "Apa maksudmu, sayang?"

"Di atas kepala nenek Von ... Angkanya telah habis. Dia mati ...," ucapku dengan putus asa. Delia yang mendengar itu menampilkan wajah yang rumit.

Ia kemudian langsung memelukku dan mengatakan maaf secara berulang-ulang.

"... Maafkan ibu, Lena. Semua salah ibu."

"Apa maksud ibu ...."

"Semuanya karena kamu anak kaisar, Lena!"

Seperti tersambar oleh petir. Hal itu membuat pupil mataku bergetar.

"Karena kesalahan ibu, kamu lahir Elena ...." Terasa sesuatu yang basah mengalir di pundakku, dan isak tangis Delia menyadarkanku kembali akan kenyataan pahit ini.

"... Karena matamu ... Mata merah muda cerah, tanda keluarga kekaisaran. Tanda kalau kamu adalah anak kaisar, Elena ...." Delia menceritakan segalanya padaku saat itu. Tentang sejarah kekaisaran, dan alasan ia bisa berakhir disini.

Dikatakan bahwa kaisar pertama memiliki mata merah muda yang begitu jernih hingga terlihat seperti permata langka.

Rumor yang beredar jika kekasih sang kaisar adalah seekor naga yang sudah hidup selama ribuan tahun lamanya untuk menemukan belahan jiwanya, dan kekuatan naga itu tersemat di manik mata sang kaisar. Karena hal itu, siapapun yang memiliki manik mata berwarna merah muda di rumorkan dapat melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh siapapun.

Namun, dalam setiap generasi manik merah muda itu semakin memudar dan kekuatannya sekarang hanya terdengar seperti rumor belaka. Kaisar saat ini memiliki mata berwarna merah seperti darah dan ia terkenal begitu kejam.

Lalu, Delia adalah seorang pelayan yang melayani permaisuri. Ia berkata bahwa hubungan mereka begitu dekat hingga bisa dikatakan berteman. Namun, suatu hari kaisar membawa Delia ke kamarnya. Tak kuasa menahan perasaan bersalah kepada permaisuri, Delia memutuskan untuk melarikan diri.

Ketika Delia sampai ke desa ini, ternyata ia sedang mengandung. Pada awalnya ia begitu depresi dan ingin mengakhiri hidupnya karena rasa bersalah, tapi merasakan sebuah kehidupan berada di perutnya membuat ia mengurungkan niatnya. Namun, anaknya malah terlahir dengan manik mata merah muda yang tidak dimiliki oleh sang kaisar.

Mengetahui fakta itu, Delia berusaha untuk menyembunyikan anaknya dan melindunginya dari kaisar.

Tapi sejak hari itu aku mulai bertekad untuk mengubah nasibku dan ibu. Selama lima tahun itu aku mulai belajar tentang obat-obatan yang ada di dunia itu. Mencoba mencari sepeser uang untuk membeli buku obat-obatan dan terkadang mencari beberapa bahan ke kota. Semua terus kucoba dan lakukan agar angka yang ada di atas kepala ibu bisa bertambah.

Elena end POV

Saat ini Elena sedang berjalan kearah rumah Ralf dan Mega sembari membawa tas selempang. Surai merah muda pendeknya melambai dengan halus terkena terpaan semilir angin di desa.

Tuk. Tuk. Tuk.

Mengetuk hingga tiga kali, pintu kayu itu terbuka dan menampilkan sosok gadis dengan surai keunguannya.

"Mega, apa sudah siap?" tanyaku.

"Lena, tolong bangunkan kak Ralf! Sedari tadi aku sudah mencoba membangunkannya, tapi dia tidak bangun-bangun. Seakan sedang latihan meninggal saja." gerutu Mega dengan kesal. Elena hanya tertawa canggung mendengar gerutuan Mega.

"Darimana dia mempelajari kata-kata seperti itu?"

"Baiklah, biar aku yang membangunkannya." Elena pun berjalan memasuki rumah dan berjalan mengarah ke pintu kamar Mega dan Ralf.

Hana, ibu dari Ralf dan Mega hanya tersenyum melihat Elena berjalan memasuki kamar anaknya. Hal itu sudah terlihat biasa karena salah satu anaknya yang memiliki kebiasaan tidur yang buruk.

Tepat di depan pintu kamarnya, Elena menarik napas terlebih dahulu lalu membuka pintu itu dengan keras sembari meneriakkan nama Ralf dengan keras, "RALF, BANGUN ATAU AKU DAN MEGA AKAN MENINGGALKANMU!!!"

Suara itu begitu keras hingga membuat Ralf yang awalnya masih tertidur nyenyak langsung melompat dari kasurnya hingga jatuh ke lantai.

"El- Elena ...?"

"Cepat bersiap, Ralf. Bukankah kita sudah janji untuk pergi ke kota hari ini?"

"Be-benar ... Aku akan bersiap! Tunggu sebentar! Jangan tinggalkan aku, Elena!" Ralf langsung berlari ke belakang rumahnya untuk membersihkan tubuhnya sedikit, sedangkan Elena pergi ke ruang tamu, menunggu Ralf bersama Mega.

"Kakak terlalu bersemangat semalam karena akan pergi ke kota bersama hingga membuatnya tidur terlalu larut."

Elena hanya tertawa geli mendengar aduan Mega yang terdengar begitu manis itu. Sedangkan Mega memperhatikan Elena dengan begitu intens hingga membuat Elena kebingungan.

"Ada apa?"

"Lena, apa kau tidak ingin memanjangkan rambutmu?" Mega mengulurkan tangannya untuk memegang rambut Elena yang sangat pendek itu.

"Tentu, akan ku panjangkan. Aku perlu menjualnya lagi nanti agar bisa membeli beberapa buku, bukan?"

Mega hanya bisa menghela napas dan menggeleng pasrah. Sedangkan Elena terlihat bingung.

"Kamu sungguh tidak peka, Elena. Mega itu sayang dengan rambutmu yang selalu di potong sangat pendek." Ralf tiba-tiba menimpali setelah selesai bersiap.

"Kenapa sayang?"

Mega benar-benar gemas dengan temannya ini. Ia bingung apakah temannya ini bodoh atau dungu. "Itu karena rambutmu sangat cantik, Lena! Itu terlihat seperti bunga Peony!"

"O-oh ... Terimakasih ...." Elena tidak dapat memberikan respon apapun lagi. Ia perlu menjual rambutnya agar bisa membeli sebuah buku obat-obatan. Kebetulan sekali rambut dengan warna merah muda sangat langka dan banyak di gemari oleh wanita bangsawan. Jika ada kesempatan menghasilkan uang, kenapa harus disayangkan?

"Sudahlah, Mega. Lebih baik kita pergi sekarang. Paman George pasti sudah menunggu kita lama," ucap Ralf.

"Bukankah itu karena kakak yang tidak mau bangun?!"

Pertengkaran hampir dimulai kembali dengan dua bersaudara itu, jika saja Elena tidak menengahi mereka dengan cepat.

"Sudahlah, ayo berangkat."

Pada akhirnya mereka pun berjalan ke arah gerbang desa, dimana sebuah gerobak sudah menunggu disana.

"Halo, paman George!" sapa mereka.

"Kupikir kalian tidak jadi pergi. Aku hampir saja meninggalkan kalian disini," ucap paman George sambil tertawa khas bapak-bapak.

"Salahkan kak Ralf yang tidur tidak bangun-bangun!"

Paman George hanya bisa tertawa melihat tingkah Mega yang begitu kesal dengan Ralf.

"Paman, maaf kami terlambat. Kami masih boleh ikut, kan?"

"Tentu saja. Naiklah."

Menerima izin dari paman George. Elena, Mega, dan Ralf pun naik ke atas gerobak yang di tarik oleh satu kuda. Sedangkan paman George berada di tempat kusir untuk menjalankan kudanya.

"Hey, saat di kota nanti apa yang ingin kalian beli?" tanya Ralf dengan wajah bersemangat.

"Aku ingin membeli buku."

"Mungkin bahan obat-obatan baru?"

"...."

Ralf menatap keduanya dengan tatapan malas. "Membosankan."

"Apa?!"

"Me-memangnya Ralf mau membeli apa di kota nanti?" putus Elena sebelum pertengkaran kembali berlanjut.

"Tentu saja aku akan melihat-lihat toko senjata!"

"Tidak membelinya?"

"Ayah bilang aku belum memerlukannya. Saat waktunya tiba, ia akan membelikanku pedang yang ku mau."

Mendengar hal itu, Mega mendengus remeh dan berkata, "Jadi maksudmu kamu tidak memiliki uang dan hanya melihat-lihat?"

"Aku punya uang!!"

"Argh. Kapan kami sampai?"

Elena menyerah menengahi mereka dan berakhir hanya termenung melihat ke arah luar hingga kereta berhenti di alun-alun kota.

To Be Continued

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!