Leonard Falleo Hunter;
Catarina Pomer;
...----...
...HAPPY READING!!...
Uhuk!
Seorang wanita yang terbilang cukup tua itu tengah berbaring tak berdaya di rumah sakit dengan alat-alat yang menempel pada tubuhnya.
Catarina yang tengah mengupas dengan cepat menghampiri sang ibu yang tengah menahan sakit sedari tadi karena mesin inbukator yang berbunyi keras sedari tadi.
"Nak, kematian itu tak ada yang tau. Kalo itu udah ga ada ibu minta sesuatu ya?" ucap wanita itu memegang tangan Catarina erat, Catarina menggeleng dengan berderai airmata.
"Ibu mau apa? Cata bakal kabulin, ibu.."
"Ibu minta kebun bunga dan pisang disamping rumah jangan dijual ya? ibu mohon.."
"Kenapa ibu?"
"Soalnya Itu kebun pisang pak Asep nak."
Catarina menangis frustasi, jadi tanah yang mereka pakai tanah orang lain? rasanya tiba-tiba airmata catarina kembali lagi tersedot.
"Cata anak ibu.. Maaf ibu gak bisa ngasih kamu kaya ibu-ibu yang lain, ibu bahkan sakit-sakitan.." Ucap sang ibu kembali berbatuk, catarina menggeleng ribut.
"Engga ibu.. ibu salah, catarina sayang sama ibu jadi catarina mohon ibu harus tetap ada, catarina gak butuh sosok ayah, cata cuma pengen ibu.."
Ibu menggeleng, suara inbukator makin ribut membuat Catarina kaget dengan sigap memencet tombol darurat dengan tujuan memanggil dokter.
Suara engap-engapan, terdengar dari mulut ibunya dengan mata menggeleng disudut mata. Catarina semakin memegang tangan ibu satu-satunya erat takut kehilangan.
"N-nak, kamu harus nyari pacar yang banyak duit ya. Gak papa dibilang matre, karena kita hidup pake uang."
Ibu.. Bisa-bisanya lagi sekarat malah ngomongin uang.. Batin catarina.
Catarina tersenyum lirih untuk menanggapi, "Iya ibu, cata bakal bawain menantu ganteng banyak duit asal ibu bangun."
Tak berselang lama, tiba-tiba dokter dengan beberapa perawat datang dengan memeriksa ibu Catarina, sedang catarina diperintah keluar sesuai instruksi.
Detik berlalu dengan ketegangan yang catarina rasakan, Catarina meski khawatir duduk dikursi tunggu sembari menunggu kabar terbaru yang dibawa dokter.
Pintu terbuka, menampilkan seorang dokter. Catarina dengan cepat menghampiri.
"Sanak saudara pasien? Mohon maaf, atas kehendak dari pencipta dengan ini kami menyatakan pada tanggal 17 januari 2023, saudari Evaline telah dinyatakan meninggal dunia."
Catarina mematung dengan airmata menggenang di pelupuk, perlahan tubuhnya menyeluruh ke lantai akibat tak kuasa menahan diri.
...---...
Seorang gadis tengah menatap gundukan tanah yang dilihatnya dengan berderai airmata, Catarina mengusap nisan tersebut dengan pelan penuh kasih sayang.
Beberapa orang sudah melayat sedari tadi, kini hanya tersisa Catarina seorang karena mereka tak memiliki sanak saudara.
"Ibu.. Maaf ya rumah kita cata jual buat biaya pemakaman sama tunggakan rumah sakit, tapu tenang bu, tanah pak asep gak cata jual kok." Catarina mengusap ingus dengan gaun hitamnya.
"Ibu.. Kayanya cata bakal tinggal di apartemen deh, cata mau nyari apart yang murah aja.." Ucapnya sembari memegang liontin kupu-kupu, Satu-satunya benda berharga yang ditinggalkan ibunya.
Catarina tak pernah melepaskan liontin ini, mau itu sedang mandi, makan, main, ataupun salto. Karena menurutnya ini adalah jimat keberuntungan dari sang ibu.
Catarina bertekad akan mencari pekerjaan besok, karena ia membutuhkan uang untuk biaya hidupnya. Meski ada sisa dari penjualan rumah, namun ia masih membutuhkan karena uang akan pasti habis.
Langit yang mendung membuat Catarina tersenyum perih, seolah langitpun tahu akan kesedihan dirinya.
Catarina mengusap nisan kemudian mengecupnya lama, "Ibu.. Cata pulang dulu ya, soalnya kaya mau hujan."
Catarina berdiri kemudian pamit, tidur yang tenang ibu, satu-satunya kasihku.
Matahari menyingsing dari upuk timur, sinarnya menyemangati seorang gadis yang kini tengah tersenyum riang di hadapan kaca jendela, mematut diri.
Catarina pomer, katanya-sih ibunya yang memberi nama indah itu. Ayah? entahlah, Catarina tak tahu. Gadis itu hanya gadis biasa, tak punya kelebihan seperti orang diluaran sana.
Hari ini, ia mengenakan kemeja putih dan rok skirt hitam andalannya sudah bersiap beberapa menit yang lalu, rencananya Catarina ingin mencari pekerjaan untuk menunjang hidupnya.
'Moga aja ada yang kecantol sama kinerja aku, minimal jadi pelayan juga tidak apa-apa. Batinnya.
Catarina bahkan sudah terbangun pukul empat subuh, akibat sangat bersemangat akan mencari kerja.
Ia membereskan apartemen barunya yang didapat kemarin, setelah mencuci dan mandi barulah Catarina berdandan.
"Ayo cat! kamu pasti bisa dapet kerjaan, orang pasti mudah gak akan sulit!" monolognya berapi.
...----...
Ralat! Catarina melarat ucapannya beberapa jam lalu yang mengatakan akan sangat mudah mendapat pekerjaan.
Sudah berjam-jam lamanya catarina mencari pekerjaan dimulai memasuki cafe, perhotelan, dan bahkan rumah makan emperan.
Mereka menolaknya, dengan alasan anak dibawah umur lah, masih muda lah, tak memenuhi syaratlah, hingga sabang sampai merauke alasan.
"Emang hidup ini keras ya? Nyari kerja aja susahnya minta ampun," keluh Catarina.
Menyedihkan, kini Catarina memegang data dan berkas dirinya yang ia bekali sedari tadi dengan lesu, jika tak dapat kerjaan besok ia makan apa?
Pusing melanda kepalanya dan keringat mengucuri tubuh kurusnya itu, Catarina melengkungkan bibir akibat lelah bukan main.
Melewati gang-gang sempit dan ruko-ruko yang jauh dari apartemennya tanpa kendaraan, kaki Catarina mulai kebas sendiri.
Melirik jam tangan yang menunjukan pukul dua siang, Catarina semakin menahan tangis.
Kruyukk
Suara itu semakin membuat Catarina meringis, semakin terasa menyedihkan. Ia bahkan lupa telah melewatkan makan siang.
Tengah memegang berkas dengan erat, dari arah berlawanan tiba-tiba nampak segerombol laki-laki berlarian dengan pakaian serba hitam dengan mengenakan topi yang hampir menutupi wajah, terlihat Err.. Menyeramkan.
Detik selanjutnya, salah satu dari mereka menghampiri Seana, "Kau melihat seorang pria dengan suit disekitar sini?" katanya mengintimidasi.
Catarina meneguk ludah, kemudian menggeleng tak tahu. Pria itu memperhatikan Seana dari ujung kepala hingga ujung kaki, dirasa tidak ada yang mencurigakan, ia mendengus kemudian berlalu.
Seana bernafas lega, hampir saja ia mengompol karena aura pria tadi. Namun detik selanjutnya Seana mengernyit kala melihat siluet seseorang di ujung gang, nampak berbaring berlumuran luka.
Apakah orang itu kecelakan? Segera Seana hampiri dengan berlari kemudian terkejut kala melihat tubuh kekar seorang pria dengan badan bersimbah luka, seperti habis dikeroyok satu kampung. Terlihat dari nafasnya yang tak beraturan dan suit yang dikenakannya sobek.
"Tuan? Apakah anda masih hidup?" tanya Seana shock sembari mengecheck tubuh kekar itu. Sang pria langsung membuka mata tajamnya kemudian menyingkirkan tangan seana.
"Anda luka! Harus segera diobati!" ucapnya tanpa berpikir dua kali merobek sedikit kemejanya kemudian membalutkan nya pada tangan sang pria.
Dengan telaten, Seana membersihkan luka itu dengan tisu yang ia bawa agar lukanya tak infeksi, dimulai dari wajah yang penuh luka membiru namun cukup membuat Seana tercengang akan ketampanan pria dihadapannya.
Hidung mancung, pahatan wajah tegas, mata yang tajam bak elang dan alis yang menukik tebal namun rapi, jangan lupakan bibir yang membentuk love itu. Kala seana ingin menyentuh wajahnya, dengan sinis sang pria menyentak.
"Jangan lancang." Dinginnya membuat seana meringis kecil kemudian mengangguk, "Saya hanya membersihkan dengan tisu basah, tidak akan menyentuh."
Seana berucap, "Apa sakit? Saya tidak bawa alcohol jadi hanya bisa dibersihkan dengan tisu basah. Setelah ini baiknya diobati agar tidak infeksi, sebelum luka kering jangan terlalu main air juga ya."
"Dipikir-pikir kok aku kaya dokter ya?" batin Seana bangga karena menolong seseorang dan menasehatinya.
Sementara sang pria pemakai suit dengan wajah rupawan itu hanya diam nampak hampir sekarat, namun matanya memperhatikan Seana detail, "Sebagian lukanya udah diobati, saya akan memanggil tenaga med-"
"Tidak perlu," Potong pria itu dingin sembari menyingkirkan tangan Seana, beranjak dan pergi dari intensitas Seana tanpa mengucapkan terimakasih.
Ia memegang ponselnya kemudian tampak menghubungi seseorang.
"Jemput aku disini, aku serakat."
...---...
"Silahkan masuk, tuan." Seorang bodyguard nampak membukakan pintu mobil pada seorang pemuda yang tengah memakai pakaian suit berantakan.
Pria itu–Leonard, nampak memasuki mobil mewahnya kemudian duduk dikursi belakang sembari mengusap sudut bibirnya yang sobek.
Drrtt Drtt
Leonard terdiam kala melihat nama si penelpon kemudian mengangkatnya.
"Bagaimana penyelundupan kali ini?" suara mengintrogasi nan dingin itu terdengar dari sebrang sana.
Leonard hanya berdehem, tak kalah dinginnya.
"Aku hampir saja ditangkap oleh anggota mereka, namun aku berhasil lolos. Dvoricka lengah lagi."
"Bagus, simpan cipnya dimejaku. Son."
Tutt
Ponsel dimatikan begitu saja dari pihak sana, tanpa repot-repot perpisahan.
Leonard menghembuskan nafas lega, untung saja misinya kali ini berhasil lagi dan lagi.
Leonard adalah son dari seorang don mafia, alias pemimpin mafia. Namun, ia bukan pemimpin. Jadi ia akan menerima tugas besar seperti anggota-anggota mafia lain yang menjalankan misi besar.
Pria ditelpon tadi adalah Lucifer–ayahnya, seorang don mafia besar. Seorang kejam yang selalu menuntut bahkan keanaknya sendiri.
Bila misi gagal, tak tanggung-tanggung Lucifer akan menyiksanya dibelakang Mollara, ibunya.
Namun untuk misi kali ini, ia telah ditolong oleh gadis semanis buah apple itu, tanpa sadar dalam pejamannya Leonard tersenyum miring.
Dasar gadis menyusahkan, untuk apa mengobati lukanya? Bahkan tanpa diobati-pun lukanya akan sembuh begitu saja.
Catarina duduk di sebuah ruko yang sudah tutup beberapa jam yang lalu setelah menolong pria aneh tadi, digenggamannya terdapat sepotong roti yang sudah ia makan setengah.
Tak henti ia merutuki nasib sedari tadi, bahkan waktu kini sudah berganti dengan malam namun Catarina masih belum mendapat pekerjaan kecil apapun.
Akibat kelaparan, ia mampir sebentar disebuah minimarket sekedar membeli roti isi dan susu kotak sebagai minumnya.
Berkali-kali menghembuskan nafas, entah yang keberapa kalinya. Tubuhnya lelah, bahkan matanya kian berkaca-kaca karena kesal namun bingung kesal pada siapa.
"Hidup ini sial banget sih," ucapnya menelan rotinya kasar sembari membendung airmata.
Catarina mengernyit ketika mendengar suara langkah kaki beramai-ramai diikuti suara berat saling sahut menyahut dari arah gang sempit disampingnya.
Ingin pulang, karena rasa was-was dan takut kian menyeruak. Catarina sadar seharusnya ia harus cepat pulang karena ini sudah menunjukan pukul sepuluh yang artinya bukan waktu yang aman bagi wanita sepertinya untuk keluar sendirian.
Ia mulai melangkah dengan maksud pulang menuju jalan gang sempit dengan menghabiskan susu yang ia beli, ia harus pulang melalui gang ini jika ingin sampai apartemennya.
Malam ternyata gelap juga ya? penglihatannya bahkan hanya mengandalkan lampu jalanan yang temaram, ia berusaha menegarkan diri ketika didepannya terdapat segerombol pria muda yang mabuk-mabukkan sembari merokok bebas.
Langkahnya yang kian mendekat membuat kehadirannya ditangkap oleh mereka, salah satu dari mereka bersiul.
"Halo gadis cantik, ingin kemana hm?" ucapnya menghembuskan asap rokok.
Catarina dengan cepat melangkah dengan maksud ingin melewati, namun tangannya dicekal oleh salahsatu dari mereka yang mengenakan tindik.
"Eistt, no no no baby. Tidak diijinkan kabur sebelum menemani kami bermain." Ucapnya tersenyum miring yang membuat Catarina memberontak.
"Lepaskan aku! aku ingin pulang, kita tidak saling mengenal, keparat!" Catarina berusaha melepas cekalannya.
Mereka yang berjumlah sekitar sebelas orang itu tertawa bersama, salah satu dari mereka berucap.
"Ramai-ramai kayanya seru boss!" Serunya membuat Catarina kaget dan langsung memberontak sekuat tenaga.
"Lepas–aw!" Catarina memekik kala badannya dipangku lalu tangannya diikat dengan sebuah tali, ia menggeleng sembari tubuhnya mencoba berontak sekuat tenaga yang ia punya.
Lelaki yang memakai tindik tertawa, ia membuka sesuatu lalu mengkode teman-temannya untuk menahan tubuh catarina.
Lalu ia mencekokan sesuatu pada mulut catarina, gadis itu berusaha memuntahkan. Namun dengan sigap, pria bertindik menutup mulutnya dengan kasar.
...----...
"Ingin makan malam, tuan muda?"
Tawaran itu dibalas gelengan oleh Leonard, sang supir yang kini tengah mengemudi nampak mengangguk takut-takut.
Setelah memesankan pesanan pemuda itu yang katanya menginginkan seorang wanita disebuah club ternama, sekedarnya untuk menghilangkan penatnya dan bersenang-senang setelah bekerja seharian.
Tak ayal, hampir semua gadis di club diobrak-abrik oleh Leonard, namun tak ada satupun gadis yang benar-benar membuat seorang Leonard tertarik. Ia hanya membutuhkan mereka untuk bersenang-senang.
Pria tersebut nampak menghidupkan cerutunya dengan mata menatap hiruk pikuk jalanan, namun seperkian detik ia mengernyit kemudian malah meminta berbalik arah sebentar dan mampir disebuah gang disamping ruko, Mark–selaku bodyguardnya hanya dapat mengernyit melihat keanehan sang tuan.
"Tuan, kita tiba pada ruko yang anda minta."
Leonard hanya mendengus, "Aku tahu." Ucapnya membuat Mark meringis.
Leonard mengernyit kala melihat segerombol orang yang nampak seolah tertawa kesenangan pada gang lurus itu, kemudian matanya membulat kala melihat seorang gadis yang mereka ikat dengan pakaiannya yang amburadul.
Leonard tampak mengeraskan rahang, "Nyalakan sirine polisi."
Mark mengernyit, namun ia tetap melaksanakan perintah Leonard tanpa banyak tanya.
Ketika suara sirine terdengar dari mobil mereka yang sengaja memasang suara ini, sebagai antisipasi musuh. Para pria segerombolan itu tampak berlarian melindungi diri.
Setelah mereka tak ada, barulah Leonard turun tanpa berbicara apapun.
Dihampirinya seorang gadis yang tengah terengah dengan wajah yang dipenuhi airmata.
Mendengar langkah kaki, Catarina mencoba mendongak.
Netranya bergetar kala melihat pria yang beberapa jam lalu ia selamatkan tengah memandangnya dingin, serta pakaian jas mahalnya.
Leonard berhenti, ia menatap Catarina lama dengan pandangan yang sangat sulit Catarina jabarkan, tatapan yang...
Ingin memakannya?
Leonard berjongkok, menyamakan dirinya dengan gadis cantik ini. Lalu tangannya mulai mengusap bibir basah itu dengan sedikit kasar.
Catarina melelehkan air matanya, tubuhnya panas dan ia menginginkan sentuhan lebih.
Catarina tak tahu entah kenapa seperti ada yang salah dengan dirinya, namun ia sulit untuk mengendalikan tubuhnya.
Leonard menyadari gelagat aneh gadis itu, tubuh Catarina nampak kepanasan.
Apakah gadis ini diberi obat?
Leonard berdecak, ia mulai menarik kerah leher Catarina dengan maksud mengajaknya pulang.
Mengajak seolah tak niat.
Catarina yang kerahnya ditarik sontak tersentak dan terpaksa berdiri, ia mencoba menutupi pakaiannya yang terekspos karena kerahnya ditarik.
Leonard menatapnya, lama. Lalu tanpa basa-basi mengangkat tubuhnya ala bridal style dengan mudah.
"Aa!" Catarina menjerit kaget, ia mulai berpegangan pada leher Leonard.
Catarina merutuki tubuhnya yang semakin panas seolah haus belaian, mencengkeram jas yang dikenakan Leonard sebagai pelampiasan adalah solusi Catarina saat ini.
Lalu tanpa pikir panjang, tubuh Catarina di banting begitu saja pada mobil pemuda itu, Mark tampak terkejut namun ia tak berani bertanya setelah Leonard mengaktifkan penyekat mobil.
"Jangan salahkan aku, kau sendiri yang membuatku tertarik padamu." Ucap Leonard tersenyum miring.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!