Langit di Lapisan Pertama bukanlah langit, melainkan luka yang menganga. Ia menggantung di atas kota Teralis sebagai kabut hitam pekat yang tak pernah bergerak, seperti jaring raksasa yang menunggu mangsa. Suara dentang logam, teriakan, dan derak mesin tua adalah denyut nadi hari-hari di sini—keras, berkarat, dan tanpa belas kasihan.
Maelon Herlambang bangun sebelum bel listrik meraung. Tidurnya singkat, sering terputus oleh mimpi buruk atau jeritan anak-anak lain yang ketakutan. Lantai kayu yang retak menjadi ranjang, karung bekas semen jadi alas tidur. Hanya tubuhnya sendiri yang memberi hangat, dan malam yang dingin tak pernah kehabisan cara untuk menusuk.
Panti Asuhan Gema Harapan berdiri di antara reruntuhan dan saluran pembuangan. Kepalanya, Bu Rantini, menjadikan tempat itu sebagai tambang uang. Anak-anak dipekerjakan tanpa ampun, dan yang gagal menyetor cukup... dijual. Tak pernah dikatakan terang-terangan. Tapi Maelon melihatnya. Ia ingat jelas satu malam ketika seorang anak perempuan bernama Yela ditarik paksa dari tempat tidur. Esok paginya, kasurnya kosong. Namanya dihapus dari buku catatan. Tidak pernah disebut lagi.
Setiap malam, Maelon menyelinap ke bangunan batu tua di ujung kota. Dulu disebut kuil. Kini tak ada lagi pendeta, hanya debu, sisa dupa, dan arca tunggal yang berdiri di tengah ruangan. Ia adalah Dewa Blasphemy—satu-satunya yang tersisa, atau satu-satunya yang pernah ada. Arca itu tinggi, tak berwajah, tangannya menggenggam mata tertutup, dan dadanya terbuka menampakkan rongga hitam. Dewa ketidaktahuan, pengorbanan, dan kebenaran terlarang. Di dunia ini, hanya kebenaran yang dihukum.
Maelon tak berdoa. Ia hanya bicara dalam hati—kalimat-kalimat yang tak pernah selesai. Ia tahu tidak ada yang akan menjawab. Tapi ia terus datang, karena hanya di sana ia bisa merasa sedikit... bersih.
Dan ada satu alasan lagi.
Nalaya.
Gadis berusia lima belas tahun yang tinggal di kamar paling sempit di panti. Rambutnya hitam panjang, kulitnya pucat, matanya seolah tidak pernah benar-benar menatap. Nalaya tak bekerja seperti anak-anak lain. Bu Rantini menyebutnya “rapuh”—sebuah alasan untuk tidak menyuruhnya mengangkat barang berat atau pergi ke stasiun. Tapi kenyataannya, semua biaya hidup Nalaya ditanggung oleh Maelon. Ia bekerja dua kali lebih keras, menyerahkan dua kali lebih banyak setoran. Tapi tidak pernah sekali pun memberitahu Nalaya.
Ia tidak ingin belas kasihan. Ia hanya ingin Nalaya tetap hidup.
Siang itu, kabut turun lebih awal dari biasanya. Udara terasa berat, seakan dunia menahan sesuatu yang tak ingin ia muntahkan. Bau logam tua dan jelaga tak lagi hanya memenuhi hidung, tapi menempel di kulit, menusuk hingga ke tulang. Di langit, burung-burung hitam berputar rendah, seperti pertanda dari langit yang tak pernah lagi menyapa kota Teralis.
Maelon baru saja kembali dari gudang logam. Punggungnya basah oleh keringat dingin, tangannya berlumuran serbuk besi dan sedikit darah dari goresan paku berkarat. Sepanjang jalan pulang ke panti, ia sempat menoleh ke reruntuhan kuil tua tempat ia biasa berdoa. Tidak hari ini, pikirnya. Tubuhnya terlalu lelah, dan pikirannya dihantui kekhawatiran yang samar.
Nalaya belum kembali sejak pagi.
Begitu ia melangkah melewati gerbang berderit panti, suara bel listrik berbunyi tiga kali berturut-turut—bunyi yang tak pernah membawa kabar baik. Anak-anak yang sedang menyikat lantai berhenti. Suara sendok yang sedang mengaduk bubur basi terdiam. Semua mematung.
Tiga denting berarti satu hal: pengambilan.
Bu Rantini memanggil Maelon. Suaranya datar, bahkan nyaris ramah—dan itulah yang membuatnya terasa seperti pisau.
Ia masuk ke aula tengah, tempat tiga orang berpakaian hitam berdiri tegak laksana bayangan yang diberi tubuh. Tubuh-tubuh mereka besar, dibalut pelat logam ringan dan lambang sayap patah di dada. Mata mereka tersembunyi di balik helm gelap. Salah satunya memegang selembar kertas yang digulung rapi, seperti surat perintah mati.
“Maelon Herlambang,” ucap pria itu dengan nada netral, “atas nama Otoritas Penataan Dunia, Anda dituduh melakukan pencurian logam kelas satu, pemalsuan laporan setoran, dan konspirasi pelarian dari Lapisan Satu.”
Kata-kata itu seperti pintu yang ditutup di dalam dada Maelon. Sunyi. Dingin. Tanpa ampun.
Ia mengedarkan pandangan. Anak-anak berdesakan di balik pintu. Tidak satu pun membela. Tak satu pun bersuara. Dan Nalaya—
Nalaya tidak ada di sana.
“Tidak mungkin...” gumam Maelon, nyaris tak terdengar.
“Bukti cukup jelas,” sahut Bu Rantini. Ia mengangkat sebuah buku catatan lusuh, menunjuk deretan angka. “Setoran logam untuk panti kosong selama dua minggu terakhir. Juga ditemukan komponen logam ilegal di bawah ranjang Anda pagi tadi.”
Maelon menggeleng pelan. Ia bahkan belum pulang ke kamar. Sesuatu dalam dirinya mulai retak, tapi ia masih berusaha menolak keyakinan yang mulai tumbuh—keyakinan bahwa ini bukan kesalahan. Ini adalah jebakan.
Lalu pintu aula terbuka dengan suara kecil. Seorang gadis masuk dengan langkah ringan.
Nalaya.
Ia memakai gaun lusuh berwarna krem, rambutnya dikepang seadanya, mata hitamnya menghindari tatapan siapa pun. Ia berjalan pelan, seperti orang yang sedang membawa beban tak kasatmata. Wajahnya tenang. Terlalu tenang. Seperti seseorang yang telah mengucapkan selamat tinggal pada sesuatu dalam dirinya.
“Aku...” suaranya nyaris tak terdengar, tapi ruangan itu hening. Suaranya menembus semuanya.
“Aku melihat Maelon... menyembunyikan logam dari gudang. Dan... aku yang pertama kali menemukan buku setoran palsunya.”
Maelon tidak langsung bicara. Tidak langsung marah. Ia hanya menatap Nalaya seperti melihat mimpi yang runtuh perlahan. Tidak ada air mata. Tidak ada teriakan. Hanya sunyi yang menusuk, dan darah yang seperti berhenti mengalir.
“Nalaya...” bisiknya. “Kenapa?”
Gadis itu tak menjawab. Ia hanya menunduk lebih dalam. Tapi mata mereka sempat bertemu—dan dalam mata itu, Maelon melihat segalanya.
Takut. Lelah. Dan keinginan untuk bertahan hidup, berapa pun harganya.
Penjaga menarik Maelon dengan paksa. Ia tak melawan. Rotan Bu Rantini tak perlu bicara lagi—segala sesuatu sudah ditentukan. Dunia ini tak butuh kebenaran, hanya butuh seseorang untuk dikorbankan.
Di luar, kabut telah berubah menjadi dinding tebal. Maelon diseret melewati gerbang panti, melewati anak-anak yang menunduk dalam diam. Tidak satu pun memanggil namanya. Tidak satu pun bertanya.
Ketika pintu logam kendaraan pengangkut tertutup di belakangnya, Maelon menatap ke langit kelabu satu kali lagi. Dan di antara napas terengah dan tubuh yang lelah, ia berseru dalam hatinya.
“Dewa Blasphemy, jika ini bagian dari takdir-Mu... maka biarkan aku menjadi sesuatu yang tak bisa ditelan dunia ini lagi. Jangan biarkan kebenaran mati dalam diam.”
Lalu gelap menelannya, bukan sebagai akhir—tapi sebagai awal dari sesuatu yang bahkan dewa pun tak bisa cegah.
Waktu kehilangan makna di dalam kendaraan baja yang membawa Maelon. Tidak ada jendela. Tidak ada cahaya. Hanya getaran kasar roda dan desisan mesin tua yang mengguncang setiap tulangnya. Ia tak tahu berapa lama ia telah dikurung. Satu jam? Sehari? Mungkin lebih. Satu-satunya suara yang menemani hanyalah derak rantai di pergelangan dan hembusan napasnya sendiri yang perlahan jadi dingin.
Sampai akhirnya, kendaraan berhenti.
Pintu terbuka. Cahaya merah senja membutakan sesaat. Dua penjaga menariknya turun, lalu membawanya melalui lorong panjang yang basah dan berkarat. Udara berbau garam, tanah asam, dan sesuatu yang lebih busuk... sesuatu yang bukan dari dunia manusia.
Maelon melihatnya, Gerbang Timur. Salah satu dari empat pintu besar di Teralis, yang konon tak pernah dibuka kecuali dalam keadaan darurat. Dan hari ini, entah kenapa, gerbang itu terbuka.
Di kejauhan, hutan besi dan kabut gelap menyambut mereka. Suara dari balik kabut... bukan suara binatang. Bukan suara alam. Itu adalah nyanyian—dalam nada rendah dan berlilit, seperti suara anak kecil yang bernyanyi di dalam air.
Seorang pria berjas hitam dengan lencana bersinar menghampirinya. Matanya tajam, kulitnya pucat seperti lilin.
“Maelon Herlambang,” katanya, seolah membaca dari naskah yang sudah usang, “kau adalah salah satu dari lima individu yang terpilih untuk Operasi Perisai Hidup.”
Maelon tak menjawab.
“Kau akan ditempatkan di titik luar Lapisan Satu, dan ditugaskan untuk menarik perhatian entitas kelas-X demi melindungi infrastruktur utama tembok. Jika kau mati dalam satu menit, kau akan dikenang. Jika kau bertahan lima menit, kau akan dicatat. Jika kau selamat—dan itu belum pernah terjadi—mungkin kau akan menjadi sesuatu yang lebih besar dari manusia.”
Lalu pria itu tersenyum. Tapi senyumnya kosong, seperti topeng yang retak.
Maelon dijebloskan ke dalam lift besi yang turun jauh ke bawah tanah, menuju sebuah ruangan berdinding baja. Di sana, ia diberi satu pakaian lusuh berwarna oranye, dan sebuah kalung logam dengan angka identifikasi. Tidak ada senjata. Tidak ada pelindung.
Seorang petugas wanita menyerahkan selembar kain tipis.
"Untuk menutupi matamu, kalau kau tidak ingin melihat kematianmu sendiri," katanya datar.
Lalu gerbang terbuka.
Di hadapannya terbentang lanskap luar tembok, dunia liar. Pohon-pohon hitam dengan cabang seperti pisau. Tanahnya tak bergerak, seolah hidup. Dan kabut... kabut yang tidak mengikuti arah angin, tapi bergerak menuju siapa pun yang bernapas.
Di kejauhan, suara-suara bergetar.
Langkah kaki—tapi terlalu banyak. Napas—tapi terlalu dalam. Dan suara jeritan… seperti bayi... seperti binatang... seperti mimpi buruk yang baru lahir.
Maelon melangkah, sendirian, menuju tengah lapangan terbuka.
Langit di atasnya retak merah seperti luka terbuka. Dan ketika makhluk itu muncul, dari balik kabut, tubuhnya tidak bisa berkata apa-apa.
Hanya matanya yang menatap.
Tiga pasang mata. Tiga wajah. Satu tubuh. Dan seribu tangan yang merangkak seperti laba-laba.
Dan saat makhluk itu menatap Maelon, waktu berhenti.
Dalam bisikan yang hanya ia dengar, sesuatu berbicara.
“Darahmu... mengandung janji.”
“Kau tidak seharusnya mati seperti ini.”
“Berdoalah... dan Aku akan menoleh padamu.”
Dan Maelon, untuk pertama kalinya, menjawab.
“Dewa Blasphemy... jadikan aku kutukan untuk dunia yang membuangku.”
Maelon berlutut di atas tanah yang lembap, kedua telapak tangannya menempel pada permukaan dingin yang nampak hidup karena rintihan angin. Kabut menyelimuti segala sesuatu, menutup pandangan dan meredupkan warna dunia di sekelilingnya.
Ia baru saja mengirimkan doa—sebuah bisikan lirih kepada Dewa Blasphemy yang selama ini dikenal hanya melalui desas-desus dan ketakutan. Namun, tak ada jawaban yang datang dari langit. Tak ada seberkas cahaya yang mampu mengusir kegelapan; hanya hening yang menekan, menyisakan kehampaan.
Di balik kabut itu, terdengar langkah-langkah lambat yang menghitung detik-detik terakhir. Tanah di bawah kaki Maelon bergoyang halus, seolah ikut merasakan keputusasaan. Setiap jejaknya di jalan yang berlumpur dan lengket menampakkan bekas-bekas penderitaan, tanda bahwa ia telah berjuang sekuat tenaga, namun segala upayanya telah sia-sia.
Tanpa ia sadari, makhluk itu muncul perlahan dari balik kepulan kabut yang pekat. Wujudnya tinggi dan kurus, tubuhnya terselimuti asap yang menyembunyikan setiap detail, kecuali dua mata gelap yang menatap tanpa ampun. Tangan-tangan panjangnya, menjuntai seperti dahan kering, menambah kekaburan sosok yang mengerikan itu. Di antara tangan-tangan itu, terdapat satu tangan kecil yang tampak rapuh, seperti ironi yang mengingatkan akan kelemahan yang pernah ada.
Ketika makhluk itu membuka mulut, bukan raungan yang terdengar, melainkan suara tawa—tawa seorang perempuan yang menyimpan kegetiran. Tawa itu, meski lembut, menusuk dalam situasi yang penuh kehancuran.
“Dunia telah melupakanmu, sejak kau pertama kali menangis.”
“Tak seorang pun peduli, bahkan entitas yang kau panggil telah berpaling.”
Maelon mencoba meronta, berteriak meminta keadilan atau sekadar kelegaan, namun setiap jeritan tersedot oleh kebisuan malam yang menyelimuti. Ia mencakar tanah, mencoba meronta diri dari cengkeraman keputusasaan, namun setiap usaha hanya semakin membuatnya tenggelam dalam lumpur yang lengket.
Hingga akhirnya, tubuhnya tak sanggup lagi bergerak. Ia terdiam—bukan karena damai, tetapi karena kelelahan jiwa yang tak lagi mampu menolak kenyataan. Dalam keheningan yang mencekam itu, tiada pintu yang terbuka, tiada secercah kekuatan yang bangkit untuk menyelamatkannya. Hanya ada air mata yang mengalir pelan, bercampur dengan tanah yang kotor, sebagai saksi bisu dari nasibnya yang telah tertulis.
Di situ, dengan seluruh harapan yang telah terkikis, Maelon menerima kenyataan yang pahit. Tidak ada keajaiban yang datang. Tidak ada kekuatan yang tiba-tiba menyelamatkannya. Hanya keputusasaan yang terus merayap, hingga akhirnya segala perlawanan tersisihkan oleh keheningan yang abadi.
Dalam detik-detik yang terasa memanjang tanpa belas kasihan, makhluk itu melompat keluar dari kabut—kepalanya tiga, masing-masing membawa ekspresi yang berbeda: murka, kosong, dan kesenangan yang menyakitkan untuk dipandang.
Maelon, yang sudah kehilangan arah dan harapan, secara naluriah melemparkan tubuhnya ke samping. Cakar-cakar runcing yang seharusnya merobek tubuhnya hanya menggores pinggangnya. Luka itu dalam. Darah mengalir deras, membasahi kain lusuh yang membungkus tubuh ringkihnya.
Ia terhuyung, namun tetap berdiri. Rasa sakitnya tajam dan membakar, tetapi bukan itu yang paling menyakitkan.
Makhluk itu—untuk pertama kalinya—tersenyum.
Bukan senyum manusia, bukan pula senyum kehidupan. Melainkan senyuman bengkok, lebar, dan dingin yang memancarkan satu pesan: penderitaan adalah hiburan. Senyum itu lebih menusuk dari luka di tubuhnya.
“Kau hanya menunda kematian dari nyawamu yang tidak berharga,” suara makhluk itu bergema dalam kepala Maelon, seperti racun yang menyusup tanpa ampun.
Maelon menggertakkan gigi. Napasnya tercekat, matanya berair bukan karena tangis, tapi karena amarah dan rasa takut yang bercampur dalam jumlah yang sama.
Ia berlari. Bukan lagi untuk melarikan diri, tapi karena tubuhnya memaksanya untuk bertahan—meskipun tak ada tempat yang aman.
Di antara reruntuhan dan tulang-tulang yang separuh terkubur lumpur, matanya menangkap sesuatu: sebuah tongkat logam panjang, ujungnya runcing, nyaris tersembunyi di balik potongan kain yang telah membusuk. Ia jatuh ke lutut, meraih benda itu dengan tangan gemetar, dan mencengkeramnya seolah-olah itu adalah satu-satunya hal nyata yang tersisa dalam dunia yang telah kehilangan makna.
Dengan napas terengah dan luka terbuka yang terus mengucurkan darah, Maelon berdiri kembali. Tongkat itu bukan senjata sejati—hanya besi tua yang kebetulan berbentuk ancaman. Tapi malam itu, besi tua itu menjadi satu-satunya harapan melawan maut.
Makhluk berkepala tiga itu memperhatikan gerakan kecil itu dengan ketertarikan aneh. Ketiga kepalanya miring bersamaan, seolah menilai apakah pantas bagi makhluk kecil dan menyedihkan ini untuk melawan balik.
Maelon tidak tahu cara bertarung. Ia tidak memiliki kekuatan, tidak pula keberanian yang dipoles waktu. Tapi di hadapan kematian yang menyeringai padanya, ia menolak mati sambil berlutut.
Dan karena itu, untuk pertama kalinya…
ia maju.
Maelon mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi dan menyerang dengan segenap tenaga yang tersisa. Ia menusuk, menebas, mengayun berulang kali, meski matanya sudah diburamkan darah dan keringat. Tubuhnya gemetar, napasnya putus-putus. Tapi tidak ada satu pun luka yang tertoreh di kulit makhluk itu.
Tidak ada darah. Tidak ada reaksi. Hanya keheningan dingin yang membentur tekadnya seperti tembok baja.
Makhluk berkepala tiga itu menatapnya. Ketiga pasang mata itu bergantian menelusuri wajah Maelon, lalu lidah salah satu dari mereka mendesis ringan, seperti mengecap rasa pahit.
“Hanya itu?”
“Mengecewakan.”
Cakar makhluk itu melesat cepat, menggenggam leher Maelon dalam satu gerakan. Tubuh kurus itu terangkat dari tanah seperti boneka kain yang koyak. Udara lenyap dari paru-parunya. Kakinya menendang angin. Matanya melotot, bukan karena takut… tapi karena kesadaran akan akhir.
Dalam cekikan itu, di ambang kematian, pikirannya kembali pada tempat yang paling ingin ia lupakan—panti asuhan Gema Harapan.
Suara jeritan anak-anak, bau besi, dan bunyi uang koin yang dilemparkan di lantai batu kembali menghantui benaknya. Ia teringat bagaimana ia mencuri waktu agar anak-anak lain bisa tidur lebih lama, bagaimana ia diam-diam membagi makanannya, bagaimana ia melindungi Nalaya meskipun tak pernah mendapat ucapan terima kasih.
Dan sekarang, ia menyadari sesuatu.
Setidaknya, dalam hidupnya yang hina ini,
ia telah berbuat baik. Sekali saja. Dan itu cukup.
Ia tersenyum.
Bukan senyum kemenangan. Bukan senyum bahagia.
Tapi senyum yang pasrah, tenang, dan tak lagi membutuhkan pengakuan dunia.
Makhluk itu berhenti.
Cengkeramannya tak menguat, tak juga melemah. Ketiga wajahnya menegang, saling menoleh satu sama lain seperti tak memahami.
“Apa…?”
“Kenapa kau… tersenyum bodoh seperti itu?”
“Kenapa kau tidak menderita?!”
Suara mereka bercampur dalam kebingungan dan kekecewaan. Bukan karena Maelon melawan, bukan karena ia kuat—tapi karena ia tidak takut, dan lebih dari itu… ia tidak patah.
Makhluk itu melempar Maelon ke tanah. Ia tergeletak, menggeliat kesakitan, tapi masih hidup. Masih tersenyum.
“Kau… benar-benar menjijikkan.”
“Jadilah lebih kuat.”
“Agar nanti… aku bisa membunuhmu dengan puas.”
Tanpa peringatan, makhluk itu mundur ke dalam kabut, tubuhnya menghilang seperti uap yang dibawa angin malam.
Dan Maelon tetap tergeletak di tanah, berdarah, terluka, tapi tidak hancur. Tak ada yang menyelamatkannya. Tak ada sorak kemenangan. Hanya sepotong senyum yang tertinggal, dalam dunia yang tak pernah peduli.
Kabut belum sepenuhnya menghilang ketika dua sosok muncul di atas tembok luar kota—struktur raksasa yang selama ini memisahkan manusia dari dunia di luar sana.
Seorang pria berdiri diam, mengenakan jas hitam rapi yang tampak tak tergoyahkan oleh angin. Di dadanya tergantung lencana berbentuk bulat dengan ukiran rumit, memancarkan cahaya samar keemasan, simbol otoritas tertinggi di lapisan pertama. Matanya tajam, nyaris tanpa emosi, namun menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa penasaran.
Di sampingnya, seorang wanita berseragam resmi berdiri dengan wajah yang diliputi keterkejutan. Tangannya gemetar sedikit saat ia mengangkat teropong ke mata, lalu menurunkannya perlahan. Nafasnya tercekat.
“Itu... tidak mungkin,” bisiknya.
Pria itu tetap membisu. Sorot matanya terkunci pada satu titik di bawah sana—sosok kurus bersimbah darah yang kini terbaring di tanah berlumpur, masih hidup, meskipun nyaris tak bergerak.
Sosok itu adalah Maelon.
Dan di sekelilingnya, tanah penuh dengan jejak pertempuran, cakar makhluk, dan keheningan yang belum menguap sepenuhnya.
“Entitas itu… kelas-X,” lanjut petugas wanita, suaranya mulai terdengar gentar. “Tidak pernah ada yang kembali hidup dari pertemuan dengan makhluk sejenis itu. Bahkan… tidak pernah ada mayat yang utuh.”
Pria berjas hitam akhirnya bicara. Suaranya tenang, dalam, seperti batu yang jatuh ke dalam sumur kosong.
“Kita saksikan sejarah malam ini.”
Ia melangkah mundur dari tepian tembok. Petugas wanita masih menatap ke bawah, ke arah anak laki-laki yang bahkan tidak tahu bahwa kini ada mata yang memperhatikannya.
“Apa yang akan kita lakukan terhadapnya?” tanyanya pelan.
Pria itu tak menoleh saat menjawab.
“Belum sekarang.”
Dan dengan langkah yang teratur, pria itu menghilang di balik gerbang pengamatan. Meninggalkan malam yang belum selesai, dan seorang anak yang seharusnya telah mati… tapi tidak.
Sinar fajar belum menembus kabut saat Maelon membuka matanya perlahan. Napasnya berat, tubuhnya terasa seperti bongkahan daging yang diseret di atas batu. Darah masih menetes dari luka di pinggangnya, hangat dan lengket.
Dengan tangan gemetar, ia meraih sepotong kain kusam yang diselipkan di sakunya sebelum ia dibuang keluar gerbang—kain itu diberikan oleh seorang penjaga wanita yang diam-diam memberinya secercah simpati di tengah malam.
Sekarang, kain itu menjadi satu-satunya yang bisa ia andalkan.
Ia merobek bagian tengahnya, membungkus luka di pinggang dan mengikatnya erat meskipun rasa perih membuatnya nyaris pingsan. Ujung kain itu basah oleh darah, namun perlahan alirannya melambat. Dengan napas berat, Maelon berdiri. Lututnya bergetar. Setiap langkah seperti pertarungan melawan tubuhnya sendiri. Tapi ia tetap berjalan.
"Aku masih hidup," bisiknya. "Setidaknya… kota itu masih aman."
Kabut telah menipis saat ia mulai menapaki jalan kembali ke gerbang timur. Bebatuan kasar melukai telapak kakinya yang telanjang, tapi ia tak peduli. Ia percaya bahwa setelah apa yang ia hadapi, mereka akan mengizinkannya kembali.
Namun harapan itu dipatahkan begitu cepat.
Gerbang itu tetap tertutup. Para penjaga memandangnya dari atas menara seperti melihat sesuatu yang asing, kotor, dan tak layak dikenali. Seorang pria berjubah besi mengangkat tangannya, memberi isyarat agar pasukan tidak membuka pintu.
“Maelon Herlambang, kau telah tercemar,” suaranya menggema dari atas, tanpa emosi.
“Kami mencium sisa-sisa aura dari entitas kelas-X. Kau berpotensi membahayakan warga.”
“Kembalimu... tidak diizinkan.”
Maelon menengadah, wajahnya ditimpa bayang tembok tinggi yang dingin dan tidak kenal ampun. Ia membuka mulut, mencoba menjelaskan. Bahwa ia hanya umpan. Bahwa ia telah memancing makhluk itu menjauh. Bahwa ia terluka, dan hanya ingin kembali.
Tapi tak ada jawaban.
Satu per satu, para penjaga pergi dari pos pengamatan. Tidak ada belas kasihan. Tidak ada pintu yang terbuka. Kota yang ia lindungi… bahkan tidak mau mengakuinya.
Dan saat itu juga, Maelon berhenti memohon.
Ia berdiri beberapa lama di hadapan gerbang yang tak pernah benar-benar terbuka untuknya. Matanya kering. Bukan karena tak ingin menangis—tapi karena tak ada air mata yang tersisa untuk kota itu.
Ia memutar tubuhnya perlahan, lalu mulai berjalan. Tidak ke kanan, tidak ke kiri. Tapi lurus ke arah yang belum pernah ia lewati—jalan sunyi yang membelah hutan belantara dan reruntuhan, di luar batas dunia yang pernah ia kenal.
“Kalau tidak bisa kembali…”
“…maka aku akan terus berjalan.”
Dengan napas berat dan tubuh luka, Maelon menjelajah. Tanpa peta. Tanpa arah.
Tapi untuk pertama kalinya, ia bebas dari tembok. Dan itu berarti, dunia akhirnya terbuka untuknya. Atau setidaknya, bagian tergelap dari dunia yang belum ingin ditemukan siapa pun.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!