Gemerlap lampu kristal menggantung anggun di langit-langit ballroom Hotel B Style. Lantunan musik klasik menggema lembut, membalut kemewahan ruangan tersebut. Meja-meja bundar berlapis linen putih bersih berjajar rapi, dihiasi bunga mawar dan anggrek yang menguarkan wangi lembut bercampur parfum mahal para tamu undangan.
Rocky Tanjung berdiri tegak di depan altar. Setelan tuksedo hitamnya sempurna membingkai tubuh tingginya yang atletis. Dagu terangkat, sorot mata tegas, dan bibirnya mengatup rapat. Walau tanpa senyum, pria itu tetap terlihat karismatik.
Brigita Saheela datang, langkahnya mantap meski gaun putih gading yang menjuntai panjang menekan geraknya. Di balik veil tipis yang membingkai wajahnya, mata Brigita bersinar.
Ia berdiri di samping Rocky yang kini resmi menjadi suaminya seraya melempar senyum pada para tamu undangan.
"Senyum lah meski hanya sedikit, hargai para tamu undangan yang datang!" bisik Brigita.
"Untuk apa? Pesta pernikahan ini bukan aku yang menginginkan nya, tapi kamu!" balas Rocky mendekat ke telinga Brigita dengan bisikan.
"Setidaknya semua orang di sini tahu bahwa kita saling mencintai,"
"Tapi aku hanya ingin pernikahan yang sederhana, bukan mendatangkan banyak orang seperti ini!"
.
Di sisi aula, empat bridesmaid berdiri anggun, masing-masing mengenakan gaun dusty blue yang seragam. Titi, Sera, Lena, dan Dyandra. Mereka tersenyum—senyum formal untuk para tamu, tapi mata mereka saling bertukar pandang, seakan ada rahasia besar yang tak bisa mereka bagi pada dunia.
“Aku masih nggak habis pikir, kenapa keputusan akhir Brigita harus sampai kayak gini,” bisik Titi, menyikut pelan Dyandra yang berdiri di sebelahnya.
Dyandra menahan tawa sinis. “Dipaksa nikah sama bosnya sendiri. Gila, ya. Padahal kita semua tahu seperti apa seorang Rocky Tanjung itu!"
“Tapi sepertinya Bapak Rocky Tanjung nggak main-main kali ini, apalagi sampai udah mau nikahin perempuan. Di depan publik. Ada harga dirinya di situ,” gumam Titi lirih, matanya mengamati raut wajah pengantin pria yang dingin seperti es kutub.
Lena menoleh ke arah altar. “Tapi kalian lihat sendiri kan, ekspresi Brigita tadi waktu jalan masuk? Kayak terpaksa banget senyumnya.”
“Tunggu aja. Kalau Rocky tahu Brigita belum sepenuhnya nurut, bisa-bisa bulan madunya malah jadi mimpi buruk,” desis Titi, kali ini dengan suara yang lebih kecil.
Sera menyipitkan mata. “Jangan berburuk sangka bisa jadi mungkin itu memang tujuan Pak Rocky dari awal. Mengikat Brigita supaya dia nggak bisa lari ke siapa pun.”
Titi menggeleng pelan. “Rocky bukan cowok biasa. Dia bisa bikin hidup Brigita mewah… atau sebaliknya, jadi penjara emas.”
.
Sambil terus menyalami tamu undangan yang satu persatu naik ke altar, Rocky dan Brigita masih diam tanpa obrolan.
Acara tersebut diadakan malam hari, tidak terlalu formal namun mewah. Tidak ada anak kecil di sana, karena pesta tersebut di khususkan untuk orang dewasa.
Berbagai macam minuman beralkohol ada di sana, tersedia untuk tamu undangan.
Karena geram akhirnya Brigita mengungkapkan isi hatinya.
"Pesta pernikahan dengan konsep seperti ini sungguh aneh, menyediakan minuman beralkohol untuk seluruh tamu undangan?" decaknya kesal.
"Diamlah, lebih baik terus tersenyum agar pesta ini cepat selesai,"
"Kau tidak menginginkan pesta ini tapi konsep nya harus sesuai dengan maumu, aku semakin tidak paham denganmu," ketus Brigita, menahan raut wajahnya agar terus tersenyum.
"Ya, karena bagaimana pun juga semua yang di keluarkan ini adalah uangku!"
Tak ingin menjawab ucapan suaminya, ia memilih memalingkan wajahnya ke sudut lain. Tatapan nya terpaku sejenak melihat pria berbadan tegap dan berkulit putih di ujung sana.
Leo Pratama— mantan suami Brigita Saheela.
"Berhenti menatap mantan suamimu, hargai keberadaanku di sini." ucap Rocky sambil merangkul Brigita kasar.
"Bagaimana pun juga dia ayah dari anakku," jawabnya pelan.
"Eh ayo kita foto dulu," seru Titi memotong percakapan mereka, mengajak teman-teman lainnya mendekat.
Mereka foto bersama di atas altar. Tepat di samping Rocky adalah Dyandra, tangan kirinya memegangi pinggul Dyandra agar mendekat.
Hal itu membuat Dyandra terkejut, tapi tak ingin menganggapnya berlebihan jadi ia hanya bisa diam saja.
Setelah berfoto, Dyandra berdiri di ujung ruangan memandangi foto itu terus menerus. Masih merasakan genggaman Rocky pada pinggulnya.
"Hey, Kak! Lihat apa?" tanya Lena penasaran.
"Ah tidak hanya melihat foto-foto tadi." menunjukan nya pada Lena, namun foto tersebut terfokus hanya pada Rocky.
"Hati-hati, jangan salah tangkap oleh sifat baiknya. Pekerjaanku setiap hari langsung berhubungan dengannya, jadi aku tahu betul seperti apa dia,"
Dyandra mengangguk. Ia memang lebih tua dari pada lainnya, dan statusnya pun masih memiliki suami.
.
Kedua pengantin itu menikmati pesta dengan teman mereka masing-masing. Berjoget dan tertawa atas candaan kecil.
Tanpa terasa waktu pun sudah lewat dari tengah malam. Brigita yang sudah lelah beranjak mencari Rocky untuk mengajaknya ke kamar yang sudah mereka pesan di hotel tersebut.
"Sayang, ayo kita ke kamar aku sudah lelah,"
Rocky hanya meliriknya sekilas kemudian melanjutkan percakapan nya dengan tamu undangan. Tubuhnya sudah di kuasai alkohol.
Tiba-tiba saja Leo mendekat, memberikan jas nya dan di pakaikan ke tubuh Brigita.
"Pakailah, ruangan ini dingin sekali. Minta teman-temanmu mengantarmu ke kamar." ucapnya.
Belum sempat Brigita menjawab, Rocky sudah lebih dulu membalikkan badannya.
Ia tidak terima dengan perhatian Leo yang berlebihan pada istrinya pun memberikan sorot mata yang tajam.
"Jaga jarak, dia bukan lagi istrimu,"
"Benar, tapi apa tidak bisa kau perlakukan dia dengan baik? Kau yang menginginkan dia untuk menjadi pasanganmu, bukan?"
Dua pria tampan itu saling menatap, bola mata mereka menyatu seperti bara api yang siap melahap.
"Aku tahu cara memperlakukan dia, tanpa perlu kau ajari!" ketus Rocky sambil menenggak minuman yang ada di tangan nya.
"Menurutku tidak, mengapa kau nekat menikahinya jika kau tidak cinta? Kau hanya terobsesi saat dia masih bersamaku!!" suara Leo mulai meninggi.
Rocky berdecak kesal.
"Sudahlah, aku tegaskan sekali lagi dia bukan lagi istrimu!" pekik Rocky.
"Dan kau bukan lagi sahabatku!" jawab Leo dengan tegas dan berani.
Setelah itu dia meninggalkan gedung tanpa berbalik badan lagi menatap dua orang yang dulu sangat dekat dengan nya.
Dengan mata yang berkaca-kaca, Brigita menatap kepergian Leo. Ada rasa penyesalanan besar, mengapa hanya karena merasa kesepian dia bertindak bodoh sampai harus bercerai.
"Kali ini aku harus menjaga rumah tanggaku, aku tidak akan lagi bertindak bodoh hanya karena perasaanku. Aku tidak akan berpisah untuk kedua kalinya, aku akan menjadi pribadi yang lebih baik." batin nya dalam hati sambil menahan tangis.
Keadaan tidak bisa kembali, hanya bisa melakukan yang terbaik di masa depan.
"Hey, istriku. Sudah siap melayaniku setelah ini, kau sudah menyalakan api cemburu di tubuhku." ucap Rocky dengan suara paraunya memecah lamunan Brigita.
"Aaarghhh! Rocky, sakit!! Stop it." teriak Brigita yang merintih kesakitan saat berada di kamar.
"No, layani aku dengan baik,"
Pria berkulit eksotis itu terus mendorong tubuh Brigita dengan penuh tenaga. Wajah tampan nya berubah menjadi sangat liar saat di ranjang.
"Sayang, stop!" sekali lagi Brigita merintih.
"Nanti lama-lama kamu akan terbiasa. Aku lebih senang melakukannya dengan keras dan cepat. Make me feel powerful,"
Setelah puas menikmati tubuh istrinya, dia duduk di sofa sambil merokok, menghembuskan asap melalui bibirnya sambil menatap wanita yang baru saja dia nikahi sedang berdiri di depan cermin.
Brigita menatap leher dan d4danya yang di tinggalkan bekas kemerahan dari kecupan Rocky.
"Sebelum menikah, kamu bahkan tidak pernah sekasar ini. Apa ini wujud aslimu?" tanya Brigita yang masih di depan cermin.
Melenggak lenggokan tubuh seksinya, wajah mungil itu terlihat sangat lelah.
"Wujud asli? Kamu pikir aku setan?" jawabnya sambil tertawa berat.
.
.
Keesokan harinya, mereka berdua sudah merencanakan berlibur ke Ubud untuk beberapa hari.
Brigita nampak menggunakan blouse turtle neck untuk menutupi kemerahan yang ada di lehernya. Gayanya selalu keren walau usianya memasuki awal kepala tiga.
Rocky dengan kaos santai dan kacamata hitam yang betengger di hidungnya terlihat menawan.
"Mami, nanti Ken di sana tidur sama Mami kan?" tanya bocah kecil berusia lima tahun.
Kenneth namanya, ia adalah anak Brigita dari pernikahan sebelumnya. Anaknya dengan Leo.
Mendengar pertanyaan itu, Rocky segera menundukan badannya sejajar dengan Ken, sambil berkata. "Ken sudah besar, nanti tidurnya di temani sama Sus Iza saja ya."
Brigita tidak tega dengan keputusan Rocky, namun hal itu juga agar membiasakan anaknya tidur sendiri. Apalagi ini momen nya bulan madu.
Ken mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya.
"Jangan kesal begitu, nanti Papi Rocky belikan mainan. Apapun yang Kenneth mau, Papi akan belikan." ujarnya lagi.
Meski sifatnya keras tapi ia sangat menyayangi Ken seperti anaknya sendiri.
Bujukan itu membuahkan hasil, Ken terlihat senang dengan janji yang di berikan Rocky.
"Kamu sama aku keras, kamu kalau kerja juga selalu jadi atasan yang mengerikan buat bawahan kamu. Tapi aku tidak menyangka kamu sangat perhatian pada Ken," sahut Brigita.
"Sifatku memang seperti itu kan, bukan berarti aku tidak mencintai kamu dan Kenneth,"
Mereka melanjutkan langkah kaki yang sempat terhenti di lorong bandara sambil berpegangan tangan.
.
Villa pribadi di Ubud itu dikelilingi kesunyian. Hanya suara alam, desir angin, dan rintik hujan tipis di luar kaca jendela besar. Di dalam, lilin-lilin kecil menyala temaram, menyinari kamar pengantin yang seharusnya terasa hangat. Tapi tidak malam ini.
Pintu kamar terbuka. Rocky masuk dengan kemeja putih yang tidak dikancingkan sempurna. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam.
Ia baru saja menemani Ken di kamarnya sampai bocah itu tertidur.
“Akhirnya cuma kita berdua,” katanya pelan, mendekat, seperti pemburu yang menghampiri buruannya. “Kita bisa menghabiskan malam berdua sekarang, Brigita.”
Brigita menelan ludah. “Rocky, aku...”
“Aku nggak butuh alasan. Kita sudah menikah. Artinya, kamu milikku sepenuhnya. Kapanpun aku mau kamu harus melayaniku.” potongnya cepat, tangannya mengangkat dagu Brigita agar menatapnya. “Kamu tahu itu, kan?”
Brigita ingin bicara, ingin menjelaskan bahwa dia belum siap melakukan nya lagi. Tapi matanya membacakan yang tidak bisa diucapkan bibir. Takut.
Rocky menekan tubuhnya ke kasur, gerakannya cepat dan penuh kuasa. Ciumannya tidak lembut. Cengkeramannya di pergelangan tangan Brigita menyakitkan. Ia tidak mencari kenyamanan tapi ia hanya sekedar melampiaskan hasrat saja.
“Sayang… pelan… aku nggak…” Brigita mencoba menarik napas, tapi tubuhnya kaku.
Tapi Rocky tidak berhenti. Ia tidak marah, tidak berteriak yang membuat segalanya justru makin mengerikan. Ia tersenyum. Senyum yang dingin dan sulit di artikan.
“Kamu harus terbiasa, Sayangku. Karena mulai sekarang, nggak boleh ada penolakan dengan apapun kemauanku.”
Malam itu panjang. Brigita menangis dalam diam. Tubuhnya bergetar, bukan karena dingin, tapi karena luka yang tidak terlihat, luka yang hanya bisa dirasakan perempuan yang disetubuhi seperti tanpa cinta, tanpa keinginan.
Dan ketika pagi menjelang, Rocky tidur dengan tenang di sisinya. Seolah tak ada yang salah. Seolah dia baru saja melakukan kewajiban sebagai suami.
.
Waktunya sarapan tiba, Brigita dan Ken sudah ada di meja makan.
Ken sedang di suapi oleh pengasuhnya, umur Sus Iza terhitung masih cukup muda. Membuatnya lebih mudah menjalin komunikasi dengan Brigita.
Tak lama kemudian Rocky keluar dari kamar masih menggunakan baju tidur semalam.
"Papi ayo sarapan," seru Ken.
Rocky mendekat ke arah Ken dan mengecup ujung kepalanya. Beralih ke Brigita, melakukan hal yang sama pula. Kecupan hangat di kening wanita cantik itu.
Kring!
Kring!
Ponsel Brigita berdering di tengah waktu sarapan mereka.
Nama yang tertera di layar ponsel itu adalah Leo. Jelas mereka masih berkomunikasi, semua demi Kenneth.
"Ken, Papi Leo telepon nih. Pasti kangen sama Ken, angkat ya," Brigita menyerahkan ponselnya pada Ken.
Bocah menggemaskan itu menekan tombol hijau, panggilan video dari ponsel menunjukan jelas wajah ayahnya yang teduh.
Leo: "Hai, good morning anak Papi."
^^^Ken: "Papi Leo, Ken lagi sarapan ini pakai omelet."^^^
Leo: "Ken happy ya di sana?"
^^^Ken: "Happy, habis ini mau jalan-jalan..."^^^
Rocky berdehem berbarengan dengan obrolan mereka. Seolah tahu apa yang di maksud oleh suaminya, Brigita segera mengambil ponselnya dari tangan Ken.
"Sudah ya, lanjutkan sarapan dulu. Nanti kita telepon Papi lagi, oke?"
Ken mengangguk.
"Za, ajak Ken main di halaman depan dulu ya habis ini." titah Brigita.
Sus Iza membawa Ken melanjutkan sarapan nya di luar, tidak harus dengan bujukan keras karena Ken pasti akan mau.
Setelah hanya ada mereka berdua, Brigita membuka obrolan.
"Sayang, maaf. Mau bagaimana pun juga aku tidak bisa berhenti komunikasi dengan Leo. Ken tetap anaknya, dan Ken butuh Papi nya juga,"
"Ketika Ken sudah menyayangiku nanti dia pasti akan lupa dengan ayahnya. Aku lebih baik dari Leo, selama kalian menikah bukankah dia lebih sibuk dengan pekerjaan nya? Mengapa sekarang berubah perhatian?" papar Rocky dengan penekanan.
"Aku memang kasar saat berhubungan b4dan denganmu. Aku memang kasar saat bicara, tapi aku pastikan padamu bahwa aku kepala keluarga yang bertanggung jawab!"
Mendengar penjelasan suaminya, Brigita mencoba sedikit mengerti bahwa sifat Rocky dan Leo sangat berbeda jauh.
Leo memang lebih halus saat bicara, tapi bukan berarti pernikahan mereka dahulu baik-baik saja.
"Tapi, dengan Rocky aku seperti di permainkan. Permainan tarik ulur. Sifatnya sulit di tebak, kadang sangat perhatian kadang begitu dingin," batin Brigita.
Lagi-lagi batin nya bergejolak, tapi tidak bisa di ungkapkan.
Kring!
Kali ini ponsel Rocky yang berdering.
Brigita lebih dulu menatap layar ponsel suaminya, nama sahabatnya tertera di sana. Dyandra.
"Sepagi ini Dyandra menelponmu?" tanya Brigita penasaran.
"Apa yang aneh, dia bawahanku juga sama sepertimu. Baru sehari menikah denganku membuatmu lupa siapa aku?" sambil mengambil ponsel dan menerima panggilan telepon itu.
Brigita mendengarkan percakapan mereka dengan jelas, pikirnya memang tidak ada yang aneh. Semua hanya tentang pekerjaan.
"Oke baiklah, saya akan kembali lusa. Jadi siapkan saja semua berkas yang perlu saya tanda tangani," ucap Rocky sebelum menutup telepon.
Rocky kembali duduk dan melanjutkan makan nya. Dia menatap Brigita dengan tatapan tajam.
"Setelah liburan ini kita akan kembali bekerja, menikah denganku bukan berarti kamu di spesialkan. Tetaplah profesional sebagai karyawan," ucapnya.
.
.
Tiga hari lamanya mereka habiskan di Ubud, hanya bepergian ke tempat-tempat wisata dan mengabadikan momen kebersamaan mereka.
Rocky terlihat sangat dekat dengan Ken, foto mereka bersama lebih banyak dari pada foto Rocky dan Brigita.
Hari ini adalah hari kepulangan mereka untuk mempersiapkan diri esok. Kembali ke rutinitas bekerja mereka yang memakan banyak waktu.
Teratai Residence
Jakarta menyambut mereka dengan langit abu-abu dan deru kendaraan yang tak kenal lelah. Tak ada aroma bunga tropis seperti di Ubud, tak ada gemericik air kolam pribadi.
"Tolong buatkan aku secangkir kopi pahit," perintah Rocky.
Brigita segera membuatkannya. Kemudian meletakkan di sisi kanan suaminya.
"Sayang, kamu nggak istirahat dulu? Harus langsung kerja gini?" ucapnya seraya memeluk suaminya dari belakang. Punggung besar itu terasa hangat dan nyaman.
"Mr Chris tidak akan memberikanku jeda panjang untuk beristirahat. Empat Lounge yang mana ada satu hotel sejujurnya membuatku kewalahan mengelolanya,"
Baru kali ini Brigita mendengar keluhan suaminya. Dia mengambil kesimpulan sendiri bahwa tekanan kerja suaminya begitu berat sehingga membuatnya menjadi pribadi yang keras.
"Mau aku bantu buat kamu lebih relaks? Aku pijit di bagian sini ya," tangan halusnya mulai menyentuh pundak Rocky.
Terasa nikmat hingga pria tampan itu mendes4h sambil memejamkan mata. Ia juga menarik tangan Brigita dan menciuminya.
Malam telah berganti pagi...
Brigita menatap ke luar jendela kamar, masih mengenakan kaus tipis dan celana tidur saat Rocky keluar dari kamar mandi, handuk di bahunya. Aroma sabun dan parfum maskulin memenuhi ruangan.
"Hari ini aku ada meeting di Seo Lounge, kamu nanti siang berangkat sendiri ya. Pakai saja mobilku yang hitam,"
"Sampai ketemu nanti, Sayang." Brigita loncat menciumi suaminya.
Setelah suaminya berangkat, ia bergegas menata keperluan Ken. Menyiapkan makan siang dan bersiap untuk berangkat ke tempat kerjanya.
Untuk pertama kalinya dia mengendarai mobil mewah bermerk Mercedes Benz warna hitam.
.
"Wih nyonya Rocky akhirnya masuk kerja juga," sindir Titi.
Brigita tahu itu hanya candaan, meskipun sedikit menyinggung perasaannya.
"Nyonya terkait event akhir bulan nanti apakah sudah selesai proposalnya?" lagi-lagi Titi melontarkan candaan yang menyakitkan.
Sebagai kepala divisi Marketing memang sudah tugasnya mengingatkan tapi seperti ada maksud terselubung di balik candaan itu.
Seolah tak ingin memperkeruh suasana, Brigita hanya tersenyum sambil mempersiapkan pekerjaannya. Ruangan meeting di lantai satu adalah tempat karyawan berkumpul.
"Hey, akhirnya masuk kerja juga. Aku sudah rindu sekali," seru Dyandra.
Dia menghampiri Brigita dan mereka berpelukan.
Menjelang pukul empat sore, pintu masuk otomatis terbuka dan Rocky melangkah masuk dengan setelan jas abu-abu gelap, rambutnya tersisir rapi, dan raut wajah yang menunjukkan ia datang dengan beban penuh di kepalanya.
Brigita spontan berdiri dari kursinya. Tapi Rocky bahkan tak melirik ke arahnya.
Pria itu langsung berjalan melewati tempat istrinya duduk, lalu berhenti tepat di depan Dyandra yang berdiri dengan map biru di tangan.
Dyandra menyambutnya dengan senyum tipis, wajahnya seolah langsung berubah dari staf biasa menjadi bawahan paling siap sedia.
“Dy, ke ruanganku. Bawa semua laporan minggu ini,” ucap Rocky tegas tanpa jeda.
“Siap, Pak,” jawab Dyandra cepat, lalu menyusul Rocky yang sudah berjalan lebih dulu ke arah tangga.
Brigita hanya bisa berdiri diam. Ia tak tahu mana yang lebih menyakitkan: sikap dingin suaminya, atau tatapan cepat nan penuh kode yang tadi sekilas terjadi antara Rocky dan Dyandra.
Beberapa staf lain mencuri pandang ke arahnya, lalu cepat-cepat mengalihkan mata. Semua orang tahu status barunya. Tapi tak seorang pun berani menanyakan apa pun.
.
.
“Semua data keuangan dari lounge sudah direkap. Termasuk pengeluaran konsumsi VIP untuk pekan ini,” ujarnya sambil meletakkan berkas di meja Rocky.
Rocky mengangguk sekilas. “Baik. Saya periksa setelah ini.”
Dyandra ragu sejenak. Lalu memberanikan diri.
“Pak Rocky…” Ia memandang pria itu hati-hati. “Tadi saya lihat Brigita di bawah. Apa… kalian sedang ada masalah?”
Rocky tidak langsung menjawab. Jemarinya mengetik sesuatu di laptop, lalu menutupnya perlahan.
Ia menatap Dyandra dengan ekspresi datar, tapi matanya tajam. “Kenapa kamu tanya begitu?”
Dyandra menarik napas, mencoba tetap tenang. “Saya hanya… merasa aneh saja. Biasanya pasangan baru menikah itu… hangat. Tapi Bapak tadi bahkan tidak menyapa nya.”
Rocky bersandar di kursinya, menyilangkan tangan di dada. “Saya di sini sebagai direktur, bukan suami. Menikah denganku tidak membuat Brigita dapat perlakuan khusus.”
“Profesional, ya?” Dyandra tersenyum kecil, meski matanya tidak ikut tersenyum.
Rocky mendengus pelan, lalu berdiri dan berjalan ke arah jendela.
“Brigita tahu konsekuensi menikah denganku,” ucapnya pelan tapi tegas. “Dan kamu juga tahu, Dy… aku tidak pernah mencampur urusan pribadi dan pekerjaan. Aku tidak mau orang lain mulai melihat sesuatu yang tidak profesional,"
Dyandra menunduk. “Baik, Pak.”
Dyandra belum benar-benar keluar dari ruangan saat ia menoleh kembali, langkahnya terhenti di ambang pintu.
“Pak Rocky…” katanya pelan, nada suaranya berubah lebih lembut. “Boleh saya tanya sesuatu yang… agak pribadi?”
Rocky menoleh perlahan. “Kamu tahu saya nggak suka pembicaraan pribadi di kantor.”
“Tapi, bisa jadi pembicaraan pribadi membuat kinerja menjadi lebih nyaman kan?"
Rocky menatapnya tajam. “Hati-hati, Dy.”
“Tenang saja,” Dyandra tersenyum tipis, lalu memiringkan kepalanya sedikit. “Saya cuma kasihan. Bayangkan, baru menikah… tapi sudah bersikap seolah-olah istri itu bawahan biasa."
Rocky tidak langsung menjawab. Tapi matanya tidak melepaskan pandangannya dari wajah Dyandra.
Dan Dyandra melihat itu sebagai celah. Ia menyandarkan tubuh ringan di meja Rocky, mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah pria itu.
“Kalau saya jadi istri Bapak…” ucapnya pelan, nyaris berbisik, “Saya nggak akan mengganggu profesionalitas. Tapi… saya juga tahu bagaimana caranya tetap menarik, tanpa harus terlalu terlihat.”
Tatapan Rocky mengeras, tapi rahangnya mengatup kuat. “Dyandra.”
“Ya, Pak?”
“Keluar.”
Tajam. Singkat. Tegas.
Dyandra tersenyum sejenak, lalu berdiri tegak dan merapikan map yang sudah rapi dari tadi.
“Baik, Pak,” katanya manis, tanpa kehilangan pesonanya. “Maaf kalau saya… terlalu lancang. Tapi saya memang suka pria yang sulit didekati.”
Ia berjalan keluar perlahan, membiarkan kata-katanya menggantung di udara seperti parfum yang samar tapi menusuk.
Begitu pintu tertutup, Rocky menarik napas panjang. Lalu menatap layar laptopnya tanpa benar-benar membaca apa pun.
Godaan tidak datang dari luar. Tapi dari orang-orang yang sudah kamu biarkan terlalu dekat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!