"Papa tidak ingin tahu! Pokoknya kamu harus menerima perjodohan ini!" suara bariton itu terdengar begitu menggema- memenuhi seisi ruangan di mansion keluarga besar Haristanto.
Tatapan si kepala keluarga begitu tajam menyoroti putra pertamanya yang terlihat sangat terkejut.
Cakrawala Haristanto namanya.
"Papa apa-apaan sih!? Gak mau! Pokoknya Cakra gak mau di jodohin! Cakra masih mau bebas!" tolaknya tak kalah lantang. Baru kali ini Cakra berani meninggikan suaranya di hadapan sang Papa.
"Tidak ada penolakan! Satu bulan lagi kamu akan papa nikahkan." telak Arya Wiguna Haristanto, yang sontak membuat Cakra semakin dibuat terkejut.
Termasuk sang istri yang sedari tadi hanya menyimak. "Pa! Apa tidak terlalu cepat? Menikah kan butuh persiapan yang sangat matang-"
"Gak mau! Pokoknya Cakra gak mau! Titik!" ucapan Liliana Haristanto- si ibu rumah tangga sekaligus pemilik brand kecantikan terkenal, terpotong oleh teriakan putranya itu.
Tak ingin semakin kelepasan, Cakra berlalu begitu saja membawa emosinya- dengan kedua tangan yang terkepal. Mengabaikan teriakan sang papa yang memerintah nya untuk kembali dengan penuh murka.
"Sudah, Pa. Biarkan dulu Cakra mendinginkan pikirannya. Dia masih sangat terkejut." ucap Liliana menenangkan sembari mengusap sebelah pundak sang suami.
Arya menarik nafas dan menghembuskan nya secara kasar, ia lepas kendali.
Bukan tanpa sebab, pria berusia 50 tahun itu sudah sangat muak dengan perilaku putranya selama ini yang selalu saja bertindak bebas di luaran sana. Padahal dia sudah sering sekali memperingati Cakra untuk jangan coba-coba meminum alkohol apalagi tidur dengan sembarangan wanita.
•
•
"Napa lu?"
Cakra hanya diam saja, tak menggubris pertanyaan sahabatnya yang baru saja tiba, lalu duduk di sampingnya sembari menepuk pundak- kebiasaannya.
Beberapa waktu lalu Cakra menghubungi sahabatnya tersebut untuk datang ke club', sebab ia butuh jalan keluar atas permasalahan yang menimpa nya saat ini. Dan Cakra memilih sahabatnya yang satu ini untuk berbicara- membagi keresahannya.
"Ada masalah apaan?" tanya Demian lagi. Ia tahu sahabatnya ini sedang dalam masalah. Karena hanya saat ada masalah saja Cakra selalu memanggilnya. Dan sekarang saat melihat raut wajahnya yang tidak mengenakkan sudah semakin jelas bahwa Cakra memang sedang tidak baik-baik saja.
Cakra mengusap rambutnya kasar, lalu menutup wajah dengan kedua tangannya sembari bertumpu di kedua lutut. "gue di jodohin," ungkapnya pelan, sarat akan keresahan.
Mendengar perkataan Cakra, Demian sesaat tertegun. Apa? Barusan dia tidak salah mendengar, kan? Tapi rasanya tidak, pendengarannya sedang baik-baik saja.
Satu detik..
Dua detik..
Tiga detik..
Dan di detik berikutnya, sontak Demian tertawa dengan begitu terbahak- tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh seorang Cakrawala.
Cakrawala Haristanto yang dikenal sebagai penakluk wanita di seantero Jakarta Selatan- mau di jodohkan!? Demian sungguh tak mempercayainya.
Demian terlihat puas sekali menertawakan, tanpa menyadari Cakra sudah meliriknya sangat tajam.
Ditengah tawanya, Demian pun menoleh pada Cakra, dan seketika saja tawanya terhenti begitu menyadari tatapan membunuh dari sahabatnya itu.
"Sorry sorry, gue kelepasan hehe.." ringis nya dengan tawa kecil yang ter-patah.
Memutar bola matanya- malas, Cakra kembali menutupi wajahnya sembari menghembuskan nafas jengah.
"Lu ada jalan keluar gak? Gue gak mau di jodohin." Cakra bersuara tanpa merubah posisi.
Sedangkan Demian, sejujurnya ia masih ingin tertawa. Tapi sepertinya, saat ini bukanlah waktu yang pas untuk meledek, ngeri juga kalau sampai di amuk.
Sekali lagi Demian berdeham, "ini jelas bukan masalah biasa, bro. Urusannya udah sama ortu lu."
Mendengar itu Cakra menghela nafas kasar. "please, bantu nyari jalan keluar. Kalo lu bisa bantu, gue bakal kasih salah satu koleksi mobil gue buat lu."
Demian terkejut. "Seriusan lu!? Dah ah gak usah becanda. Gue tau mobil-mobil itu kesayangannya lu semua, rasanya mustahil banget elu mau ngelepasin salah satu mobil lu itu hanya untuk permasalahan sepele gini."
"Sepele lu bilang? Ini menyangkut masa depan gue. Gue gak mau nikah sama perempuan yang gak gue suka. Apalagi yang mau di jodohin sama gue, gue gak tau orangnya kayak gimana?" ujar Cakra sewot, sambil melirik Demian tajam- lagi.
"Calm bro, calm. Kalo menurut gue sih, lu temuin dulu aja orangnya. Kalo sekiranya cocok, gas aja kawinin."
"Kawin kawin, lu kira kucing apa!?"
"Dih, gak nyadar apa? Kelakuan lu kan selama ini emang kek kucing garong. Kawin sana kawin sini."
Cakra tak menggubris ledekan Demian, karena yang dikatakan memang tidak salah. "Intinya gue belum mau nikah!"
"Emangnya kenapa dah? Kawin kan enak, apalagi sama istri, halal."
"Lu bisa bantu kagak? Kalo enggak, pulang aja sana!"
"Oke oke, sorry. Gue pikirin dulu."
Mengacak rambutnya kasar, Cakra menyandarkan punggungnya menatap lampu disko di atas sana. "gue serius, kalo lu bisa bantu bakalan gue kasih satu mobil gue. Bebas mau pilih yang mana."
Sejujurnya dalam hati, Demian sudah kesenangan. Karena memang ada salah satu mobil sport milik Cakra yang sangat dia inginkan.
Bukannya Demian tak mampu membeli. Keluarganya juga termasuk golongan konglomerat, setara dengan keluarga Haristanto. Hanya saja mobil-mobil milik Cakra semuanya termasuk limited edition, dan ketika Demian ingin membeli selalu saja kehabisan stok.
"Oke, gue bantu cari jalan keluar. Abis itu gue bakalan tagih ucapan lu. Deal ya?"
Cakra hanya berdeham sebagai jawaban, lalu menutup matanya saat merasa sedikit tenang.
Sedangkan Demian sudah sibuk dengan pikirannya. Jalan keluar apa yang sekiranya sangat membantu untuk permasalahan manusia di sampingnya ini.
Beberapa menit berlalu, Demian masih berkutat dengan pikirannya. Sedangkan Cakra sudah merasakan jenuh. Tiga gelas whisky sudah habis di teguk nya, tapi Demian masih belum juga bersuara.
"Aha! Gue ada ide!" celetuk Demian. Reflek membuat Cakra terduduk tegak.
"Apa!? Apa!? Cepet bilang!" titah Cakra rusuh.
"Sabar- elaah, gue harus jelasinnya secara terperinci."
"Bacot! Buruan dah jelasin aja intinya."
Demian memutar bola matanya kesal. "Oke, jalan keluarnya adalah... Lu kabur aja! Gimana? Jalan keluarnya bagus kan?"
"Sialan." celetuk Cakra, kesal.
"Lah? Kok sialan? Menurut gue kabur adalah jalan terbaik untuk menghindari perjodohan. Lu bisa kabur kemana aja, ke luar negri kek, kemana kek."
"Lu lupa bokap gue siapa?" tanya Cakra datar.
"Tau lah, bokap lu kan yang punya perusahaan terbesar di Asia tenggara."
"Dan lu kira bokap gue bakalan gak bisa gitu lacak keberadaan gue?"
Demian kicep. Ia tidak berpikir sampai kesana karena otaknya sudah dipenuhi oleh mobil-mobil mewah milik Cakra. "iya juga ya, lupa gue," cicit nya cengengesan.
Cakra menubrukkan kembali punggungnya pada sofa. Sepertinya ia sudah salah memanggil sahabatnya yang satu ini.
Demian sendiri memutar otaknya lagi sembari menahan dagu. "Mmm.. Gimana kalo lu kaburnya ke Bandung aja." celetuk Demian lagi.
Cakra tidak menggubris, membiarkan saja Demian ingin berkata apa. Terserah saja, pikirnya.
Karena tak mendapat tanggapan, Demian pun melanjutkan ucapannya, "jadi gini, bokap gue punya vila kecil di daerah Bandung, pelosok banget lokasinya. Dan yang tau vila itu cuma keluarga inti gue. Lu sembunyi dulu aja di sana, dan urusan bokap lu biar bokap gue yang urus, gimana?"
Mendengar perkataan Demian, Cakra pun menegakkan kembali punggungnya.
Cakra menimang sebelum akhirnya menyetujui. "Oke, ide lu kali ini bisa diterima," responnya. "tapi bokap lu mau gak bantuin gue? dia kan sahabatan sama bokap gue."
"Udah, lu tenang aja. Urusan bokap gue biar gue sendiri yang urus." Demian menepuk dadanya beberapa kali, merasakan bangga karena sudah berhasil memberikan jalan keluar.
Cakra geleng-geleng kepala melihatnya. "Jadi, kapan gue harus kabur kesana?"
"Nanti aja kalo udah di nikahin." celetuk Demian, terkikik.
Sabar.. Sabar.. Cakra men-sugesti pikirannya untuk tidak marah. Jangan sampai ia kelepasan menarik sahabatnya ini dan melemparkannya ke lantai dasar dari balkon lantai 5 diskotik ini.
"Maaf, maaf," ucap Demian di sela tawanya.
Senang sekali melihat wajah kesal seorang Cakra, karena biasanya yang selalu membuat kesal orang lain adalah Cakra- termasuk pada dirinya. "lu bisa kabur kapan aja. Kalo bisa ya, besok. Takutnya lu keburu di kurung terus di kawinin paksa sama ortu lu."
"Serius, nyet!" kesalnya, tapi tak urung pikirannya memilah-milah kapan sekiranya waktu yang pas untuk kabur.
"Besok! Kita kesana besok!" putus Cakra akhirnya. Reflek membuat Demian menghentikan aksi jahilnya.
"Kita? Lu aja sendiri sana. Yang punya masalah kan elu bukan gue." ujar Demian yang selalu saja berhasil memancing kekesalan Cakra. Kalau membun*h di perbolehkan, sudah Cakra cekik manusia satu ini.
"Mau gak mobil gue? Kalo gak mau ya terserah, bisa gue kasih sama yang lain."
Demian memutar bola matanya seraya berdecak sebal. "Ok ok, kita kesana besok! Puas lu!?"
"Anak baik." Cakra tersenyum puas, tangannya mengelus rambut Demian layaknya memperlakukan anak kecil- yang langsung ditepis pemuda itu dengan ekspresi dongkol.
TBC
Deru mesin motor yang terdengar berhenti- mengalihkan perhatian seorang satpam yang sedang berjaga.
Dilihatnya seorang gadis yang tengah turun dari motor dengan di bantu oleh si pria yang sepertinya tukang ojek dengan sedikit kesusahan.
"Hati-hati neng, ini kruk nya," tukang ojek itu membantu meletakkan dua alat bantu jalan di antara kedua ketiak si gadis.
"Makasih ya mang. Ini ongkosnya." gadis itu tersenyum tulus sembari mengulurkan uang pecahan dua puluh ribu yang sudah dilipat.
"Siap, neng. Makasih ya. Kalo gitu mamang duluan."
"Iya mang, makasih sekali lagi." yang di iyakan oleh si tukang ojek itu, lalu menaiki motornya dan melajukan kembali meninggalkan si gadis yang kini berdiri di hadapan sebuah vila mewah.
Satpam yang sedari tadi memperhatikan langsung menghampiri gadis tersebut dengan tersenyum ramah. "Neng Hanum? Gimana kabarnya? Kakinya udah baikan?" tanyanya sambil mengotak-atik gembok lalu mendorong gerbang yang menjulang tinggi tersebut.
"Assalamualaikum mang Ujang. Alhamdulillah udah gak sakit lagi." jawab si gadis sembari menyalimi satpam setangah baya tersebut dengan sopan.
"Eh iya wa'alaikumsalam.." pak satpam terkekeh.
Hanum Nurhaliza, namanya. Usianya 19 tahun, dan orang-orang biasa memanggilnya Hanum.
"Ayo masuk, Bu Ningsih udah kangen banget kayaknya sama neng, nanyain mulu sama bapak selama Eneng gak ada." jelas pak Ujang.
Hanum tertawa kecil mendengarnya. Padahal selama tidak masuk bekerja selama satu Minggu, Bu Ningsih- selaku pengurus kepercayaan pemilik vila tersebut selalu menghubunginya lewat telepon.
"Padahal kita telponan mulu, pak." kekeh Hanum.
"Kayak gak tau aja Bu Ningsih kek gimana, Num."
Keduanya pun berjalan menuju vila. Pak Ujang membantu memapah Hanum agar tidak terlalu kesusahan berjalan dengan satu kakinya itu.
Ya, Hanum hanya memiliki satu kaki- sekarang. Akibat kecelakaan 3 tahun lalu, kaki kiri Hanum terpaksa harus di amputasi sampai paha karena terputus oleh body mobil yang menajam- yang mana disaat kejadian, bagian kiri mobil yang di tumpangi nya di seruduk oleh truk pengangkut BBM yang mengalami rem blong.
Tak hanya kehilangan satu kakinya, akibat kecelakaan itu pula Hanum juga harus kehilangan ayah, ibu, serta adik perempuan satu-satunya. Peristiwa na'as saat itu sudah mengambil orang-orang yang Hanum sayangi.
Dan sekarang, Hanum hanya tinggal sendiri, tak ada keluarga yang bisa ia jadikan tempat pulang. Paman dan bibinya kabur entah kemana setelah mengambil semua tabungan orang tuanya yang berjumlah sangat banyak, sangat cukup untuk keberlangsungan hidup Hanum sampai dewasa nanti- jika masih ada.
Namun sayang, semuanya sudah raib di bawa kabur oleh adik serta adik ipar ayahnya. Untung saja rumah yang orang tuanya tinggalkan tidak di ambil juga. Dan itu masih baik, daripada Hanum tidak punya rumah sama sekali. Soal uang masih bisa Hanum cari walaupun keadaannya sekarang seperti ini.
Kembali saat ini.
Sesampainya di teras, pintu vila sudah dibuka terlebih dahulu oleh seseorang sebelum sempat pak Ujang membukanya.
"Assalamualaikum Bu." Hanum tersenyum sumringah saat melihat orang itu yang tak lain adalah Bu Ningsih, lantas menyalimi Bu Ningsih dengan segera.
"Wa'alaikumsalam, Hanum? Ya Allah, nak, ibu kangen banget. Gimana kabarnya? Kakinya udah sembuh belum? Ayo ayo masuk dulu," Bu Ningsih refleks memeluk Hanum cepat, lalu melepasnya dan mengajaknya masuk.
"Saya balik ke pos ya, Bu." ucap pak Ujang yang merasa harus kembali ke tempat.
Sontak Bu Ningsih dan Hanum memutar kepala, "eh, Jang, gak mau ngopi dulu?"
"Nanti aja Bu agak siangan."
"Oh ya udah. Selamat bekerja ya." yang di anggukki oleh pak Ujang, kemudian berlalu kembali ke pos.
Sedangkan Bu Ningsih kembali memapah Hanum menuju ruang tengah dan membantu mendudukkan-nya di sofa. "Bentar ya, ibu ambilkan minum dulu. Kamu pasti haus."
"Eh gak usah Bu, Hanum bukan tamu, nanti Hanum ambil sendiri aja." larangnya segera menahan tangan Bu Ningsih yang hendak pergi.
"Gapapa, cuman air kok, kamu jangan banyak jalan dulu." ujar Bu Ningsih tersenyum keibuan sambil mengelus punggung tangan Hanum dengan sayang. "Ibu tinggal dulu ya."
Hanum akhirnya mengangguk saja, memperhatikan Bu Ningsih yang berlalu pergi ke dapur.
Setelah tak terlihat, fokus Hanum tertuju pada pajangan-pajangan mewah yang tertata dengan begitu rapih.
Walaupun Hanum sudah bekerja selama satu tahun di vila ini, tetap saja Hanum selalu terpukau ketika melihat pajangan-pajangan disini.
Tentu tak terlewat juga dari pandangan Hanum foto-foto pemilik vila yang tersusun rapi di dinding bersama anggota keluarganya.
Mengenai pemilik vila, Hanum juga baru mengenal wajah-wajah mereka dari foto-foto itu. Untuk bertemu secara langsung, Hanum belum pernah selama ia bekerja di sini. Karena keluarga pemilik tempat ini sangat sibuk dan jarang sekali berkunjung.
"Di minum dulu," kedatangan Bu Ningsih mengalihkan perhatian Hanum dari foto-foto itu. Lantas Bu Ningsih mengulurkan gelas yang berisi jus jeruk.
"Iya Bu, makasih ya. Hanum minum," Hanum tersenyum seraya menerimanya. Lalu meneguknya beberapa kali.
"Gimana kaki kamu? Masih sakit?" Bu Ningsih melirik punggung kaki Hanum yang masih di balut perban.
Satu Minggu lalu Hanum tak sengaja menginjak pecahan gelas yang jatuh karena tersenggol oleh dirinya sendiri di meja makan. Akibatnya telapak kakinya berdarah lumayan banyak karena lukanya cukup lebar. Bu Ningsih pun akhirnya memaksa Hanum untuk libur dulu, dan Hanum hanya bisa mengiyakan karena menolak pun tidak di tanggapi.
"Udah gak sakit kok, Bu. Cuman Hanum belum berani buka perbannya kalo pergi kemana-mana."
"Mmm iya, tapi itu perban baru kan?" tanyanya, padahal sudah terlihat jelas perban nya masih putih bersih.
"Iya Bu, udah di ganti sebelum kesini."
Bu Ningsih mengangguk saja sebagai respon. "Padahal mah, kamu gak usah kerja dulu. Istirahat dulu aja beberapa hari lagi." katanya. Padahal sejujurnya ia sudah sangat merindukan gadis tersebut yang sudah ia anggap seperti putrinya sendiri.
"Gapapa Bu. Lagian Hanum bosen kalo gak ngapa-ngapain. Mending Hanum kerja aja, lagian kerjaan Hanum cuman bersih-bersih doang."
"Ya udah, terserah kamu aja, Num. Tapi nanti kalo telapak kaki kamu sakit lagi, ngomong aja ya. Jangan dipaksain kerja." titahnya khas seorang ibu yang sedang menasehati anaknya.
"Iya Bu. Hanum pasti ngomong." angguk Hanum seraya tertawa kecil. "Sekarang Hanum harus ngerjain apa, Bu?" tanyanya menyapu ruangan ini yang terlihat sudah bersih.
"Kamu lap lap aja pajangan-pajangan di sana. Gak usah nyapu sama pel, soalnya udah beres sama ibu."
Hanum terperangah, "lah, kok udah Bu? Itu kan tugas Hanum."
"Gapapa, lagian- eh ibu belum ngasih tau ya!?" Bu Ningsih baru teringat akan sesuatu dan lupa memberi tahu Hanum soal itu.
"Ada apa Bu?"
"Itu, Num. Besok katanya den Iyan mau kesini sama temennya. Kamu tau kan den Iyan?"
Sesaat Hanum terkejut, jantungnya tiba-tiba berdegup sedikit cepat. Bukan karena apa, Hanum rasanya hanya belum siap saja bertemu dengan pemilik vila ini. Apalagi majikan muda yang biasa Bu Ningsih panggil den Iyan itu, kata pak Ujang orangnya galak.
"Kenapa Num?" tanya Bu Ningsih melihat Hanum malah terdiam.
Lantas Hanum tersadar dari pikirannya. "Ah engga, Bu. Cuman terkejut aja. Iya, Hanum tau kok."
Entah kenapa Bu Ningsih malah senyum-senyum tidak jelas melihat perilaku Hanum. Dan Hanum yang menyadari tatapan aneh Bu Ningsih langsung terheran-heran. " Kenapa Bu?"
"Ngomong-ngomong den Iyan ganteng, ya, Num." celetuk Bu Ningsih, membuat Hanum tersedak ludahnya sendiri.
"Ya iya Bu, di foto kan den Iyan emang ganteng." respon Hanum biasa saja.
"Gak tertarik gitu? Dilihat-lihat kamu cocok juga sama den Iyan." celetuk nya lagi seraya tertawa kecil.
Lagi, Hanum tersedak ludahnya sendiri. Lantas ia meraih gelas dan meminumnya untuk melegakan tenggorokannya yang terasa mengganjal. Sedangkan Bu Ningsih masih tertawa, merasa lucu melihat wajah Hanum yang sudah memerah.
"Ibu jangan aneh-aneh deh. Lagian den Iyan itu majikannya Hanum. Gak cocok banget!" kilah nya.
Sejujurnya, Hanum memang sedikit memiliki rasa ketertarikan terhadap tuan muda pemilik vila ini walaupun baru melihat rupanya dari foto. Tapi hanya sedikit, tidak lebih dari itu. Lagian Hanum tahu diri juga, pria mana yang mau menerimanya dalam keadaan cacat seperti ini. Hanya dalam mimpi, mungkin?
"Loh, kata siapa gak cocok? Kamu cantik, den Iyan ganteng. Kalian bakal serasi kalo jadi pasangan."
"Buuuu..." Hanum merajuk. Dan Bu Ningsih pun memilih berhenti menggodanya lagi masih dengan tawa kecilnya.
"Maaf maaf, ibu cuma becanda kok." kekeh nya. Sedangkan Hanum masih cemberut. Bukan karena kesal tapi malu lebih tepatnya.
"Kalo gitu Hanum mau langsung bersih-bersih ya Bu. Makasih minumnya. Biar nanti Hanum sendiri yang cuci gelas kotornya."
"Gak usah, biar ibu aja."
"Bu.."
Bu Ningsih memilih mengangguk. "Ya udah terserah kamu aja. Kalo gitu ibu juga mau ke belakang ya, masih ada rumput liar yang harus ibu cabut." ujarnya. "Kalo kamu bosen, susul ibu aja kesana ya. Tapi hati-hati jalannya."
Hanum hanya mengangguk seraya tersenyum sebagai tanggapan. Lantas Bu Ningsih berlalu meninggalkan Hanum- yang juga sudah bersiap untuk mulai bekerja.
"Semangat Hanum! Masa depan kamu masih panjang! Jadi jangan pernah mengeluh apapun keadaan kamu saat ini." ucap Hanum semangat sembari mengacungkan kepalan tangan kanannya menyemangati dirinya sendiri. Tanpa menyadari Bu Ningsih tengah melihatnya dari balik dinding sembari tersenyum tulus khas seorang ibu.
"Ibu harap kamu segera menemukan seseorang yang mau menerima keadaan kamu apa adanya, Num." harapnya lirih.
Tiiiin.... Tiiiin... Tiiiin...
Suara klakson mobil yang di tekan beberapa kali terdengar begitu memekakkan telinga. Mengganggu kegiatan pak Ujang yang sedang fokus menonton sinetron dari televisi tabung yang tergantung di dinding.
Dilihatnya kedatangan sebuah mobil trip berwarna merah gelap, yang sepertinya tengah meminta untuk dibukakan pintu gerbang.
"Yuhuuuu pak Ujaaaang... I'm comiiiiing... Please, open the door!" teriak si pemilik mobil yang menyembulkan kepalanya dari sela kaca mobil yang terbuka.
Karena penasaran dan merasa terganggu juga, akhirnya pak Ujang pun menghampirinya tanpa ada niatan untuk membuka gerbang. "Siapa ya? Mau nyari siapa!?" tanyanya setengah berteriak.
Orang itu terlihat mengenakan kacamata hitam yang membuat pak Ujang tak mengenali siapa orang itu.
Karena merasa tak di kenali, orang itu pun membuka kacamatanya seraya tersenyum lebar pada pak Ujang yang masih saja tak mengenalinya. "Halo pak Ujang? Masa gak inget sama saya sih? Dulu kan pak Ujang sering banget nyuri pisang di kebun sebelah buat dikasih sama saya?"
Mendengar itu Pak Ujang terperangah, "den Iyan!?" tanyanya memastikan. Ekspresinya terlihat masih tidak percaya melihat orang itu yang masih berada di dalam mobil.
"Hahaha... Seratus buat pak Ujang!" celetuk orang itu tertawa senang.
Pak Ujang langsung tersenyum lebar saat meyakini orang itu adalah tuan muda kecilnya, Demian Hadikusumo.
"Den Iyan!? Masya Allah.." lantas pak Ujang langsung memutar kunci dan membuka gerbang lebar-lebar. "Masuk den, masuk!"
"Oke Pak! Makasih ya!"
Demian, atau yang biasa dipanggil den Iyan itu melajukan kembali mobilnya- membawanya masuk ke halaman vila tersebut yang terlihat luas. Diikuti oleh pak Ujang setelah menutup kembali pintu gerbang serta menguncinya.
"Den Iyan!?" rasa-rasanya pak Ujang masih tak percaya melihat tuan mudanya yang dulu masih kecil- sekarang sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang sangat tampan, persis sekali seperti ayahnya.
Demian keluar dari mobilnya dengan gaya sok kerennya hanya untuk pamer pada pak Ujang bahwa sekarang ia bukan lagi anak kecil. Di susul oleh pria lain lagi yang tak lain adalah Cakra- sahabatnya.
Pak Ujang lantas memeluk Demian begitu erat, menyalurkan kerinduannya karena sudah 10 tahun lamanya tidak bertemu- sejak terakhir mereka berjumpa saat Demian masih kecil, sekitar umur 9 tahun.
Demian terkekeh geli mendengar pria yang sudah dia anggap seperti pamannya itu- terisak kecil. "Kok nangis sih, Pak? Cengeng ya sekarang?" ledeknya. Padahal ia pun sebenarnya ingin menangis juga, tapi sebisanya Demian tahan untuk mempertahankan sikap cool-nya.
"Bocah nakal! Kenapa baru kesini lagi sekarang? Udah lupa ya sama bapak sama Bu Ningsih? hah?" tanyanya setelah melepas pelukannya. Kedua tangannya memegang dua bahu Demian yang sekarang terasa sangat kokoh. Tak seperti dulu yang masih sangat rapuh khas anak kecil.
Jujur, Pak Ujang sedih karena tuan muda kecilnya sekarang sudah berubah menjadi besar.
Mendengar itu Demian terkikik, "ya enggaklah, pak. Masa iya Iyan lupa sama bapak yang suka nyuriin pisang buat Iyan. Iyan juga gak lupa sama bi Ningsih yang suka cebokin Iyan waktu kecil."
"Dih, najis!"
Celetukan seseorang mengalihkan perhatian keduanya. Cakra, pria itu memutar bola matanya saat bersiborok dengan Demian. Dia yang sedari tadi menyimak, merasa jijik mendengar kalimat terakhir yang terlontar dari bibir sahabatnya ini.
Demian sendiri hanya terkekeh menanggapinya. "Eh iya, Pak. Sampe lupa. Kenalin, ini sahabat Iyan, namanya Cakra." lalu beralih melirik Cakra, "dan lu, kenalin, ini pak Ujang. Yang jagain vila ini sejak gue masih bocil, dan udah gue anggep kayak om gue sendiri."
"Halo den, saya Ujang, panggil aja pak Ujang." terlebih dahulu pak Ujang mengelap tangan kanannya ke celana sebelum mengulurkannya pada Cakra.
Cakra terheran-heran melihat kelakuan satpam tersebut, namun, tak urung ia segera menerima uluran tangan itu. "Cakra pak, panggil Cakra aja gak usah pake den." responnya sambil melirik sekilas pada Demian bermaksud menyindir, tapi pria satu ini tingkat kepekaan nya memang sangat rendah.
"Ah iya, siap, siap," kekeh pak Ujang. "Ya udah, silahkan masuk den, nak Cakra. Barang bawaan biar saya yang bawa."
"Gak usah, pak. Biar kami aja." tolak Demian.
"Udah gapapa, biar bapak yang bawa."
Mau tak mau Demian mengiyakan saja, lantas mengajak Cakra untuk segera masuk, meninggalkan pak Ujang yang bersiap menurunkan koper.
Demian memencet bel beberapa kali, sebelum akhirnya pintu terbuka dan munculah Bu Ningsih yang terlihat terperangah, persis seperti ekspresi pak Ujang beberapa waktu lalu.
"Masya Allah.. Anak siapa ini?" gumamnya seraya menutup mulut. Matanya bolak-balik melihat kedua pemuda di hadapannya secara bergantian.
Demian dan Cakra yang mendengar gumaman Bu Ningsih tersenyum kecil di buatnya.
"Anaknya pak Hadi yang paling kece se-Bandung raya, Bi." celetuk Demian yang sontak membuat Bu Ningsih terkesima. Sedangkan Cakra melunturkan senyumnya mendengar itu dan melirik Demian sebal.
"Den Iyan!?"
Lagi, panggilan itu sejujurnya terdengar menggelikan di telinga Cakra, tapi Cakra tak berani mengomentarinya disaat-saat seperti ini.
"Seratus buat bibi!" ucap Demian kesenangan.
Tanpa berkata, Bu Ningsih langsung memeluk tuan mudanya itu dengan erat. Wanita berusia 47 tahun itu menangis. Wajar saja, karena dia sudah sangat lama tidak berjumpa dengan tuan mudanya semenjak pindah ke Jakarta 13 tahun lalu.
Kali ini mata Demian berkaca-kaca, sikap sok cool-nya mulai luntur. "Bibi gimana kabarnya? Sehat-sehat kan?" tanyanya ditengah pelukan.
"Alhamdulillah bibi sehat, den. Bibi bakalan selalu sehat sampai bibi liat den Iyan nikah nanti." ucapnya ditengah tangis haru.
Demian mengangguk, "pokoknya bibi harus selalu sehat sampai Iyan punya anak sepuluh ekor suatu hari nanti."
Mendengar itu lantas membuat Bu Ningsih terkekeh seraya menepuk gemas punggung tuan mudanya ini. "Ada-ada aja kamu, den."
Disisi lain, Cakra sudah merasakan jenuh. Sejujurnya ia ikut terharu melihat pertemuan dua manusia di hadapannya ini. Hanya saja setiap mendengar celetukan Demian, selalu saja membuat Cakra sebal.
"Eh maaf, sampe lupa ada den ganteng ini." ucapan Bu Ningsih menarik fokus Cakra.
"Halo, bi, saya Cakra, temennya Demian." Cakra mengulurkan tangannya meraih tangan Bu Ningsih dan menyalimi nya sopan.
"Masya Allah udah ganteng sopan lagi." puji Bu Ningsih membuat Cakra merasa senang."saya bi Ningsih, pengurus vila ini. Panggil aja bibi atau apalah terserah aden."
"Aslinya enggak gitu kok, Bi." Cakra mendelik pada Demian yang dibalas kekehan oleh pria itu.
Bu Ningsih tersenyum melihat interaksi kedua orang ini. Lantas segera mengajak keduanya untuk masuk, lalu mempersilahkannya duduk di sofa ruang tamu.
"Masih sama ya, gak ada yang berubah." Demian memperhatikan setiap sudut ruangan serta barang-barang yang masih sama posisinya, tak berubah sama sekali.
"Iya den, pak Hadi sendiri yang minta supaya barang-barang dan posisinya gak di ubah-ubah."
Demian mengangguk mengerti. Sedangkan Cakra malah sibuk sendiri, celingak-celinguk menatap setiap sudut ruangan dengan ekspresi tak tertarik.
Praaang!!!
Sontak ketiganya tersentak kaget saat tiba-tiba mendengar suara benda kaca yang terjatuh.
"Apa itu, bi?" tanya Demian.
"Gak tau, bibi cek dulu ya." Bu Ningsih segera beranjak menuju dapur. Karena dari arah sana lah suara itu berasal.
"Nak Hanum!?" pekik Bu Ningsih saat melihat Hanum yang sedang berjongkok- tengah memungut pecahan gelas dengan bersusah payah.
"Udah nak, biarin aja! Biar bibi yang bersihkan!" dengan hati-hati Bu Ningsih menghampiri Hanum dan membantunya berdiri.
"Tapi Bu, itu kan Hanum yang pecahin gelasnya." Hanum merasa bersalah, karena lagi-lagi ia mememcahkan gelas di vila ini. Dan Hanum tahu gelas itu harganya mahal.
"Udah gapapa, Hanum pasti gak sengaja kan." ucapnya menenangkan. "Ayo duduk dulu," lalu membantu Hanum duduk di kursi pantry.
"Ada apa, Bi?" kemunculan Demian yang disusul oleh Cakra, jelas saja membuat Hanum terkejut. Reflek Hanum menundukkan wajahnya, tak berani menatap kedua orang itu.
Sebetulnya, sedari tadi Hanum sudah tahu kedatangan dua orang tersebut. Maka dari itu Hanum berinisiatif membuatkan minuman karena dilihatnya Bu Ningsih tengah sibuk temu kangen.
Tapi na'as nya dua gelas minuman itu terjatuh saat Hanum bersusah payah akan membawanya.
"Enggak ada apa-apa kok, den. Ini cuman gelas jatuh aja." jawab Bu Ningsih yang sudah sibuk memungut pecahan gelas itu.
Perhatian Cakra dan Demian malah tertuju pada gadis yang senantiasa menunduk, seolah tidak ingin melihat ke arah mereka. Tapi yang lebih menarik perhatian keduanya adalah kaki gadis itu yang hanya ada ... satu?
"Hai?" sapa Demian. Sedangkan Cakra hanya diam memperhatikan.
Hanum yang merasa disapa semakin menundukkan kepalanya. Ia merasa malu juga takut karena sudah memecahkan gelas dan malah diketahui langsung oleh tuannya.
Karena tak mendapat tanggapan, Demian kembali menyapa seraya mendekati gadis itu. "Halo? Nama kamu siapa?" tanyanya.
"Oh iya, den, kenalin ini nak Hanum. Dia udah kerja disini selama setahun." potong Bu Ningsih menghentikan sebentar aktivitasnya.
Untung saja Bu Ningsih segera bersuara, Hanum merasakan sedikit lega. Sedangkan Demian mengangguk mengiyakan.
"Kenalin, gue Demian. Kamu bisa panggil gue Demian, Iyan atau apalah terserah." ucapnya seraya mengulurkan tangan.
Memberanikan diri, Hanum menerima uluran tangan itu dengan perasaan berdebar. "Ha-Hanum," cicitnya tergagap.
Melihatnya membuat Demian tersenyum kecil. Lucu sekali, pikirnya.
Cakra sendiri sedari tadi fokus sekali menatap Hanum, terutama pada kaki kirinya yang.. buntung?
Jujur saja, saat di detik pertama melihat Hanum, Cakra merasakan ketertarikan pada gadis ini. Tapi saat menyadari gadis itu hanya memiliki satu kaki, rasa tertarik itu seolah langsung lenyap begitu saja.
Bagi Cakra, kesempurnaan tubuh seorang perempuan adalah nomor satu dalam pilihannya.
Demian menyenggol bahu Cakra karena dilihatnya sahabatnya ini malah diam saja memandangi kaki gadis itu. "Napa lu?" tanyanya.
"Ah, engga kok." jawab Cakra saat tersadar dari pikirannya.
"Ya udah kenalan dulu." titah Demian.
Cakra mengangguk saja, lalu mengulurkan tangannya dengan sedikit enggan. "Cakra," ucapnya singkat.
Hanum menerima uluran tangan itu dengan kepala yang masih menunduk. "Hanum," cicitnya.
Cakra langsung menarik tangannya sedikit kasar, membuat Hanum merasa terkejut.
Entahlah, Hanum merasa, pria yang satu ini seperti tidak menyukainya.
Melihat kelakuan sahabatnya, Demian menegurnya dengan cara menepis tangan Cakra sekilas, namun, tak dihiraukan oleh pria itu.
Karena merasakan suasana canggung, Bu Ningsih pun mempersilahkan tuan mudanya bersama temannya itu untuk kembali ke ruang tamu. Dan ia akan membuatkan minuman baru sebelum menyusul.
Selepas kepergian keduanya, Bu Ningsih lantas menghampiri Hanum yang masih setia menunduk. "Kamu gak papa kan?"
"Gak papa kok, Bu." baru kemudian Hanum berani mengangkat wajahnya lalu tersenyum walaupun terlihat di paksakan.
"Ya udah kamu duduk dulu aja disini ya, ibu mau buang gelas ini dulu, terus nanti kita ke depan."
Sejujurnya Hanum ingin menolak, apalagi saat merasa salah satu dari pria itu sepertinya tak menyukainya membuatnya merasa enggan. Tapi Hanum harus tahu diri, dia hanya pekerja di vila ini, jadi sudah seharusnya ikut menyambut si tuan muda bersama temannya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!