NovelToon NovelToon

L'Oubli

Season 1 ; Bab 1 – Sinyal Awal

Murni tersentak bangun oleh suara jeritan menyayat hati… yang ternyata berasal dari mulutnya sendiri. Napasnya terengah-engah, tubuhnya menggigil oleh kengerian dan bajunya basah oleh keringat. Jantungnya berdetak cepat, menumbuk dadanya seperti genderang perang.

Ia masih bisa mencium bau asap. Merasakan panasnya api menjilat kulitnya, disusul rasa sakit luar biasa ketika lidah api mulai menghanguskan sebagian dagingnya.

Ia mengucek mata. Di kamarnya yang gelap dan sunyi, hanya ada suara jam tua di dinding yang berdetak pelan, seperti bisikan kematian. Di luar, hujan turun tipis. Butiran-butiran air menerpa jendela, menempel di sana seolah kenangan yang tak mau pergi.

Mimpi itu. Lagi.

Selalu mimpi itu. Mimpi yang sama — dirinya ada di tengah kobaran api, kedua tangannya diikat rantai raksasa yang membuatnya tak mampu berkutik, mencoba berteriak tapi tak ada suara yang keluar.

Dan selalu, selalu ada satu sosok pria berdiri jauh di balik asap, hanya menatap. Tidak bergerak. Tidak mendekat. Tatapannya kosong, tapi mengandung sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan — semacam… rasa bersalah? Entahlah, tatapan itu mengandung makna yang terlalu dalam untuk dimengerti. Tapi mengapa pria itu tidak menolongnya?

Murni menghela napas panjang dan mencoba kembali tidur. Tapi saat ia memejamkan mata, ponsel usangnya yang sudah nyaris mati itu — yang bahkan tidak punya kartu SIM—bergetar di meja.

Satu kali.

Lalu sekali lagi.

Ia membalikkan badan perlahan, meraih ponsel dengan tangan gemetar.

Ada pesan suara. Tidak ada nomor pengirim. Hanya label: "Dari: Dirimu."

Jantungnya kembali berdetak cepat. Dahinya mengernyit dalam, tanda tidak mengerti.

Dengan ragu, ia menekan tombol putar.

["Murni... kalau kau mendengar ini, jangan ke sana..."]

["Tolong... jangan ke sana! Jangan mencari tahu! Jangan percaya—"]

Lalu sunyi.

Itu adalah suaranya sendiri. Panik, tercekat, seolah sedang berpacu dengan waktu, atau merekam dan mengirimnya terburu-buru secara rahasia.

Lalu ponselnya mati seketika.

Murni menatap layar ponsel yang kini menghitam. Termangu-mangu. Ia tidak ingat pernah merekam pesan itu. Jika ia tidak, lalu siapa? Tapi itu jelas suaranya.

Itu pesan tidak selesai yang dipenuhi kata ‘jangan’. Namun betapa bodoh ‘dirinya’ yang mengirim pesan itu. Bukankah sifat manusia itu semakin dilarang semakin ingin mencoba? Justru karena dikatakan ‘jangan’, berkali-kali pula, Murni merasa ia harus mencari tahu.

Tapi… mencari tahu apa? Mencari tahu ke mana?

---

Murni memandang cermin. Mata hitamnya tampak sayu. Jubah biarawati berwarna kelabu tergantung rapi di lemari, belum disentuh selama dua bulan terakhir. Ia sedang mengambil cuti dari biara dengan alasan “mengurus kesehatan jiwa”, meskipun sebenarnya tak satu pun dari rekan sesama biarawati di biara tahu tentang mimpi itu. Ia tidak pernah menceritakannya pada siapa pun.

Murni sempat berpikir semua itu hanya bentuk trauma, sehingga alam bawah sadarnya melupakan. Namun, pesan yang datang tadi terlalu nyata. Terlalu jelas. Pesan itu baru kali ini datang. Selama ini, selain mimpi buruk yang berulang, ia tak pernah mendapati keganjilan lain.

Yang lebih aneh lagi, saat ia menyalakan kembali ponsel itu setelah mengisi dayanya, sebuah notifikasi masuk — tanpa koneksi internet, tanpa kartu SIM.

[Lokasi GPS terdeteksi. Arahkan ke: Warung Murni – Buka pukul 00.00–03.00.]

Matanya menyipit.

Itu... namanya. Tapi ia tidak pernah mendirikan warung, apalagi tahu tempat semacam itu. Sepengetahuannya, para umat yang dikenalnya di gereja pun tak ada yang memiliki warung bernama sama dengan dirinya. Dan mengapa jam bukanya sangat tidak biasa?

Dengan rasa ingin tahu yang sama besarnya dengan rasa takut, Murni mengenakan mantel, meraih payung, dan keluar ke malam yang sepi.

---

Kota tua seperti memiliki waktu sendiri. Setelah pukul sebelas malam, lampu-lampu jalan mulai redup. Trotoar jadi sunyi. Udara berembus pelan, membawa bau tanah basah dan... sesuatu yang lain — bau arang terbakar. Tapi bukan dari penjual sate.

Tidak ada satu orang pun yang masih berjalan-jalan di tengah malam.

Murni melangkah dengan hati was-was, melirik waspada ke kanan ke kiri, mengikuti GPS yang janggal itu ke sebuah gang kecil yang bahkan tidak muncul di Google Maps.

Akhirnya ia menemukannya.

Di ujung gang, berdiri sebuah bangunan kayu tua dengan papan kayu yang hampir lepas dan tulisan berwarna merah yang nyaris tak terbaca di atasnya: "Warung Murni."

Lampunya temaram kekuningan. Dari cerobong kecil, asap tipis mengepul, menyebar ke udara malam.

Dengan ragu, Murni mendorong pintu.

Suasana di dalam langsung memeluknya dengan aroma kuat rempah, minyak, dan... sesuatu yang lebih tua. Sesuatu yang tidak bisa ia kenali, seperti aroma dupa dan abu hangus.

Di balik meja saji, berdiri seorang pria. Mengenakan apron pudar dan kemeja abu-abu usang yang lengannya digulung hingga siku. Rambut hitamnya sepanjang bahu, sedikit acak-acakan, memberi kesan urakan. Meskipun demikian, tubuhnya tegap, Murni memperkirakan tidak kurang dari 185.

Melihatnya masuk, pria itu menoleh. Wajahnya ternyata sangat tampan, dengan garis rahang tajam yang seperti dibentuk dengan pisau pemahat ahli. Apron pudar dan kemeja usang tidak memudarkan ketampanannya. Matanya sangat hitam, memberi aura misterius. Tatapannya tanpa emosi, tapi terasa tidak asing.

Seolah-olah dia—

Pria dalam mimpinya.

Sosok yang berdiri di sana, memandangnya tanpa melakukan apa-apa. Sorot mata yang sama. Aura yang sama.

"Selamat datang," pria itu mengucapkan kata sambutan. Suaranya dalam, seolah datang dari sumur tua. "Silakan duduk."

Murni hanya berdiri di ambang pintu, membeku.

"Namamu...?" pria itu bertanya.

"Murni," ia menjawab akhirnya. Suaranya sendiri terdengar asing, bergetar, entah karena emosi apa.

Senyum tipis terbit di wajah pria itu. "Tentu saja."

Murni melirik pelat nama yang tersemat di dada pria itu. Mahanta. Sepertinya dia koki atau pemilik warung ini?

Murni duduk di salah satu kursi, masih waspada. Mengedarkan pandangan ke sekeliling — ada beberapa pelanggan lain, semuanya duduk diam, seperti boneka lilin. Tidak makan. Tidak bicara. Hanya menatap ke depan.

Tiba-tiba salah satu dari mereka tersedak. Lalu terdiam. Kemudian tidak sadarkan diri.

Mahanta tidak bereaksi. Ia hanya mengambil panci kecil, menyendok kuah, dan menuangkannya ke mangkuk yang diletakkan di depan pelanggan yang pingsan itu.

Sekonyong-konyong, tubuh pelanggan itu tersentak. Lalu tersenyum. Lalu menghilang.

Bukan pergi.

Menghilang. Lenyap.

Murni tertegun. Tubuhnya kaku. Tengkuknya merinding. Ia tahu harus bangkit dan melarikan diri, tetapi seolah sesuatu mengikatnya di tempat duduk.

"Apa yang terjadi barusan?" ia berbisik, hampir bergumam pada dirinya sendiri.

Mahanta menatapnya, lebih dalam dari sebelumnya. “Dia sudah selesai. Aku hanya mengantar.”

“Mengantar? Ke… mana?”

Mahanta menghela napas. Lalu menjawab pelan, "Ke tempat yang seharusnya."

---

Malam itu, Murni tidak memesan apa pun. Ia hanya duduk, menyaksikan bagaimana warung itu bukan sekadar tempat makan.

Dan ketika akhirnya ia bangkit hendak pergi, Mahanta memandangnya tajam.

“Jangan kembali,” katanya. “Tempat ini bukan untukmu.”

Kata jangan lagi. Tapi bahkan saat ia berjalan ke luar dan kembali ke jalan, Murni tahu sesuatu dalam dirinya sudah terlanjur terikat.

Ponselnya kembali bergetar. Ia membukanya.

Ada pesan suara baru.

["Kau sudah terlalu dekat... Tapi belum terlambat. Kembalilah. Atau semuanya akan dimulai lagi."]

Murni menengadah ke langit malam. Hujan belum berhenti. Di kejauhan, kilat samar menyala — serupa bayangan sayap besar di balik awan.

Dan jauh di dalam dadanya, sesuatu yang sepertinya sudah lama terkubur... mulai bangkit.

Season 1 ; Bab 2 - Warung Yang Tak Ada di Peta

Murni berdiri di trotoar basah, memandang jalan kosong yang baru saja dilewatinya, dan menoleh ke belakang.

Warung itu… sudah tak ada.

Tidak ada cahaya kuning yang hangat.

Tidak ada aroma masakan yang menusuk rasa.

Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir jam empat subuh. Dahinya mengernyit. Sebegitu lama ia menghabiskan waktu di dalam? Padahal rasanya hanya beberapa menit.

Ia mengedarkan pandangan, menyusuri gang sempit yang tadi ia lewati. Tetapi yang kini ia temukan hanya dinding semen penuh grafiti yang ditumbuhi lumut, dan pagar besi berkarat yang terkunci rapat. Seolah tempat yang ia datangi semalam hanyalah sebuah luka lama yang dilupakan dunia… Atau hanya sebuah mimpi — mimpi buruk yang kebetulan menumpang di dunia nyata.

Murni berdiri diam, membiarkan rintik-rintik hujan menerpa bahunya, meresapi kesadaran bahwa apa pun yang ia alami... mungkin bukan untuk dimengerti dengan akal manusia biasa.

Atau mungkin, akalnya sendiri sudah mulai retak.

Ia memeriksa ulang GPS-nya. Titik biru masih di sana, tepat di tempat ia berdiri. Tapi tulisan “Warung Murni” sudah menghilang dari layar. Bahkan riwayat penelusurannya kosong. Seperti tidak pernah ada.

Rasa dingin menjalar dari ujung jemarinya ke dada.

Kalau tempat itu hanya halusinasi, kenapa para pelanggan itu bisa datang?

Ia melangkah lunglai, kepalanya menunduk, mencoba merasionalisasi apa yang barusan ia lihat. Tapi bau warung itu masih melekat di mantelnya. Bau arang terbakar. Rempah. Dan sesuatu yang lebih tua —bau duka yang hangus.

Ia menarik napas dalam-dalam, menggenggam salib kecil di lehernya. Sekuat apa pun ia mencoba, perasaan asing yang sejak awal mengikutinya kini tumbuh menjadi satu hal pasti.

Ini bukan hanya gangguan psikologis.

Tidak. Ia tidak gila.

Keesokan harinya, Murni duduk sendirian di taman belakang rumah kamar sewaannya. Ia membawa secangkir teh dan buku doa yang seharusnya menenangkannya. Namun ayat-ayat yang biasa mengisi hati dengan damai, kini terasa seperti huruf kosong. Jiwanya... sunyi.

Ia mencoba menulis ulang kejadian semalam di buku catatan kecilnya: Pesan suara dari dirinya sendiri, warung bernama “Warung Murni”, Mahanta, koki tampan tapi misterius, pelanggan yang menghilang, bau terbakar, peringatan Mahanta: “Jangan kembali”.

Semua terasa seperti teka-teki yang potongan-potongannya berasal dari mimpi, namun terlalu tajam untuk dilupakan.

Seekor gagak menggaok dari pohon beringin tua di belakangnya, membuatnya menoleh. Gagak itu menatapnya dari dahan paling tinggi, lehernya miring sedikit seolah sedang mengamatinya.

Murni mengertakkan gigi. Gagak adalah pertanda. Ia tahu itu dari kisah-kisah purba yang dulu sering dibaca di perpustakaan biara. Dalam banyak kepercayaan, gagak adalah pembawa pesan antara dunia ini... dan dunia lain.

Dan burung itu, entah kenapa, membuat ingatannya kembali pada Mahanta.

Tatapannya. Suaranya. Caranya memegang pisau seperti sedang menyentuh sesuatu yang sakral.

Siapa dia sebenarnya?

Sore harinya, rasa penasaran mendorong Murni pergi ke kelurahan kota tua. Ia berpura-pura sebagai mahasiswi yang sedang menulis tentang sejarah lokal. Ia menanyakan apakah pernah ada warung bernama “Warung Murni” di area gang yang ia datangi malam tadi.

Petugas yang berjaga, seorang pria tua dengan kaca mata setebal pantat botol, menggeleng dan menatapnya seakan ia tidak waras.

"Warung Murni?" gumamnya. "Enggak ada tuh. Di gang itu memang pernah ada rumah makan... tapi itu dulu sekali, puluhan tahun lalu, dan sudah terbakar habis. Sejak itu nggak ada yang membangunnya lagi."

Murni menahan napas. "Terbakar habis?"

"Iya. Kecelakaan. Ada korban, tapi tidak banyak diberitakan. Yang aneh, katanya warung itu sering dikunjungi orang-orang yang sedang dalam masalah besar... banyak yang bilang tempat itu keramat."

"Apa ada yang selamat dari kebakaran itu?"

"Konon sih ada satu. Tapi... nggak ada nama. Cuma cerita. Katanya yang selamat itu masih ngejaga tempat itu. Tapi tempatnya sendiri nggak pernah kelihatan, kecuali kalau... yah kecuali kalau kamu memang ‘dipanggil’.”

Pria itu terkekeh sambil menggeleng. "Tapi yaa... itu mitos lah, boleh percaya boleh tidak."

Murni mengangguk, meski pikirannya jauh dari tenang.

Api. Dirinya terbakar. Apakah mimpinya berhubungan dengan warung itu?

Ia pulang dengan perasaan hampa, tetapi ada dorongan aneh untuk kembali ke sana. Untuk mencari tahu. Untuk menemukan Mahanta lagi.

Tengah malam.

Murni tak bisa lagi membendung rasa penasaran. Kali ini, ia tak membawa apa pun kecuali senter kecil dan salib tua miliknya.

Ia kembali ke gang itu.

Dan benar. Di sana — seolah kebenaran menekuk kenyataan —warung itu muncul kembali.

Papan kayu yang lapuk. Lampu kuning hangat. Asap tipis dari cerobong. Aroma masakan yang menggoda.

Tapi malam ini, tidak ada pelanggan.

Hanya Mahanta, perawakannya yang tegap berdiri di balik meja kayu, sedang memotong sayuran dengan tenang. Seolah sudah menunggunya.

Murni melangkah masuk perlahan.

“Kau kembali,” ujar Mahanta tanpa menoleh.

“Kau tahu aku akan kembali?” Murni agak terperangah.

Mahanta tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat. “Ya.”

Mereka diam sejenak. Suasana di dalam warung terasa berbeda malam ini. Lebih sunyi. Lebih dalam. Bagai berada di dasar sumur waktu.

"Aku ingin tahu tempat apa ini sebenarnya," ujar Murni tanpa basa-basi. "Dan siapa kau."

Mahanta berhenti memotong. Ia meletakkan pisau. Lalu menatap Murni —tajam, namun tidak memaksa.

“Aku hanya juru masak,” katanya. “Aku hanya menyajikan hidangan terakhir.”

Murni menahan napas. “Untuk siapa?”

Mahanta menunjuk ke kursi kosong.

“Duduklah malam ini. Dan mungkin kau akan melihat mereka.”

“Mereka?”

“Yang tersesat. Yang tak ingin mati... tapi tak tahu cara hidup.”

Murni ragu sejenak. Tapi seperti malam pertama, kakinya melangkah sendiri.

Ia duduk di tempat yang sama seperti malam sebelumnya.

Mahanta menyajikan semangkuk sup bening. Di permukaannya, bayangan samar muncul — bayangan seseorang.

Seorang perempuan. Menangis di pinggir ranjang rumah sakit.

Bayangan perempuan di dalam sup itu... perlahan menoleh. Menatap lurus ke arah Murni. Dan berbisik, “Tolong... aku tidak ingin mati sendirian.”

Murni merinding. “Aku tidak mengenalnya,” ujar Murni pelan. "Mengapa dia minta tolong padaku? Apa yang terjadi padanya?”

“Dia di ambang,” Mahanta hanya menjawab pertanyaan terakhir. “Kau bisa memilih. Membantu dia... atau biarkan dia pergi.”

“Bagaimana cara membantunya? Sementara aku bahkan tak tahu dia di mana.” Murni merasa tak berdaya, mengangkat sendok perlahan.

Dengan tangan gemetar, ia menyendok sup dari dunia yang tak terikat waktu. Bayangan perempuan itu menghilang.

"Kenapa tempat ini tidak selalu ada?" tanya Murni pelan.

Mahanta menoleh perlahan. "Karena tidak semua orang siap melihatnya."

“Pelanggan yang datang…” ucap Murni, tidak tahu bagaimana menyelesaikan kalimatnya.

“Datang untuk semangkuk makanan terakhir.” Seolah mengetahui apa yang ada dalam pikirannya, Mahanta telah menjawab. “Antara memilih kembali, atau pergi selamanya.”

“Dan kau yang menentukan?”

Mahanta tersenyum tipis. “Bukan. Aku hanya menyajikan.”

Murni mengangkat kepala, menatap mata Mahanta. Mata itu sangat hitam, tetapi cahaya temaram yang jatuh di sana menguarkan semburat keunguan. “Siapa kau sebenarnya?”

Mahanta balas memandangnya, lama. Sorot matanya… penuh kabut dan kelelahan yang… tidak manusiawi.

“Aku yang mengantar mereka saat tak ada siapa pun yang mau menemani.”

Suara lonceng kecil berdentang dari arah belakang dapur.

Mahanta menoleh. "Ada yang akan datang malam ini."

Lalu ia menghilang ke dapur, dan kembali dengan membawa nampan. Ada satu mangkuk berisi sup bening di atasnya. Tapi sebelum disajikan ke pelanggan tak terlihat, ia menaruhnya di depan Murni.

“Mau kau lihat?”

Murni menelan ludah.

Dalam sup itu, bayangan mulai terbentuk. Sosok anak kecil berdiri di atap gedung tinggi. Menangis. Angin malam mengibarkan rambutnya. Langkah kecilnya tertatih maju, ragu-ragu... tinggal satu jengkal ke tepi.

Murni menahan napas.

“Aku tahu tempat itu,” bisiknya. “Rumah sakit mental di utara kota.”

Mahanta mengangguk.

“Dia belum melompat. Tapi sudah sangat dekat.”

“Aku harus ke sana,” gumam Murni.

“Jika kau pergi sekarang, mungkin dia bisa diselamatkan. Tapi... sekali kau campur tangan, kau tidak bisa kembali sebagai orang biasa. Mata yang sudah melihat, tidak bisa buta lagi.”

Tanpa memedulikan ucapan Mahanta, Murni sontak berdiri. Dadanya sesak. Suara dalam dirinya —suara yang sama dengan pesan di ponsel itu —berbisik:

“Pergilah. Kau belum terlambat.”

Tapi Mahanta berkata lirih, “Kalau kau pergi, kau akan mulai ingat.”

“Ing—ingat apa?”

Mahanta tak menjawab, hanya menatapnya. Dan di mata hitamnya, Murni melihat pantulan dirinya sendiri—bukan sebagai perempuan biasa, tapi sebagai sosok yang terbakar dalam kobaran api.

Season 1 ; Bab 3 - Sup Untuk Yang Hampir Mati

Angin malam mengibarkan mantel panjang Murni saat ia berlari, secepat yang ia bisa, menyusuri gang-gang sempit kota tua. Matanya terpaku pada ponsel yang kini hanya menampilkan satu hal: gambar atap gedung dengan titik merah yang terus berdenyut.

Langit di atasnya menampakkan bulan separuh, pucat laksana wajah orang yang baru tersadar dari koma. Ia tak tahu mengapa percaya pada gambar itu. Ia bahkan tak tahu siapa yang mengirimkannya. Tapi tubuhnya bergerak seolah tersihir.

Dan sesuatu di dalam dadanya —sesuatu yang lebih tua dari kata takut —berbisik:

“Cepat. Sebelum ia jatuh.”

---

Gedung tua itu berdiri diam, menjulang di antara bangunan-bangunan lain yang sudah mati. Pintu masuknya digembok, tapi Murni menemukan celah kecil di sisi pagar, cukup untuk tubuh kurusnya menyelinap.

Ia naik ke tangga darurat, mendaki langkah demi langkah dengan napas tersengal, sementara ponsel di tangannya mulai panas. Layarnya gelap, tapi suara samar masih mengalun:

“Dia sendirian... dia sendirian...”

Sampai di atap, ia melihatnya.

Anak laki-laki. Tak lebih dari dua belas tahun. Tubuhnya gemetar, jari-jari mungil mencengkeram besi pembatas. Ia berdiri di ujung beton, di bawahnya jurang tujuh lantai.

Langkah Murni terhenti.

“Jangan dekati aku!” jerit si anak tanpa menoleh. Suaranya seperti milik orang yang sudah terlalu lama bicara sendirian.

“Aku hanya ingin bicara,” ucap Murni lirih.

Anak itu menangis. Tapi bukan tangisan histeris. Tangisan yang datar, nyaris diam. Tangisan orang yang sudah lama kehilangan harapan untuk didengar.

“Mereka bilang aku gagal... sekolah... rumah... semua orang... mereka nggak suka aku.”

“Kau dengar itu dari siapa?” Murni mencoba mendekat, satu langkah demi satu langkah.

Anak itu mengangkat tangan dan menunjuk ke langit. Tapi tak ada apa-apa di sana.

“Dia bisikin ke aku tiap malam. Katanya, kalau aku jatuh... aku akan tenang.”

Murni kian mendekat, satu langkah. Dua langkah.

Lalu—suara lain muncul.

Lelaki.

Tenang, berat, seolah berasal dari celah antara kata dan kenyataan.

“Jika kau tarik dia mundur sekarang, kau harus menanggung beban yang dia tinggalkan.”

Murni menoleh.

Mahanta berdiri di sudut atap, entah sejak kapan. Bayangan tubuhnya panjang, tidak sepadan dengan cahaya bulan. Matanya menatap anak itu, bukan dengan iba—tapi dengan pengertian yang dalam dan gelap.

“Apa maksudmu?” tanya Murni.

“Setiap jiwa yang kau selamatkan, akan meninggalkan bayangannya padamu,” jawab Mahanta. “Dan bayangan itu... tidak pernah ringan.”

Murni menoleh lagi ke si anak. Kini bocah itu menatapnya langsung, mata merah basah, bukan karena marah — tapi karena lelah.

“Aku... aku capek, Kak,” gumamnya.

Tanpa pikir panjang, Murni berlari dan memeluk anak itu dari belakang. Tubuhnya dingin. Kaku. Tapi tidak melawan.

Dan saat itulah... semuanya berhenti.

Suara kota, angin, bahkan waktu seolah mematung. Dunia seperti mengambil jeda.

Lalu, sebuah kehangatan aneh menyelubungi tubuh Murni. Bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya. Dan anak itu… perlahan… menghilang dalam pelukannya. Bukan mati. Bukan pergi. Tapi... ditarik ke tempat lain.

Yang tertinggal hanyalah pakaian sekolah yang jatuh di lantai atap.

Murni terduduk. Tubuhnya gemetar. Dadanya sesak.

“Apa yang barusan terjadi...?” bisiknya. “Mengapa anak itu menghilang? Apakah aku… sudah menyelamatkannya?”

Mahanta menghampiri. Ia membawa semangkuk sup hangat, entah dari mana. Ia letakkan di depan Murni.

"Selamat datang," katanya, "di meja yang tak pernah kosong."

Dan tiba-tiba saja, mereka telah kembali di warung itu.

---

Beberapa malam setelah kejadian itu, Murni tidak makan. Tidak tidur. Ia hanya duduk di kamarnya, memeluk lutut, mengusap-usap salib kecil yang dulu selalu memberi ketenangan.

Tapi sekarang… salib itu terasa berat.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa... takut pada doanya sendiri.

Dalam mimpi, anak laki-laki itu muncul. Berdiri di ladang kosong, di bawah langit merah. Dia tidak bicara. Hanya menatap Murni, dan di matanya, terpampang rasa terima kasih, dan ‘bekas luka’ yang kini... pindah ke dirinya.

---

Malam kelima, Murni kembali ke warung itu.

Warung Murni.

Kini ia tahu, bukan kebetulan nama warung itu sama dengan namanya..

Mahanta menunggunya di balik meja, seperti biasa. Tidak ada pelanggan. Hanya satu kursi. Satu mangkuk sup. Dan satu pertanyaan yang menggantung seperti pedang Damocles:

“Berapa banyak lagi yang harus kita beri makan sebelum mereka mau hidup kembali? Apakah itu yang membawaku ke sini? Misi untuk menyelamatkan mereka?”

Mahanta menatapnya, mata hitam pekat segelap malam paling dalam.

“Tidak semua bisa diselamatkan,” katanya pelan. “Hanya beberapa. Tapi terkadang satu pun cukup untuk mengubah segalanya.”

Murni menatap sup di depannya.

Kali ini, ia melihat seorang pria tua dengan botol pil di tangannya. Di sebelahnya, radio memutar lagu anak-anak.

Hatinya hancur pelan-pelan. Tapi ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Ia bangkit berdiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!