“Ayo cepat! Apakah hidangan untuk meja nomor lima sudah siap?” seru seorang Manajer restoran bernama Pak Toni, pria itu berjalan mondar-mandir untuk memastikan semuanya berjalan dengan lancar.
“Sudah siap, Pak!” jawab seorang chef wanita, namanya Luna.
Wanita itu tampak mengangkat piring berisi salmon panggang dengan saus lemon yang menggoda. Semua orang yang bekerja di dapur bisa bernafas dengan lega, karena hidangan terakhir untuk malam ini baru saja selesai.
Restoran tampak lebih ramai dari malam sebelumnya. Luna, yang bertugas sebagai chef utama, harus berdiri di dapur dengan penuh konsentrasi. Memastikan jika para pelanggan bisa mendapatkan masakan terbaiknya.
Hari yang cukup melelahkan, tapi semua terbayar dengan senyuman puas para pelanggan. Luna juga merasa senang bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, setidaknya hari ini ia tidak akan pulang terlambat ke rumah.
Namun, saat ia baru saja hendak membuka Apron masaknya, sang Manajer mendekat dengan senyuman kecil.
“Luna, bisakah meluangkan waktumu sebentar? Ada tamu yang ingin bertemu denganmu.”
“Anda yakin? Tapi, restoran sudah hampir tutup,” Luna menoleh, alisnya terangkat karena merasa sedikit keberatan.
“Tolonglah. Untuk kali ini saja, mereka adalah tamu terhormat di restoran ini.”
Luna melirik ke arah arloji yang melingkar di tangan kirinya. Sepertinya masih ada sedikit waktu, lagipula dia tidak bisa menolak permintaan seorang tamu yang ingin bertemu langsung dengan seorang chef. Dengan langkah mantap, ia mulai keluar dari dapur untuk bertemu dengan tamu tersebut.
Sesampainya disana, Luna melihat seorang pria paruh baya yang tengah duduk bersama dengan istrinya, mereka tersenyum dengan hangat.
“Saya sering datang ke restoran ini,” ucap sang pria dengan ramah. “Tapi malam ini, masakan Anda benar-benar sangat lezat.”
“Hari ini adalah ulang tahun pernikahan kami. Terimakasih karena telah memberikan hidangan yang terbaik,” tambah si wanita tak kalah ramah.
Luna tersenyum, merasa sangat senang mendapatkan pujian seperti itu. Segala lelah dan jerih payahnya terbayar saat seorang pelanggan begitu puas dengan masakannya. “Terima kasih banyak, Anda terlalu memuji.”
Si wanita kemudian tampak mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah tua, lalu menyerahkannya pada Luna. “Ini hanya hadiah kecil, tolong diterima.”
Awalnya Luna merasa tidak enak harus menerima sebuah hadiah dari seseorang yang tak dikenalnya. Tapi, karena keduanya memaksa, akhirnya Luna menerima hadiah tersebut dan mengucapkan banyak terima kasih. Percakapan ketiganya memakan waktu yang cukup lama. Hingga membuat Luna tanpa sadar telah melewatkan sesuatu yang penting di dalam hidupnya.
Janji untuk makan malam dengan seseorang!
Luna baru saja sampai di rumah, membuka pintu dengan penuh semangat saat dirinya menemukan seseorang yang duduk di kegelapan. Tangannya terulur untuk menyalakan lampu, dan tampaklah sosok tersebut yang diyakini adalah sang suami, David.
Pria itu duduk dengan tatapan tajam tanpa mengatakan apapun kepada Luna yang baru saja pulang bekerja. Di meja makan, telah tersedia berbagai macam makanan yang sepertinya sudah mendingin.
Luna tahu jika dirinya baru saja membuat satu kesalahan lagi. Dengan sigap, ia langsung meletakkan tas nya di atas kursi lalu mengambil beberapa piring yang masih berisi makanan.
“Kita bisa memakannya setelah aku menghangatkan ini,” ucap Luna merasa sangat bersalah.
Saat Luna hendak melangkah menuju dapur, David menahan tangannya. Membuat Luna harus menoleh, tatapan keduanya bertemu, tatapan yang begitu dingin seperti biasanya.
“Hari ini adalah ulang tahun pernikahan kita,” ucap David dengan senyuman pahitnya. “Tapi sepertinya, hanya aku yang merasa begitu antusias untuk merayakannya.”
“David, aku tidak bermaksud untuk bersikap seperti ini. Tadi aku harus menemui seorang tamu yang begitu memuji akan masakanku.”
“Masakanmu, ya?” Lagi-lagi David tersenyum seolah meremehkan ucapan istrinya. “Bisakah kamu satu kali saja tidak bersikap egois dan memikirkan perasaan keluargamu?”
“Sekarang apalagi salahku?” tatap Luna meminta penjelasan.
“Kamu terlalu mementingkan pekerjaan, daripada keluargamu sendiri!” David meninggikan suaranya.
“Kita sudah membahasnya berulang kali, David. Ini pekerjaanku, karirku. Suatu hal yang aku perjuangkan sejak dulu,” ucap Luna, berharap jika David mau mengerti.
“Jadi, kamu sama sekali tidak ada niat untuk memperjuangkan keluarga kita? Apakah sebuah karir terasa begitu penting diatas segalanya bagimu?”
Luna memalingkan wajahnya, matanya mulai berair setiap kali berdebat dengan David. “Aku akan menghangatkan makanan sebentar.”
“Tidak perlu!” ucap David dengan suara yang keras. Tangan kekar David menyambar piring itu dan melemparkannya ke lantai dengan kasar.
PRANG!
Suara pecahan keramik menggema memenuhi ruangan. Luna diam membeku di tempatnya, berpikir kenapa David bisa semarah ini padanya. Makanan yang tadinya menggugah selera itu kini berhamburan di atas kakinya.
Hening di antara keduanya, hanya suara detak jarum jam dinding yang terdengar. David menatap ke arah lantai, melihat dengan kekacauan yang baru saja diperbuatnya. Luna masih berdiri disana dengan tatapan penuh luka, tapi sama sekali tak bisa melunakkan hati David yang telah mengeras seperti batu.
“Aku sudah memutuskan,” David berucap, tapi matanya enggan untuk menatap ke arah Luna. “Aku akan kembali ke rumah orang tuaku bersama dengan anak-anak. ku beri kau waktu satu Minggu untuk memikirkannya.”
Hanya itu. Tidak ada permintaan maaf maupun kata menyesal keluar dari mulutnya, justru hanya sebuah pernyataan kosong yang sangat mengejutkan.
“Kenapa kau tidak membicarakannya terlebih dulu denganku?” Luna tak bisa menahan tangisnya lagi. “Ini bukan hanya tentang dirimu, pekerjaanku dipertaruhkan di sini.”
“Asal kamu tahu, Luna. Kamu telah melukaiku setiap kali membahas hal seperti itu,” David melangkah untuk naik ke lantai dua rumah mereka. “Dan aku tak pernah memaksamu untuk ikut denganku.”
Luna baru sadar jika pertengkaran mereka selalu menyangkut hal yang sama, yaitu pekerjaan. David berubah menjadi pria yang kasar setelah ia diberhentikan dari pekerjaanya, tapi Luna tak terlalu mempermasalahkan hal itu.
David juga selalu merasa hidup terhina hanya karena mengandalkan kerja keras istrinya saja. Pria itu telah mencoba mencari pekerjaan lain, tapi gagal. Membuatnya menjadi sosok yang mudah marah dan tersinggung, terutama mengenai pencapaian besar yang diraih oleh Luna.
Dengan langkah gontai, Luna menaiki beberapa anak tangga dengan berat. Saat ia membuka pintu kamar, David tak ada disana. Sudah bisa dipastikan jika pria itu tidur di kamar anak-anak untuk menghindarinya. Luna menyandarkan tubuhnya di pintu kamar, berpikir kapan cobaan ini akan berakhir.
****
Beberapa hari kemudian, setelah mempertimbangkan semuanya dengan matang. Luna akhirnya bertemu dengan sang pemilik restoran untuk secara resmi memberikan surat pengunduran diri.
“Apa yang terjadi? Karirmu sedang berada di puncak saat ini, lalu untuk apa kamu mengajukan surat pengunduran diri?” ucap seorang pria yang sudah 5 tahun ini menjadi atasannya tersebut.
“Maaf sebelumnya, Pak. Tapi ini hanya tentang masalah keluarga,” jawab Luna dengan tenang.
Pria yang bernama Pak Darma itu menghela nafas pelan. Ia berpikir hal ini pasti menyangkut tentang suami Luna. Padahal Pak Darma sempat menawarkan pekerjaan pada pria itu tapi ditolak, karena merasa tak mau bekerja dengan posisi di bawah istrinya.
“Baiklah, kuhargai setiap keputusanmu dengan baik,” ucapnya dengan berat hati. “Tapi ingat, jika kami selalu membuka pintu jika kau ingin kembali.”
“Terima kasih banyak, Pak,” Luna membungkuk, memberikan penghormatan terakhir untuk sang atasan.
Luna keluar dari ruangan Pak Darma. Saat melewati area dapur, Luna menghentikan langkah dan menatap ke arah beberapa macam alat disana. Sejenak ia berpikir pasti akan sangat merindukan semua ini, aroma makanan, suara riuh rekan kerjanya, juga senyum puas para tamu yang sering memuji akan kelezatan masakannya.
Para rekan kerja juga mendekat untuk memberikan ucapan selamat tinggal pada Luna, mereka sangat senang pernah ada dibawah pengarahan chef hebat seperti dirinya. Sedikit acara kecil yang disiapkan untuk Luna membuat wanita itu merasa terharu.
Pak Toni, sang Manajer mendekat. Pria itu menepuk pundak Luna dan mengatakan, “Dimanapun kamu berada, jangan pernah melupakan bakat hebat itu.”
Luna tersenyum, sangat menghargai ucapan rekannya itu. “Aku akan selalu mengingatnya.”
****
Luna tengah berada di kamar, memeriksa beberapa macam barang yang akan mereka bawa. Hari ini adalah terakhir kalinya mereka tinggal di rumah ini. Bukan hal yang mudah meninggalkan rumah yang sudah susah payah ia beli dan tiba-tiba harus pindah ke sebuah kota kecil, tempat David dibesarkan. Tapi, Luna harus menerimanya. Berharap jika keputusan ini bisa menyelamatkan rumah tangganya.
Suara gelak tawa terdengar dari kamar anak-anak. Luna melangkah untuk memeriksanya, dan menemukan si bungsu, Siena, tengah duduk di atas lantai bermain bersama bonekanya. Sedangkan si sulung, Sarah, lebih memilih membaca buku di atas ranjang.
“Sayang, kalian sedang apa?” tanya Luna antusias.
Siena menjawab dengan senyum ceria, bocah berusia 6 tahun itu memang dikenal berhati lembut dan penuh semangat. “Aku sedang bersiap, Ibu! Semua bonekaku juga akan ikut pindah, kan?”
“Tidak semua, sayang. Boneka Siena kan sangat banyak,” Luna mengusap kepala putri bungsunya, mencoba memberi pengertian.
“Tapi aku mau semua buku milikku dibawa kesana!” ucap Sarah dengan dingin. Si sulung yang berusia 8 tahun itu memang dikenal pendiam dan jarang tersenyum.
Luna terdiam, ia seolah merasa asing dengan putri sulungnya tersebut. Ucapannya begitu formal, seolah tengah berbicara dengan orang lain, bukan dengan Ibu kandungnya. Akhirnya Luna mengangguk, ia mengeluarkan dua buah liontin yang sangat cantik dan menyerahkannya pada Sarah dan Siena. “Ada hadiah kecil untuk putri Ibu yang cantik.”
“Terima kasih, Ibu! Ini sangat cantik,” seru Siena sangat gembira.
Berbeda dengan Sarah, ia hanya diam membeku tanpa memberikan ekspresi apapun. David yang melihat hal itu langsung merebut liontin tersebut dari tangan anak-anaknya. “Sarah, Siena, lepaskan!”
“David! Apa yang kamu lakukan?” Luna tak terima dengan sikap kasar suaminya itu.
“Kita akan hidup sederhana di sana,” jawab David dengan tegas. “Liontin mahal seperti ini akan tampak sangat mencolok di kota kecil tempat tinggal kita nantinya.”
“Jika tak boleh dipakai, maka aku mau anak-anak untuk menyimpannya!” ucap Luna tak kalah tegas.
David mendengus kesal dengan sikap Luna, berpikir kenapa wanita itu sangat sulit untuk diatur. Apakah karena ia merasa telah memiliki segalanya, termasuk rumah ini juga.
Beberapa jam kemudian mereka semua telah berada di dalam kereta. Siena duduk didekat jendela, menatap pemandangan di luar sana dengan antusias. Sedangkan Sarah hanya duduk diam dengan buku di tangannya.
Ayah mereka, David, duduk tepat di sebelah mereka. Memberikan senyuman ke arah dua putrinya, namun ekspresi itu berubah saat Luna datang sambil membawa satu buah tas kecil di tangan. Ia masih tersenyum saat menatap ke arah keluarga kecilnya, tapi semua berubah saat matanya menatap ke arah kursi yang seharusnya menjadi tempat duduknya.
Di sana, tampak seorang wanita paruh baya yang telah duduk dengan sangat nyaman. Membuat Luna menoleh ke arah David, mencari jawaban dari sang suami.
“Carilah tempat duduk yang lain, kasihan Ibu ini jika harus berjalan terlalu jauh ke gerbong selanjutnya,” ucapnya datar tanpa rasa bersalah.
Melihat tidak adanya pergerakan dari wanita itu, membuat Luna sadar jika sepertinya David memang sengaja melakukannya. Dadanya terasa sesak mendapat perlakuan tak menyenangkan itu dari sang suami, tapi Luna hanya menghela nafas dan tak ingin membuat keributan di depan anak-anak.
Pada akhirnya Luna mengalah, membiarkan David melakukan apapun yang disukainya. Dengan canggung Luna mulai melangkah ke belakang, mencari tempat duduk yang kosong. Ia hampir saja putus asa, setiap bangku telah penuh terisi. Hingga sebuah suara terdengar di dekatnya.
“Silahkan duduk di sini, Nona.” ucap seorang pria tinggi yang entah sejak kapan telah berdiri di sampingnya.
BERSAMBUNG
Luna menarik nafas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Matanya menatap kosong ke arah pemandangan dari balik jendela, beberapa pohon tampak berlalu begitu saja. Seakan menggambarkan perasaan kecewa yang memenuhi pikirannya.
Beberapa saat yang lalu, Luna sempat berpikir jika ini akan menjadi perjalanan yang menyenangkan bagi keluarga kecilnya. Tertawa bersama, atau saling menceritakan sesuatu yang lucu bersama kedua putrinya.
Namun, semua harapan itu sirna, pupus begitu saja ditelan oleh keegoisan yang menguasai hati David. Sepertinya, belum cukup puas pria itu memberikan kesedihan yang terus berlanjut seperti ini. Yang pertama adalah mengenai pekerjaan, dan yang kedua, mengenai kebebasan bersama kedua putrinya.
Fokus Luna teralihkan saat dirinya melihat pria asing yang baru membantunya itu mengulurkan satu buah botol berisi minuman kepadanya.
“Silahkan, ini akan membuat Anda merasa lebih segar.”
“Terima kasih. Tapi saya membawa minuman saya sendiri,” tolak Luna dengan sangat sopan.
Tapi pria asing itu justru mengambil tangan Luna begitu saja dan memberikan botol itu kepadanya. “Perjalanan ini akan sangat melelahkan. Anda bisa meminumnya untuk menjaga stamina selama di perjalanan.”
Luna terdiam sejenak, bingung dengan situasi semacam ini. Tapi, ia tetap menerima pemberian tersebut. Mengangguk singkat dan mengucapkan terima kasih. Lagipula, pria itu tidak tampak seperti orang jahat.
Untuk menghormati niat baiknya, Luna mulai membuka tutup botol tersebut dan minum cairan yang ada di dalamnya. Luna mengerjapkan mata, saat cairan itu meluncur di dalam tenggorokannya.
“Apakah ini jus buah Delima?” tanya Luna begitu saja.
“Bagaimana Anda bisa tahu jika itu adalah jus buah Delima?”
“Rasanya memang begitu samar, tapi saya yakin jika ini memang buah Delima, dan juga…Strawberry?” Luna tampak kurang yakin saat menyebut campuran dari buah delima tersebut karena rasanya yang sangat unik.
Pria asing itu mengangguk membenarkan. “Anda benar. Ini memang jus Delima dan juga Strawberry, saya sengaja membuatnya karena kandungan antioksidan yang tinggi.”
“Sudah saya duga, mungkin rasa asamnya berasal dari buah Strawberry.” imbuh Luna sambil tersenyum menatap ke arah botol di tangannya.
“Indra perasa Anda sangat kuat, apakah Anda seorang chef?” tanya pria asing tersebut memastikan.
Nafas Luna tercekat, dadanya terasa sesak. Meski ini hanya pertanyaan ringan, tapi itu membuat sesuatu yang berusaha dilupakan kembali muncul ke permukaan.
Luna tersenyum singkat, berusaha untuk tetap terlihat sopan. “Tidak, saya hanya asal menebak saja.”
Bohong!
Semua itu hanya kebohongan semata. Luna berharap jika dengan mengubur semua kenangan itu akan membuat hatinya merasa lega, tapi tidak.
Ia justru merasakan sakit yang luar biasa, bagaimana kerasnya usaha untuk bisa sampai di posisi saat itu.
Tapi, seorang pria yang adalah suaminya sendiri tidak pernah memberikan dukungan penuh padanya. Bukankah keluarga seharusnya saling mendukung?
Luna tersadar. Saat satu bulir air mata turun melewati wajah cantiknya, lalu berusaha mengusapnya cepat. Ia menoleh sesaat ke arah si pria, yang rupanya sedang membaca buku. Ada ketenangan yang luar biasa saat pria itu tampak tenggelam dalam dunianya sendiri, dan itu membuat Luna merasa sangat iri.
***
Sedangkan di gerbong kereta yang lain, David tampak kesulitan untuk menenangkan putri bungsunya, Siena. Adalah hal yang wajar jika gadis kecil itu merasa kesulitan untuk tidur, mengingat ini adalah perjalanan jauh pertama baginya.
Siena terus merengek di pangkuan Ayahnya. Sedangkan Sarah telah memejamkan mata terlebih dahulu dengan menyandarkan kepala di pundak sang Ayah.
“Ayah, Siena mau turun,” rengek gadis kecil itu.
“Sebentar lagi ya, sayang. Kita pasti akan segera sampai.”
“Mana boneka, Siena? Dan mana Ibu?”
David menelan ludah susah payah menghadapi pertanyaan putrinya yang beruntun. Sempat berpikir untuk mencari keberadaan Luna, yang saat ini entah duduk di mana. Tapi, harga diri yang tinggi tidak membiarkan David melakukan hal itu. Hingga membuatnya memutuskan untuk menghadapi hal ini sendirian.
David sadar jika situasi sulit sekarang ini adalah akibat keputusan egoisnya sendiri, yang membiarkan tempat duduk istrinya ditempati oleh orang lain hanya karena masalah diantara keduanya.
Setelah melalui perjuangan cukup lama, akhirnya Siena berhasil tertidur dengan lelap. David bisa bernafas dengan lega, meskipun harus terus memangku sang putri dan membelainya hampir sepanjang malam.
Kini saatnya bagi David juga ikut beristirahat. Tapi, hal yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar perkiraan pria itu. Baru saja ia memejamkan mata, suara dengkuran sangat keras dari wanita paruh baya di depannya sukses merusak momen tenang yang diharapkan David untuk beristirahat. Ia mendesah, menahan kekesalan saat ini.
David menoleh ke arah dua putrinya yang telah tertidur pulas, ia juga menyesali keputusan bodohnya tadi yang sengaja ingin memisahkan Luna dari anak-anak. Andaikan saja istrinya itu ada di sini, maka David bisa beristirahat dengan tenang selama perjalanan yang panjang tersebut.
Hanya helaan nafas halus yang terdengar dari mulut David, sambil menunggu pagi akan segera datang agar perjalanan ini segera berakhir.
Sedangkan di kursi yang ditempati oleh Luna. Ia terbangun karena merasakan seluruh tubuh yang sakit karena baru saja tidur dalam posisi duduk. Suara dari roda besi bergesekan dengan rel, mengingatkan bahwa ia masih berada dalam gerbong kereta yang sedang menembus malam.
Keheningan saat ini mengingatkan Luna akan sesuatu, yaitu anak-anaknya. Ia meraba dalam tas, berusaha mengambil ponsel untuk menghubungi David. Begitu pesan terkirim, tak lama kemudian David langsung membalasnya.
[ Mereka sudah tidur, jangan khawatir.]
Pesan yang baru saja di terima oleh Luna membuatnya bisa bernafas lega. Ia sangat tahu jika perjalanan panjang ini adalah yang pertama kalinya untuk Sarah dan Siena, membuat Luna cemas jika mereka tak bisa tidur selama di perjalanan.
Tatapan Luna kini beralih ke arah pria asing di seberang, orang yang telah rela memberikan tempat duduk ini untuknya. Pria itu tengah tertidur, wajahnya begitu tenang. Jika dilihat, usianya masih muda, mungkin sekitar 25 tahun.
Saat hendak kembali tidur, Luna menangkap sesuatu yang tergeletak tak jauh dari kakinya. Sebuah benda berwarna merah beludru yang tampak tak asing untuknya. Luna menunduk untuk memastikan, dengan dahi berkerut, ia meraih benda tersebut.
“Kenapa benda ini bisa jatuh?” gumamnya pelan.
Ia mencoba mengingat. Tadi, sebelum tidur, ia memang sempat mengeluarkan beberapa macam barang dari dalam tasnya. Mungkin saja benda itu tanpa sengaja terjatuh tanpa Luna sadari. Bentuknya bulat, dengan warna merah pekat, sedangkan permukaannya lembut seperti beludru.
Itu adalah hadiah dari pelanggan beberapa waktu yang lalu. Bahkan sampai sekarang pun Luna sama sekali belum membuka untuk memeriksa isi di dalamnya. Entah karena belum sempat, atau Luna memang lupa memiliki benda seperti itu.
Dengan cepat, Luna kembali memasukkannya ke dalam tas. Mungkin benda itu memang tanpa sengaja terjatuh saat ia memindahkan beberapa barang dari tasnya. Ia berencana membukanya setelah sampai di rumah orang tua David.
***
Beberapa saat kemudian di lingkungan rumah keluarga David.
Udara sejuk langsung menyambut keluarga kecil itu saat mereka baru saja turun dari dalam mobil. Lingkungan masa kecil David, tampak masih sama seperti dulu, begitu tenang dengan beberapa bangunan tua yang masih terjaga.
Namun, kedamaian itu sama sekali tak dirasakan oleh Siena. Gadis kecil itu merasa jika lingkungan seperti ini sama sekali tak cocok untuknya.
“Kenapa jauh sekali! Pasti akan sangat membosankan tinggal di sini,” Siena mulai menggerutu, kakinya menendang beberapa kerikil di jalan setapak depan rumah neneknya.
David berjongkok tepat di hadapan putrinya, tersenyum dan berusaha memberikan pengertian. “Ayah yakin kamu akan segera suka dengan tempat ini. Kita bisa bersepeda sambil menikmati udara segar.”
“Kenapa mobil kita tidak dibawa kesini, Ayah?” tanya Siena lagi.
“Tempatnya kurang luas, sayang. Jika hanya ingin jalan-jalan, Paman Doni juga punya mobil di sini.”
Siena hanya mendengus, masih belum bisa menerima alasan Ayahnya untuk mengajak mereka semua pindah rumah. Sementara Sarah, masih tetap diam tanpa banyak berkomentar.
Pintu rumah mulai terbuka sebelum mereka sempat mengetuk. Menampilkan wanita paruh baya yang tersenyum sangat lebar, sebuah senyum yang hanya diberikan pada putranya sendiri. “David, akhirnya kamu pulang juga, Nak!”
David langsung memberikan pelukan hangat pada Ibunya. Sedangkan Luna masih berdiri menunggu dengan perasaan canggung. Saat pelukan itu mulai berakhir, sang Ibu mertua langsung memberikan tatapan pada Luna, begitu dingin dan hanya memberikan jabat tangan singkat.
Aku sudah bisa menebak jika hal seperti ini akan terjadi.
Luna membatin dalam hati, sama sekali tidak terkejut dengan perlakuan Ibu mertuanya itu. Sedangkan dari arah belakang Ibu David, tampak seorang pria yang merupakan kakak kandung dari David, namanya Doni, menyapanya dengan sangat hangat.
“Selamat datang,” sapa Doni dengan senyuman ramah. “Masuklah, kalian pasti lelah selama di perjalanan.”
Sebelum Luna sempat menjawab, Maria, istri Doni langsung menarik tangan suaminya masuk. “Ayo, pekerjaan di dalam belum selesai,” ucapnya mencari sebuah alasan.
Luna menundukkan kepala, baru saja menyadari akan sesuatu, bahwa hidup di rumah ini tidak akan berjalan dengan mudah. Mertua yang dingin, ipar yang cemburuan, membuat suasana rumah terasa lebih dingin namun kurang nyaman secara bersamaan.
Membuat Luna mengalihkan tatapannya pada sang suami. Mempertanyakan tujuan utama pria itu membawa mereka semua kesini. Yang jelas bukan untuk kebahagiaan, karena baru saja melangkah masuk ke dalam rumah ini saja, Luna telah dihadapkan dengan beberapa macam rintangan yang siap menghadang.
“Selain menjaga harga dirimu sendiri, apa hal lain yang kamu cari dengan membawaku kemari?”
Batin Luna pada dirinya sendiri, pikiran tentang kelanjutan hidupnya terus berputar seperti badai yang tak kunjung reda.
BERSAMBUNG
Langit senja mulai menghilang, digantikan dengan gelapnya suasana malam. Aroma masakan yang menyeruak memenuhi ruangan, seharusnya dapat membangkitkan selera makan siapapun. Namun, bagi Luna, suasana dalam rumah ini selalu tampak asing setiap kali ia datang.
Di ruang makan sederhana, sebuah meja kayu panjang dengan berbagai macam hidangan telah tersedia. Enam orang dewasa dan dua anak telah duduk untuk mengelilinginya.
David tampak begitu antusias, pria itu duduk tepat di sebelah sang Ibu, wanita paruh baya berusia hampir 65 tahun yang bernama Galuh. Mereka tampak begitu akrab, bahkan sang Ibu tidak henti-hentinya meletakkan beberapa macam masakan dan lauk pauk di meja putranya.
Tatapan hangat Bu Galuh hanya ditujukan untuk David dan kedua cucunya, Sarah dan Siena yang duduk di seberang Ayah mereka. Sedangkan kepada Luna, tak ada satu katapun yang keluar hanya untuk sekedar mempersilahkan menyantap makanan.
“Sarah, Siena, ayo dimakan. Nenek sengaja memasak ayam goreng yang banyak untuk kalian.” ucap Bu Galuh pada dua cucunya sangat ramah.
Luna yang duduk di ujung meja, hanya bisa meremas sudut baju terusan panjang yang dipakainya. Kehadirannya di rumah ini seakan hanya sebagai bayangan tak kasat mata.
“Luna, silahkan dimakan. Maaf jika hidangan di kampung memang hanya seadanya saja,” suara berat pak Helmi, sang Ayah mertua terdengar.
Membuat rasa canggung itu seketika semakin terasa. Luna membalasnya dengan mengangguk, serta merasa lega atas ucapan Ayah mertuanya. Sedangkan tatapan Bu Galuh padanya, tampak begitu sinis, menyapu segala kenyamanan yang baru terasa.
Tatapan yang seolah mengatakan,
‘Kamu tidak perlu ada di rumah ini’.
Di sudut lain meja, Maria, istri dari Doni, juga menatap ke arah Luna dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Ada sesuatu di dalam tatapan wanita itu yang membuat Luna merasa semakin terasing.
Apakah mungkin jika hal itu ada hubungannya dengan wanita itu yang belum kunjung dikaruniai seorang anak. Jadi, kehadiran Sarah dan Siena membuat luka dalam itu semakin terasa.
Luna memilih untuk mengalihkan tatapannya ke arah lain. Satu gelas air putih di harapkan bisa meredakan rasa sesak di dalam dada. Bahkan, sendok di tangannya hanya berperan sebagai hiasan. Karena setiap suap makanan yang masuk ke dalam mulutnya, terasa seperti beban yang sangat berat.
***
Pintu kamar yang ditempati Luna dan David baru saja tertutup dengan suara samar. Suasana malam yang seharusnya mengantarkan ketenangan, berubah menjadi ketegangan yang semakin menekan dada.
Luna yang baru saja hendak duduk di tepian ranjang untuk segera beristirahat, harus dihentikan oleh suara dingin yang berasal dari sang suami.
“Ada apa denganmu? Kenapa sikapmu begitu tidak sopan pada Ibu dan yang lain?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut David.
“Memangnya apa yang sudah aku lakukan?” tanya Luna bingung.
“Kamu sengaja bersikap seperti tadi, agar semua orang tahu jika kamu sebenarnya tidak suka tinggal di rumah ini.”
Ucapan pedas David sangat melukai perasaan Luna, pria itu seakan tak ada habisnya melimpahkan kesalahan padanya.
“Seharusnya kamu lebih tahu apa yang terjadi di ruang makan tadi. Dan kamu…hanya diam seolah tidak terjadi apa-apa.” ungkap Luna.
David mendengus kesal, merasa tak terima jika Luna menyalahkan keluarganya. “Luna, Ibu itu sudah masak untuk kita semua. Apa itu masih kurang bagimu? Setidaknya jika memang tak suka, kau bisa menyembunyikannya dan tetap bersikap ramah agar Ibu tidak merasa kecewa.”
“Jadi, kamu lebih memilih bertengkar denganku….lagi?” tanya Luna dengan mata yang sudah memanas. “Aku hanya minta kamu bisa bersikap adil. Jika tak bisa berpihak padaku, setidaknya jangan pernah menyakiti hatiku.”
Akan tetapi, David tetap tak bisa menerima alasan yang diberikan oleh Luna. Pria itu tetap menganggap jika istrinya memang sengaja membuat ulah untuk membalas dendam padanya. Dengan langkah cepat, ia meraih gagang pintu lalu berucap, “Aku lelah berdebat denganmu.”
David keluar dari dalam kamar, menyisakan suara dentuman samar di udara. Untuk kesekian kalinya, ia pergi tanpa berniat untuk menyelesaikan perselisihan diantara keduanya. Jika David merasa lelah, maka Luna sendiri justru telah muak dengan sikap kurang dewasa yang dimiliki oleh pria itu.
Dalam keheningan kamar, Luna kembali duduk sendirian. Memikirkan apa yang baru saja terjadi. Berusaha mengalah, rupanya tidak cukup untuk bisa meruntuhkan prinsip keras kepala yang dimiliki oleh David.
***
Keesokan harinya,
Pagi ini, David tampak berpakaian sangat rapi, begitu pula dengan kedua putrinya. Luna yang baru saja keluar dari area dapur, melihat mereka turun secara bersamaan dari lantai atas sambil sesekali bercanda.
Dengan senyuman, Luna tampak mendekat dan memeluk si bungsu Siena yang tampak sangat cantik dengan balutan baju berwarna merah muda.
“Kamu hendak membawa anak-anak kemana?” tanyanya pada David.
“Aku akan mendaftarkan Sarah dan Siena sekolah.” jawab David datar.
“Secepat ini? Kenapa kamu tidak membicarakannya terlebih dulu padaku?”
David kembali membuang nafasnya kasar. Ia menganggap Luna semakin hari bertambah semakin menyebalkan. “Apanya yang harus dibicarakan. Kau harusnya sudah tahu jika mereka berdua akan segera masuk sekolah.”
“Di tempat mana mereka akan sekolah?” tanya Luna lagi, masih menjaga nada suaranya.
“Tidak jauh dari rumah ini.” jawab David merasa tidak terlalu penting untuk membahasnya dengan Luna. “Aku juga bersekolah disana saat masih kecil.”
Tak ingin membuang waktu lebih lama lagi, David langsung mengajak kedua putrinya untuk segera bergegas. Bahkan ia sama sekali tidak menunggu jawaban dari Luna, terkait pendaftaran sekolah putri mereka.
Luna yang menganggap jika semakin hari, David semakin berbuat sesuka hatinya. Padahal ia sudah berusaha menjadi istri yang diinginkan oleh pria itu. Seperti saat ini, sejak pagi buta, Luna telah bangun untuk membantu Ibu mertua dan kakak iparnya memasak.
Tapi apa boleh buat, semua usahanya seolah sama sekali tak berarti di mata David.
***
David melaju di atas sepeda motornya, membelah jalanan yang tak begitu ramai di kota kecil tempat kelahirannya. Suasana sejuk dan nyaman seperti ini yang sangat dirindukan. Kedua putrinya juga tampak menikmati perjalanan mereka pagi ini.
Hanya saja, ketenangan itu terusik saat matanya menatap seorang wanita yang berdiri di tepian jalan sambil menatap putus asa ke arah motornya.
Dengan cepat David menarik rem, lalu menghentikan laju motor tepat di pinggir jalan. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.
“Motor saya tiba-tiba saja mogok,” jawab si wanita dengan raut wajah panik.
“Coba saya lihat dulu,” tanpa ragu David mulai berjongkok di samping motor wanita itu. Memeriksa kondisi mesin dengan pengetahuan seadanya. Beberapa kali tangannya memutar kunci kontak, memeriksa bagian kabel, dan tidak membutuhkan waktu yang lama motor itu sudah bisa menyala kembali.
“Wah, terima kasih banyak. Saya tidak tahu harus berbuat apa tadi,” wanita itu langsung membuka dompet miliknya, mengeluarkan lembaran uang dan menyerahkannya pada David. “Maaf, tapi ini sebagai tanda terima kasih saya.”
“Tidak perlu. Hidup di sini memang harus saling tolong menolong,” ujar David masih dengan senyuman.
Hal yang sangat aneh untuk dilihat. Karena David selalu tampak ramah kepada orang lain, sedangkan kepada Luna? Jangankan bersikap ramah, mau mendengarkan ucapan istrinya saja dia tak mau.
“Kalau begitu terima kasih. Saya permisi dulu,” si wanita mulai kembali melanjutkan perjalanannya.
“Ayah, kenapa uang dari Bibi tadi tidak diterima? Kan lumayan bisa untuk jajan,” ucap Siena dengan polosnya.
“Jangan seperti itu ya, sayang. Kita harus ikhlas jika ingin menolong orang lain.”
“Wah, Ayah hebat. Aku mau jadi orang baik seperti, Ayah.”
David terkekeh mendengar ucapan Siena. Mereka mulai naik ke atas motor dan melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah.
Setibanya di sekolah, David menggandeng tangan Sarah dan Siena menuju kantor kepala sekolah. Proses pendaftaran berjalan dengan lancar, hingga sang kepala sekolah mulai memanggil dua orang guru wali kelas untuk memperkenalkannya pada David dan dua putrinya.
Tak lama kemudian, dua orang wanita berseragam mulai masuk ke dalam ruangan.
“Pak David, perkenalkan ini Bu Kumala, wali kelas tiga, dan Bu Dina, wali kelas satu,” ucap kepala sekolah memperkenalkan.
David memandang kedua wanita itu. Saat matanya bertemu dengan sosok Bu Kumala, hatinya sedikit terkejut. Ia mengingat jika wali kelas Sarah rupanya adalah wanita yang sempat ia tolong tadi pagi.
Kumala pun tak kalah terkejut, tapi wanita itu mencoba untuk bersikap biasa saja dan tetap tersenyum ramah.
David maju satu langkah. Dimulai dengan menjabat tangan Bu Dina terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan Bu Kumala. Saat tangan mereka saling bersentuhan, entah mengapa sebuah getaran aneh terasa di dada Kumala meski hanya sekejap.
“Senang bisa bertemu dengan Anda Bu Kumala,” ucap David sangat singkat namun masih terasa hangat.
“Saya juga, Pak David. Selamat datang di sekolah kami,” balas Kumala.
Pertemuan keduanya memang hanya sebatas ketidaksengajaan. Meski dalam hati kecil Kumala mempertanyakan, apa yang terjadi dengan dirinya? Kenapa hatinya berdebar begitu cepat saat menatap ke arah mata pria ini.
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!