NovelToon NovelToon

BEBEK GENDUT

Bab 1 | Bos Baru

Tim Ekspor PT. Ahmad Jaya cabang Langsa berjalan berjejer rapi menuju ruang rapat. Pagi ini mereka akan bertemu dengan bos baru, katanya sih masih muda, lulusan Jepang, cucu dari pemilik perusahaan tempat mereka bekerja.

Di paling belakang barisan, Fara menyusul, si bungsu di tim. Jilbabnya agak miring ke kiri, pipinya gembul, sibuk mengunyah bakwan yang masih hangat di tangannya. Bibirnya mengilap karena minyak bakwan, tapi wajahnya santai kayak mau pergi piknik, bukan rapat penting.

“Dek, nggak malu makan sambil jalan?” tanya Bu Lia dari samping, matanya melihat ke arah bakwan di tangan Fara. Bu Lia adalah staf Quality Control.

“Lapar, Bu. Belum sarapan tadi,” jawab Fara cuek, masih mengunyah.

“Ih, anak ini…” Bu Lia cuma bisa geleng-geleng sambil nahan ketawa. Tapi matanya berbinar geli. Udah biasa lihat tingkah Fara yang selalu aja makan di sela waktu, dan hampir setiap hari dia membawa bakwan, buatannya sendiri.

Sampai di dalam ruang rapat, ternyata… kosong.

“Eh, mana si Manager? Udah jam segini, lho,” gerutu Pak Andi, staf logistik, sambil melirik jam tangannya.

Karena bos belum nongol juga, mereka pun duduk santai di dalam ruang rapat. Obrolan mulai ngalir. Seperti biasa, topik andalannya, cinta dan rumah tangga.

“Suamiku tuh bikin emosi kali! Baru pulang kerja langsung teriak, ‘Makanan mana?! Cuma ini? Nggak ada yang lain?’ Macam awak ini santai-santai di rumah. Kerja loh aku ini,” keluh Bu Lia sambil mutar-mutarin cincin nikahnya.

“Makanya, lebih enak jadi jomblo, Bu. Hidup tenang...” sahut Sisi, staf desain, bangga kali dengan status single-nya.

“Cowokku sih baik. Aku masak apa pun dia lahap. Nggak banyak protes,” timpal Imah, si admin, senyum-senyum manis kayak iklan pasta gigi.

Mata mereka serentak berpaling ke Fara yang lagi asyik membersihkan tangannya yang berminyak karena bakwan pakai tisu.

“Dek, kok diam aja? Nggak punya cerita cinta? Kok, kayaknya datar kali hidupmu,” goda Pak Andi sambil nyengir.

Fara geleng cepat. “Nggak, Pak. Enggak ada yang mau…” katanya merendah, karena dia tahu—itu jawaban favorit mereka. Dan benar saja, tawa pun pecah.

“Aduh... sedih kali nasibmu. Makanya, kurusin dikit, dek. Biar ada yang naksir,” sambar Bu Lia, matanya melirik perut Fara yang bulat empuk. "Lihat tu, perutmu udah kayak hamil 5 bulan," tambahnya.

“Ah, gapapa, Bu. Dia sih masih muda. Belum perlu mikirin cowok,” bela Sisi sambil nyeruput teh.

“Iya lah, hidup Fara masih enak kali. Anak bungsu pula, pasti dimanja kali,” tambah Imah.

Fara cuma senyum.

Tiba-tiba Bu Lia ganti topik, matanya menyipit penasaran. “Oh iya, Fara pasti kenal sama Pak Yuto, kan? Soalnya cucunya Pak Rio juga kan?”

Fara mengangguk pelan.

“Ganteng nggak? Ada yang bilang, katanya ganteng.”

Ia mengangguk lagi.

“Baik nggak?”

Fara mengangguk untuk yang ketiga kalinya. Tapi mukanya udah mulai merah dikit.

“Enak kali ya nasib anak orang. Baru lulus langsung jadi manager. Kita kerja bertahun-tahun, naik level aja susahnya bukan main,” keluh Pak Andi sambil bersedekap.

“Yah, namanya juga perusahaan keluarga, Pak…” Imah baru mau lanjut, tiba-tiba…

“Euughhh…”

Suara erangan bikin semua orang lompat kaget.

Dari bawah meja, muncul sosok pria, rambut sedikit berantakan, mata setengah merem, kemeja biru agak kusut. Dia mengangkat kepala, menguap lebar-lebar, lalu duduk bersandar, tampak sangat santai.

Dan tiba-tiba, mata pria itu langsung tertuju ke Fara.

“Tadi Abang nggak dengar Fara jawab apa,” kata pria itu. Suaranya serak, tapi jelas.

Fara melotot. Ia baru menyadarinya setelah mengamati wajah itu lebih lama. Lah?! Bang Yuto?

Dia, yang disebut Yuto oleh Fara, terus menatapnya. “Coba ulangi, Abang mau dengar.”

Ruang rapat hening total. Semua yang ada di sana, kecuali Fara tentunya, tampak bingung dengan sosok Yuto yang tak mereka kenal namun mendadak nongol di sana dan terlihat akrab dengan Fara.

Fara buru-buru membersihkan bibirnya dari minyak dengan tisu di tangannya.

“P-Pak, kenapa nggak kenalin diri dulu?” katanya gugup, suaranya mendadak mengecil karena masih kaget.

Yuto senyum miring. “Jawab dulu. Dan jangan panggil Pak. Abang masih 24 tahun.”

Fara nelen ludah. “J-Jawab apa, P-Pak?” dan Fara tetap saja menyebut 'Pak'.

“Tadi kan mereka tanya, Abang ganteng atau enggak, baik atau nggak.”

Duh, rasanya Fara pengin masuk kolong meja. Kenapa malah bahas ini?

Wajahnya udah merah kayak kepiting matang, rasanya malu kali. Tapi akhirnya dia bisik lirih, “Ganteng dan baik kok, Pak…”

Yuto senyum puas, angkat bahu ringan. “Oh, gitu ya?” Senyum Yuto mengembang lebih lebar. "Makasih banyak kalau gitu." Tampak sangat puas mendengar perkataan Fara.

Barulah setelah itu, dia berdiri dengan santai. Dengan sikap santainya, tetapi tetap menunjukkan sikap sopan, Yuto menatap satu-persatu staf yang ada di sana, yang sejak tadi terus menatapnya heran, karena belum mengenal siapa dirinya.

“Assalamualaikum, perkenalkan, saya Yuto. Mulai hari ini jadi Manager Pengembangan Produk dan Ekspor di sini.”

Semua mata melotot, kecuali Fara.

Pria yang tadinya kedapatan tidur di ruang rapat, ternyata bos mereka. Dan benar seperti yang dikatakan Fara, bos mereka yang kali ini memang ganteng. Ganteng kali malah. Sama saja seperti kepala cabang mereka, Pak Yuki. Sama-sama terlihat seperti orang Jepang. Tentu saja, karena mereka memang ada keturunan Jepangnya.

Yuto membungkuk sedikit. “Mohon bimbingannya ya, Pak... Bu... Kak... dan Adek Fara. Soalnya saya anak baru juga… walaupun statusnya manager.”

Tawa kecil pun terdengar dari mulut Pak Andi.

“Maaf tadi munculnya… ya, gitu,” lanjut Yuto sambil garuk-garuk kepala. “Saya semalam baru sampai dari Jepang. Jet lag masih berantem sama lambung. Akhirnya tadi sempatin tidur bentar… Niatnya nyari kopi malah ketiduran.”

Pak Andi berseru pelan, “Pantes tadi waktu masuk sini, lho, kok ada aroma kopi basi.”

Tawa meledak. Termasuk dari Fara, tapi cepat-cepat tutup mulut karena takut dikira nggak sopan sama manager baru.

Tapi, Yuto tertawa juga. "Kopi basi bukan dari saya lho, Pak... Itu, coba cek tong sampah. Ada banyak sampah belum dibersihkan."

“Sampah, Pak? Serius? Biasanya si Agam sama si Zubaidah nggak pernah ketinggalan sampah. Rajin kali orang itu,” tanya Imah sambil melangkah menuju tong sampah di sudut ruang rapat dan ternyata benar. Masih ada sampah di dalam sana, termasuk beberapa cup berisikan sisa kopi. "Maaf ya, Pak. Saya hubungi dulu orang itu."

Yuto mengangguk. “Kalau gitu, saya mau kenalan dong. Coba, perkenalkan satu per satu.”

Satu per satu mulai memperkenalkan diri.

“Saya Andi, bagian logistik. Hobinya mancing, tapi gak pernah dapat ikan,” kata Pak Andi disambut tawa oleh Yuto dan yang lain.

“Sisi, Pak. Desain kemasan. Suka kopi susu tapi abis itu mencret.” Mereka tertawa lagi.

“Imah, Pak. Admin. Paling nggak bisa kerja kalau belum makan. Muka saya bakal kayak genderuwo. Rasanya pengen makan orang aja." Tawa mereka kembali pecah.

“Lia, Pak... QC. Paling anti kalau ada yang makan di jam kerja. Si Fara nih, suka kali makan sambil kerja. Nggak kenyang-kenyang perutnya. Pantaslah perutnya buncit.”

Semua langsung nengok ke Fara diikuti tawa mereka.

Fara menunduk, pura-pura sibuk ngelap jari pakai tisu.

Yuto ikut melirik dan tersenyum tipis. “Ayo, perkenalkan diri, Bebek Gendut.”

Fara mendongak kaget. “Haaa?!” B-Bebek gendut? ulangnya dalam hati.

“Bagian apa, Fara?" tanya Yuto, suaranya melembut.

“Staff kreatif, Pak,” jawabnya malu-malu.

“Masih suka bakwan?”

Fara tersenyum canggung, tetapi Bu Lia yang menjawab, "Hampir setiap hari dia bawa bakwan, Pak."

Yuto tertawa. “Masih ternyata,” gumamnya pelan.

Semua mata kini tertuju ke Yuto dan Fara.

Bukan cuma karena Yuto memanggil Fara dengan sebutan Bebek Gendut, tapi juga karena cara dia bilangnya… berbeda.

Sisi mengerutkan kening. Matanya berpindah dari wajah Fara ke Yuto, lalu balik lagi. Seperti sedang menonton balapan mobil tamiya.

Pak Andi melirik Imah, lalu berbisik, “Itu nada suara bos… kenapa kayak abang-abang yang lagi ngode ke cewek sebelah rumah ya?”

Imah ngangguk cepat. “Aku pikir aku yang halu barusan.”

Sementara itu, Fara sendiri tidak merasa aneh dengan sikap Yuto kini. Sejak dulu, Yuto memang selalu berlaku lembut seperti saat ini, sama saja dengan perlakuannya kepada semua adiknya. Mungkin, karena Fara sahabat baik adik sepupunya dan dulunya juga sangat sering main bersama mereka, jadi, cara Yuto memperlakukan Fara tak jauh berbeda. Seperti itu sih yang Fara pikirkan.

Namun, yang membuat Fara heran, dari semua orang yang ada di ruangan itu, kenapa sejak tadi cuma dia yang ditatap Yuto?

.

.

.

.

.

Continued...

Bab 2 | Tatapannya Berbeda

Suasana ruang rapat yang tadinya penuh tawa perlahan mereda. Yuto menyandarkan punggungnya ke kursi dan menautkan jemarinya di atas meja. Tatapannya menyapu seluruh ruangan. Dia terlihat mulai menilai, seakan siap mendengar, siap menyerap.

“Sekarang saya mau tahu, Bapak, Ibu, dan Kakak-kakak,” ucapnya serius, nada bicaranya menjadi lebih fokus. “Akhir-akhir ini lagi ngerjain apa? Ada project baru atau kendala yang lagi dihadapi?”

Pak Andi refleks mengangkat tangan. Kelihatan semangat kali. “Saya dulu ya, Pak.”

Yuto mengangguk dengan senyum tipisnya.

“Minggu ini saya lagi ngatur pengiriman ke Tokyo. Barangnya udah siap di gudang, tapi ada kendala di kontainer. Perusahaan pengangkut yang biasa kita pakai katanya overload minggu ini. Jadi kita lagi cari opsi alternatif biar nggak molor kirimannya.”

“Overloadnya karena cuaca atau mereka memang kekurangan armada, Pak?” tanya Yuto cepat.

“Kurang armada, Pak. Katanya ada penambahan pengiriman dari klien lain, jadi slot kita ditunda.”

Yuto mengangguk pelan. “Berarti harus punya vendor backup, ya. Kalau Tokyo delay, mereka bisa panik. Ada opsi lewat pelabuhan lain?”

“Ada, tapi biayanya lebih mahal, dan waktu tempuh bisa beda dua hari,” ujar Pak Andi sambil membuka catatan logistiknya.

"Oh ya, bukannya kita juga kirim Bumbu Mie Aceh yang basah? Aman pakai kapal?"

“Betul, Pak. Bumbu Mie Aceh yang basah memang kita kirim juga. Tapi kita udah pakai metode pengemasan khusus. Kita vakum dan dikemas berlapis dalam pouch alumunium foil food grade, terus dimasukkan ke box berpendingin. Bumbunya juga udah diproses dengan pasteurisasi ringan, jadi aman disimpan suhu ruang selama pengiriman.”

Pak Andi melanjutkan, “Kami selalu pilih kontainer jenis reefer container, yang ada pendingin suhunya, biar stabil selama perjalanan laut. Jadi kualitasnya tetap terjaga sampai tiba di Tokyo.”

“Nanti saya bantu follow up vendor, Pak.”

“Siap, Pak.”

Lalu Bu Lia bersuara. “Dua hari yang lalu kami temukan beberapa kemasan bermasalah, Pak, terutama untuk produk Sambal Terasi sama Bumbu Mie Aceh. Isi produknya aman, tapi ada beberapa botol dan plastik yang penyegelnya nggak rapat. Kalau sampai dikirim ke Tokyo dalam kondisi kayak gitu, bisa dianggap nggak layak jual.”

“Yang bermasalah dari batch produksi tanggal berapa, Bu?”

“Batch tanggal 21 sampai 23 April, Pak.”

“Produk dari UMKM yang mana?”

“Dari dua mitra, Pak. Tapi dua-duanya dari Langsa. Rata-rata masalahnya ada di proses penyegelannya sih. Mereka masih pakai alat semi manual, jadi kadang memang kayak gitu. Kami udah koordinasi juga ke tim kurasi, supaya dicek lagi.”

Yuto mengangguk, lalu bertanya lagi. “Untuk penyegelan, kita bantu di gudang, kan?”

“Betul, Pak. Tapi untuk batch ini, beberapa sudah lolos masuk gudang sebelum dicek ulang. Kami langsung tahan semuanya begitu ditemukan masalah.”

“Bagus. Segera tahan distribusinya. Kalau perlu, kita review ulang SOP pengecekan sebelum barang loading ke kontainer, terutama untuk produk yang sensitif di pengemasan. Kita udah dipercaya pasar Jepang. Sekali aja kita kirim produk cacat, kepercayaan itu bisa hilang.”

“Siap, Pak.”

Sisi, yang duduk di sebelah Imah, melanjutkan. “Saya bantu desain label dan materi promosi, Pak. Kami lagi revisi desain untuk etalase toko di Tokyo, sama bikin video pendek buat LED screen di depan outlet.”

“Video pendek? Formatnya vertikal atau horizontal?”

“Horizontal, Pak. Buat LED screen ukuran 16:9.”

“Durasinya?”

“Sekitar 30 detik. Kami pakai konsep warna earth tone biar lebih kalem, sesuai selera visual Jepang yang nggak suka terlalu ramai.”

“Good. Tapi jangan lupakan elemen lokal ya, Kak. Produk kita tetap harus punya identitas Indonesia.”

Sisi mengangguk cepat. “Iya, Pak. Kami lagi eksplor musik latar pakai lagu-lagu Aceh, biar ada sentuhan lokalnya. Masih kami cari yang pas sih, Pak.”

Yuto mengangkat alis, terkesan. “Menarik itu, Kak”

Imah juga ikut melapor, "Saya fokus urus invoice, packing list, sama laporan bulanan, Pak. Tapi lagi repot kali, karena ada revisi dokumen dari kantor Tokyo. Format laporan kita nggak sesuai sama sistem baru mereka."

“Sistem baru?” tanya Yuto, matanya menajam.

“Ya, Pak. Mereka sekarang pakai sistem berbasis ERP. Format kita masih manual pakai Excel biasa.”

“Kalau nggak segera adaptasi, bisa makan waktu banyak buat revisi. Kakak udah sempat minta panduan dari mereka?”

“Udah, Pak. Tapi mereka kirimnya dalam Bahasa Jepang.”

Yuto tertawa kecil. “Nanti saya bantu terjemahkan, ya. Kita buat template tetap, jadi bulan depan tinggal pakai.”

“Siap, Pak.”

Akhirnya, Yuto menoleh ke Fara. Nadanya yang semula tegas dan berwibawa, mendadak melembut.

“Kalau kamu, Fara?”

Fara yang sedari tadi mendengarkan, cepat-cepat mengangkat wajah dan menjawab hati-hati.

“Saya bantu konten sama materi promosi digital untuk cabang Tokyo, Pak. Minggu ini lagi bikin storyboard video perkenalan outlet, buat ditayangin di channel YouTube mereka.”

“Formatnya animasi atau live shoot?” tanya Yuto pelan. Lembut kali suaranya.

“Live shoot, Pak. Kami mau ambil footage dari dapur, etalase, dan pelanggan yang datang. Konsepnya sehari di toko gitu.”

Yuto menyipitkan mata, mencoba mengingat.

“Kamu yang bikin video slow-mo goreng bakwan waktu acara ulang tahun kantor, kan?”

Fara membeku dan berkedip sesaat. “Eh, i-iya, Pak.”

Yuto tersenyum kecil. “Cocok. Sentuhan kamu khas. Nanti tunjukin storyboard-nya ke abang, ya.”

“Oke, Pak.” Fara mengangguk pelan, senyumnya malu-malu, merasa canggung mendengar Yuto menyebut 'Abang'.

Sementara itu, staf lain mulai saling pandang. Ada yang berdeham kecil, ada pula yang pura-pura sibuk mencatat, tapi tentu saja, mereka menyadari itu. Cara Yuto memandang Fara, serta nada bicaranya ketika bicara kepada Fara, jelas berbeda.

“Kalau gitu…” Yuto akhirnya berdiri, kembali membuat mereka syok saat mendapati ternyata bos mereka cukup tinggi. Tak hanya itu, tubuhnya juga tampak sangat gagah, sangat menarik. Bisa dipastikan tak lama lagi dirinya akan menjadi idola baru di kantor. “Ayo tunjukkan di mana ruangan kita. Saya belum tahu di mana soalnya.”

Semua anggota timnya buru-buru berdiri. “Ayo, Pak! Saya tunjukkan! Meja bapak pun saya sendiri yang tata, loh!” kata Pak Andi. Semangat kali ngomongnya.

Yuto lekas mengikuti langkah Pak Andi yang sudah lebih dulu melangkah keluar dari ruang rapat. “Pak, gausah panggil saya 'Pak'. Panggil nama aja gapapa, Kok,” kata Yuto, sudah melangkah di samping Pak Andi.

“Ya nggak boleh lah, Pak. Walaupun saya jauh lebih tua, tapi bapak kan atasan saya. Harus tetap saya hormati. Santai aja, Pak…” Pak Andi menepuk ramah punggung Yuto. “Wih, bapak ternyata tinggi kali, ya. Keknya keluarga bapak tinggi-tinggi semua, ya. Pak Yuki tinggi, Pak Rio pun tinggi. Kemaren itu pernah ke sini juga, katanya ibunya Pak Yuki. Beuh, tinggi juga! Nenek bapak lah ya itu?”

“Nek Ani maksud bapak?”

Pak Andi tampak ragu. “Saya nggak tahu sih namanya. Tapi tinggi kali orangnya. Di bawah bapak dikit.”

Yuto tersenyum bangga. “Nenek saya yang tinggi ya cuma Nek Ani, Pak. Dulu Nek Ani atlet basket. Jago tinju juga, kayak mama saya.”

“Ha… iya, saya pernah dengar itu, Pak! Adik bapak katanya juga pernah jadi atlet tinju, ya?”

Yuto mengangguk, semakin merasa bangga. “Iya, tapi dulu waktu masih sekolah. Sekarang dia udah kuliah, nggak papa saya kasih lagi.”

“Padahal keren loh, Pak, kalau dilanjutin. Jaman sekarang cewek harus tangguh. Soalnya ada banyak kejahatan. Anak saya aja saya suruh latihan silat. Nggak masalah kadang saya yang kena hajar.”

Yuto tertawa geli. Sepertinya ia mulai mengerti, kemungkinan Pak Andi ini memang lawak kali orangnya.

Di belakang mereka, sekitar beberapa langkah saja, Bu Lia, Sisi, Imah, dan Fara menyusul. Mereka melangkah pelan, tetap bisa mendengar obrolan antara bos mereka dan Pak Andi di depan sana.

“Heh, itu Pak Yuto kok gitu kali sama kau, Dek? Katanya nggak dekat kali, tapi cara dia natap kok kayak lagi lihatin adek sayang?” tanya Bu Lia tiba-tiba, jalannya sudah mepet ke Fara.

Sisi dan Imah mengangguk.

“Iya, Ngomongnya pun lembut kali. Kayak cowokku kalo lagi minta jatah,” gumam Imah, yang kemudian dikeplak kepalanya sama Sisi.

“Berzina kau, ya?!” sembur Sisi.

Imah pun tersadar. Keceplosan dia ternyata. “Ih, *astagfirullah*! Enggak, loh! Salah ngomong aku tadi. Maksudku, kalau cowokku minta dimasakin sesuatu, ngomongnya pasti jadi lembut kek Pak Yuto tadi.”

“Heleh, ngeles pula kau. Jangan kau berzina. Kasihan tetanggamu ikut tanggung dosamu… mending kelen nikah terus. Entah apa pacaran. Mau sampai kapan pacarannya?” Si jomblo sedang menasehati.

“Cih, kau jomblo diam ajalah.”

“Justru aku milih jomblo dari pada pacaran.”

“Heh, diam dulu kelen. Ibu lagi tanya sama Fara.” Bu Lia kembali melirik Fara. “Cepat jawab, kok kek gitu kali tadi Pak Yuto? Apa saling suka kelen?”

Langsung matang pipi si Fara. Mungkin bentar lagi keluar asap dari hidungnya. “Apalah ibu ini. Ya enggak, lah. Pak Yuto itu sepupu sahabat Fara loh, Bu. Tapi memang, dulu, sebelum Pak Yuto kuliah ke Kyoto, ya kami sering ketemu. Soalnya, keluarga mereka tuh suka pergi berenang sama-sama, terus suka ajak Fara. Kadang main ke pantai yang di Idi, ajak Fara juga. Kadang mereka bikin bakar-bakar di rumah orang tuanya Pak Yuto, Fara juga diundang. Gitu… makanya kenal, tapi sebenarnya nggak kenal-kenal kali. Cuma sering ketemu aja.”

Fara melanjutkan, “Mungkin karena Fara dekat sama sepupunya, jadi Pak Yuto anggap kayak adiknya juga. Karena dulu pun Pak Yuto memang kek gitu kalo ngomong sama Fara. Nggak sama Fara aja, ke semua adik sepupunya kek gitu juga. Memang lembut orangnya.”

Mendengar penjelasannya, Bu Lia, Sisi, dan Imah mengangguk mengerti, tetapi mereka tetap merasa tak sepenuhnya yakin, karena bagi mereka, memang ada yang berbeda dari cara Yuto menatap dan berbicara kepada Fara tadi.

.

.

.

.

.

Continued...

Bab 3 | Ternak Bebek

Mereka melewati beberapa ruangan, hingga akhirnya tiba di ruang kerja tim ekspor, ruangannya nggak begitu luas, sudah tampak terang dengan pencahayaan alami dari jendela besar yang menghadap ke halaman belakang gedung.

“Ini ruangan kita, Pak,” ucap Pak Andi penuh semangat. “Dan ini...” Ia berhenti tepat di dekat jendela besar. “Meja kerja Bapak. Tempat paling terang, biar wajah ganteng Bapak bisa kelihatan jelas sama kami.”

Yuto tersenyum, perlahan mendekat. Sejenak, pandangannya menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya tertuju pada meja yang ditunjukkan Pak Andi. Tapi langkahnya terhenti begitu matanya tertuju pada sebuah meja lain yang berada tepat di depannya, dalam posisi menyamping dari mejanya.

Ia langsung tahu, tanpa perlu bertanya, siapa pemilik meja itu.

Pernak-pernik serba bebek yang menumpuk di atas meja membuatnya tak mungkin salah tebak. Ada keyboard putih dengan beberapa keypad berwarna kuning, beberapa berbentuk kepala bebek. Gelas warna kuning bergambar bebek, bersebelahan dengan pulpen-pulpen aneh berkepala bebek yang ditaruh dalam tempat pensil bening. Bahkan mouse pad-nya pun gambar bebek.

Ia melihat sebuah kotak makanan berwarna krem tergeletak di atas meja itu. Tutupnya terbuka sedikit, cukup untuk menampakkan isi dalamnya yang berupa beberapa potong bakwan lengkap dengan cabai rawit.

Ia melirik ke arah Fara yang baru saja masuk bersama Imah dan lainnya, lalu kembali menatap meja itu dengan senyum yang belum reda.

“Pak? Kok bengong?” tegur Pak Andi. “Ini meja Bapak, bukan itu. Kalau itu sih meja si Fara. Ternak bebek dia. Jadi jangan heran kalau banyak ternaknya di atas meja.”

Yuto tersenyum kecil sambil mengangguk dan lekas melangkah menuju mejanya. Ia mulai mengeluarkan laptop dari dalam tas, menyalakannya. Satu per satu email dari kantor Tokyo mulai berdatangan.

Di sekelilingnya, anggota tim juga mulai sibuk di meja masing-masing.

Pak Andi berdiri di meja ujung, berbicara di telepon membahas opsi pengiriman dengan agen pelayaran alternatif. Sesekali ia mencatat sesuatu di buku catatannya yang penuh dengan coretan.

Bu Lia duduk dengan posisi tegak, membuka file laporan batch produksi, mulai membandingkannya dengan hasil inspeksi lapangan. Ia tampak fokus kali, hanya sesekali berdeham kecil sambil mengetik data.

Sisi dan Imah tampak duduk berdampingan, membahas desain grafis di layar komputer. Sisi menunjukkan revisi terbaru poster promosi digital sambil memutar video preview, sedangkan Imah sesekali memberi masukan sambil mengelola dokumen invoice yang harus dikirim hari itu.

Fara… seperti biasa yang selama ini dia lakukan di sana, sudah menyalakan musik pelan dari earphone-nya, memilih lagu ballad dari EXO, boyband favoritnya, sambil menatap layar laptop dengan alis sedikit berkerut. Tangannya sibuk menyusun urutan storyboard, sementara sticky notes warna kuning menghiasi pinggiran monitornya. Kotak bakwan di atas mejanya belum tersentuh lagi, mungkin masih menunggu jam istirahat.

Yuto memandangi sekeliling ruangan. Suasana kerja di tim ekspor ini terasa hidup, tapi tidak berisik. Semua bergerak sesuai tugasnya masing-masing.

Ia menarik napas pendek dan mulai mengetik, membalas email dari kantor Tokyo yang menanyakan jadwal kirim batch produk berikutnya, lalu membuka laporan kualitas yang dikirim Bu Lia via Google Drive. Ia menambahkan komentar langsung di file itu, menandai bagian-bagian yang butuh evaluasi lanjutan.

Pintu ruang kerja mereka diketuk seseorang, yang sedetik kemudian seorang wanita paruh baya tampak melangkah masuk, sudah tersenyum lebar kepada Yuto.

“Peluk dulu, dong… tadi pagi Onti nggak sempat ketemu sama Yuto.”

Itu Endah, tantenya Yuto, istri Yuki si kepala cabang. Endah juga bekerja di sana sebagai Manager Pemasaran.

Yuto bangkit dari duduknya, lekas memeluk Onti-nya. Tak hanya sebagai Onti, dulu, sebelum Endah menikah dengan Yuki, Endah adalah sahabat ibunya hingga akhirnya Endah menikah dengan Yuki, adik ibunya.

“Tadi waktu Yuto ke rumah, kata Esha, Onti lagi ke kedai Kek Fuad,” kata Yuto dalam pelukan mereka.

“Iya, tadi Onti beli telur. Soalnya si Esha Onti suruh gamau. Om Yuki lagi repot kali ngurus lukisannya, nggak bisa diganggu.” Esha anak Endah dan Yuki. Ada satu lagi anak mereka, namanya Yumi dan saat ini sedang berkuliah di Kyoto bersama Dava, adik Yuto.

Saat Yuto masih melepas rindu dengan tantenya, diam-diam Fara memperhatikan mereka. Ada rasa iri melihat kedekatan mereka, seakan hal seperti itu adalah hal yang sulit untuk Fara rasakan.

Ia… ingin sekali merasakan itu. Dipeluk seseorang. Tapi, keadaan membuatnya sulit untuk mendapatkan pelukan.

Mengapa sulit? Bukankah dia anak bontot? Orang tuanya juga masih ada. Bukankah anak bontot selalu dimanja?

Tidak. Meski bontot, Fara justru memeluk lukanya sendiri. Dimanja? Yang dimanja malah bukan dirinya, melainkan Shella, kakaknya yang sudah berumah tangga dan kini menetap di Bandung, ikut sang suami.

Fara tersenyum kecut dan kembali fokus pada pekerjaannya. Menelan kekecewaan sudah menjadi santapannya setiap hari. Tapi bukan berarti ia tidak senang melihat momen bahagia orang. Dia justru merasa senang. Bahkan ia pernah berpikir, tak masalah jika hanya dirinya yang merasakan kekecewaan seperti ini, karena ia sudah terbiasa dan orang-orang di sekitarnya belum tentu mampu menghadapinya.

Endah melepaskan pelukannya dari Yuto, mengusap lengan keponakannya dengan lembut, lalu matanya melirik cepat ke sekeliling ruangan, hingga pandangannya berhenti pada sosok Fara yang berusaha sibuk di depan layar komputer.

Senyum Endah mengembang. Ia melangkah ringan ke arah meja Fara, tanpa basa-basi menepuk pelan bahu gadis gemoy itu.

“Fara, bawa bakwan lagi? Nggak bosan?”

Fara tersentak kecil, lalu tersenyum malu. “Ganti-ganti sayurnya, Bu...”

Selama di kantor Fara memang akan memanggilnya Ibu. Jika tidak di kantor, tentu memanggil Onti seperti Yuto tadi.

“Memangnya kemarin sayurnya apa dan hari ini apa?” Cara Endah bertanya tampak jelas kalau dia gemas kali dengan Fara.

Fara menjawab, “Kemarin kol sama wortel, hari ini jagung sama kornet, Bu…” Lalu dia tertawa kecil, merasa canggung, dan menunduk sedikit.

Endah dan Yuto tertawa pelan, begitu juga semua staf yang ada di sana.

Tanpa bertanya lagi, Endah membuka tas jinjingnya yang dari tadi menggantung di pundak dan mengeluarkan sebungkus risol goreng. “Nih, cobain risol mayo buatan Onti. Itu mayo-nya pakai thousand island, mustard, lada, saus cabe, minyak wijen, sama kecap ikan. Langsung Onti campur sama sosis dan telur yang udah Onti orak-arik.” Endah cepat-cepat menambahkan. “Onti tahu Fara suka masak, kan? Makanya Onti kasih tahu resepnya. Kalau suka, bisa dicoba di rumah.”

Senyum Fara merekah sambil meraih risol dari tangan Endah, lalu mengatakan, “Makasih, Bu…”

Endah hanya tertawa ringan, melirik Yuto yang kini kembali duduk di kursinya, lalu kembali menatap Fara.

Diam-diam Yuto mencuri pandang ke arah mereka. Tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang menghangat di dadanya saat melihat Fara tersenyum kecil kepada Ontinya, dan dia juga merasa senang, melihat bahwa ternyata Fara begitu diperhatikan oleh Ontinya.

.

.

.

.

.

Continued...

.

.

.

Jangan lupa like, komen, dan follow ya kakak...

Maaciw!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!