NovelToon NovelToon

Aku Bukan Malaikat

Broken

“Katakan apa salahku? Aku sudah menjadi anak yang penurut, menyetujui perjodohan yang diatur orang tua. Merelakan karierku dan menjadi perempuan rumahan dengan harapan ibu mertuaku bangga mempunyai menantu yang ia inginkan. Cantik, pintar memasak, penurut, dan sepenuhnya di rumah. Aku juga tidak banyak menuntut.”

Laki-laki di depannya bergeming.

“Jangan diam saja!” bentak Farah kepada pria yang saat ini masih berstatus sebagai suaminya.

-----------------

Dua jam yang lalu, adalah neraka baginya.

Keanu, keponakan Farah yang kemarin bermain ke rumahnya ternyata meninggalkan jam tangan teleponnya di tas kerja Ian—suami Farah. Si gembul itu merengek ke mamanya agar jamnya kembali segera, sehingga mau tidak mau Farah harus menghubungi Ian yang masih kerja. Sayangnya ponsel Ian belum bisa dihubungi.

“Maaf Santi, Ian sedang ke luar kota, kemungkinan jam Keanu baru bisa kembali besok.”

Keanu menangis meraung-raung ketika mendengarkan penjelasan Farah. Perlu lima belas bungkus jajanan berbentuk telur isi coklat dan susu agar membuat Keanu berhenti menangis. Setelah anak itu tenang Santi membuka aplikasi tracking GPS yang terkoneksi antara ponselnya dengan jam tangan Keanu, mungkin saja Ian sudah kembali dari luar kota sehingga ia bisa mengambil jam Keanu. Namun, hasil dari tracking GPS membuat Santi mengerutkan dahinya.

Jam Keanu tidak berada di luar kota, tapi di salah satu kawasan apartemen elit.

“Masa sih, San?” tanya Farah yang tak yakin. Hari itu adalah hari Senin di jam yang paling sibuk bagi orang kantoran.

“Tuh, kamu lihat sendiri.” Santi menyodorkan ponselnya yang masih menampilkan tanda seperti tetes air mata terbalik berwarna biru.

“Jam Keanu sudah ketemu, Ma?” tanya Keanu yang antusias. Bibirnya belepotan dan ia masih sibuk menyendok coklat susu dari cangkang telur di tangannya. Farah tak mendengarkan ocehan Keanu karena kepalanya sedang penuh dengan pertanyaan yang melintas.

“Tapi ini apartemen elit, kita gak bisa masuk sembarangan kalau gak kenal penghuninya,” kata Santi kemudian. Farah mudah saja mendapatkan akses untuk masuk ke apartemen itu karena gedung itu milik Ilyas Limited Corporation. Yang berarti dia hanya perlu menghubungi Gwen untuk mengijinkannya masuk. Hanya saja, alasan apa yang harus Farah berikan kepada sahabatnya itu?

Farah tidak pernah berbohong dan dia takut untuk mengatakan hal yang sejujurnya kepada Gwen. Terlebih hal itu hanyalah asumsinya saja. Meski di pikirannya sudah dipenuhi hal-hal buruk mengenai suaminya, Farah masih tetap berpikir positif.

Mungkin Ian sedang ada rapat mendadak di sana.

Mungkin bos Ian sedang berada di apartemennya dan Ian ditugaskan ke sana.

Sayangnya pikiran positif itu kalah kuat. Tubuh Farah bergetar seiring detak jantungnya yang semakin naik.

“Farah.” Panggilan dari Santi membuat Farah terbebas sesaat dari pertarungan batinnya. Santi yang kerepotan menolak keinginan anaknya terpaksa meminta Farah untuk segera ikut menemui Ian. Farah mengambil Galen yang tengah tidur dari dalam box bayi.

Taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah apartemen elit dan Farah masih belum yakin akan langkahnya. Santi masuk lebih dulu dengan langkah cepat. Sayangnya langkah Santi terhenti karena dia tidak punya akses masuk.

“Adik ipar saya ada di dalam, Pak,” kata Santi kepada petugas keamanan yang memakai seragam serba hitam. Ia berharap bapak yang terlihat garang itu percaya dengan kata-katanya.

“Di unit berapa, Bu? Biar petugas lobi yang menghubungi ke penghuni yang dituju. Kalau Ibu tidak punya acces card, tidak bisa masuk ke sini,” ujar Bapak itu yang bertindak sesuai prosedur keamanan.

Santi tahu bahwa dia tidak akan bisa menyebutkan dengan pasfi nomer unit, bahkan nomer lantainya. Aplikasi tracking yang terpasang di ponselnya tidak sepintar itu, dia juga tak yakin kalau Ian adalah pemilik unit di apartemen itu.

“Aduh gimana, yaa. Saya lupa lantai berapa?”

Farah masih terdiam di tempatnya berdiri. Pertarungan batinnya terasa lebih hebat saat ini. Firasatnya mengatakan bahwa sebentar lagi badai masalah akan datang menggulungnya. Farah tahu bahwa akan ada konsekuensi yang besar yang harus dia tanggung, tapi apakah dia berani menerima resiko itu?

Santi sudah patah semangat, tapi Keanu malah meledak-ledak. Petugas Concierge sampai ikut keluar dari meja lobi untuk merayunya dengan permen. Bapak petugas keamanan tidak mau mengendurkan penjagaannya. Di tengah kekacauan, Galen dalam gendongan Farah menambah dengan tangisannya yang memekakkan telinga. Padahal Galen biasanya bayi yang selalu tenang, asal dia mendapatkan asi yang cukup dan popoknya kering, dia tidak akan rewel.

Farah menitikkan air mata, lalu sambil mengayun tubuhnya agar Galen tenang, ia meraih ponsel dalam tas bayi. “Halo, Assalamu’alaikum. Gwen aku butuh bantuan kamu.”

---------------------------------------------------------------------

Kini mereka berdua, Farah dan Ian bicara di ruang tamu rumah mereka. Santi dan Keanu sudah pulang lebih dulu. Ia berjanji tidak akan cerita apapun kepada keluarga mereka tentang masalah itu sebelum Farah membolehkannya. Bahkan Santi menyuap Keanu agar si gembul itu juga bungkam. Namun mengingat bahwa anak kecil selalu berkata jujur, Santi ragu kalau efek satu kotak es krim bisa bertahan lama.

Sedangkan Gwen, ia menjaga Galen yang tertidur di box bayi di dalam kamarnya. Gwen yakin akan ada masalah besar ketika mendapatkan telepon dari Farah yang terisak. Ia sengaja pulang lebih awal dan membatalkan rapat direksi pada rumah sakit miliknya yang akan dibuka seminggu lagi.

Gwen membiarkan kedua suami istri itu bicara tapi dia tidak mau meninggalkan Farah sendirian.

“Jawab aku, jangan diam saja! Kamu pikir aku bodoh selama ini?” tanya Farah yang berurai air mata.

“Kamu sudah kuberi tahu tentang Mala. Bukankah kamu juga bisa mengerti?” Akhirnya pria itu bicara, tapi Farah justru ingin meledak mendengarnya.

“Aku bisa mengerti dia masa lalu kamu. Aku bisa mengerti kalau sulit melupakan orang yang kamu cintai. Tapi bukan begini!

Aku mengerti kamu masih belum bisa mencintai aku, tapi bukan berarti kamu boleh seenak itu selingkuh di belakangku! Apa kamu pikir pernikahan kita hanya main-main saja?”

Kembali pria itu tak bicara. Farah menunggu Ian menjelaskan sesuatu meskipun Farah tak yakin bahwa kalimat Ian akan mengubah pendiriannya. Cukup sudah sepuluh menit Farah menunggu Ian bicara. Keheningan yang mencekam di antara mereka membuat Farah yakin bahwa ia tak bisa bertahan lebih lama.

Farah menggeleng lalu tertawa miris. “Sudahlah, aku yang bodoh.” Farah kemudian menghapus air matanya lalu menuju ke kamar Galen. Ia mengambil tas lalu memasukkan baju-baju, peralatan mandi Galen dan popoknya. Gwen memeluk Farah yang sibuk memasukkan baju Galen. Tangis Farah pecah di dalam pelukan sahabatnya.

--------------

Halo pemirsaaa

Ini adalah karya kedua aku. Seperti biasa mohon dimaklumi kalau tidak bisa update terjadwal 😊

Terima kasih atas dukungan kalian selama ini. 💕💕💕

Ancaman

Gwen menggeret koper Farah keluar dari kamar Galen. Bayi itu masih tidur nyenyak tak terusik meskipun Farah memindahkannya ke gendongan. Farah bersyukur ia belum paham apa yang terjadi di antara ia dan suaminya.

Pria itu masih duduk di sofa ruang tamu. Ia melihat koper dan beberapa tas yang dibawa Gwen. “Kamu mau ke mana?” tanya Ian kepada Farah.

“Apa pedulimu aku mau ke mana?” balas Farah.

“Setidaknya aku tahu kamu mau ke mana. Aku masih suami kamu.”

Farah menelan saliva yang mengganjal di tenggorokannya. Menahan diri agar tak meledak amarah karena Galen bisa terkejut. “Aku tak tahu, pokoknya jauh dari kamu.”

“Nyalakan terus hapenya.”

Farah kemudian menatap pria itu. Menanti beberapa saat sebelum benar-benar meninggalkannya. “Kamu tahu kalau ini bisa jadi terakhir kalinya kita bertemu sebelum sidang, kan?”

“Apa maksud kamu?” tanya Ian yang mengerutkan dahinya.

“Oh please, Ian. Jangan pura-pura bodoh.” Wajah Farah tampak lelah. “Apa kamu pikir aku diam saja dikhianati seperti ini?” desisnya.

“Keluarga kita tak akan setuju.”

Farah tertawa miris. “Berapa umur kamu? Kurasa kamu bukan anak kecil lagi. Apa begini cara kamu menyelesaikan masalah? Berlindung di bawah ketiak mama kamu?”

“Jaga ucapanmu, Farah!” tangan Ian bergerak ke atas hendak menjatuhkan tamparan ke pipi Farah, tapi Gwen bergerak cepat memeluk Farah sehingga tamparan itu mengenai belakang kepala Gwen.

“Gwen!” pekik Farah.

“Aku gak pa-pa,” jawab Gwen.

“Baiklah Ian, aku rasa ini terakhir kalinya kamu bisa bertemu dengan Farah dan Galen.” Gwen mendorong bahu Farah agar segera keluar dari rumah itu.

“Jangan senang dulu, aku pastikan Galen akan berada di dalam hak asuhku.”

Gwen berkata lirih pada Farah, “Jangan hiraukan dia.”

Setelah sampai di mobil, Gwen membantu Farah meletakkan Galen di baby car seat lalu Farah duduk di sampingnya. Gwen mengemudi dalam diam sampai ia keluar dari area perumahan.

“Kamu mau ke tempatku dulu?” tanya Gwen.

Farah yang terlihat melamun memandangi jalan menoleh ke arah spion tengah, saling bertatapan dengan Gwen. Matanya tampak berkaca-kaca. Farah bingung mau menjawab bagaimana. Dia ingin pulang ke rumah orangtuanya tapi dia belum siap bercerita tentang kejadian tadi.

Akhirnya Farah mengangguk pelan, tapi karena Gwen yang harus memperhatikan jalan ketika mengemudi, ia tak tahu bahwa Farah sudah mengangguk.

“Aku ke rumahmu.”

“Oke,” jawab Gwen singkat lalu kembali memperhatikan jalan.

Setelah sampai di rumah, Gwen segera meminta pengacara yang bekerja untuk keluarga Ilyas segera menemuinya. Rahardian atau yang biasa dipanggil Hardi—pengacaranya—sampai di rumah Gwen setengah jam kemudian. Disusul kemudian Sammy—sahabat Gwen dan Farah.

Gwen minta tolong kepada Jane untuk menjaga Galen, sedangkan ia dan Farah akan berbicara dengan pengacara itu di ruang kerja Zach.

Gwen menceritakan bahwa temannya mengalami masalah rumah tangga, dan ia meminta Hardi membantunya.

“Coba ceritakan kembali kronologi yang terjadi Bu Farah,” pinta Hardi.

Kembali, Farah harus memutar memori kejadian tadi siang yang membuat dunianya serasa runtuh. Rasa sakit dihianati membakar tubuhnya. Dia masih syok mendapati suaminya selingkuh dan berada di dalam rumah perempuan yang ia enggan menyebutkan namanya, tapi demi memenuhi tuntutan Hardi dia meloloskan nama Mala. Wanita yang seharusnya menjadi masa lalu Ian, ternyata tanpa ia sadari selalu membayangi pernikahannya.

“Lalu bagaimana keputusan Anda?”

“Bercerai,” kata Farah pelan tapi tegas.

“Anda yakin?” tanya Hardi sekali lagi.

“Iya.”

“Kalau boleh saya tahu, apa yang membuat Anda yakin kalau bercerai adalah jalan terbaik?”

Gwen mengerutkan dahinya. Hardi tersenyum lalu menjelaskan kepada ketiga wanita yang ada di hadapannya yang seakan meragukan niat Hardi membantu mereka.

“Begini maksud saya. Selama kita melakukan proses persidangan Hakim juga akan mengajukan pertanyaan yang sama dan meminta kalian untuk mempertimbangkan sekali lagi. Biasanya proses itu tidak bisa langsung diputuskan bercerai, ada setidaknya dua kali mediasi.”

“Bagaimana caranya agar saya bisa benar-benar lepas dari Ian?”

“Memang apa yang bisa menahan Bu Farah bisa bercerai dengan Ian?” Farah mengerutkan dahi tampak berpikir. “Ceritakan saja semua Bu Farah, biar saya bisa membantu Anda,” ujar Hardi.

Gwen memegang telapak tangan Farah lalu mengangguk, menyuntikkan rasa percaya diri kepada Farah. Sedangkan Sammy membelai punggung Farah.

“Saya takut mengecewakan orang tua,” ujar Farah sambil menunduk.

Gwen mengeratkan pegangannya ke telapak tangan Farah.

“Bu Farah harus yakinkan diri dulu untuk bercerai, karena tidak jarang perceraian batal terjadi karena kedua belah pihak masih mau memperbaiki hubungan.”

Farah menggeleng. “Saya tidak bisa memberikan Ian kesempatan memperbaiki hubungan kami karena saya tahu ego dia sangat tinggi. Dia pasti berpikir kalau saya akan kembali padanya karena dia tahu kelemahan saya yang mudah luluh dengan permintaan orang tua. Sedangkan dia sendiri, tak mungkin mau berhenti berhubungan di belakang saya. Bahkan tadi saja dia tidak mau meminta maaf.” Setitik air mata lolos ke pipi Farah.

Hardi mengangguk ringan. “Saya ulangi lagi pertanyaannya. Kalau seandainya Ian atau orangtua kalian meminta Anda membatalkan gugatan cerai apa Anda akan melakukannya?”

Farah menatap wajah Hardi beberapa saat lalu menjawab dengan yakin, “Tidak.”

Hardi mencatat sesuatu dalam notebook-nya dan mengangguk.

Gwen yang mengingat kalimat Ian saat akan pergi segera bertanya kepada Hardi. “Apa yang bisa membuat seorang ibu kehilangan hak asuh?” tanya Gwen langsung.

“Saya rasa posisi Bu Farah lebih kuat karena putranya masih menyusu jadi sementara sidang perwalian tidak akan ada masalah.”

“Tapi tadi Ian yakin sekali kalau dia akan memenangkan hak asuh Galen,” kata Gwen yang masih ragu.

Hardi meraba bakal janggutnya. “Kalau mantan suami melakukan permohonan hak asuh setelah putra Bu Farah lepas masa menyusu lain lagi posisinya.”

“Apa yang bisa melemahkan posisi Farah?” tanya Gwen kembali.

“Kalau ada kondisi medis tertentu atau kesehatan mental yang membuat Bu Farah dinyatakan tidak bisa mengasuh putranya. Bisa juga pertimbangan kondisi ekonomi.”

Gwen bertanya kepada Farah dengan hati-hati, “Lo gak ada penyakit tertentu, kan?” Selama ini Gwen melihat Farah sehat-sehat saja, tapi mendengarkan kalimat Ian tadi ia takut kalau sebenarnya kondisi Farah tidak begitu dan ia merahasiakan hal itu kepada sahabatnya sendiri.

Farah mengangguk tapi dia masih ragu.

“Ada apa?” tanya Gwen.

Farah menggigit bibir bawahnya. “Katakanlah,” desak Gwen dengan halus.

Farah kemudian mendekatkan bibir ke telinga Gwen untuk membisikkan sesuatu. Setelah Gwen mendengarkan ucapan Farah, segera dia mengajak Farah dan Sammy untuk ke ruangan lain. “Maaf Pak Hardi, girl's talk. Nanti saya kembali lagi ke sini. Anda nikmati saja hidangannya,” Pamit Gwen kepada pengacaranya.

Past

Gwen membuka pintu kembar perpustakaan dan mempersilakan kedua temannya untuk duduk. Farah menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Permukaan bantalan kursi yang halusnya seperti beludru tak membuatnya merasa nyaman. Gwen kemudian duduk di sebelah Farah dan bicara pelan. “Ceritakan Farah. Di sini hanya ada kita.”

Farah sudah memendam lama masa lalunya yang kelam, bahkan orangtuanya pun tak tahu apa yang terjadi padanya. Di depan mereka, Farah menjadi anak yang penurut, tak banyak bicara dan patuh. Sampai masalahnya kian membesar dan Farah tahu yang ia inginkan. Pergi jauh dari rumah.

Farah memandangi wajah Sammy dan Gwen lalu mulai bicara, “Mmm sebenarnya aku malu menceritakan hal ini, tapi kalian adalah teman yang kupercaya.”

“Okee, pelan-pelan saja,” jawab Sammy.

Farah kemudian mengangkat blus yang ia kenakan sampai perutnya terlihat. Gwen dan Sammy memperhatikan lengan Farah lalu terkesiap. Perut Farah penuh dengan bekas luka garis-garis seperti bekas sayatan pisau.

Farah sudah siap akan ekspresi wajah yang ditampakkan oleh kedua sahabatnya. “Dulu gue suka menyakiti diri sendiri. Dari mulai SMP kelas 2 waktu pertama kali dengar istilah self harm, sampai semester kedua kuliah.

Gue dari dulu selalu dapat tuntutan dari Ibu tidak boleh nangis, tidak boleh nunjukin emosi berlebihan. Kalau sampai gue melakukannya ibu akan memukulku dengan rotan dan mengurung gue seharian di kamar mandi. Akibatnya gue jadi benar-benar takut mengekspresikan emosi. Tapi kemudian lama kelamaan tak ada emosi lagi yang tersisa, gue mati rasa.

Kalian semua bisa bayangin, kan gimana anak kecil itu, mau apa kadang ngerengek atau nangis. Sedangkan gue jatuh dari sepeda aja gak boleh nangis.

Gue jadi anak pendiam, anti sosial. Itu terjadi sampai lulus SMA. Lalu pas kelas 2 SMA itu gue dengar di luar negeri orangnya gak terlalu kepo kayak di Indonesia, makanya gue ngejar beasiswa ke sana. Akhirnya kesampaian. Gue ketrima di salah satu universitas di New York tapi biaya hidup gue harus nanggung sendiri. Otomatis gue harus kerja di sana kalau mau survive. Gue gak bisa ngandelin ortu karena lo berdua tahu sendiri kalau ortu gue bukan orang tajir.”

Farah menghela napas berat. “Waktu di New York kebiasaan self harm jadi menggila. Gue sering ngelakuin itu karena pekerjaan sebagai waiters harus selalu tersenyum dan bicara dengan orang lain. Gue harus ngerasain rasa sakit setidaknya sekali sehari supaya bisa merasakan emosi. Jadi kalau di apartemen gue sayat-sayat perut di kamar mandi. Kalau udah ngelakuin itu perasaan jadi lega dan pas ngelihat ke cermin senyuman gue gak laku lagi. Tapi kalau lembur kadang di toilet tempat kerja gue lakuin lagi.

Sampai suatu ketika teman kerja mergoki gue di toilet karyawan yang lupa gue kunci, saking stressnya. Dia kemudian manggil manajer. Gue udah takut kalau dikeluarkan dari restoran itu karena dianggap membahayakan.

Ternyata, manajer itu orang yang baik. Dia menelepon ke temannya yang psikiater untuk datang dan bicara dengan gue. Dan selanjutnya gue jadi pasien psikiater itu sampai setidaknya dua tahun gue dinyatakan sembuh. Gak self harm lagi, bisa ekspresikan emosi secara wajar, dan gue juga udah mampu menghilangkan stress dengan cara wajar.”

Gwen dan Sammy menghela napas lalu tersenyum.

“Gue bangga sama lo, Farah,” ujar Sammy sambil mendekatkan diri untuk mendekap Farah dalam pelukannya.

Gwen memegang telapak tangan Farah lalu ikut memeluknya. “Andai kita kenal lebih awal,” ujarnya.

“Gak pa-pa Gwen,” tukas Farah, “gue beruntung kenal kalian saat sudah ngelewatin hari-hari gelap itu.”

Mereka saling berpelukan sampai beberapa saat. Farah merasa sangat beruntung kini ia mempunyai sahabat andai masalah seperti ini terjadi dan ia tak punya teman, mungkin ia akan kembali melakukan hal-hal buruk pada tubuhnya. Dan Ia benar-benar akan kehilangan Galen.

Kemudian Gwen melepaskan pelukannya. “Oke, Farah apa kamu siap menceritakan hal ini ke Pak Hardi?” tanya Gwen.

Farah mengangguk masih dalam pelukan Sammy. “Iya, gue gak mau Ian gunain masa lalu itu jadi kelemahan gue supaya bisa ambil Galen. Gue gak sanggup kalau itu terjadi.”

Mereka bertiga kembali lagi ke hadapan Hardi dan menceritakan tentang masa lalu Farah. Hardi mengangguk paham lalu bertanya lagi “Apakah Bu Farah bisa menghubungi psikiater itu lagi seandainya dibutuhkan bantuannya sebagai saksi ahli?”

“Tentu, saya masih simpan nomernya,” jawab Farah yakin.

“Lalu kemudian ... masalah finansial. Apa rencana Bu Farah ke depan?”

“Farah besok jadi asisten saya.” Bukan Farah yang menjawab, tetapi Sammy.

“Eh gimana maksudnya?” tanya Gwen.

“Begini, supaya kelihatan kuat secara finansial Farah harus punya pekerjaan. Nah gimana kalau Farah kembali kerja sama gue di agensi. Ga pa-pa seandainya Farah gak terlalu fokus di kerjaan karena mengurus Galen. It's no big deal. Farah bisa nangani event yang di dekat sini aja, yang luar kota dan luar negeri gue bisa sama Maura asisten gue satunya.”

Gwen mengangguk paham. Meskipun suaminya pemilik agensi itu tapi dia tidak mengenal dunia permodelan. Gwen dan Zach sama-sama memasrahkan keberlangsungan agensi kepada Sammy. Hanya saja sekarang Gwen memberlakukan peraturan kalau mereka tidak akan menerima project yang mengharuskan model tampil terlalu terbuka. Untungnya Sammy tak masalah dengan hal itu dan dia memang sudah minta ijin kepada Gwen untuk mengurangi project di luar negeri yang sering meminta model berpenampilan terbuka, karena kini ia memutuskan untuk menikah dan calon suaminya ingin Sammy melindungi para wanita agar tak terlalu terbuka secara fisik.

“Baiklah, saya rasa cukup sampai di sini. Saya minta berkas-berkas dari Bu Farah besok, tolong dipersiapkan.” Hardi merobek selembar kertas post it berisi dokumen yang harus dipersiapkan l lalu memberikannya kepada Farah. “Nomer saya ada di situ, kalau semua berkas sudah terkumpul Anda telepon saya. Gugatan cerai akan saya daftarkan, Bu Farah tidak perlu risau karena semua akan saya urus.”

Farah mengangguk lalu tersenyum kecil di akhir kalimat Hardi. “Terima kasih.”

*****

Hari itu adalah hari yang terasa berat bagi Farah. Atas saran Gwen, Farah memerah asinya dan menyimpannya di kulkas. Gwen sudah meminta salah satu pengasuh anak di rumahnya untuk menjaga Galen. Ia meminta Farah untuk istirahat dengan nyaman.

Setelah Farah duduk sendiri di atas ranjang, ia memberi pesan kepada ibunya bahwa ia menginap di rumah Gwen. Lalu Farah mematikan ponselnya. Ia belum siap menceritakan tentang hari ini ke orangtuanya, pun mendapatkan pertanyaan detail mengenai hubungannya. Ia membuka kran air untuk mengisi bak bathup sampai penuh lalu menaburkan garam mandi dan aroma terapi. Farah berendam ke dalam air hangat yang wangi itu. Pikirannya berkelana ke perjalanan pernikahannya, membuat air mata Farah luruh.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!