NovelToon NovelToon

TERPAKSA DINIKAHI PAK DOSEN

SATU

Langit biru menyelimuti desa terpencil di kaki gunung, sinyal perpisahan bagi Faza dan rombongan mahasiswanya telah tiba. Faza, dosen penanggung jawab penelitian dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN), menginstruksikan mahasiswanya untuk bersiap kembali ke kota. Mereka telah menyelesaikan serangkaian penelitian yang meliputi pendidikan, ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat lokal.

Dengan hati yang berat namun puas, mereka memeriksa sekali lagi barang bawaan mereka, memastikan tidak ada yang tertinggal. Suasana bercampur antara kelegaan karena telah menyelesaikan tugas dan sedikit kesedihan karena harus meninggalkan warga desa yang sudah seperti keluarga sendiri.

Sepeda motor yang akan mereka tumpangi sudah siap, mesin-mesin mulai dihidupkan, mengeluarkan bunyi gemuruh yang menandakan saatnya berangkat. Debu melayang di udara saat roda-roda motor berputar, membawa mereka melewati jalanan desa yang sepi menuju jalan raya yang akan mengantarkan mereka kembali ke kehidupan kota.

Faza memandang ke belakang sekali lagi, memastikan bahwa semua mahasiswa sudah siap dan tidak ada yang tertinggal. Dengan isyarat tangan, ia memimpin rombongan, meninggalkan desa dengan segudang kenangan dan pelajaran berharga yang akan mereka bawa sebagai bekal kemandirian.

Perjalanan menuju jalan raya sekitar enam jam perjalanan, mereka menikmati perjalanan dengan pemandangan alam yang begitu indah memukau.

Saat motor-motor mahasiswa itu melaju meninggalkan desa, Caca merasakan denyut jantungnya berpacu lebih cepat. Napasnya tercekat,saat Caca mulai naik ke atas motor Pak Faza, tangannya mencengkeram jaket Faza dengan kencang.

Membuat Pak dosen itu menoleh menatap tangan Caca yang mencengkram erat jaketnya.

Namun Pak Faza tak berkomentar, atau pun keberatan dengan tindakan yang Caca lakukan.

Perlahan motor gunung milik Pak Faza berjalan meninggalkan kampung tersebut.

Saat motor mulai melaju perlahan, Caca merasakan Faza—dosennya—sesekali menginjak rem secara mendadak. Hal itu membuat dada Caca tanpa sadar menabrak punggung Faza beberapa kali. Rasa kesal merayap di dada Caca. 

Pikiran pikiran jahat Caca mulai berbisik.'Apa dia sengaja melakukannya?' batin Caca merasa Faza mencuri kesempatan.

Caca menggigit bibir, lalu tanpa ragu menepuk bahu Pak dosennya dengan keras.

“Pak Faza sengaja, ya? Ngerem-ngerem mendadak gitu? Apa maksudnya?” tanya Caca dengan nada tuduhan. Perasaan jengkel Caca makin menggelegak. Saat Faza kembali mengerem mendadak.

Caca kembali menepuk bahu Faza untuk yang kedua kalinya. Namun, responsnya sama sekali tak kuduga. Dari kaca spion, tatapan Faza yang menyipit langsung menusukku ke mata Caca. 

Seketika Faza menghentikan motor mendadak, hingga debu-debu beterbangan di sekitar roda. “Turun…” ujarnya datar dengan suara sedingin es. Caca tercengang. Kata-katanya barusan seperti tamparan keras yang membuat nyali Caca sedikit menciut. Sebelum Caca sempat bereaksi, Faza melanjutkan ucapannya dengan tatapan tajam.

“Kamu merasa saya sengaja? Kalau begitu, kamu saja yang bawa motornya,” katanya tegas sambil menyodorkan pandangan ke arah setang. Caca terdiam, menatapnya dengan gugup. Jelas-jelas Caca tidak siap untuk itu. Tangan Caca bahkan bergetar hanya memikirkan gagasan membawa motor di jalan terjal penuh tikungan tajam seperti ini.

“Gak… gak gitu juga, Pak. Saya gak bisa bawa motor,” ucap Caca dengan nada pelan, mencoba menutupi rasa takutnya yang kini mulai terasa konyol.

“Kalau begitu, jangan protes. kalau kamu mau mati muda, saya gak injak rem. Kamu mau  masuk jurang di bawah itu?" ujarnya sambil menunjuk ke lereng yang menjulang curam di sisi jalan. Tatapan matanya mengintimidasi, tapi Caca juga tahu ucapan Pak Disennya itu benar.

Caca tak punya pilihan selain diam dan menelan keluhannya. Dalam hati Caca tak lagi ingin mencari-cari alasan untuk menyalahkan Pak Dosennya, apa lagi menuduhnya bertindak sengaja. Ah, sudahlah! Yang jelas, Caca ingin  sampai ke tujuan tanpa membuat drama lagi.

"Kenapa diam, ayo bawa motornya," ujar Faza lagi.

"Gak, saya masih ingin hidup," tukas Caca kesal sambil melipat tangan di depan dada.Faza menghela nafas, ia menatap Caca dengan pandangan datar dari kaca sepion, tapi sorot matanya menunjukkan kalau dia mulai kehilangan kesabaran.

"Kalau begitu, jangan protes," potongnya tegas dengan nada yang membuat Caca merasa seperti anak kecil yang baru saja diomeli. Caca  mendengus pelan, berusaha menyembunyikan rasa enggan. 

"Ya sudah, buruan jalan. Yang lain udah jauh," balas Caca, menelan keinginannya untuk membantah lebih jauh.

Faza menggelengkan kepala, jelas-jelas menunjukkan ekspresi yang sulit Caca artikan. Seperti perpaduan antara jengkel sekaligus tidak percaya dengan tingkah mahasiswinya itu. Dari caranya menatap Caca, tampak jelas Caca dapat membaca pikirannya dengan mudah.

"Hem...Kenapa mahasiswiku, satu ini suka sekali cari perkara?"keluh Faza dalam hati. Sembari kembali melajukan motornya. Saat tepat di penurunan dengan jalan cukup terjal, Caca kembali bersuara.

"Pak, tolong pelan-pelan. Saya takut," desahnya, suara Caca sedikit bergetar penuh ketakutan. Faza, dengan pandangan tajam menatap jalan di depan, merespon dengan nada serius, 

"Saya sudah terbiasa menaklukkan medan seperti ini, percayakan pada saya.Jika kamu terus cerewet, lebih baik kamu jalan kaki saja," Faza akhirnya hilang kesabarannya menghadapi Caca yang super cerewet, hingga mereka tertinggal rombongan.

"Tapi Pak, ini jalannya terlalu terjal," jawab Caca tak mau diam.

"Jika kita terlalu lamban, kita bisa tertinggal rombongan dan jalur ini sangat sepi,Ca. Jika ada apa-apa, tidak akan ada yang bisa membantu kita." Mendengar itu, ketakutan Caca semakin menjadi-jadi. 

"Tapi Pak, saya serius, saya masih trauma naik motor," rintihnya, suara makin lirih namun terdengar mendesak. Akhirnya, Faza melihat ketegangan yang tak kunjung reda pada wajah Caca, Faza mengangguk pelan dan mulai mengurangi kecepatan motor mernya. 

Caca dengan lega, menutup mata sejenak, merasakan angin sepoi-sepoi yang seakan membawanya menjauh dari bayang-bayang trauma yang seakan mengejar.

"Terima kasih, Pak Faza. Maaf telah  menyulitkan,Bapak" ucap Caca dengan penuh ketulusan. Gala tersenyum tipis mendengar ucapan mahasiswinya.

"Baru sadar kalau kamu suka menyulitkan saya, Ca?, Kamu tidak hanya menyulitkan saya, tetapi juga mengesalkan," keluh Faza tanpa menyembunyikan kekesalannya. Caca menggigit bibir, kesal dengan jawaban Faza.

 "Ee... Pak, jangan salah paham. Saya hanya ingin Bapak ikut terlibat," katanya dengan nada mengelak yang lembut. "Emm... kamu," ejek Faza dengan setengah tertawa mengejek.

Caca memalingkan wajahnya, berusaha menahan senyum yang ingin terlontar.

Jalanan sunyi, mereka pun mulai membisu. Hanya suara deru motor yang memenuhi jalan setapak. Faza yang masih penasran, akhirnya kembali mengajak Caca cerita, agar tak terlalu tegang.

"Oh, jadi kamu pernah jatuh dari motor, Ca?" Faza bertanya, rasa penasaran terpancar dari matanya. Caca yang masih tegang, mengangguk.

"Pernah, bahkan sampai tangan saya patah.," ujar Caca sambil menunjukkan tangannya yang bekas patah."Makanya,sampai sekarang saya masih takut naik motor, Pak" cerita Caca.

Faza hanya mengangguk, mata mereka berdua menatap jalan yang sepi.

Mereka melaju di jalanan sempit yang melingkar di kaki gunung, suara roda motor bergulir di atas tanah berkerikil terasa semakin menekan ketika suasana perlahan-lahan menjadi sunyi.

Faza menatap langit yang mulai menggelap, gerimis kecil mulai turun dan dengan cepat berganti menjadi hujan deras. Angin dingin menerpa wajah mereka, tetesan hujan yang menghujam membawa suasana cemas yang samar tapi nyata.

Faza tampak menggenggam setang motor lebih erat, merasa tegang setiap kali hujan semakin menderas dan jarak pandang di depan kami semakin buram. Dalam pikirannya, hanya ada satu hal: bagaimana caranya melindungi kami dari kemungkinan bahaya di jalan licin ini.

“Aku tidak bisa mengambil risiko,” pikir Faza. Dengan napas yang sedikit berat, Faza akhirnya memutuskan untuk berhenti. Pandangannya tertuju pada sebuah gubuk tua yang tampak sudah lama tak dihuni.

Sekilas, gubuk itu terlihat rapuh dan tak menjanjikan perlindungan penuh dari angin atau air hujan, tetapi Mereka tak punya pilihan lain. Faza menghentikan motor dan menoleh ke arah Caca, mahasiswanya yang duduk di belakang.

“Kita harus berteduh dulu, Ca. Hujannya terlalu deras, kalau kita paksakan perjalanan ini, bisa jadi berbahaya,” ucap Faza sambil menatap wajah Caca yang tampak sedikit ragu.

Caca memperhatikan gubuk itu dengan tatapan skeptis. Faza bisa memahami keraguannya; gubuk itu tidak tampak aman, tapi setidaknya bisa menjadi tempat sementara untuk melindungi mereka dari hujan.

“Em... ya sudah, Pak. Kita berteduh dulu saja,” jawabnya akhirnya dengan nada ragu yang tak sepenuhnya hilang.

Faza mengangguk, merasa lega karena ia setuju. Dalam hatinya, ada desakan untuk memastikan mahasiswinya itu tetap aman di tengah situasi yang tidak menentu itu. Bahkan jika tempat itu tak sempurna, paling tidak Faza tahu bahwa berhenti di sana adalah keputusan terbaik saat ini.

DUA

Matahari benar benar tak muncul,ditelan hujan deras dan bersembunyi di balik senja, Butiran air tak kunjung berhenti membasahi bumi.

Faza yang sedang duduk menatap kearah luar, mulai merasa cemas, pandangannya terhalang oleh guyuran hujan yang semakin pekat. Ia menarik napas dalam, merasakan kesulitan yang akan dihadapi jika terus melanjutkan perjalanan di tengah hujan seperti ini.

"Sepertinya kita terpaksa harus bermalam di sini, Ca. Saya khawatir terjadi sesuatu jika kita nekat menerabas hujan, jalanan cukup licin, saya tak ingin mati sia-sia," ujar Faza, mencoba menjelaskan situasi seraya mengarahkan pandangan ke mahasiswinya.

Caca, yang sejak tadi diam, akhirnya menoleh menatap Faza dengan tatapan yang serius. Kegelisahan terpancar dari matanya, bukan hanya karena hujan tapi juga situasi yang mereka hadapi.

"Saya lebih tak yakin jika kita bermalam di sini berduaan, Pak. Saya khawatir kita akan kena hukum adat," tegas Caca. Karena mereka tahu konsekuensinya jika berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya di kampung dalam tersebut.

Faza memahami kekhawatiran Caca, ia mengangguk perlahan.

"Saya mengerti kekhawatiranmu, Ca. Tapi, kita juga perlu mempertimbangkan keamanan dan keselamatan kita, soal hukum adat, kita bisa jelaskan kondisi alam yang memaksa kita harus bermalam di sini, jika kita kepemukiman jarak tempuhnya masih cukup jauh, sekitar tiga kilo lagi,kita gak punya pilihan lain"saran Faza, berusaha menenangkan mahasiswinya itu.

Caca masih tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk lemah, mengakui bahwa mereka memang tidak memiliki banyak pilihan. Keduanya kemudian memutuskan untuk bermalam di gubuk tua itu, berharap hujan  tidak berlangsung lama dan mereka bisa melanjutkan perjalanan dengan selamat.

Faza segera mengeluarkan lampu emergensi dari dalam tasnya, berjuang melawan terpaan angin dingin yang terasa menusuk tulang. Dalam temaram yang kelam, dia merapatkan tumpukan kayu, berusaha menyalakan api untuk memberikan sedikit kehangatan pada mereka berdua.

"Ca, pakai ini," ucap Faza dengan lembut, melepaskan jaket tebalnya dan menyodorkannya kepada Caca yang menggigil. "Tapi Pak Faza, juga butuh jaket itu," kata Caca dengan suara bergetar, merasakan dingin yang amat sangat.

Faza tersenyum tipis, matanya tetap fokus pada nyala api yang mulai hidup.

"Gak apa, saya sudah biasa dengan hawa dingin di gunung, kamu yang harus tetap hangat," katanya penuh ketegasan, menolak kekhawatiran Caca.

Caca tersenyum canggung, menerima jaket itu dan dengan hati yang hangat.

"Terima kasih, Pak, izin saya pakai ya." Caca  dengan cepat mengenakan jaket tersebut, merasakan sedikit kehangatan mengusir dingin yang menyelimuti.

Di depan api yang kini berkobar, Faza dan Caca duduk berdampingan. Faza merogoh tasnya dan mengeluarkan dua bungkus roti.

"Ini, makanlah, lumayan untuk mengganjal perut yang keroncongan," katanya sambil memberikan sebungkus kepada Caca.

Caca dengan syukur menerima roti itu, menggigit dengan lahapnya, menghangatkan tubuh dan hatinya yang kedinginan. Keduanya duduk bersama di hadapan api, menyaksikan semburat percikan api yang menjadi teman dalam kesunyian malam yang membeku. 

Suara jangkrik terdengar saling bersahutan, menambah suasana semakin terasa mencekam.

"Kamu sudah kabari orang rumah Ca?" Faza bertanya dengan nada khawatir. Caca terhenti sesaat, saat menggigit rotinya, lalu menggeleng lemah sambil menunduk. Faza menatap mahasiswinya itu dengan kedalaman mata yang mencari jawaban.

"Mereka mungkin bahkan tidak peduli. Mereka pasti lebih senang jika saya tidak pulang," jawab Caca, membuat Faza terkejut dengan respons yang tidak terduga itu. Ada rasa prihatin yang melayang di antara kata-kata Caca yang getir. 

"Kenapa ada keluarga yang bisa sebegitu acuhnya, Ca? Ini pertama kali saya mendengar sesuatu yang sedemikian menyedihkan," ujar Faza, suaranya lembut, penuh dengan empati yang tulus.

"Saya pun tidak mengerti, Pak, bagaimana segalanya bisa jadi begitu," Caca menyahut dengan nafas panjang yang berat, seolah menarik beban yang teramat berat dari dalam dadanya.

"Apakah kamu pernah mencoba bertanya, menggali lebih dalam tentang keluargamu, Ca?" Faza mempertanyakan, mencoba membuka pintu bagi Caca untuk mungkin menemukan jalan penyelesaian atas duka yang tersembunyi.

Caca hanya menggeleng pelan, matanya menghindari kontak langsung.

"Tidak ada yang perlu dipertanyakan, Pak. Saya malah takut mendengar jawaban dari mereka. Lebih baik saya tidak tahu, bukan? Bagaimanapun juga, mereka tetap keluarga saya, dan saya tetap menyayangi mereka," ujarnya, suara bergetar dan kedua matanya berkaca-kaca seperti menahan luka.

Faza memperhatikan dengan seksama, terpaku pada ketegaran hati Caca yang terpendam. Caca yang selama ini dia anggap sebagai mahasiswi yang keras kepala. Kini, di hadapannya, sosok yang sama itu menunjukkan kelembutan dan kedewasaan yang tak pernah dia sangka. Faza hanya bisa mengangguk, memahami pilihan Caca untuk mencintai keluarganya dalam diam dan kesakitanya.

Tepat saat jam menunjukkan pada pukul dua puluh satu, hujan yang turun dengan derasnya mulai mereda.

"Pak, hujan sudah reda, bagaimana jika kita mencari tempat berteduh untuk menginap di rumah warga terdekat?" usul Caca dengan suara penuh harap pada Faza. Faza merespon, meresapi cuaca yang tampaknya mulai bersahabat.

"Iya, kita bisa berjalan perlahan." Ia segera membenahi perlengkapan mereka. Setelah itu, dia mencoba menyalakan motor dengan starter, namun mesin tak juga menyala. Faza kemudian berusaha dengan mengengkolnya, usahanya sia-sia, motor tetap bungkam, tidak memberikan tanda-tanda hidup.

"Sepertinya mogok, Ca," kata Faza dengan nada frustasi. Caca, yang terlihat cemas bertanya, "Apa mungkin bahan bakarnya habis, Pak?"

"Sepertinya tidak, saya sudah isi penuh," jawab Faza sambil membuka dan menunjukkan isi tangki minyak yang masih terlihat banyak. Faza menerawang sejenak.

"Sepertinya masalahnya ada pada busi." Faza, lalu berusaha mengutak-atik komponen mesin dengan harapan kecil motor itu mau beroperasi, namun semua upaya tampak sia-sia.

Dengan kekecewaan yang mendalam, Faza akhirnya menyampaikan keputusan mereka yang tak terhindarkan, "Sepertinya kita memang harus bermalam di sini, Ca." Ucapnya, suaranya rendah, dengan rasa bersalah. Caca melirik pak dosennya sekilas, lalu Caca meraih ponselnya, mencoba mencari bantuan.

"Aduh, sinyalnya hilang lagi! Bagaimana kita bisa minta bantuan dalam keadaan seperti ini?" keluhnya, frustasi semakin mendalam menyelimuti suasana di antara mereka.

Malam semakin larut menghunjam kegelapan yang membungkus langit, sementara angin dingin menusuk sampai ke tulang. Persediaan kayu api pun hampir habis,udara dingin dari kaki gunung semakin tak tertahankan.

Caca menggigil parah, jaket pinjaman dari Faza tidak cukup hangat untuk melawan dingin yang mencekik. Kulitnya terasa seolah-olah akan membeku. 

“Pak Faza, apa tidak dingin?” Suara Caca terdengar bergetar, hampir seperti pecahan es yang meretakkan keheningan malam. Faza bisa melihatnya, tubuh Caca yang gemetar, bibirnya memucat. Suhu dingin malam ini menusuk hingga ke tulang.

Faza mencoba menahan diri, mengendalikan rasa dingin yang merayap di sekujur tubuhnya. Tapi tak bisa untuk dibohongi—suara Faza pun ikut bergetar ketika Faza menjawab.

“Sama, Caca, saya juga merasa dingin.” Tatapannya menunduk sesaat, lalu kembali mengangkat wajah.

Faza bisa melihat kilauan kecil rasa ragu di mata mahasiswinya itu. Apa yang ingin dia katakan? Lalu, dengan suara lirih yang hampir terbenam dalam gemerisik angin, Caca akhirnya berucap.

“Maaf…Pak Faza,bi..bi… bisakah Anda membantu saya, menghilangkan rasa dingin ini? Sa...sa... saya tidak kuat lagi dengan dingin ini.” Kata-katanya terdengar terbata-bata, penuh keragu-raguan, namun Faza tahu itu bukan sekadar permintaan—itu adalah jeritan keputusasaan.

Faza menelan ludah, dadanya terasa berat. Bagaimana ia harus menanggapi? Haruskah Faza menjaga jarak, mematuhi norma yang selama ini ia genggam erat? Faza paham betul, bersentuhan dengan yang bukan mahramnya adalah dosa besar.

Namun, melihat wajah Caca, mahasiswinya yang penuh keinginan untuk bertahan hidup,tak tega mengabaikannya.Bibir Caca semakin membiru, Faza tahu tak ada pilihan lain. Namun pria berhidung mancung itu madih ragu dengan keputusannya.

TIGA

Deru nafas Faza seakan tercekat. Dalam hati kecilnya, Faza merasa gelisah. Sebagai seorang yang agamis dan taat agama, dia tahu bahwa memeluk wanita apa lagi mahasiswinya, yang bukan mahramnya adalah sebuah tindakan yang bisa dianggap melanggar ajaran agamanya. Namun, di sisi lain, sebagai manusia yang memiliki jiwa sosial dan empati, dia tidak bisa membiarkan Caca  terus menderita dan berpotensi kehilangan nyawanya karena hipotermia.

Dengan napas yang berat, Faza menggeser sedikit tubuhnya mendekat ke arah Caca. "Ca, maaf, aku akan membantumu, tapi kamu harus tahu ini hanya karena keadaan darurat," ucap Faza sambil memandang lurus ke mata gadis itu, mencoba menegaskan batasan yang ia pegang teguh.

Caca hanya mengangguk lemah, terlalu kedinginan untuk bisa berbicara. Faza menghela napas, lalu dengan hati-hati, dia memeluk Caca, mencoba memindahkan sebagian kehangatan tubuhnya kepada gadis itu. Faza merasakan degup jantungnya yang berpacu, bukan hanya karena dinginnya udara, tetapi juga karena perasaan bersalah dan kekhawatiran yang muncul.

Sambil memeluk tubuh Caca yang menggigil, Faza berdoa dalam hati, memohon agar tindakannya ini dilihat sebagai tindakan kemanusiaan semata, dan agar ia dan Caca  diberi perlindungan serta kekuatan. Setiap detik terasa seperti membeku, namun Faza tetap bertahan, memegang teguh pada niat baiknya untuk menyelamatkan nyawa mahasiswinya, sambil berjuang melawan rasa takut akan dosa yang terus menghantuinya.

“Maaf…” bisik Faza, nyaris tak terdengar. Tangan besarnya bergerak perlahan, setiap gerakan terasa seperti pertentangan batin. Namun saat Faza menarik tubuh Caca ke pelukannya, Faza merasakan bagaimana dinginnya tubuh Caca. 

Perlahan Faza mengeratkan pelukannya, membatu menghangatkan tubuh Caca yang masih menggigil,meski tetap terbungkus dalam lapisan canggung dan rasa bersalah. 

Faza tak tahu, apa yang ia lakukan itu, Benar atau salah, ia hanya berharap kehangatan itu cukup untuk menenangkan mereka berdua—cukup untuk membuat malam itu lebih bisa mereka lewati tanpa menyesali apa yang harus mereka putuskan dalam situasi seperti itu.

Di tengah kebekuan malam, Nara, yang sedari tadi diam, kini ikut berbicara dengan gigil,terdengar pada suaranya yang terbata pata.

"Ma...maaf Pak, sudah merepotkan Pak...Faza, Saya tahu ini seharusnya tidak terjadi” ucap Caca dengan Gigi-gigi beradu menahan gigil, menahan keganasan udara dingin yang tak kenal ampun.

"Tidak, saat ini kondisinya memang memaksa kita untuk di posisi seperti ini, Jangan menyerah pada dingin yang menyusup ke tulangmu, tariklah nafas dalam-dalam dan biarkan tubuhmu rileks," bisik Faza dengan suara yang menenangkan, membimbing Caca dalam upaya meredakan gemetar yang mengguncangnya.

Dengan penuh kepatuhan, Caca menuruti setiap arahan pak dosennya yang dikaguminya itu. Perlahan, ketegangan dalam dirinya mulai mereda; wajahnya yang semula pucat pasi kini kembali berwarna, mengusir kesan biru yang menghantui bibirnya. Kelopak matanya berat, seolah-olah masing-masing denyut nadinya menghantarnya lebih dekat ke alam mimpi, hingga akhirnya, dalam kehangatan pelukan Faza, dia menyerahkan diri pada lelap yang penuh ketenangan. Akhirnya malam  mengantarkan mereka ke alam mimpi.

Di tengah malam yang sunyi, lampu emergensi  mengintip dari balik jendela sebuah gubuk tua di pinggiran desa.Suara jangkrik saling bersahutan.

Saat fajar menyingsing, suasana berubah  mencekam mengurung hati Faza Herlambang dan mahasiswinya, Caca, saat mereka ditemukan berduaan oleh warga yang geram. 

Caca yang masih terlelap dalam pelukan Faza, sontak terduduk meringsut ketakutan.

Suara kegaduhan yang memecah keheningan. Sebelum mentari merekah di ufuk timur, ratusan langkah kaki memadati area sekitar gubuk sederhana tempat Faza dan Caca mencari perlindungan. Bara kemarahan para warga desa terlihat jelas dari sorot mata mereka yang menyorot tajam.

"Seret mereka keluar,jangan dikasih ampun! Orang-orang luar hanya akan meracuni tatanan kampung kita," teriak salah seorang warga dengan suara yang memekakkan telinga, sambil mengangkat tangan seolah hendak menyerang.

"Bapak-bapak, tolong dengarkan kami, kami hanya berlindung dari hujan semalam," Faza mencoba menjernihkan situasi dengan suara yang bergetar. Namun, desas-desus yang berapi-api telah terlalu menguasai. 

"Berlindung? Sambil berpelukan? Kalian pikir kalian bisa menipu kami dengan taktik kota kalian itu? Tunjukkan pada kami jika hubungan kalian memang sah!" bentak warga lain dengan wajah garang. Faza dan Caca saling berpandangan, mencari kekuatan di tengah badai kekacauan itu.

"Tidak, Pak, sungguh, kami tidak..." Faza mencoba kembali berbicara tapi terputus oleh lautan teriakan marah.

"Sudah cukup, jangan biarkan mereka lepas! Kita bawa saja mereka ke balai dan kita putuskan nasib mereka di sana!" seru warga, memotong asa Faza dan Caca untuk mempertahankan kebenaran mereka. 

Panasnya bara kebencian dan ketidakpercayaan mencekam udara pagi, membenamkan desa dalam bayang-bayang kekacauan.

Tanpa memberi ruang untuk penjelasan, warga desa bersama tetuah adat menuntut mereka untuk menikah sebagai penebusan dosa yang dianggap telah mengotori kehormatan desa. 

Air mata Caca mengucur, rasa takut, dan kebingungan menyatu, seolah menjadi saksi bisu atas cobaan yang harus mereka hadapi. Tanpa jalan keluar, mereka dihadapkan pada pilihan yang tak pernah mereka rencanakan seumur hidupnya.

Pertanyaan besar tergantung di benak keduanya; akankah mereka menerima paksaan ini, sebagai garis kehidupan baru,untuk mereka jalani? atau akankah mereka hanya mencari celah untuk membebaskan diri mereka dari belenggu yang tak diinginkan setelah kembali ke hiruk pikuk kota? 

Di tengah hiruk pikuk balai adat yang dipenuhi oleh ratusan mata menatap, Caca duduk lesu dengan mata berkaca-kaca. Faza, yang duduk di sebelahnya, juga tampak gugup dengan keringat yang mengucur di dahinya. Keduanya dipaksa tanpa persetujuan mereka sendiri, sebuah tradisi yang harus mereka patuhi.

Dengan tangan yang gemetar, Caca mengambil ponselnya dan menekan nomor ayahnya, Wijaya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti abad, suara Wijaya terdengar di ujung sambungan. Seorang tetuah adat mendekati Caca dan mengambil alih pembicaraan, menjelaskan situasi yang memaksa kedua muda-mudi itu untuk menikah sebagai penyelesaian atas sebuah kesalahan yang berujung pada penangkapan mereka.

Wijaya, yang mendengarkan dengan serius, akhirnya menjawab dengan nada pasrah,

"Tidak masalah Pak, jika itu aturannya, maka nikahkan saja. Untuk wali, saya serahkan ke wali hakim." Mendengar jawaban itu, Caca merasakan dunianya runtuh. Air mata yang selama ini ditahannya mulai menetes, membasahi pipinya yang pucat.

Faza, yang merasakan kecemasan yang sama, menoleh ke arah Caca. Dalam diam, mereka berbagi rasa takut dan kehilangan atas kebebasan memilih nasib sendiri. Keduanya terikat oleh keputusan yang bukan mereka buat, di hadapan kerumunan yang menyaksikan mereka terjerat dalam tradisi yang kaku.

Sementara itu, tetuah adat mengumumkan bahwa wali hakim akan segera datang untuk melanjutkan prosesi pernikahan yang terasa lebih seperti hukuman bagi dua hati yang tak pernah menyatu. Caca menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri, sementara Faza hanya bisa memandangi kerumunan dengan pandangan yang hilang, kedua hati mereka terasa hampa di tengah gemuruh lontaran cemoohan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!