NovelToon NovelToon

Braga After Rain

Keributan di pagi hari

"Maneh ga berhak ngatur urang! Maneh itu bukan mamah kandung urang!" Lelaki dengan wajah nyaris sempurna itu berkata dengan sorot mata tajam, menatap ke arah seorang wanita yang kini berdiri di hadapannya dengan mata berkaca-kaca.

"Bagaskara! Jaga Ucapanmu! Bagaimanapun dia adalah mamah mu!" Bentak laki-laki setengah baya sambil berdiri dari kursinya dan menggebrak meja makan. Terlihat sorot mata penuh amarah menatap ke arah anak laki-lakinya yang bernama Bagaskara.

"Mamah?" Ucap Bagaskara dengan tatapan dan senyum sinis nya.

"Dia itu istri papah! bukan mamah saya! Mamah saya sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu," Ucap Bagaskara lagi dengan mata dan wajah yang sudah memerah menahan rasa sesak di dadanya.

"Sudah, Pah! Ini memang salah aku. Tidak seharusnya aku mengatur Bagaskara." Ucap wanita cantik yang bernama Chintya, sambil memegang lembut lengan suaminya yang bernama Pradipta Atmaja.

"Bagaskara benar, aku memang tidak berhak untuk mengaturnya." Ucap Chintya lagi dengan raut wajah sedih.

"Bagus deh, kalau sadar!" Jawab Bagaskara sambil berlalu pergi dengan membawa tas di punggungnya, lalu keluar sambil membanting pintu rumah.

Saat Pradipta ingin bergerak mengejar putranya. Chyntia langsung menahan tangan suaminya. Membuat lelaki setengah baya itu hanya mampu menghela napas. Tampak raut kesedihan di wajahnya.

Bagaskara yang terlihat kesal, mengendarai motor dengan kecepatan tinggi sambil mengumpat, "Si*l! Kenapa gue harus satu rumah dengan orang yang menyebabkan mamah gue meninggal?" Lelaki itu berkata, sambil menahan isak tangis dan sesak yang menghimpit dadanya karena membayangkan saat-saat bersama mendiang mamahnya.

Lagi-lagi Bagaskara tidak pergi ke sekolah melainkan pergi ke tempat yang dinamakan Markas. Saat sesampainya di Markas, Dia pun langsung memarkirkan motornya dengan asal, lalu masuk ke dalam dan di sambut oleh teman-temannya yang sama-sama sedang bolos.

"Woi, Bagas! Cabut mulu maneh!" Ucap salah satu temannya yang bernama Mahesa, sambil tertawa menatap Bagaskara dan di ikuti gelak tawa temannya yang lain.

"Kenapa, maneh? Masalah sama bokap maneh lagi?" Tanya kedua temannya yang bernama Sagara dan Shankara. Dua sahabat kembarnya dengan nada penasaran.

"Biasalah," jawab Bagaskara sambil duduk di samping mereka dan segera memakan cemilan yang sudah di sediakan teman-temannya.

Dua laki-laki kembar itupun mengangguk karena sudah biasa dengan masalah keluarga Bagaskara.

"Sudah, tak perlu di pikirkan! Kita di sini senasib. Sama-sama bermasalah dengan keluarga kita," Sagara berkata sambil menepuk pelan pundak Bagaskara.

 "Santai, Bro!" Jawab Bagaskara sambil mengambil rokok di depannya. Menyalakannya dan menghisap dalam-dalam.

Saat mereka sedang asyik mengobrol. Tiba-tiba, mereka di kejutkan oleh kehadiran sesosok laki-laki dengan badan yang sudah lemas dan terlihat jelas ada luka sayatan disertai dengan beberapa memar di bagian mukanya. Terlihat lelaki itu memasuki markas tersebut dengan susah payah. Seketika seisi markas pun langsung berdiri dan menghampiri laki-laki yang sudah sangat lemas itu.

Begitu juga dengan Bagaskara. Dia langsung berdiri dan mematikan rokoknya, membuang putung nya dan di injaknya dengan kasar, sambil mengumpat.

 "Bre****k! Anj**g! Siapa yang berani ngelakuin ini?" Tanya Bagaskara dengan nada penuh amarah sambil berjalan menghampiri laki-laki yang sudah terkulai lemas. Semua yang berada di markas pun ikut menghampiri laki-laki tersebut.

Bagaskara langsung membantu laki-laki itu berdiri dan berjalan lalu membawanya untuk di tidurkan di atas sofa yang berada di sana. Sambil teriak "Siapa yang melakukan ini, hah?" Tanya Bagaskara dengan nada penuh amarah sampai rahang pipinya mengeras. Namun, tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulut laki-laki tersebut.

 "Jawab Dikta!" bentak Bagaskara.

"Sabar, Gas!" Ucap Arjuna salah satu sahabat Bagaskara, mencoba menenangkan lelaki itu.

Laki-laki yang bernama Dikta itu pun bersusah payah untuk berbicara. "D d Dargez," jawab Dikta dengan suara terbata-bata. Seketika seisi markas pun langsung mengumpat dengan kata-kata kasar.

"Bang**t!"

"Anj**g"!

"Bre****k!"

Kata-kata kasar dan umpatan terus menerus keluar dari mulut mereka. Emosi yang sudah sangat memuncak, membuat Bagaskara segera memberikan perintah untuk melakukan penyerangan balik.

"Sekarang juga, kita datangi markas mereka!" Perintah Bagaskara, di sambut anggukan teman-temannya.

Mereka segera melajukan motornya masing-masing beriringan untuk menuju ke markas Dargez dan di pimpin oleh Bagaskara sendiri. Sedangkan Dikta di antar oleh ke Rumah Sakit oleh Agha.

Sesampainya di markas Dargez, Bagaskara sebagai ketua geng Lavegas langsung berjalan menuju ke dalam markas Dargez diikuti oleh teman-teman dibelakangnya.

Sesampainya di sana, mereka langsung turun dari motor dan langsung memasuki markas tersebut.

"Hai, keluar maneh, pengecut! Jangan berani main keroyokan! Dasar anj**ng!" Teriak Bagaskara kepada beberapa anggota Dargez. Seketika itu juga, beberapa anggota Dargez langsung menghadang mereka.

"Kenapa! Ga terima teman maneh, kita jadiin perkedel?" Jawab salah satu anggota Dargez dengan senyum mengejek.

"Bang**t!" umpat Bagaskara. "Serang anj**g!" Perintah Bagaskara kepada anggotanya sambil berlari kearah anggota Dargez dan langsung di ikuti anggota Lavegas.

Mereka pun mulai saling menyerang, pukulan demi pukulan, sayatan demi sayatan dari senjata tajam yang mereka sudah siapkan. Satu-persatu anggota Dargez sudah tidak sadarkan diri dan ada beberapa anggota Lavegas yang tidak sadarkan diri juga.

"Sini! Maju, maneh! Ketua di belakang aja, takut ya?" Teriak Bagaskara dengan nada menantang ketua geng Dargez.

"Takut sama geng cupu kaya, maneh? Naj*s!" Jawab ketua geng Dargez yang bernama Gavin. Bagaskara yang sudah di kuasai emosi itu, segara berlari ke arah Gavin.

"Mati, Anj**g!" Umpatnya sambil mengarahkan senjata tajam ke arah Gavin.

Bagaskara yang sudah di kuasai amarah, terus-menerus memukulnya dan menghasilkan beberapa luka di wajah dan sekujur tubuh Gavin yang tidak bisa menghadapi pukulan yang bertubi-tubi ke arahnya. Walaupun, badan yang sudah penuh memar dan beberapa luka, Gavin tidak tinggal diam. Dia berusaha membalas pukulan kepada Baskara.

Dua napas laki-laki itu sudah terengah-engah dengan muka dan tubuh yang penuh dengan luka dan memar. Namun, mereka berdua pun tidak ada yang mau mengalah, mereka melanjutkan perkelahian itu.

Beberapa saat kemudian Bagaskara pun berhasil membuat ketua geng Dargez itu tidak sadarkan diri. Napas Bagaskara memburu dengan tubuh yang sudah lemas, dia pun membangunkan satu-persatu anggotanya sebelum polisi datang ke markas itu.

"Woi, Bangun!" Ucap Bagaskara kepada anggotanya sambil membangunkan satu-persatu anggotanya. Tidak lama satu-persatu anggotanya pun terbangun dari pingsan mereka.

"Badan aing sakit semua, C*k," ucap Mahesa

"Sama any**g," Jawab Arjuna

"Woi kita juga!" Jawab Sagara dan Shankara.

"Ayo cabut! Sebelum polisi datang ke sini." Perintah Bagaskara sambil membangunkan anggota lain yang belum siuman.

Setelah semua anggota mereka terbangun dari pingsannya, mereka segera bergegas menaiki dan melajukan motor mereka ke arah masing-masing tempat yang menurut mereka aman.

Sementara itu, setelah melaju sekitar 800m dari markas Dargez, terlihat polisi datang dan mulai mengecek keadaan markas tersebut. Polisi pun segera mengamankan semua anggota Dargez, termasuk Gavin.

"Tuh'kan! Untung kita cepat, kalau tidak, kita bisa masuk penjara! Ucap Arjuna sambil tertawa di ikuti anggota yang lain.

Mereka pun segera mengendarai motor menuju rumah Arjuna, sambil bercanda satu sama lain.

Sesampainya di rumah Arjuna sudah ada beberapa anggota yang sudah sampai dan ada juga beberapa anggota yang sedang di obati luka-lukanya dengan anggota lain.

"Sepertinya Polisi akan segera melacak keberadaan kita?" Bagaskara berkata, sambil menarik napas panjang.

"Terus, bagaimana, Bro?" Tanya Arjuna.

"Kita masing-masing mencari tempat yang aman." Jawab Bagaskara.

"Kemungkinan, gue akan berangkat ke Jakarta." Ucap Bagaskara, membuat semua teman-temannya terdiam.

Apakah pelarian Bagaskara akan menimbulkan masalah baru atau sebaliknya?

Ikuti segera bab 2 nya. Akan ada kisah yang tak terduga dari perjalanan Bagaskara.

Pertemuan

Ketika senja mulai menyapa dan gelap menghampiri langit. Bagaskara bersiap untuk meninggalkan Bandung. Jakarta kota yang akan segera di tujuannya. Namun, saat Bagaskara sudah bersiap untuk pergi, tanpa di duga tiba-tiba hujan turun dengan derasnya di sambut oleh suara petir yang menggelegar.

Bagaskara menarik napas dalam-dalam, teringat kejadian sepuluh tahun yang lalu. Memori yang membuatnya trauma dan sangat terluka.

"Banyak orang yang bilang, kalau hujan membawa berkah dan rezeki," ucap Bagaskara pada diri sendiri. Dia pun kembali menarik napas. Terlihat jelas ada luka di manik matanya.

"Tapi, tidak untuk aing!" Bagaskara berkata lagi dengan seulas senyum di bibirnya, tetapi sangat berbeda dengan hatinya.

Niat yang sudah mantap, membuat Bagaskara tidak peduli dengan hujan. Padahal, hampir sepuluh tahun trauma berkepanjangan tentang hujan terus menghantui hidupnya.

Dengan kecepatan tinggi Bagaskara melewati jalan Braga di tengah derasnya guyuran hujan. Pikiran yang menumpuk di kepalanya, membuat dia tidak fokus dengan keadaan jalan sekitar. Sampai tiba-tiba, dia di dikagetkan dengan kehadiran seorang wanita dengan payung putih di tangan kanannya dan sekotak kue di tangan kirinya sedang menyebrang jalan, tepat saat Bagaskara melajukan motornya.

Bagaskara telonjak kaget. Dia langsung mengerem motornya, menimbulkan suara decitan akibat gesekan ban dan aspal. Tepat di hadapan wanita itu motor Bagaskara berhenti. Tentu saja, membuat wanita itu menjadi shock dan payung di tangannya terlepas.

"Hey, lihat-lihat dulu kalau mau nyebrang!" Teriak Bagaskara, tanpa rasa kasihan atau bersalah sedikitpun. Apalagi keadaan wanita itu sedang berjongkok ketakutan karena terkejut.

"Kamu nya aja yang bawa motor ngebut!" Jawab wanita itu, setelah mengatur napas. Rasa shock yang baru saja di rasakannya, langsung berubah menjadi rasa kesal dengan sikap lelaki di hadapannya. Sambil menarik napas kasar, wanita itu pun berdiri dan segera mengambil payungnya.

Bagaskara tertegun, bukan karena perkataan wanita itu. Tetapi, wajah wanita itu seperti tidak asing baginya.

"Kok, nih cewek kayak pernah aing kenal?" Bagaskara berkata, sambil terus menatap ke arah wanita itu yang terlihat kekesalan di wajahnya dan mulutnya tidak berhenti mengumpat.

Bagaskara terus menatap lekat wajah wanita itu, ada perasaan berbeda di hatinya. Dadanya tiba-tiba berdegup lebih kencang, rasa yang aneh yang tidak pernah dia rasakan selama ini

Terlihat seulas senyuman di bibir Bagaskara. Dia segera turun dari motornya dan hendak menghampiri sang wanita. Namun, saat langkahnya hampir dekat, tiba-tiba tubuhnya di apit oleh dua orang bertubuh tinggi besar dan langsung membekuknya.

Bagaskara hanya bisa pasrah, tungkainya terasa lemas. Pelariannya tidak berjalan mulus. Dia pun terpaksa mengikuti kedua lelaki tinggi besar itu ke mobil polisi.

Sang wanita yang tadinya kesal, hanya bisa menatap Bagaskara, begitu juga sebaliknya. Mereka hanya bisa saling tatap, sampai mobil polisi yang membawa Bagaskara menghilang dari pandangan sang wanita.

Sesampainya di kantor polisi Bagaskara terkejut karena semua kawan-kawannya sudah berada di sana. Mereka di kumpulkan dalam satu tempat dan di interogasi satu persatu.

Saat interogasi berlangsung, masing-masing orang tua pun berdatangan ke kantor polisi, termasuk Ayah dari Bagaskara. Tampak kekesalan di mata Pradipta.

Matanya menatap tajam ke arah putranya. Ada sesak di dadanya. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang dipikirkan anak laki-lakinya itu. Sedangkan Bagaskara terlihat cuek, seakan tidak peduli dengan kehadiran sang ayah.

Pradipta dan orang tua yang lain mulai bernegosiasi kepada polisi, memberikan jaminan terhadap anak-anak mereka dan akhirnya mereka semua di bebaskan dengan surat perjanjian di atas materai.

"Bokap maneh baik juga, euy," Ucap Mahesa sambil menepuk pelan pundak Bagaskara dan berjalan menuju keluar.

"Biasa, suami takut istri," Timpal Bagaskara dengan nada kesal dan ketus. Teman-temannya menanggapi dengan saling melempar senyum.

Akhirnya mereka pulang ke rumah dengan keluarga masing-masing.

Bagaskara memilih untuk pulang dengan motor nya yang sebelumnya di amankan polisi. Sedangkan ayahnya memilih untuk balik ke kantor dengan mobil pribadinya.

Sambil menikmati udara Bandung yang sejuk setelah hujan. Wajah wanita yang baru saja di temuinya, terus menari-nari di pelupuk matanya. Pikirannya terus tertuju kepada wanita berpayung putih itu.

"Siapa ya, Cewek itu?" Tanya Bagaskara kepada dirinya sendiri.

"Wajahnya ga asing dan aing merasa sangat mengenalnya," ucap Bagaskara sambil mengusap kasar wajahnya.

Tidak terasa, akhirnya Bagaskara sampai di rumah. Dia langsung menuju kamarnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun saat berpapasan dengan Cinthya, perempuan yang di bencinya.

***************

Saat malam semakin larut, Bagaskara menuju ke arah balkon kamarnya dan menikmati udara malam sambil membakar sebatang rokok.

Tiba-tiba terlintas dipikirannya tentang wanita yang di kenalnya tadi.

"Gak asing banget muka tuh cewek," ucap Bagaskara sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.

"Cantik." Gumamnya tanpa sadar sudah memuji wanita itu sambil tersenyum.

...****************...

Bagaskara terbangun karena matahari yang memantul kedalam kamarnya, saat dia melihat kearah jam, sudah menunjukkan pukul 12.40

Berhubung dia sedang di skors, dia pun mengecek ponselnya dan sudah banyak panggilan tak terjawab dan pesan masuk dari teman-temannya.

Bagaskara pun melakukan panggilan balik.

"Kenapa, Gha?" Tanya Bagaskara. Saat telepon sudah terhubung.

"Bisa kumpul di markas?" Jawab Agha

"Sementara ini, kita jangan ada yang ke markas dulu. Tunggu masalah ini mereda" Jawab Bagaskara.

"Kita juga masih terikat perjanjian dengan pihak polisi, jika geng kita harus bubar dan tidak ada saling nongkrong." Jelas Bagaskara.

"Oke, sementara ini kita bubar dulu. Nanti kita bicarakan lagi masalah ini." Jawab Agha.

"Oke," jawab Bagaskara

Panggilan itu pun terputus.

Akhirnya Bagaskara memilih untuk melanjutkan tidurnya.

Saat hari mulai sore, Bagaskara terbangun dan segera mandi. Dia berniat untuk keluar dan keliling untuk menikmati udara sore karena seharian berada di kamar.

Tepat, ketika Bagaskara menuju pintu keluar. Tiba-tiba terdengar suara Chintya.

"Bagas, kamu mau kemana, Nak?" Kata-kata lembut, tetapi terdengar sangat menyebalkan di telinganya dan membuatnya muak.

Jangankan Bagaskara menjawab pertanyaan Ibu sambungnya itu, melirik pun tidak. Dia segera keluar menaiki motor dan bergegas pergi.

Chyntia hanya menatap nanar kepergian Bagaskara. Matanya memanas dan tidak terasa cairan bening meluncur bebas dari sudut matanya.

...****************...

Bagaskara memilih untuk mencari cemilan di daerah Braga. Tanpa sengaja, dia kembali bertemu lagi dengan wanita yang sudah mengisi pikirannya dari semalam. Terlihat wanita itu sedang berjalan bersama anak kecil sambil memakan permen. Seketika Bagaskara langsung mengejar dan menghampiri wanita itu.

"Hey, Ketemu lagi kita. Boleh kenalan ga?" Ucap Bagaskara sambil tersenyum dengan dada berdegup kencang.

"Gak!" Jawaban ketus dari wanita itu sambil mengajak anak kecil yang bersamanya pergi

Bagaskara tidak menyerah sampai disitu saja, lagi-lagi dia mengejar wanita itu.

"Serius nih? ga mau kenalan sama cowok ganteng kayak aku?" Ucap Bagaskara dengan percaya dirinya sambil ikut berjalan

"Dih! PD banget kamu!" Jawab kesal wanita itu sambil cepat-cepat masuk ke dalam mobil.

Melihat dirinya diabaikan tidak ada sedikit pun rasa sedih, justru rasa penasaran nya terhadap wanita itu semakin menggebu.

Dia pun pergi ke sebuah cafe yang berada di Braga. Saat sedang memesan kopi, lagi-lagi dia bertemu dengan wanita itu. Bagaskara pun tersenyum dan segera menghampiri wanita tersebut.

"Hai, Ketemu lagi nih, Kita?" Bagaskara berkata sambil memberikan senyum termanisnya.

"Menurut, kamu?" Jawab wanita itu dengan wajah terkejut dan kesal.

"Itu artinya kita berdua berjodoh," jawab Bagaskara sambil tersenyum penuh arti.

"Dih," wanita itu berkata sambil membuang muka.

"Aku beneran gak boleh tau nama, kamu?" Tanya Bagaskara sambil mengambil posisi duduk di hadapan wanita itu.

"Kalo kamu tau, emang kamu mau apa?" Jawabnya ketus. Wajahnya semakin kesal melihat Bagaskara. Walaupun kesal, wanita itu tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap ketampanan Bagaskara.

"Ya aku cuma mau tau aja, Siapa tau kita bisa jadi teman?" Jawab Bagaskara tersenyum.

Wanita itu terdiam. Ada sedikit kekecewaan di matanya.

"Ternyata, dia cuma mau temanan aja sama aku," ucap wanita itu dalam hati.

"Ini kamu serius?" Jawabnya dengan ketawa meledek

"Serius'lah!" Bagaskara berkata dengan nada semangat.

"Oke! Kenalin aku, Gabie" Jawab wanita itu yang ada bernama Gabie sambil mengulurkan tangannya

"Bagaskara, Biasa dipanggil Bagas" Jawab Bagaskara antusias sambil menyambut uluran tangan Gabie

"Bagas, Salam kenal, Ya! Aku ada urusan penting. Duluan, ya!" Jawab Gabie sambil berlari keluar cafe untuk menghampiri mobil hitam mewah yang sudah menjemputnya.

Dia pun tidak sempat mengejar wanita yang bernama Gabie itu, dikarenakan mobil hitam mewah itu sudah melaju meninggalkan cafe tersebut.

Walaupun sedikit rasa kecewa, tetapi dia sangat senang karena sudah bisa berkenalan dengan wanita yang sudah mengalihkan pikirannya, mungkin bisa di bilang sudah mencuri hatinya.

"Namanya geulis pisan, kaya orangnya." Gumamnya sambil senyum-senyum sendiri. Dia segera menghabiskan kopinya, lalu bergegas meninggalkan cafe itu dan memutuskan untuk pulang ke rumah.

Sesampainya dirumah Bagaskara melihat ada satu mobil yang belum dia lihat sebelumnya. Sudah pasti itu adalah tamu Papahnya.

Bagaskara sebenarnya malas sekali untuk berbasa-basi. Tetapi dia juga malas untuk berjalan memutar ke belakang. Jadi mau tidak mau dia pun harus melewati tamu Papahnya.

"Bagas! Sini! Papah mau mengenali kamu dengan teman Papah," Panggil Pradipta, memintanya untuk mendekat.

Bagaskara menghela napas sampai melangkah gontai mendekati mereka.

"Halo, Om, Tante," Ucap Bagaskara sambil mengulurkan tangan ke sepasang suami istri yang terlihat sangat serasi.

Bagaskara menatap nanar ke arah mereka, sambil berkata di dalam hati. "Seandainya, Mamah masih ada, pasti menjadi pasangan bahagia seperti mereka,"

" Ini namanya Om Hendro dan Tante Amanda. Kamu masih ingat, tidak?" Ucapan dan pertanyaan Pradipta membuyarkan lamunan Bagaskara.

"Wah, Bagaskara ternyata kamu sudah besar dan tumbuh menjadi laki-laki tampan," ucap Om Hendra sambil tersenyum.

"Pasti kamu sudah lupa dengan kami?" lanjut Om Hendra lagi, membuat Bagaskara bingung.

Belum sempat Bagaskara menjawab, tiba-tiba ....

"Ayah! Bunda!" Panggil seorang wanita yang baru saja turun dari mobil mewah.

"Sini, Sayang! Kenalan sama teman Mamah dan Papah," Ucap Amanda sambil melambaikan tangannya.

Saat wanita itu mendekat. Membuat mata Bagaskara terbelalak tak percaya menatap wanita yang kini berdiri di hadapannya.

...****************...

Siapakah wanita yang kini di hadapan Bagaskara?

Sebenarnya apa yang terjadi dengan masa lalu Bagaskara?

Kenapa Bagaskara sangat membenci Chintya?

Ikuti kisah selanjutnya yang semakin seru.

Jangan lupa like dan komennya.

Makan Malam

Tidak disangka seseorang yang datang dan menghampiri mereka adalah wanita yang sudah mengalihkan dunia dan pikiran Bagaskara. Wanita itu tak lain adalah Gabie.

Seketika mata elang Bagaskara langsung berbinar dan jantungnya langsung berdegup kencang, apalagi sosok Gabie semakin mendekat ke arah mereka. Dia benar-benar tidak menyangka, jika wanita yang selalu menghantui pikirannya, kini sudah berada di hadapannya.

Begitu juga dengan Gabie. Dia sangat terkejut, saat melihat sosok Bagaskara di hadapannya. Lelaki yang membuatnya kesal sekaligus penasaran untuk mengenalnya lebih jauh. Seketika Gabie menjadi gugup. Tetapi dia berusaha tenang.

"Halo, Om! Saya Gabie," Ucapnya sambil tersenyum dan mengulurkan tangan ke arah Pradipta.

"Halo, Gabie! Wah, kamu sekarang sudah besar, ya? Terakhir ketemu kamu masih kecil dan sering ngambek," Ujar Pradipta sambil tertawa, membuat semua orang yang hadir di sana ikut tertawa, termasuk Bagaskara. Tentu saja membuat pipi Gabie bersemu merah.

"Oh, iya, kenalkan ini anak Om. Namanya Bagaskara," Lanjut Pradipta sambil memegang bahu Bagaskara.

"Oh, iya, Om! Kenalin saya, Gabie," Jawab Gabie sambil tersenyum dan segera mengulurkan tangannya ke arah Bagaskara. Lelaki itu pun ikut mengulurkan tangannya.

Mereka berpura-pura baru saling mengenal satu sama lain dan saling memperkenalkan diri di depan orang tua mereka.

Untuk sesaat tatapan mereka bertemu. Wajah Gabie semakin bersemu merah, sedangkan Bagaskara terus menatap wajah Gabie.

"Hmm ... Jangan lama-lama dong pegang tangan Gabie nya." Pradipta berkata sambil tersenyum dan menepuk pundak Bagaskara. Membuat semua orang kembali tertawa.

"Maaf," ucap Bagaskara, sambil melepaskan tangan Gabie. Mereka berdua tampak salah tingkah.

"Sepertinya cocok sekali jika kita besanan," gurau Hendra.

"Ayah, apaan sie?" Gabie berkata dengan bibir cemberut.

"Lho, apa kamu tidak tertarik dengan anak om yang ganteng ini?" Goda Pradipta, membuat wajah Gabie semakin merah seperti yg tomat. Tentu saja membuat Bagaskara sangat gemas melihatnya.

"Sudah, jangan menggoda mereka terus. Aku sudah masak banyak lho, mubazir kalau ga langsung di makan." Chintya berkata sambil melirik dan tersenyum ke arah Bagaskara.

Entah, kenapa ada kehangatan yang di rasakan Bagaskara saat tatapan mereka bertemu. Dia merasa ada sinar keibuan di kedua mata wanita yang selama ini di bencinya.

"Yuk masuk! Istri saya sudah masak banyak," ajak Pradipta sambil berjalan ke dalam rumah di ikuti oleh mereka semua.

Sebenarnya Bagaskara males menemani orangtuanya jika ada tamu. Tetapi, kali ini sangat berbeda. Ada seseorang istimewa di tengah mereka.

Pradipta dan Chintya saling melempar pandang dan tersenyum. Setelah bertahun-tahun, ini pertama kalinya Bagaskara mau di ajak makan malam bersama. Mereka yakin semua ini karena kehadiran Gabie.

Saat makan malam itu sedang berlangsung. Tiba-tiba Mama Gabie berkata, "Kalian ini, teman masa kecil lho! Masa tidak ingat?" Mendengar itu, Bagaskara dan Gabie terkejut. Mereka saling melempar pandang dan mencoba mengingat masa lalu.

"Pantas saja, waktu kami pertama kali bertemu. Sepertinya wajah Gabie tidak asing," ucap Bagaskara, menatap lekat wajah Gabie.

"Jadi kalian sudah pernah bertemu?" Pradipta berkata dengan suara sedikit kencang karena tidak menyangka, jika Bagaskara dan Gabie sudah saling mengenal.

"Pah

"Chyntia berkata sambil mengelus lembut lengan suaminya.

"Maaf! Saya tidak menyangka, jika anak-anak kita sudah saling mengenal," Pradipta berkata sambil menatap gemas Bagaskara. Ingin sekali dia mengacak rambut putera semata wayangnya itu.

"Kenapa kalian tidak bilang, jika sudah pernah bertemu?" Tanya Amanda, menatap kedua anak muda di depannya.

"Hmm ...." Tampak Gabie dan Bagaskara salah tingkah.

"Sudah, ayo, kita lanjutkan makan lagi!" Ucap Chyntia lembut.

Mereka pun melanjutkan makan malam, sambil bercengkrama dan di selingi canda tawa.

Setelah makan malam selesai. Bagaskara memutuskan mengajak Gabie mengobrol di taman. Mereka duduk berdampingan di bangku panjang yang berada di taman itu.

"Gue gak nyangka, ternyata kita teman masa kecil," ucap Gabie menatap lurus ke kolam ikan yang berada di hadapan mereka.

"Sama! Gue juga!" Jawabnya Bagaskara sambil melirik ke arah Gabie.

Gabie menarik napas ikut melirik Bagaskara. Tatapan mereka bertemu. Namun, Gabie segera memalingkan wajahnya dan menatap kembali lurus ke kolam ikan. Tentu saja, membuat Bagaskara tersenyum.

"Oh, iya, kita belum tukeran nomor wa, nie." Bagaskara berkata sambil mengeluarkan ponselnya dan memberikan ponselnya ke Gabie.

Awalnya Gabie ragu. Tetapi, tatapan Bagaskara mampu membuat jantungnya berdegup kencang. Dia pun segera mengambil ponsel itu dan mengetik nomornya.

Bagaskara langsung merebut ponselnya dan memberikan nama kontak Gabie dengan nama pelangiku.

"Pelangiku?" Tanya Gabie sambil mengerutkan keningnya.

"Aku gak suka hujan!" Ucap Bagaskara terlihat ada guratan kesedihan di wajahnya.

"Maksudnya?" Gabie bertanya dengan wajah yang semakin tidak mengerti sambil menatap lekat Bagaskara.

"Aku berharap, kamu bisa jadi pelangi buat aku setelah hujan datang!" Bagaskara berkata sambil menatap Gabie. Sehingga kini mereka kembali saling tatap.

Untuk sesaat hanya mata mereka yang bicara. Semilir angin malam menerpa tubuh mereka. Dinginnya udara malam tidak terasa dengan perasaan hangat yang kini mengalir di hati mereka.

"Sepertinya kalian berdua terlihat cocok banget!" Ucap Hendra yang tiba-tiba sudah berada di dekat mereka.

Tentu saja, mereka berdua terkejut. Apalagi yang hadir di samping mereka bukan Hendra saja, ada Amanda, Pradipta dan Chyntia.

"Sudah malam, ngobrolnya di lanjut lewat telepon saja!" Lanjut Hendra dengan nada menggoda. Gabie hanya bisa tersipu malu, sedangkan Bagaskara menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Akhirnya keluarga Gabie berpamitan pulang. Setelah keluarga Gabie sudah pulang, Bagaskara berniat untuk segera ke kamarnya.

"Bagas, tunggu!" Perkataan Pradipta membuat langkah Bagaskara tertahan.

"Aku capek! Aku tidak ingin membicarakan apapun!" Bagaskara berkata dengan nada ketus, tanpa menoleh ke arah ayahnya.

Mendengar perkataan Bagaskara, membuat Pradipta tersulut emosi. Dia berniat ingin mengejar Bagaskara, tetapi di tahan oleh Chintya.

"Sabar, Pah!" Ucapnya sambil mengelus pundak suaminya, membuat Pradipta hanya bisa menghela napas kasar.

...****************...

Malam itu, pikiran Bagaskara terus dipenuhi dengan Gabie. Betapa senangnya dia bisa bertemu bahkan mengenalnya lebih dekat.

"Bahagia dan beruntung banget sie, gue," Teriak Bagaskara dengan wajah bahagia.

Dia segera mengambil ponsel dan mencari nama pelangiku di kotak ponselnya.

Setelah berfikir Bagaskara memilih untuk memberi pesan kepada Gabie. Jujur saja, sebetulnya dia masih ingin mengobrol bersama Gabie. Namun, waktu yang sudah mulai larut membuat mereka berdua harus menyudahi obrolan tersebut.

Gabriella Anastasya

^^^Woi! Katanya kamu mau follback ig aku!^^^

Bawel! Kamu!

^^^Dih! Konyol!^^^

Udah tuh! Puas?

^^^Nuhun, geulis.^^^

Dih?

^^^Hahaha^^^

Kira-kira seperti itulah sedikit isi pesannya.

Tanpa sadar senyum lebar sudah menghiasi wajahnya.

"Jawabannya ketus aja, aing salting" Dengan senyum lebarnya yang belum pudar.

...****************...

Berhubung masa skors nya masih empat hari lagi dan dia belum bisa bertemu dengan teman-temannya. Bagaskara merasa sangat bosan kalau harus berdiam di dalam kamarnya. Sepanjang hari, dia hanya sibuk bermain ponsel atau bermain gitar.

Bagaskara sangat menyukai udara pada sore hari. Menurutnya udara sore itu lebih sejuk dengan cuacanya yang indah saat matahari mulai terbenam dan kebetulan, saat itu sudah pukul jam tiga sore.

Bagaskara memilih pergi ke warung kopi yang biasanya dia datangi bersama teman-temannya jika mereka sedang malas ke markas. Sambil menikmati angin bandung.

Warung kopi ini, tempatnya enak untuk jadi tempat nongkrong. Apalagi datangnya saat sore hari, dan minum kopi sambil menikmati matahari yang mulai terbenam. Kadang sambil ngobrol sama Mang Udin.

Mang Udin itu yang punya warung kopi tempat nongkrongnya Bagaskara dan teman-temannya, beliau orangnya sangat ramah dan mudah akrab dengan orang-orang baru. Makanya, Bagaskara dan teman-temannya sudah sangat akrab dengan Mang Udin.

Kalau kata Mang Udin, Dia sudah anggap Bagaskara dan teman-temannya seperti anaknya sendiri. Dia sudah mengenal mereka dari mereka masih kelas tiga SMP.

Akan tetapi, walau pun sekarang mereka sudah mempunyai markas, hal itu tidak membuat mereka melupakan warung kopinya Mang Udin.

"Tumben Gas, datangnya sendiri. Teman-temanmu kemana?" Tanya Mang Udin.

"Tumben juga, datangnya tidak pakai seragam?"

Tanyanya lagi memotong ucapan Bagaskara yang hendak menjawab.

"Biasa Mang, Saya sama teman-teman lagi di skors. Untuk sekarang ini saya belum bisa bertemu sama mereka," Jelas Bagaskara.

"Kebiasaan Kalian mah! Ini Mang Udin kasih pesan. Maneh itu sebentar lagi lulus, Jangan sampai Maneh di cabut dari sekolah!" Ucap Mang Udin.

"Sampaikan pesan ini ke barudak juga, Gas!" Ucap Mang Udin lagi yang berusaha menasehati Bagaskara dan berharap supaya dia dan teman-temannya bisa berubah.

"Iya Mang, Makasih sudah menasehati saya. Nanti saya sampaikan juga pesan ini ke barudak," Jawabnya sambil menyeruput kopi hitam yang mulai dingin karena belum dia minum.

Memang Bagaskara terkesan seperti mengabaikan pesan tersebut. Tetapi, dia selalu benar-benar memikirkan pesan yang disampaikan Mang Udin.

Terdengar bunyi dering dari ponselnya. Ternyata itu telepon dari salah satu temannya. Bagaskara segera mengangkat telepon tersebut.

"Woi! Dikta! Gimana keadaan maneh?" Ucap Bagaskara setelah ponsel terhubung. Dia sedikit teriak kearah ponselnya.

"Alhamdulillah, Sehat." Jawab Dikta dari seberang sana.

"Alhamdulillah. Ada apa maneh telepon aing?"

"Enggak. Aing cuma mau tanya, Semenjak kejadian kemarin maneh sama anak-anak masih tetap nongkrong atau bubar sementara?" Tanya Dikta.

"Bubar dulu Ta. Polisi pasti masih ngawasin aing sama barudak," Jawab Bagaskara dengan nada frustasinya.

"Yaelah! Baru mau ngajak nongkrong, nih!"

"Btw, maneh lagi dimana, Gas?" Tanya Dikta.

"Biasa, Warung Mang Udin," Jawab Bagaskara.

"Sini, Dikta! Kita ngopi bareng!" Teriak Mang Udin agar Dikta mendengarnya.

"Mau Mang sebenarnya, Tapi situasinya masih gak aman!" Jawab Dikta kepada Mang Udin.

"Udah! Ah! Ta! Ganggu aing ngobrol sama Mang Udin maneh" Ucap Bagaskara dengan ketusnya.

"Yeu, T*i Lo!" Jawab Dikta yang sedikit sebal.

...****************...

Bagaimana kelanjutan hubungan Bagaskara dan Gabie?

Apakah kehadiran Gabie, mampu memperbaiki hubungan Bagaskara dengan orang tuanya?

Yuk, ikuti kelanjutannya di bab berikutnya.

Visual: Aishakar Rafka Bagaskara

Visual: Gabriella Anastasya

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!