Namaku Arka. 25 tahun. Lulusan baru jurusan pendidikan, dengan semangat idealis yang masih hangat-hangatnya. Aku percaya bahwa pendidikan bisa mengubah dunia. Klise? Mungkin. Tapi itulah yang membuatku bangun pagi setiap hari, selain alarm yang menyebalkan.
Setelah beberapa bulan mengajar sebagai guru honorer di beberapa sekolah, akhirnya aku mendapat SK penempatan tetap. Tapi euforia itu langsung ambruk ketika membaca nama sekolah yang tertulis di surat tersebut: SMA Harapan Nusantara.
Nama sekolahnya terdengar penuh harapan, tapi realitanya? Harapan tinggal harapan.
Arka berdiri di depan gerbang sekolah, ia terdiam menatap sekolah itu dari luar. Awan tiba-tiba mendung dan palang sekolah yang hampir copot di depan gerbang. Tiba-tiba "Bruk.." bunyi palang sekolah yang jatuh. Arka menelan ludahnya dan melangkah masuk ke dalam.
Arka melihat sebuah kantin yang di jaga oleh seorang ibu-ibu, ia menatap arka dengan wajah yang suram."guru baru ? Semoga betah." seekor lalat hinggap di jidat ibu itu dan membiarkannya saja.
"maaf Bu, di mana letak ruangan kepala sekolah ?" tanya Raka.
"di sana mas." ucap ibu itu menunjuk Denga wajah datar seperti mayat hidup.
"yang benar saja ini." ucap Arka memalingkan badanya berjalan menuju ruang kepala sekolah.
“Selamat, Mas Arka,” kata petugas dinas pendidikan sambil tersenyum kaku. “Sekolah ini butuh guru seperti Anda.”
Aku baru tahu maksud kalimat itu saat browsing di internet dan membaca forum-forum pendidikan. SMA Harapan Nusantara ternyata terkenal dengan julukan SMA Gila. Bukan karena guru-gurunya, tapi karena murid-muridnya yang katanya “tidak bisa diajar”, “konyol setengah mati”, bahkan ada yang menyebut “murid dari neraka yang dikirim untuk menguji iman para guru”.
Lebih parahnya lagi, sekolah itu hanya memiliki satu kelas aktif, kelas 3A. Kelas terakhir sebelum sekolah resmi ditutup karena kurang murid dan reputasi yang sudah sulit diselamatkan.
Keesokan harinya, aku datang ke sekolah itu. Bangunannya tua, cat mengelupas, halaman rumputnya tumbuh liar seperti tidak pernah disentuh manusia. Gerbangnya berdecit saat dibuka, dan suasananya… agak seperti setting film horor, tapi dengan sinyal Wi-Fi yang cukup kuat.
Aku disambut oleh kepala sekolah yang terlihat seperti sudah menyerah pada hidup.
“Selamat datang, Pak Arka,” ucapnya sambil mengelus pelipis. “Saya doakan Anda bertahan lebih lama dari guru sebelumnya. Yang terakhir cuma kuat dua hari.”
Arka hanya tersenyum kecil. “Insya Allah, Pak. Saya akan coba.”
Setelah sedikit briefing yang lebih terdengar seperti peringatan dini tsunami, Arka pun menuju kelas 3A.
Begitu membuka pintu, aku langsung disambut... lemparan pesawat kertas dan suara teriakan:
“WOY, GURU BARU!”
Satu murid berdiri di atas meja dengan gitar, memainkan lagu dangdut. Yang lain menyulap penghapus menjadi 'alat sihir'. Seseorang bahkan menyalakan kipas angin mini sambil membaca puisi pakai megafon. Seorang cewek duduk di pojok sambil melukis wajah temannya menjadi karakter anime.
Dan entah kenapa, ada seekor ayam berkeliaran di dalam kelas.
Aku berdiri di ambang pintu, mematung. Dalam hati hanya bisa bergumam: Ya Tuhan… beneran ini ujian kesabaran?
Namun saat seorang murid berteriak, “Guru baru! Namanya siapa? Jangan-jangan menyamar polisi!” entah kenapa Arka tertawa kecil.
"Mungkin, hanya mungkin… inilah tempat yang tepat untukku." gumam Raka menggaruk kepalanya dan tersenyum bingung.
Arka melangkah masuk ke kelas, mencoba tetap tenang meski seluruh instingku berteriak, lari sekarang juga!
“Nama saya Arka,” kataku sambil menaruh tas di meja guru, “dan tidak, saya bukan polisi undercover. Tapi kalau kalian bikin kerusuhan, saya bisa pura-pura jadi.”
Beberapa murid tertawa. Yang lain malah mulai bersorak seperti sedang menonton stand-up comedy.
Seorang cowok tinggi besar di belakang- belakangan aku tahu namanya Jaka, berdiri sambil menunjukku dengan sendok nasi yang entah dari mana datangnya.
“Pak Arka! Tolong jawab jujur… Apakah Bapak masih waras? Karena guru sebelumnya keluar sambil nyanyi lagu kemerdekaan dan nggak pernah balik lagi.”
Tawa meledak di seluruh kelas. Tapi aku hanya tersenyum. “Sampai saat ini sih, saya masih waras. Tapi mari kita lihat setelah seminggu bersama kalian.”
Kelas kembali ramai. Namun ada yang berbeda. Aku bisa merasakan energi mereka liar, tak terkendali, tapi bukan tanpa arah. Seperti kuda liar yang belum pernah disentuh pelana.
Aku membuka buku absensi.
“Sebelum mulai, kita absen dulu, ya.”
Satu per satu nama ku panggil, dan jawabannya? Jauh dari normal.
“Amira?”
“Present, Pak! Tapi secara spiritual saya lagi di Bali.”
"Andi?"
"Hadir, membalikan badan dan memegang jarum suntik."
"Cindi?"
"hadir pak, sambil merias wajah."
“Dina?”
“Hadir dengan jiwa yang penuh luka dan tugas belum dikerjakan.”
"Deri?"
"Hadir, memegang kalkulator dan buku Kas yang tebal."
"Jaka?"
"siap komandan !" teriak Jaka Hormat memakai helm militer.
"Lia?"
"hadir pak.. dengan suara lembut rambut menutupi wajah dengan nada misterius."
"Reza?"
"hadir pak."sambil mengedit video di laptop.
"Sinta?"
"hadir pak."sambil membuka kertas lebar merancang bangunan gedung.
"Toni?"
"hadir pak."sambil memakai jas hitam seolah-olah berpidato.
"murid di sini cuma 10 orang ?" tanya Arkan.
"ya pak, semuanya telah gugur !" ucap Jaka berdiri memberi hormat.
"aku memilih Reza sebagai ketua kelas dan Jaka sebagai wakil ketua kelas." ucap Arka.
Semua bersorak kagum."UUU.."
Arka tidak tahu harus tertawa atau khawatir. Tapi satu hal pasti, ini bukan kelas biasa. Dan Arka bukan guru yang biasa juga. Aku memutuskan satu hal di dalam hati:
Aku tidak akan kabur.
Aku akan coba sesuatu yang belum pernah dilakukan siapa pun di sekolah ini.
Karena kalau mereka gila, maka aku harus lebih gila, tapi dengan tujuan.
Bel pelajaran pertama sudah berbunyi sejak tadi, tapi mereka tidak peduli. Bahkan beberapa murid terlihat lebih sibuk mengatur kamera tripod di pojokan kelas.
“Eh, Pak Arka,” ujar seorang murid berkacamata yang belakangan kukenal sebagai Reza, “boleh nggak kita lanjut shooting? Lagi bikin konten YouTube ‘Sehari Jadi Guru’.”
Sebelum aku sempat menjawab, tiba-tiba salah satu dari mereka. Lia, gadis horor berdiri mengenakan cahaya senter di wajahnya dan berkata pelan, “CUT! Kamera dua terlalu goyang! Ulang dari dialog guru masuk kelas!”
Aku mengangkat alis. “Kalian bikin film?”
Reza mengangguk antusias. “Iya, Pak. Kita lagi bikin mockumentary. Genre-nya absurd. Kayak kehidupan nyata tapi nggak masuk akal. Kayak sekolah ini.”
Yang lain tertawa.
Alih-alih memarahi mereka, aku malah duduk di meja guru dan memperhatikan.
Sebenarnya... mereka kreatif. Sangat kreatif. Tapi liar. Dan tanpa arahan. Seperti kumpulan seniman jalanan yang belum tahu gimana cara menyalurkan bakatnya.
“Aku boleh ikutan?” tanyaku akhirnya.
Mereka langsung menoleh. Hening beberapa detik. Lalu Jaka berdiri dan mengangkat tangan, seolah menyambut Arka untuk masuk ke klub rahasia.
“Pak Arka… Anda resmi menjadi pemeran utama.”
Sorak-sorai meledak. Seperti baru saja memenangkan lotre.
Sejak saat itu, Arka tahu pendekatannya harus berbeda. Arka tidak bisa datang dengan gaya guru lama: masuk, ceramah, keluar. Itu akan berakhir dengan burnout dan mungkin trauma.
Arka harus mengajar mereka… dengan cara mereka.
Dan yang paling penting, Arka harus membuktikan pada dirinya sendiri, bahwa tempat gila ini bukanlah akhir dari karier nya.
Tapi justru… awal dari sesuatu yang luar biasa.
Hari pertama pun berakhir dengan sedikit kelelahan, sedikit pusing, tapi entah kenapa, juga sedikit semangat yang tidak bisa dijelaskan.
Karena di balik semua kekonyolan itu, aku melihat potensi. Potensi besar yang selama ini mungkin cuma butuh satu hal:
Seseorang yang percaya.
Hari kedua.
Kupikir mereka akan kalem setelah hari pertama yang… luar biasa kacau itu. Tapi ternyata aku salah besar. Kelas 3A seperti taman hiburan berjalan: selalu ada kejutan, selalu ada kehebohan." gumam Arka.
Begitu Arka masuk kelas pagi itu, Arka disambut dengan suasana hening yang mencurigakan.
Terlalu hening.
Lalu tiba-tiba—DUAR!—sebuah balon air meledak tepat di depan pintu. Bukan mengenai aku, tapi cukup dekat untuk membuat celana panjangku basah.
"siapa yang melakukan ini." ucap Arka.
Seketika seluruh kelas tertawa bergemuruh. Jaka berdiri dari balik lemari, mengenakan helm proyek dan berkata, “Selamat datang di zona perang, Kapten Arka!”
"jadi kamu yang melakukan ini Jaka ?" tanya Reza.
"benar komandan, ini adalah tanda bahwa kita menyambut guru baru."ucap Jaka memberi hormat.
"kau melakukanya diam-diam tanpa perintah ketua kelas, Push Up kamu 10 kali !" teriak Reza dengan lantang.
"siap komandan !" teriak Jaka merangkak ke lantai sekolah.
Aku menatapnya datar. “Ini kamu yang bikin?”
“Bukan, Pak. Kami tim. Semua aksi harus kolektif. Kami memegang prinsip demokrasi.” ucap Toni.
"sepertinya anak ini berbakat menjadi politisi." gumam Arka.
Arka tak bisa memarahi mereka, Arka hanya bisa berlatih sabar dengan semua sifat keunikan mereka.
“Jadi kamu ketuanya?”
“Kalau itu... iya.” Senyumnya lebar, bangga.
Hari itu, aku memutuskan untuk mencoba lebih dekat. Bukan hanya sebagai guru, tapi sebagai manusia yang ingin mengenal mereka satu per satu.
Aku mulai dari Jaka.
Anak yang paling heboh di kelas, suka membuat keributan, tapi punya kepemimpinan alami yang tak bisa dipungkiri. Di sela-sela obrolan, aku tahu kalau ayahnya sopir truk dan ibunya bekerja sebagai buruh cuci. Jaka membantu ekonomi keluarga dengan menjadi kuli pikul di pasar setiap liburan akhir pekan.
“Makanya helm militer selalu ready,” katanya sambil nyengir.
Lalu aku bicara dengan Sari, si cewek yang menyukai menulis di sebuah kertas kemarin. Ternyata dia penyuka puisi, penggemar Shakespeare, dan sedang belajar menulis naskah drama untuk lomba tingkat kota. Tapi dia tidak pernah mengirim karyanya.
“Buat apa, Pak? Orang-orang udah anggap kami gagal duluan.”
Dan di situlah hatiku sedikit tercekat.
Mereka tertawa keras, bertingkah gila, dan seperti tidak peduli. Tapi dalamnya? Ada luka. Ada rasa ditolak. Dicap. Dibuang oleh sistem yang harusnya menaungi mereka.
Aku bertemu Andi juga, anak paling pendiam di kelas. Duduk di pojokan, selalu menunduk. Tapi saat aku duduk di sebelahnya dan bertanya soal hobi, dia langsung berbinar.
“Saya suka pelajaran kimia pak, cita-citaku menjadi seorang dokter Pak, apakah bapak ingin aku suntik sebagai bahan percobaan ?” ucap Andi mengeluarkan sebuah jarum suntik.
“Pernah ikut Olimpiade ?”
Andi menggeleng. “Ngga pede, Pak. Saya kan… dari sekolah rusak kayak gini.”
Hari itu, aku duduk bersama mereka. Bukan mengajar, tapi mendengar.
Dan dalam keheningan yang tidak biasa di kelas 3A, aku melihat sesuatu yang belum pernah kutemukan sebelumnya:
Sekelompok anak-anak hebat yang selama ini cuma butuh satu hal ruang, untuk jadi diri sendiri.
Sebelum pulang, aku menulis di papan tulis besar-besar:
“Mulai minggu depan, kita akan bikin proyek bareng. Namanya: LEVEL UP MILENIAL.”
Sontak mereka ribut lagi.
“Apa tuh, Pak?”
“Kaya game, ya?”
“Pakai XP segala nggak tuh?”
“Boleh pakai cheat?”
Aku tertawa. “Tenang, besok kita bahas. Tapi satu hal yang pasti… ini bukan kelas biasa lagi. Dan kalian, bukan murid biasa.”
Mereka bersorak. Entah karena semangat… atau karena berharap tidak akan ada ujian.
Tapi aku tahu, hari itu adalah awal dari perubahan.
"Perlahan… tapi pasti." gumam Arka tersenyum.
...----------------...
Hari-hari berikutnya jadi lebih... berwarna.
Setiap pagi, Arka datang dengan satu misi sederhana, menyelami dunia mereka. Bukan cuma soal pelajaran, tapi juga soal kehidupan mereka yang aneh, lucu, kadang absurd, tapi selalu jujur.
Hari Selasa, Jaka datang ke sekolah dengan membawa helm militer dari rumahnya. Dia bilang biar bisa “belajar dengan semangat !”.
Deri adalah murid yang pintar dalam masalah bisnis, ia maju kedepan memperagakan bagaimana cara menjadi marketing. Ia menatap pak Arak dan berkata."bagaimana cara ku dalam marketing pak ?" tanya nya.
"kamu hebat Deri." ucap Arka terkesima dan tersenyum.
"kalau begitu, bolehkah aku menjual rumahmu pak ?" ucap Deri sambi menjulurkan tanganya.
Arka terdiam dan menurunkan bibir yang tersenyum itu dengan wajah yang datar. "engak, makasih."
Hari Rabu, Amira yang jago dalam puisi dan menulis, ia mempresentasikan menjadi konspirasinya soal alien penculik guru. Di bantu Reza yang jago mengedit video, Disertai PowerPoint dan efek suara dramatis.
Hari Kamis, sinta meletakan hasil rancangan bangunan yang ia buat ia menjelaskan menggunakan mic kabel. Seluruh kelas diam. Bukan karena mereka menghayati, tapi karena speaker-nya nyetrum meja besi.
Hari Jumat, Lia yang melakukan aksi drama horornya, membuat kelas menjadi hening dan ketakutan, ia memperagakan sesosok orang yang sedang kesurupan. Dengan wajah yang pucat, dan menyenter kan wajahnya dengan senter.
Tapi yang paling mengejutkan? Mereka mulai mendekatiku. Bukan sebagai guru yang harus ditakuti, tapi sebagai orang dewasa yang mereka percaya bisa mendengar.
Satu sore sepulang sekolah, aku duduk di taman kecil yang nyaris tak terurus di samping ruang guru. Di sana, aku mendapati Dina sedang duduk sendiri, melukis di atas kardus bekas.
Aku mendekat pelan. “Kamu sendirian?”
Dia mengangguk. “Lagi bikin ilustrasi mimpi, Pak.”
Aku duduk di sebelahnya. “Mimpi kamu apa?”
Dina diam sebentar. “Jadi desainer profesional. Tapi kayaknya ngimpi aja, sih.”
Aku menatap hasil gambarnya, seorang perempuan terbang dengan sayap kertas di atas sekolah yang terlihat hancur. Tapi wajah si perempuan tersenyum, seolah tahu dunia bisa berubah kalau dia terus melukis.
“Kamu tahu, Dina,” kataku sambil tersenyum, “semua hal besar dimulai dari mimpi. Termasuk sekolah ini. Dan kita-kita sedang mulai bangunin mimpinya.”
Dia tersenyum kecil. “Bapak beda dari guru yang lain.”
Aku tertawa pelan. “Mungkin karena saya juga masih belajar.”
Hari itu, aku pulang dengan satu tekad: proyek Level Up Milenial bukan cuma jadi cara agar mereka belajar, tapi juga jadi tempat mereka menanamkan kembali harapan.
Aku tahu ini tidak akan mudah. Akan banyak kekacauan. Akan ada saat di mana mereka ingin menyerah, mungkin aku juga.
Tapi saat melihat mereka tertawa, berkreasi, bahkan hanya saling mendengar... aku sadar: sekolah ini belum mati. Mereka belum gagal. Mereka cuma belum dikasih kesempatan.
"Dan aku di sini bukan untuk menyelamatkan mereka, aku di sini untuk berdiri di samping mereka. Sebagai guru, sebagai teman, dan mungkin… sebagai bagian dari kegilaan itu sendiri." gumam Arka.
Hari Senin pagi. Cuaca mendung, udara sedikit dingin, dan entah kenapa suasana sekolah terasa lebih hidup dari biasanya.
Kelas 3A sudah penuh sejak bel masuk pertama. Aneh. Biasanya butuh bel kedua, bahkan kadang ketiga, baru mereka muncul satu per satu seperti zombie bangun kesiangan.
Tapi hari ini? Mereka datang dengan wajah penuh antisipasi. Beberapa membawa laptop, kamera, sketsa, bahkan kertas gulungan besar yang tampak seperti blueprint markas rahasia.
“Ayo, Pak!” seru Reza sambil menyalakan proyektor kelas. “Kita mau presentasi ide untuk Level Up Milenial!”
Aku berdiri di depan kelas, sedikit terkejut, tapi juga bangga. Mereka benar-benar tertarik. Dan saat satu per satu mulai mempresentasikan ide mereka, aku tahu… kelas ini akan jadi gila.
Tim Reza “Reality Show Sekolah Gagal”
Ide: Membuat serial dokumenter di YouTube tentang kehidupan di SMA Harapan Nusantara dari sudut pandang murid “terbuang”. Konsepnya: satire, lucu, tapi jujur.
“Judul episodenya ada yang kayak gini, Pak,” kata Reza. “Episode 1: Guru Baru, Harapan Baru atau Korban Baru?”
Seluruh kelas ketawa. Aku cuma bisa menghela napas sambil menahan senyum.
Tim Dina – “Design For Hope”
Ide: Membuat mural besar di tembok luar sekolah, yang menggambarkan mimpi-mimpi murid 3A. Mereka ingin melibatkan anak-anak sekitar untuk ikutan melukis, Di bantu dengan Sinta.
“Kita tunjukkin ke dunia kalau sekolah ini masih punya warna,” kata Dina pelan tapi mantap.
Aku terdiam sejenak. Kagum.
Tim Jaka – “Turnamen Kelas Gila”
Ide: Mengadakan kompetisi kelas ala reality show, isinya tantangan-tantangan absurd seperti “Debat Paling Tidak Masuk Akal”, “Drama Tanpa Dialog”, atau “Olimpiade Anti-Mainstream”.
“Tujuannya,” kata Toni serius, “biar semua orang tahu kalau jadi aneh itu bukan aib. Itu kekuatan.” ucap Toni mengenakan jas dan kacamata.
Dan ya, itu kalimat paling bijak yang pernah keluar dari mulutnya.
Setelah semua presentasi selesai, aku berdiri dan menatap mereka satu per satu.
“Baiklah,” kataku sambil tersenyum, “semua ide kalian… terlalu gila untuk ditolak.”
Sontak mereka bersorak.
“Tapi,” lanjut arka, “kita akan jalankan ini sebagai bagian dari proses belajar. Kalian tetap harus bikin laporan, bikin konsep matang, dan... ya, tetap belajar materi pelajaran lewat proyek kalian. Bisa?”
“BISA!” jawab mereka serempak ya, walaupun aku tahu 70% dari mereka nggak tahu apa yang barusan mereka setujui.
Hari itu, kelas 3A tidak belajar seperti kelas biasa. Mereka mulai membagi tugas, bikin grup kerja, nulis di papan, dan sibuk seolah-olah ini Bisnis yang mau diajukan ke investor.
Dan aku? Aku duduk di kursi guru, memperhatikan mereka, lalu mencoret kata “kegilaan” di catatanku.
Yang kulihat hari itu… bukan kegilaan.
Tapi semangat.
Semangat yang selama ini dikubur oleh sistem, oleh cap buruk, oleh rasa tidak percaya diri. Tapi kini, pelan-pelan, mulai muncul ke permukaan.Mereka tidak berubah karena Arka, Mereka berubah karena ada ruang, Ruang untuk jadi diri sendiri, Dan dari sinilah… Level Up Milenial resmi dimulai.
...----------------...
Sore itu, kelas 3A tidak langsung pulang. Mereka tetap tinggal, duduk melingkar di lantai, beberapa menggambar, yang lain berdiskusi, dan sebagian lagi... sibuk berdebat soal nama tim mereka masing- masing.
“Pak, nama tim kami ‘Tim Visioner’,” kata Dina bangga.
Reza langsung memotong, “Ah, basi! Kami ‘Tim Kontra Mainstream’. Kami menolak semua hal normal.”
“Lalu tim kami?” tanya Sari sambil melirik Jaka.
Jaka berdiri, menepuk dada dan berkata, “Kami… Tim Anarki Positif.”
"Setuju !" teriak Toni merapikan jas.
Aku terdiam sejenak. “Itu... kontradiktif, ya.”
Jaka nyengir. “Benar komandan. Justru itu estetikanya.”
Mereka memang gila. Tapi gila dengan cara yang menyegarkan. Lalu datang pertanyaan dari Andi, anak yang biasanya diam.
“Pak,” katanya pelan, “emang proyek ini bakal ngaruh ya? Maksudnya... ini kan sekolah yang mau tutup.”
Kelas langsung hening.
tiba-tiba salah satu murid berteriak meminta tolong, arka terkejut dan melirik ke belakang. Ia melihat Andi menduduki teri yang tengkurap dan sambil memegang jarum suntik."pak, bagaimana denganku ?"
"hentikan, kenapa kau mau menyuntiknya Andi ?" tanya Arka.
"ia mencoba bernegosiasi denganku dan akan menjual pensil dan penghapus ku pak." ucap Andi.
Aku tahu, meski mereka antusias, jauh di dalam hati mereka masih ada bayang-bayang ketidakpastian. Tentang masa depan. Tentang apakah semua ini cuma semangat sesaat yang akan dilupakan sistem.
Aku menatap mereka satu per satu.
“Dengar, sekolah ini bisa saja tutup, iya. Tapi nilai yang kalian hasilkan dari proyek ini dokumentasi, karya seni, laporan, video. itu bisa dibawa ke mana saja. Ke lomba, ke portofolio, ke dunia luar yang lebih luas dari bangunan ini.”
Mereka diam. “Bahkan kalau sekolah ini tutup besok pun, kalian akan pergi dari sini bukan sebagai ‘anak dari sekolah gagal’, tapi sebagai murid yang pernah membuat sesuatu yang luar biasa.”
Lambat-lambat, wajah mereka mulai tersenyum. Dina mengangguk pelan. “Berarti... kita bukan cuma bikin proyek. Kita ninggalin jejak, ya, Pak?”
Aku balas mengangguk. “Persis.”
Dan dari situ, ide baru lahir.
“Gimana kalau kita rekam semua prosesnya?” tanya Reza tiba-tiba. “Kita dokumentasi in dari awal sampai akhir. Biar dunia tahu... kita pernah ada.”
Itulah titik di mana mereka bukan hanya antusias, tapi tergerak. Mereka ingin membuktikan, bukan hanya kepada dunia, tapi pada diri mereka sendiri, bahwa mereka layak didengar.
Hari itu ditutup dengan papan tulis penuh coretan ide, lantai yang berantakan, dan wajah-wajah penuh semangat. Dan Arka berdiri di pintu kelas, melihat semuanya, dengan perasaan haru yang sulit dijelaskan.
Proyek Level Up Milenial baru saja mendapat maknanya yang sebenarnya, Bukan tentang menyelamatkan sekolah. Tapi menyelamat kan keyakinan mereka akan masa depan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!