NovelToon NovelToon

Bidadari Untuk Zayn

Bab 1_Lari Dari Kejaran Polisi

Malam itu gelap, hanya cahaya dari lampu jalan yang menerangi aspal hitam yang berkilau. Angin malam berhembus kencang, menggerakkan rambut yang terurai dari helm mereka yang telah dipakai.

Jalanan sepi, tetapi di ujung sana, suara deru mesin mulai terdengar, semakin dekat. Geng motor Black Phoenix berkumpul, sepeda motor mereka mengelilingi tempat start di pinggir jalan. Beradu dengan Geng Venom Riders.

Kedua geng ini tidak pernah akur dalam hal apapun, selalu saja bersaing menunjukkan siapa yang paling hebat di antara mereka.

Zayn berdiri paling depan, matanya menatap tajam ke arah lawan-lawannya. Wajahnya dingin, seperti biasa, tanpa ekspresi. Tangannya menggenggam erat setang motor, jari-jarinya yang kekar menggenggam gas seakan siap meledak.

"Jangan kasih ampun, bro," kata Ryu, sambil menatap Zayn dengan senyuman penuh tantangan.

Axel, yang berdiri di samping mereka, melirik dengan tatapan tajam, "tunjukkan siapa yang paling hebat bro."

Zayn hanya mengangguk, kemudian menarik napas dalam-dalam. Mesin motor dihidupkan, mengeluarkan suara bergemuruh yang menggema di malam yang sunyi.

Di sampingnya adalah geng lawan, ketua geng motor Venom Riders, Aldrich Varen.

"Bantai mereka, tunjukin siapa Venom Riders," ujar Ares kepada Aldrich Varen.

"Tiga... dua... satu...!"

Tanpa peringatan lebih lanjut, gas diputar penuh. Semua motor meluncur, menyapu jalanan dengan kecepatan yang memecah keheningan malam. Zayn memimpin, diikuti Aldrich, mereka saling bersaing sengit.

Suara motor yang menderu itu menggema hingga ke setiap sudut jalan, seperti jejak petir yang membelah malam.

Asap knalpot mengepul tebal. Mereka melewati tikungan tajam tanpa sedikit pun mengurangi kecepatan. Zayn merasakan sensasi dingin menyentuh wajahnya, matanya tetap fokus ke depan. "Jangan sampai kalah," gumamnya dalam hati, menambah kecepatan motornya.

Aldrich tidak mau kalah. Dengan keterampilan balap yang luar biasa, dia menyalip Zayn di sebuah tikungan. Wajahnya penuh percaya diri, tangannya tetap kokoh memegang setang.

Namun, Zayn tahu dia harus lebih berhati-hati. Momen itu adalah detik-detik berbahaya yang bisa merubah semuanya.

Tiba-tiba, suara klakson keras dari belakang. Ryu sudah menempel ketat di mereka, siap memanfaatkan setiap celah untuk mendahului. Saling kejar-kejaran semakin ketat, mereka seperti bayangan yang saling mengejar dalam gelap.

Jalanan semakin sempit. Mereka harus memilih dengan hati-hati kapan harus menambah kecepatan dan kapan harus mengerem. Zayn menghindari rintangan yang muncul mendekat.

Hanya ada dua pilihan yaitu menang atau kalah. Geng mereka sudah terbiasa dengan risiko seperti ini, tapi malam ini rasanya lebih mencekam. Namun sayang, tak jauh di depan, lampu mobil polisi terlihat, semakin mendekat dengan cepat. Mereka harus cepat mencari jalan keluar.

"Jangan sampai ketahuan!" seru Zayn, memutar motornya dengan cekatan untuk menghindari patroli polisi yang mulai melintas.

Asap knalpot mengepul lebih tebal saat mereka berbelok tajam, melintasi gang sempit yang hanya bisa dilewati dengan motor. Ryu hampir terjatuh saat melintasi jalan yang licin, tetapi dengan instingnya yang tajam, dia berhasil menjaga keseimbangan.

Suara sirene mulai terdengar di kejauhan, memecah konsentrasi mereka, "ayo! Kita harus keluar dari sini!" Zayn berteriak, memacu motornya lebih cepat lagi, meninggalkan geng yang semakin jauh tertinggal di belakangnya.

Semua orang sudah bubar, sibuk menyelamatkan diri masing-masing dari kejaran polisi.

Semua orang berpencar entah ke mana, sementara Zayn terkepung oleh polisi.

Tangannya erat menggenggam setang motor, tubuhnya condong ke depan, mencoba mengimbangi kecepatan yang semakin liar.

Di belakangnya, lampu mobil polisi berkedip terang, menembus gelapnya malam, “ berhenti! Jangan lari!” suara megafon terdengar lantang, tetapi Zayn tidak peduli. Ia harus kabur.

Di depannya, jalanan berbelok tajam, dan di sisi lain terdapat sebuah perempatan dengan lalu lintas kendaraan yang masih cukup ramai. Dengan kecepatan tinggi, Zayn mencoba bermanuver, tetapi…

“Sial!”

Ban belakangnya tergelincir di atas pasir yang tersebar di tikungan! Motor oleng! Ia kehilangan kendali! Dalam hitungan detik, tubuhnya terhempas ke aspal, berguling beberapa kali sebelum akhirnya berhenti di pinggir jalan. Suara gesekan motor dengan aspal memekakkan telinga.

Zayn terdiam sesaat. Kepalanya berdenyut, tangannya terasa perih akibat goresan. Napasnya tersengal, tetapi otaknya bekerja cepat. Ia tidak bisa berhenti di sini. Polisi akan segera menangkapnya!

Dengan panik, ia menoleh ke arah motornya. Motor itu tergeletak di tengah jalan, ringsek di salah satu sisinya, mesin masih menyala dengan suara yang serak. Mustahil ia bisa kabur dengan motor itu lagi.

Tanpa pikir panjang, Zayn berlari.

Ia tidak tahu harus ke mana. Yang ada di pikirannya hanyalah menjauh dari tempat itu secepat mungkin. Ia menyelinap di antara deretan mobil yang berhenti di lampu merah, matanya liar mencari tempat persembunyian. Dan saat itulah ia melihatnya—

Sebuah bus antar kota sedang berhenti di halte, pintunya masih terbuka.

Tanpa berpikir panjang, Zayn bergegas menaikinya. Nafasnya masih tersengal, dadanya naik turun saat ia mencari tempat duduk kosong di bagian belakang. Ia menyembunyikan wajahnya di balik hoodie yang sudah ia kenakan sejak tadi.

Beberapa detik setelah ia duduk, pintu bus tertutup, dan kendaraan itu mulai bergerak. Zayn menoleh ke jendela.

Dari kejauhan, ia melihat dua orang polisi berdiri di dekat motornya yang terbengkalai, menoleh ke segala arah, seolah mencari pemiliknya. Mereka terlambat.

Bus itu melaju… menjauh… dan semakin menjauh dari sepeda motornya.

Zayn menelan salivanya. Setidaknya kehilangan motor tidak seburuk jika dirinya tertangkap polisi. Ia tidak mau ditangkap polisi bukan karena ia khawatir dengan orang tuanya, sebab orang tuanya punya power pasti dengan cepat bisa menyelamatkan dirinya. Tapi, ia harus menjaga harga dirinya dari geng Venom Riders.

Ia menatap jam berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, jarum jam menunjukkan saat ini sudah pukul 1 pagi. Matanya sudah sangat mengantuk, terlebih ia sangat kelelahan karena berkejar kejaran dengan polisi. Ia mencoba memejamkan kedua matanya, sambil bersandar di kursi bus.

Empat jam kemudian.

“Hei, kau turun di mana?” suara kernet bus menggema di telinga Zayn, diiringi dengan sentuhan kasar di bahunya.

Zayn mengerjap, mengusap matanya yang masih terasa berat. Sekelilingnya tampak sunyi. Bangku-bangku bus sudah kosong. Hanya dia yang tersisa.

“Kau turun di mana?” kernet itu bertanya lagi, nada suaranya terdengar tidak sabar.

Zayn dengan malas membuka matanya dan menatap kernet itu dengan kesal karena telah menganggu tidurnya.

"Kau turun di mana anak muda?" tanya kernet itu lagi dengan keras.

"Ahhh berisik banget sih lu, di sini, gua turun di sini," ujar Zayn bangkit dari kursi bus dengan sempoyongan karena menahan kantuk.

Kernet mendecak kesal, “hah! Dasar penumpang aneh. Sudah, turun sana!” ujar kernet mengikuti langkah Zayn dari belakang.

Zayn yang masih setengah sadar turun dari bus. Angin malam menerpa wajahnya begitu dia berdiri di tepi jalan yang lengang.

“Hei, kau belum bayar, kan? Mana ongkosmu?” seru kernet dari ambang pintu bus.

Zayn merogoh dompetnya dengan malas, mengeluarkan selembar uang merah dan menyodorkannya begitu saja. Tanpa menunggu kembalian, dia melangkah pergi, tubuhnya sempoyongan karena kantuk yang masih mendera.

“Kembalianmu!” teriak kernet saat melihat Zayn terus berjalan.

“Ambil saja untukmu!” sahut Zayn tanpa menoleh.

Kernet hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, "dasar anak jaman sekarang," gumamnya sebelum kembali masuk ke dalam bus.

“Jalan lagi, Pak,” katanya pada sopir, dan bus pun melaju, meninggalkan Zayn yang semakin menjauh, mencari tempat untuk untuk melanjutkan tidurnya.

Bab 2_Salah Paham

Angin malam berembus dingin, menusuk hingga ke tulang. Zayn merapatkan jaketnya, matanya nanar menatap jalanan sepi yang hanya diterangi lampu jalan yang temaram.

Suara azan subuh dari surau menggema. Tapi, bukannya dia mencari surau untuk sholat subuh, tapi ia malah mencari tempat untuk tidur.

Di ujung jalan, matanya menangkap sebuah rumah tua yang tampak tak berpenghuni. Cat pada dinding papannya sudah terkelupas, jendela-jendelanya berdebu, dan ilalang tumbuh liar di halaman.

“Cukup bagus untuk tidur beberapa jam,” gumamnya.

Tanpa pikir panjang, Zayn mendorong pintu kayu yang setengah terbuka, melangkah masuk, lalu menutupnya kembali. Di dalam, rumah itu terasa pengap dan berdebu, tapi setidaknya ada atap di atas kepalanya.

Zayn melepaskan jaket dan kaosnya, menggelarnya di lantai kayu yang berdebu sebagai alas tidur. Tanpa peduli dengan keadaan sekitar, ia merebahkan diri dan terlelap seketika.

Sementara itu, di tempat lain, seorang gadis bernama Zahira tengah sibuk dengan kerajinan tangannya. Di Minggu pagi, ia memiliki banyak tugas sekolah, dan salah satunya adalah tugas membuat kerajinan tangan yang bermaterial kayu.

"Ibu, di gudang masih ada kayu atau papan tidak?" tanya Zahira kepada ibunya yang tengah memasak di dapur.

"Sepertinya sudah tidak ada, tapi coba kamu cek kembali," ujar Asiyah, ibunda Zahira.

Tanpa berlama lama Zahira langsung mengecek ke gudang, dan betul saja di gudang tidak ada kayu ataupun papan yang bisa ia pergunakan untuk kerajinan tangannya. Sedangkan ia harus segera menyelesaikan tugas kerajinan tangannya, sebab masih ada tugas sekolah lain yang harus segera ia selesaikan. Sebab, besok, Senin, semua tugas itu harus ia kumpulkan.

Akhirnya, ia memutar otak, dari mana ia akan mendapatkan papan, dan ia menemukan ide. Tidak jauh dari rumahnya, ada rumah tua yang sudah lama kosong, di mana pemiliknya sudah lama mengosongkan rumah itu. Jadi, tanpa pikir panjang ia langsung ke sana untuk mencari kayu untuk kebutuhan tugas sekolahnya.

Setelah berjalan kaki sekitar 3 menit, ia pun sampai ke rumah kosong itu. Suara langkah kakinya terdengar pelan di depan rumah kosong itu. Zahira melangkah masuk perlahan, tangannya sibuk mengangkat rok panjangnya agar tak tersangkut di rerumputan liar.

Matanya menelusuri ruangan yang remang-remang, lalu tertuju kepada beberapa balok kayu yang tersandar di dinding. Dengan hati-hati, ia melangkah mendekat, meraih salah satu balok kayu besar.

Namun saat itu juga, terdengar suara gemeretak di atasnya. Salah satu balok kayu yang besar dan berat tiba-tiba bergeser, siap jatuh ke arahnya.

Mata Zahira membelalak.

Sebelum ia sempat bergerak, seseorang melompat dari arah samping, menerjangnya hingga tubuhnya terdorong ke lantai. Balok kayu itu jatuh dengan suara gedebuk keras, hanya beberapa inci dari tempatnya berdiri tadi.

Napasnya memburu, jantungnya berdegup kencang.

Saat ia mengangkat wajah, matanya bertemu dengan tatapan tajam seorang pria. Tubuhnya yang telanjang dada terasa hangat di atas tubuhnya.

Zayn.

Zahira terkesiap, wajahnya seketika memanas. Ia hendak mendorong tubuh pria itu menjauh, tetapi saat itu juga terdengar suara gaduh dari luar.

Beberapa tetangga desa yang hendak bergotong royong kebetulan melewati rumah tua itu. Mereka mendengar suara berdebum tadi dan mengintip ke dalam.

Dan yang mereka lihat adalah seorang pria tanpa baju sedang memeluk seorang gadis di lantai rumah kosong.

“Astaghfirullah! Apa yang sedang kalian lakukan?" teriak seorang lelaki tua, wajahnya merah padam.

Yang lain ikut berdatangan, sebagian menggelengkan kepala, sebagian lagi langsung berbisik-bisik.

Zahira mendorong Zayn menjauh dengan panik, "tidak, Paman! Ini bukan seperti yang kalian pikirkan!” serunya.

Tapi semuanya sudah terlambat.

“Kalian sudah berbuat zina di tempat ini! Kalian harus menikah!” ujar salah satu warga dengan nada marah.

Zahira menatap mereka dengan wajah pucat. Zayn yang masih setengah sadar hanya bisa mengacak rambutnya frustasi.

Sial.

Hari ini ia hanya ingin tidur sebentar. Dan sekarang, dia malah dipaksa menikah.

*****

Akhirnya mereka berdua di arak ke balai desa.

Suasana Minggu pagi yang biasanya tenang di desa itu, kini berubah menjadi penuh keributan. Jalan setapak itu kini dijejali oleh warga yang berbondong-bondong menuju balai desa. Di tengah-tengah kerumunan, Zahira dan Zayn berjalan dengan tangan ditarik kasar oleh para pria desa, sementara teriakan-teriakan kecaman menggema di udara.

"Bawa mereka ke balai desa! Kita tidak bisa membiarkan dosa merajalela di desa kita!" seru seorang pria bertubuh kekar yang tampaknya menjadi pemimpin dalam arak-arakan itu.

Zahira menggigit bibirnya, menahan tangis yang hampir pecah. Ia berusaha meronta dari cengkeraman kuat yang mengikat lengannya, tapi sia-sia. Zayn, yang berjalan di sebelahnya, mencoba tetap tenang meskipun wajahnya menunjukkan kemarahan yang ditahan.

"Kami tidak melakukan apa pun! Ini hanya salah paham!" Zahira berteriak, berharap ada seseorang yang mau mendengarkannya.

Namun, suara wanita tua dari belakang langsung membalas, "tidak ada maling yang mengaku maling! Kau sudah menodai desa ini dengan perbuatan kotor! Tidak menyangka gadis pendiam dengan balutan hijab syar'i sepertimu ternyata adalah perempuan munafik!" ucap wanita itu yang kata katanya bagaikan belati tajam yang menyayat hati Zahira.

Sedari kecil, Zahira dibesarkan dengan pendidikan agam yang kuat oleh ibu dan abahnya. Jangankan berzina, bahkan dekat dengan lelaki pun dirinya tidak pernah. Ia benar benar seperti berlian yang dijaga ketat oleh orang tuanya. Tapi, saat ini, ia bahkan dituduh sebagai wanita munafik, yang bersembunyi dibalik pakaian taqwanya.

Seorang pria menyorongkan tongkat kayu ke punggung Zayn, memaksanya berjalan lebih cepat, "anak muda zaman sekarang memang kurang ajar! Kalau kau memang lelaki sejati, kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu!"

Zayn menoleh, matanya menyala penuh amarah, "gue bilang ini salah paham! Kalian sama sekali tidak memberi kami kesempatan untuk menjelaskan!"

"Diam!" bentak seorang pria tua, "jangan banyak bicara kau anak kota!"

Zayn ingin memberontak, tapi ia sadar saat ini ia tidak bisa melawan warga sebanyak ini.

"Tidak disangka, gadis sepolos Zahira ternyata adalah pemain di belakang," ujar salah seorang wanita lagi, ia masih cukup muda.

"Dasar pengundang bala petaka, apa dia kira jika dia berzina hanya dia saja yang merasakan akibat buruknya? semua orang di desa ini akan dapat bala, kalau ada pezina di desa itu," ujar salah seorang warga lagi.

Semua orang mengarak Zahira dan Zayn dengan wajah penuh amarah dan benci. Terlebih, Zahira adalah anak janda miskin, tentunya hal ini membuat orang-orang di desa semakin tidak bisa mentoleransi kesalahan Zahira.

Langkah mereka terus dipacu hingga akhirnya mereka tiba di halaman balai desa yang sudah dipenuhi oleh warga yang lebih dulu datang. Beberapa wanita mencibir, sementara para pria tampak siap memberikan hukuman.

Bab 3_Harus Menikah?

Sementara itu, di sebuah rumah kecil di pinggir desa, Asiyah tengah melipat baju ketika pintunya digedor dengan kasar.

"Asiyah! Cepat keluar! Anakmu sudah diarak di balai desa!"

Asiyah tersentak dan buru-buru menuju pintu. Begitu membukanya, ia mendapati beberapa wanita desa berdiri dengan wajah muram dan tatapan tajam.

"Ada apa?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Anakmu... Zahira... dia tertangkap basah berduaan dengan seorang laki-laki di rumah kosong!" salah seorang wanita menyampaikan dengan suara penuh penghakiman.

Darah Asiyah seakan berhenti mengalir. Napasnya tercekat, lututnya terasa lemas.

"Apa yang kalian katakan...? Tidak mungkin! Zahira tidak mungkin melakukan hal itu!" ujar Asiyah dengan kakinya yang sudah lemas, dan jantung yang berdegup kencang.

"Kami semua melihatnya. Laki-laki itu bahkan sudah setengah telanjang. Mereka kedapatan berbuat mesum di dalam rumah kosong itu. Para warga sudah membawa anakmu ke balai desa, dan kamu harus ikut kami ke balai desa sekarang juga. Kepala desa dan warga lainnya sudah menunggu."

Asiyah tidak bisa berkata apa-apa. Tangannya bergetar saat ia menutup pintu rumah, sebelum akhirnya mengikuti para wanita yang menjemputnya menuju balai desa.

Suasana di balai desa semakin memanas. Kepala desa dan beberapa tokoh di desa itu duduk di sebuah sofa yang ada di ruangan, sementara warga berdiri mengelilingi Zahira dan Zayn yang dipaksa berlutut di lantai.

Asiyah tiba dengan wajah pucat, melihat putrinya dalam keadaan penuh tekanan. Ia bahkan merasa berat untuk sekedar menelan salivanya sendiri.

"Bu Asiyah," kepala desa berbicara dengan suara berat, "kamu seharusnya sudah tahu apa yang terjadi, bukan?" ujar kepala Desa memastikan.

Asiyah menatap Zahira, lalu kembali menatap kepala desa, "Pak... tolong dengarkan... Zahira tidak mungkin melakukan itu. Saya membesarkannya dengan baik, dia bukan gadis yang seperti itu. Ini pasti ada salah paham. Berikan mereka kesempatan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi!" ujar Asiyah penuh harap.

"Lalu mengapa dia ditemukan dengan laki-laki ini?" tanya seorang pria dengan nada mengejek, "dan kenapa si laki-laki itu tidak memakai baju? Siapa yang bisa menjamin mereka tidak melakukan apa-apa. Dua muda-mudi berpelukan, apakah itu bisa dikatakan tidak berbuat apa-apa?"

"Baiklah, saya persilahkan untuk kedua remaja ini menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi," ujar Kepala Desa, "silahkan!" lanjutnya mempersilahkan kepada Zayn.

Zayn mengangkat kepalanya, "dengar, malam tadi saya dengan sembarang turun dari bus di kampung ini. Dikarenakan saya sangat mengantuk, jadi saya memutuskan untuk tidur di sembarang tempat. Dan rumah kosong itu menjadi tempat pilihan saya untuk tidur, dikarenakan saya tidak menemukan tempat menginap di sini. Jadi, saya pertegas sekali lagi, bahwa saya hanya tidur di sana. Dan kemudian, tanpa saya ketahui wanita ini datang entah dari mana. Saat itu, saya masih rebahan, meski mataku sudah terbuka. Tapi, kejadiannya sangat cepat, sebuah balok kayu hampir menimpanya, dan saya secara spontan menyelamatkannya. Itulah sebabnya kami malah terlihat berpelukan. Mengenai mengapa saya telanjang dada, itu karena tadi malam rumah kosong itu sangat pengap, dan lantainya pun sangat kotor, jadi aku menggunakan jaket dan kaosku sebagai alasnya. Itulah kejadian yang sebenarnya." Jelasnya.

"Omong kosong!" teriak seorang wanita, "lelaki dan perempuan bukan muhrim tidak seharusnya berada di tempat yang sama! Lagipula kalau hanya mengambil kayu, kenapa Zahira harus jauh jauh ke rumah kosong itu? Ini desa bukan kota, mencari kayu tidaklah sesulit mencari permata," lanjut wanita itu dengan nada sengit.

"Betul, itu hanya alasan saja, karena sudah tertangkap basah, apapun bisa dikatakan untuk menghindari hukuman," ucap salah seorang warga lainnya dengan nada marah.

"Kita harus memberi mereka pelajaran!" seru warga lain.

"Betul, alasannya itu pasti ia buat-buat sendiri, dasar anak kota, tidak takut dosa," ujar yang lainnya.

"Anak muda, cepat hubungi orang tuamu, orang tuamu harus tahu kebejatanmu," ujar tokoh yang lain.

Zayn menatap tokoh itu dengan amarah, "sudah ku katakan sedari tadi, aku gelandangan, tidak punya orang tua, tidak punya saudara, dan tempat tinggal. Jadi, jangan memintaku menghubungi siapapun," ujar Zayn.

"Ah, gembel ternyata, pantesan tidak bermoral," ucap salah seorang warga, yang membuat Zayn mengepal tinjunya karena menahan amarah.

Tapi, ia tidak bisa memberitahu siapa ia yang sebenarnya, apalagi sampai orang tuanya tahu, bisa-bisa masalahnya akan menjadi sangat rumit.

Asiyah mulai menangis, tetapi ia menggigit bibirnya, menahan isak. Ia percaya putrinya tidak mungkin melakukan hal itu. Ia percaya kalau kejadian yang sebenarnya adalah apa yang dikatakan oleh Zayn, sebab tadi pagi pun Zahira bertanya kepadanya mengenai kayu untuk kerajinan tangannya, tapi keadaan begitu menekan. Siapa yang percaya kepada putrinya sekarang. Tidak ada, selain dirinya sendiri.

Kepala desa akhirnya bersuara, "hanya ada satu jalan untuk menyelesaikan masalah ini, tanpa melukai siapapun."

Seluruh warga terdiam, menunggu keputusan kepala desa.

"Mereka harus dinikahkan!"

Zahira tersentak, sementara Zayn mengepalkan tinjunya.

"Tidak!" Zahira akhirnya bersuara, "saya tidak bisa menikah dengan seseorang yang bahkan baru kutemui hari ini! Bahkan namanya saja aku tidak tahu."

"Kalau kalian menolak, maka konsekuensinya adalah kalian harus diusir dari desa ini dan diharamkan untuk menginjakkan kaki lagi di desa ini!" kepala desa menegaskan, "berzina adalah hal yang melanggar norma adat dan agama. Dan saya sebagai kepala desa, mewakili seluruh warga yang ada di desa ini mengecam apa yang telah kalian perbuat!" lanjutnya dengan nada tegas sedikit marah.

Suasana menjadi semakin menegangkan. Zahira menoleh ke ibunya, berharap ibunya akan membelanya, tetapi yang ia lihat justru wajah Asiyah yang penuh keputusasaan.

Asiyah mendekati Zahira, menggenggam tangannya, "nak... Ibu percaya padamu... tapi... kita tidak punya pilihan lain..." suaranya parau, hampir tak terdengar.

Asiyah tidak punya siapa-siapapun lagi di dunia ini selain Zahira. Ia tidak punya harta atau tabungan. Jadi, jika mereka di usir, maka bisa dipastikan mereka akan menjadi gelandangan di luar.

Dan ia tidak mau hal itu terjadi, ia tidak akan membiarkan Zahira merasakan pahitnya hidup di jalanan. Apalagi mereka berdua adalah perempuan, sudah pasti kehidupan di jalanan sangat berbahaya bagi mereka, banyak bahaya yang mengancam.

Zayn mendengus, matanya berkilat penuh kemarahan. Ia tidak pernah berpikir akan terjebak dalam situasi seperti ini.

"Jadi, kalian menerima pernikahan ini?" tanya kepala desa dengan nada tegas.

"Saya tidak setuju dengan pernikahan ini. Kalian semua tidak bisa memaksa orang lain untuk menikah. Apa kalian tidak melihat, kami ini masih anak di bawah umur, bagaimana mungkin kalian ingin menikahkan kami begitu saja? Terlebih saya ini gelandangan, bagaimana saya akan menafkahi perempuan ini, jika saya menikahinya? Ayolah, semuanya harus berfikiran terbuka dan realistis. Lagipula, kan saya sudah menjelaskan kejadian yang sebenarnya, kenapa kalian tidak bisa mengerti juga?" ujar Zayn protes.

"Heii, anak muda, jangan banyak bicara di sini, kamu sudah menodai anak gadis desa kami. Dan sekarang kamu tidak mau menikahinya? Apa kamu tega melihat ibu dan anak yang miskin ini kami usir dari desa ini, dan hidup terlunta-lunta di jalanan?" ujar pria paruh baya dengan nada serius.

Zayn melirik Zahira, yang menundukkan kepalanya, bahunya gemetar menahan tangis. Setelah beberapa saat, Zayn menghela napas panjang. Ia, merasa otaknya sudah mengebul, tidak bisa berdalih lagi, terlebih wanita di sampingnya tampak telah pasrah dan menyerah. Jika, ia terus melakukan perlawanan, ia khawatir jika ibu dan anak ini akan di usir, dan yang lebih ia khawatirkan adalah dirinya sendiri. Ia tidak mau masalah ini sampai kepada orang tuanya.

"Baiklah," katanya dengan suara berat, "saya akan menikahinya."

Zahira mengepalkan tangannya, air mata jatuh membasahi pipinya. Bibirnya tak lagi mampu berkata-kata.

Tanpa memberi kesempatan lagi, kepala desa langsung memanggil seorang ustaz. Di malam itu juga, di bawah tekanan puluhan pasang mata yang masih menyala penuh amarah dan kecurigaan, Zahira dan Zayn dinikahkan secara mendadak.

Pernikahan yang bukan karena cinta. Bukan karena keinginan mereka.

Tapi karena keadaan yang memaksa mereka untuk menerima takdir yang pahit ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!