"Astaga... utang numpuk, ayang banyak maunya, gajian cuma lewat doang..., duh, harus nyari duit ke mana lagi coba?"
Seorang pemuda yang cukup tampan tengah rebahan di atas ranjang, pikirannya melayang jauh. Ia memikirkan tentang hutangnya yang kian menumpuk gara-gara membiayai pacarnya yang belum tentu ia nikahi.
Tapi, namanya juga cinta, apapun pasti di lakukan. Namun, saat ia tengah melamun, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia pun tersentak lalu mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja di tepi ranjang. Ia melihat layar ponsel yang menunjukkan sebuah nama yakni Nayla.
"Nayla? Hah... baru aja dipikirin udah nelpon aja..."
Tuuuuut...!
"Halo, sayang." Suara seorang gadis terdengar menyapa dari balik speaker ponsel pemuda itu. Suaranya terdengar manja.
"Iya, sayang... ada apa?" tanya pemuda itu.
"Katanya mau jalan-jalan habis ini?"
Pemuda itu terlihat menepuk jidatnya seraya turun dari ranjang. "Astaga! Aku hampir lupa, bentar... aku siap-siap dulu. Tunggu yah!"
"Ih, gimana sih. Kok bisa lupa?! Ya udah cepetan, aku tunggu di rumah."
"Iya, sayang. Bentar... maap ya..."
Pemuda tampan berumur dua puluh tahunan yang bekerja di club malam sebagai bartender itu kini tengah menyisir rambutnya di depan cermin. Pria berlesung pipi dan berambut hitam dengan mode belah pinggir itu bersiul seiring tangannya menyapu rambutnya yang mulai tertata rapi.
"Duh, waktunya libur kerja padahal. Yah... mau gimana lagi, si ayang ngajakin jalan malam ini," gumamnya seraya menyemprotkan parfum di leher dan ketiaknya.
Drap, drap, drap
Pemuda berperawakan sedang itu kini menuruni tangga setelah selesai bersiap diri. Ia memakai baju kasual dengan celana jeans yang berlubang di beberapa titik. Di rumah sederhana namun elegan itu, ia berjalan ke arah ruang tengah. Di sana, seorang wanita paruh baya tengah duduk di depan televisi. Ia menoleh ke arah pemuda bertinggi badan 170cm itu.
"Loh? Kamu mau ke mana, Lingga?" tanya wanita berdaster biru tosca itu dengan wajah penasaran.
"Eh... anu... Lingga mau keluar. Si Nayla ngajakin jalan, Ma," sahut pemuda bernama Lingga itu dengan wajah kikuk.
Wanita yang dipanggil mama oleh Lingga itu melirik ke arah jam dinding. "Udah jam delapan loh ini... apa nggak kemaleman, Ling?"
"Yah, nggak apa-apa kok, Ma. Boleh ya ma?"
Mama Lingga menghela nafas panjang lalu akhirnya menyetujui. "Ya udah pulangnya jangan sampe pagi loh... awas! Jangan mentang-mentang kerjamu jadi bartender, jadi pulang dibiasain subuh-subuh!"
Lingga menggaruk bagian belakang kepalanya lalu menjawab. "Hehe, nggak lah, Ma... mungkin jam sebelas udah pulang kok..."
"Ya udah kalau gitu, hati-hati di jalan. Salam buat Nayla ya, kapan-kapan ajak main ke sini. Kenalin sama Mama," ujar Mama Lingga seraya tersenyum.
"Duh, Lingga udah bolak-balik ngajakin dia ke sini, tapi dia malu katanya. Belum siap. Ya udah Lingga berangkat dulu, Ma!" sahut Lingga seraya mencium tangan mamanya lalu beranjak menuju ruang depan.
"Owalah, masa iya pake malu segala. Bilang aja mama nggak akan ngapa-ngapain."
Lingga seketika tertawa. "Haha. Iya ntar aku bilangin ke dia, Ma."
"Ya udah kalau gitu, jangan lupa sekalian kunci pagarnya ya, Mama mau tidur habis ini."
"Siap, Ma!" teriak Lingga lalu menutup pintu rumah dari depan.
Lingga mengeluarkan motornya dari garasi dan segera menutup pagar seperti yang disuruh oleh mamanya. Ia pun menyalakan motornya dan melaju di jalanan perumahan yang sudah sepi. Di depan, ia sempat menyapa sekuriti setelah melewati portal. Di bawah sinar rembulan malam itu, Lingga melajukan motornya semakin kencang untuk dapat segera menuju ke tempat sang pacar.
Sementara itu, di sebuah tempat sepi, tepatnya di perbatasan sebuah kawasan pemakaman dan pasar yang sudah tutup, dua orang pemuda tanggung bertampang garang dan berpenampilan sedikit acak-acakan tengah saling berdebat.
"Yakin nih kita mau nyari mangsa di sini?" tanya seorang pemuda dengan topi hitam.
Pemuda berambut ikal di depannya terlihat tengah mengayunkan clurit secara asal seraya menyahut. "Iya, di sini aja! Lumayan sepi malam ini."
Pemuda bertopi itu melihat sekeliling lalu bergidik tiba-tiba. "T-tapi, ini kan kuburan, bro. Nggak ada tempat lain apa?"
Pemuda berambut ikal menunjuk pemuda bertopi dengan cluritnya lalu menyindir. "Apaan? Masa muka garang, tatoan, takut sama kuburan? Cemen lu!"
"Kalo sama orang aku nggak takut! Tapi, kalau urusan beginian, nyerah deh!" sahut pemuda bertopi dengan ekspresi ketakutan.
Pria berambut ikal berkaos hitam itu mengibaskan tangannya dengan mencibir. "Udah, tenang aja! Nggak ada yang namanya hantu atau demit! Di sini tempat yang paling pas buat nyari mangsa! Lagian, emang kamu ada ide tempat lain?"
"I-iya juga sih... kayaknya di sini pas deh tempatnya..."
"Makanya itu! Nurut aja sama aku. Lagian, duit udah abis nih. Malam ini kita harus dapat mangsa!"
"Iya, bini di rumah udah ngambek barang-barang kebutuhan udah pada habis!"
Tiba-tiba saja dari kejauhan terlihat sorot lampu dari sebuah motor menembus gelapnya jalanan. Kedua pemuda itu lantas mengintip dari balik pagar area pemakaman untuk memastikan. Mereka saling adu pandang lalu mengangguk serempak. Pemuda berambut ikal seketika langsung melompati pagar di susul pemuda bertopi.
"Ada motor! Cepet! Ambil bambu itu!" perintahnya kepada pria bertopi.
"Siap! Malam ini kita harus berhasil ngambil motor itu!"
Pria bertopi itu seketika mengambil sebuah bambu besar yang cukup panjang, lalu menunggu momen di mana motor itu mendekat ke arah mereka. Tak berselang lama, motor itu datang ke arah mereka dan pria berambut ikal seketika berteriak. "Lempar sekarang!"
Bruak!
Motor itu oleng sesaat setelah terkena lemparan bambu di bagian depan roda depan sebelum akhirnya roboh. Pengemudi itu seketika terjatuh dan berguling beberapa saat sebelum akhirnya ia berusaha bangkit dengan ekspresi wajah bercampur antara marah, kesal, penasaran dan juga kesakitan. Ia membuka helm dan ternyata itu adalah Lingga.
"Bangsat! Apa-apaan kalian berdua!" teriak Lingga seraya menghampiri dua pemuda itu. Kedua tangannya terkepal siap untuk melakukan perlawan.
Namun, pemuda berambut ikal seketika menodongkan clurit ke arah Lingga dan membuat pria itu terkejut lalu mundur beberapa langkah ke belakang.
"Apa? Mau ngelawan? Ayo coba kalau berani!" seru pemuda itu seraya mengancam dengan menyeringai.
"K-kalian mau ngapain?" tanya Lingga dengan suara terbata. Tubuhnya mulai bergetar ketakutan karena berhadapan dengan orang yang memegang senjata tajam.
"Pake nanya! Serahin semua yang lo bawa! Dompet, hape, semuanya! Cepet!"
"Nggak! Nggak bakalan aku serahin ke kalian!" sergah Lingga seraya melemparkan helm ke arah pemuda berclurit itu dan mengenai dadanya.
Duak!
Pemuda berambut ikal itu mengerang kesakitan lalu mengumpat. "Urgh! Bangsat! Ambil motornya! Cepet!" teriaknya kepada rekannya.
Pemuda bertopi itu seketika berlari menuju motor Lingga yang roboh, lalu dengan cepat ia meraih stangnya dan mendirikannya. Lingga berusaha berlari dan menahan pria bertopi itu.
"Heh! Bangsat! Aaaargh!"
Namun, saat Lingga hendak merebut kembali motornya dari tangan pria bertopi, tiba-tiba sabetan celurit bersarang di pundaknya. Jaketnya sobek dan menembus permukaan kulitnya. Darah segar mengucur dan merembes menembus kaos yang ia pakai. Rasa sakit tak terkira sekaligus perih Lingga rasakan, semakin lama tubuhnya semakin kedinginan dan lemas. Ia pun tumbang di atas jalanan beraspal yang dingin.
"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar.
"Ayo pergi! Aku udah dapat hape sama dompetnya!" seru pemuda berambut ikal kepada pemuda bertopi. Ia langsung melompat ke jok belakang motor Lingga yang sudah dinaiki pemuda bertopi.
"Haha! Malam ini panen besar!" sahut pemuda bertopi itu seraya menyalakan motor milik Lingga lalu bergegas pergi meninggalkan Lingga terkapar di jalanan.
"A-apa aku... akan mati?" batin Lingga saat kesadarannya hampir hilang.
Wush!
Tiba-tiba sebuah cahaya misterius berbentuk lingkaran muncul tepat di bawah tubuh Lingga. Lingkaran cahaya berwarna putih itu membentuk sebuah pola dengan huruf-huruf aneh yang berada di sekelilingnya, berputar perlahan. Tiba-tiba tubuh Lingga lenyap begitu saja beserta cahaya tersebut, seolah terhisap atau mungkin berpindah tempat. Entah ke mana.
"Argh!"
***
Wush!
"Aaaah! Berhasil! Kita berhasil, Yang Mulia!" teriak salah satu gadis bertudung gelap yang sedang memegang tongkat kayu dengan ujung permata kehijauan. Di sekelilingnya ada beberapa gadia berpenampilan serupa berdiri mengitari tubuh seorang pemuda yang baru saja muncul dari lingkaran magis.
Sesosok wanita cantik berpakaian mewah nan anggun berjalan menuruni tangga kecil, langkahnya perlahan namun pasti. Wanita berambut hitam panjang itu memakai gaun berwarna putih dengan sulaman benang emas. Mahkota perak tersemat melingkar di kepalanya. Sorot matanya tak menampik kenyataan bahwa ia merasa begitu puas.
"Akhirnya... setelah usaha yang kesekian kalinya, kau berhasil memanggil manusia dari dunia lain, Lira. Tapi... kenapa dia tertelungkup seperti itu? Jangan-jangan...,'' gumam wanita itu seraya mendekati pemuda yang tengah bersimbah darah. Sorot matanya menangkap pemandangan bahwa punggung pemuda itu terluka cukup lebar. "Astaga! Dia terluka dan berdarah, Lira! Cepat periksa dia! Apa dia mati?"
"Baik, Yang Mulia Kadita!" Gadis cantik bernama Lira mendekat lalu memeriksa denyut nadi pemuda yang ternyata Lingga itu. "D-dia sudah mati, Yang Mulia!"
"Cepat, bangkitkan dia!" titah wanita yang dipanggil Kadita itu.
Seorang gadis lain yang berpenampilan seperti Lira mendekat. "Apa Yang Mulia yakin mau menghidupkan dia lagi? Sepertinya dia lelaki yang terlihat cukup... lemah."
"Hanya ini yang bisa kita lakukan sekarang. Lagipula aku memang berencana memanggil seorang manusia dari dunia lain untuk menjalankan tugas penting dariku. Meskipun dia terlihat lemah, setidaknya ia bisa berlatih dan mempelajari beberapa kemampuan di dunia ini," sahut Kadita dengan sorot mata tajam. "Dan terlepas dari keadaannya, setelah beberapa kali usaha kita gagal, kita akhirnya mampu memanggil dia. Yah... meskipun dengan keadaan yang di luar dugaan ini. Oleh karena itu, kita harus membangkitkan dia segera!"
"Baiklah, kita akan menghidupkan dia kembali, Yang Mulia!" Lira dan gadis bertudung lainnya pun mulai mengitari tubuh Lingga yang sudah kaku. Mereka menyalurkan sebuah energi magis ke arah punggung Lingga yang menganga sembari menggumamkan sebuah mantra.
Wush!
Sebuah lingkaran magis kembali muncul di bawah tubuh Lingga dengan cahaya keperakan yang mulai menjalar perlahan. Cahaya itu semakin lama semakin membesar dan semakin terang seiring suara desiran seperti angin yang menderu. Terlihat luka Lingga perlahan tertutup dan nampak gerakan kecil pada ujung jarinya menandakan Lingga sudah bangkit dari kematiannya.
"Urgh... aaah, t-tubuhku," pekik Lingga lirih sembari mencoba membuka matanya perlahan. "A-aku di mana?"
Lingga perlahan membuka mata. Ia mendapati dirinya tertelungkup dengan kepala yang mendongak menatap ke sekeliling. Ia begitu terkejut saat melihat situasi di mana ia berada saat ini. Sekarang, Lingga berada di sebuah aula besar dengan pemandangan seperti ruang tahta sebuah kerajaan. Dengan ornamen dan perabotan terbuat dari perak dan emas, serta dinding batu yang memiliki corak aneh dan berwarna perpaduan merah dan hitam. Sungguh pemandangan yang tak pernah Lingga bayangkan sebelumnya.
Kadita berjongkok di depan Lingga seraya tersenyum. "Selamat datang, manusia. Kau sekarang berada di kerajaan kami, kerajaan Agniamartha."
Lingga yang sudah sedikit memiliki energi, lantas buru-buru bangun dengan kedua mata yang terbelalak. "Hah? Kerajaan? Apa-apaan? Jangan bercanda! Bukannya tadi aku... habis kena begal dan dibacok?"
Lira mendekat seraya menatap tajam ke arah Lingga. "Manusia! Jaga mulutmu di depan Yang Mulia Kadita! Kau tak berhak berkata tidak sopan seperti itu kepada beliau!"
"Tak apa, Lira. Biarkan saja... mungkin dia masih terkejut," ujar Kadita tenang. Ia pun kembali memandang wajah Lingga yang masih tak percaya dengan apa yang terjadi. "Kalau boleh tahu, siapa namamu?"
"A-aku Lingga. Siapa kalian? Dan... apa sebenarnya yang terjadi? Tolong jelaskan kepadaku!" sahut Lingga mulai menatap mereka lebih serius dan tajam.
"Baiklah... aku akan menjelaskan semua kepadamu, Lingga. Tapi, sebelum itu, perkenalkan aku adalah penguasa kerajaan Agniamartha ini, Ratu Kadita Sakahiyang. Dan mereka adalah ahli nujum kerajaanku. Dan, asal kau tahu, merekalah yang telah menghidupkanmu kembali," tunjuknya kepada Lira dan rekannya yang lain.
"Ahli nujum? Jadi benar aku sudah mati? Tapi... apa ini bisa dibilang masuk akal? Kalian menghidupkanku kembali? Bagaimana bisa? Jangan bercanda! Argh! Kepalaku...!" sahut Lingga dengan gusar. Pikirannya tiba-tiba kacau, tak bisa menelaah secara logis apa yang sudah terjadi padanya.
Kadita tersenyum lalu menepuk pundak Lingga. "Sebentar, tenangkan dirimu. Kerajaan kami sebenarnya dalam masa kritis. Oleh karena itu, kami memanggil manusia dari dunia lain dan kamulah yang terpanggil ke sini."
Lingga menyipitkan kedua matanya begitu penasaran. "Kritis? Apa yang terjadi? Kenapa aku?"
"Pada dasarnya sistem pemanggilan kami itu bersifat acak. Jadi, siapa saja bisa terpanggil jika mantra dan proses ritualnya berhasil. Mengingat prosesnya sangat sulit dan kerap mengalami kegagalan. Namun, secara kebetulan, kami berhasil memanggil manusia dari dunia lain dan orang itu adalah kamu, Lingga," jawab Lira menggantikan Kadita. "Meskipun telah berhasil, ternyata kamu muncul dalam keadaan sudah tewas. Jadi, daripada kami mengulang ritual pemanggilan yang merepotkan lagi, kami akhirnya membangkitkanmu dari kematian."
"J-jadi, aku beneran sudah mati?"
"Iya, Lingga."
"Berarti sekarang... bagaimana nasibku? Bagaimana ibuku dan kekasihku yang aku tinggal?" sergahnya seraya mulai meratapi nasibnya.
"Mengenai hal itu, aku minta maaf, Lingga. Karena keegoisan kami, kamu jadi berada di sini sekarang," tukas Kadita dengan wajah sendu.
"Yang Mulia! Jangan berkata seperti seolah-olah merendahkan diri di depan manusia ini! Lagipula seharusnya ia berterima kasih kepada kita karena telah berhasil menghidupkannya dari kematian!" sangkal Lira dengan wajah memerah, mulai emosi.
Lingga tertunduk lalu menggeleng pelan. "Maaf, aku masih belum bisa menerima ini semua di dalam kepalaku. Mengenai pemanggilan hingga kebangkitanku dari kematian... semuanya masih terasa aneh dan ganjil menurutku."
"Wajar saja, Lingga. Mengingat mungkin kamu berasal dari dunia yang sangat berbeda dari dunia kami. Mungkin di duniamu tidak ada yang namanya sihir dan energi magis atau aliran chakra yang memenuhi udara," timpal Lira seraya tersenyum sedikit menyindir.
Sebelum Lingga merespon, Kadita menjelaskan lagi menyambung penjelasan dari Lira. "Kerajaan kami sebenarnya tengah mengalami peperangan yang cukup panjang dengan kerajaan lain. Di tambah akhir-akhir ini muncul deklarasi dari ras baru yakni ras Bethara Kala, yakni ras iblis yang cukup jahat dan menguasai energi chakra kegelapan. Kami sudah kehilangan harapan sejak saat itu. Jadi, dengan rendah hati kami memohon bantuanmu untuk mempertahankan kerajaan ini, Lingga!"
Lingga membelalak tiba-tiba. "Hah? Apa kalian nggak salah? Aku cuma manusia biasa! Lagian, aku cuma seorang bartender! Mana bisa aku melindungi sebuah kerajaan! Jangan ngaco!"
Lira tiba-tiba menghunuskan sebilah pisau ke leher Lingga dengan tatapan penuh kebencian. "Diam, Lingga! Sudah aku bilang jangan membentak Yang Mulia Kadita seperti itu! Atau, kau mau aku matikan sekali lagi biar kau puas, hah!"
Kadita mendorong belati Lira ke bawah seraya menggeleng pelan. "Sudah, Lira. Hentikan... emosi hanya akan menambah dampak yang buruk. Biarkan Lingga seperti itu karena mungkin itu sudah menjadi sifat dan kepribadiannya. Lagi pula aku tak mempermasalahkannya. Jadi, berhenti bertindak gegabah, Lira!"
Lira memasukkan belatinya ke jubah, lalu menunduk patuh. "Mohon maaf, Yang Mulia. Hamba mengerti!"
Kadita menghela nafas panjang lalu menatap Lingga kembali. "Nah, Lingga. Kamu juga jangan terlalu gampang mengomentari sesuatu dengan tergesa-gesa jika belum tahu akhirnya."
"Iya, Kadita— eh, Yang Mulia... aku minta maaf. Aku hanya... masih bingung!"
Kadita tersenyum lalu berkata. "Aku sudah paham jika kamu manusia biasa yang bahkan tak memiliki ilmu kanuragan apalagi ilmu sihir. Maka dari itu aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk membuatmu menjadi kuat dalam waktu singkat sehingga mampu melindungi kerajaan ini."
Lingga menyipitkan kedua matanya penasaran. "Kekuatan? Kekuatan apa, Yang Mulia?"
"Mari ikut aku," sahut Kadita seraya membalikkan badan lalu berjalan menjauh.
***
Kadita Sakahiyang, ratu cantik yang memancarkan aura misterius namun anggun berjalan perlahan di depan Lingga. Lingga yang masih penuh tanda tanya di kepalanya hanya bisa mengikuti perintah Kadita tanpa menyangkal. Sementara itu, Lira berjalan tepat di sebelah Lingga dan sesekali melirik ke arah pemuda berbaju kasual itu. Ekspresi wajahnya menyiratkan rasa penasaran sekaligus kewaspadaan.
"Pemuda ini... semoga saja firasatku tidak benar," batin Lira seraya mengernyitkan dahi.
Namun, Lingga sendiri berjalan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pikirannya masih terlalu jauh dari kata tenang. Ia berulang kali teringat tentang ibu dan juga kekasihnya, Nayla. "Sepertinya mau nggak mau aku harus menuruti permintaan Ratu gak jelas itu dan tinggal di dunia yang aneh ini. Ya Tuhan! Kenapa aku harus ngalamin semua ini sih!" batinnya seraya menggertakkan gigi-giginya.
Mereka mulai memasuki sebuah lorong yang berada jauh dari aula utama istana bercorak merah hitam itu. Kini mereka sampai di depan anak tangga yang mengarah ke bawah. Tanpa menyuruh, Kadita berjalan menuruni anak tangga yang cukup panjang itu. Terlihat anak tangga tersebut tak nampak bagian ujungnya karena terlalu gelap. Lingga berjalan di belakang Kadita dengan tangan yang meraba dinding batu di sebelah kanannya.
"K-kenapa hawanya tiba-tiba berubah?" batin Lingga mulai bergidik. "Rasanya ada tekanan berat yang tak terlihat!"
"Lingga!" seru Lira tiba-tiba.
Lingga terkejut seketika lalu menoleh ke arah Lira yang berjalan di belakangnya dengan wajah gusar. "E-eh! Apaan sih! Bikin kaget aja!"
Lira mencibir seraya melirik. "Kamu kenapa seperti itu? Kamu takut?"
"E-enggak lah! Ng-ngapain takut?" sahut Lingga dengan suara terbata. Jelas-jelas ia merasa ketakutan namun karena gengsi, Lingga menyangkalnya.
"Hmm, tidak perlu menutupi... sudah kelihatan dari gelagatmu kalau kamu sedang ketakutan."
"Terserah deh! Bodo amat!" dengus Lingga acuh.
"Kalian berdua bisa tenang tidak?" seru Kadita dengan suara menggema di sepanjang anak tangga yang menurun.
"I-iya, Yang Mulia... m-maaf!"
"Syukurin! Siapa suruh ngoceh nggak jelas!" gumam Lingga seraya menyeringai.
"Awas kamu, Lingga!" Lira mengepalkan tangan kanannya ke arah Lingga. Namun, ia hanya menjulurkan lidah untuk meledek Lira.
Setelah beberapa saat, mereka bertiga sampai di sebuah ruang terbuka yang nampak kosong tanpa ada perabot apapun. Di ujung ruangan dengan tembok batu itu terdapat sebuah pintu besi yang dirantai. Kadita berjalan menuju pintu yang tertutup rapat itu diikuti Lingga dan Lira. Setelah berada tepat di depan pintu tersebut, Kadita menghentikan langkahnya.
"Di sini. Kekuatan yang aku maksud tersimpan di balik pintu ini, Lingga," ucapnya lirih.
Lingga terlihat menelan ludah masih belum siap menghadapi apa yang ada di balik pintu misterius ini. Kadita mulai mengangkat tangan kanannya lalu memejamkan kedua mata sembari menggumamkan sesuatu seperti bait-bait mantra yang tak jelas.
Wush!
Seketika udara di sekitar berubah penuh tekanan. Tiba-tiba cahaya keperakan muncul dari telapak tangan Kadita dan menjalar pada rantai-rantai besi yang saling mengait itu. Dan tanpa menunggu lama, rantai itu seketika hancur berkeping-keping dan berserakan di atas permukaan lantai berbatu itu.
Kadita menghela nafas panjang lalu memandang ke arah Lingga. "Sudah terbuka. Sekarang, buka pintu itu dan masuklah."
Lingga mengerutkan kening, lalu menunjuk wajahnya sendiri. "Aku masuk sendiri?"
Kadita mengangguk seraya tersenyum. "Iya, Lingga."
"Terus, aku harus ngapain di dalam?" tanya Lingga masih belum paham.
"Jujur... sebenarnya aku sendiri tak tahu apa yang ada di dalam. Karena waktu dulu, saat aku masuk ke sana, hanya ada ruangan kosong seperti ruangan ini," sahut Kadita seraya mengangkat kedua bahunya.
Lingga memasang wajah bingung, lalu bertanya dengan nada tinggi seolah tak terima dengan jawaban Kadita. "Lah? Kalau ternyata memang di sana nggak ada apa-apa, terus gimana?"
Kadita mendekati Lingga, lalu memegang kedua bahunya seolah berusaha memberi semangat dan keyakinan. "Begini, jika di dalam kau tidak menemukan apa-apa, kamu keluar saja. Dan, kita pikirkan langkah selanjutnya."
Lingga mengibaskan kedua tangan Kadita perlahan, lalu berjalan mengamati pintu tersebut dengan tatapan curiga. "Sebentar, bagaimana Anda bisa mengarahkan aku untuk ke sini jika di balik pintu ini tidak ada apa-apa. Apa yang membuat Anda begitu yakin jika di dalamnya ada kekuatan yang Anda maksud?"
"Begini, Lingga... menurut mendiang ayahku dan juga kitab yang aku baca, ruangan ini memang dikhususkan untuk dimasuki oleh manusia yang bukan berasal dari dunia ini. Konon katanya, manusia dari dunia lain bisa mendapatkan sebuah kekuatan jika memasuki ruangan di balik pintu itu," jawab Kadita berusaha memberi penjelasan.
"Jadi... ada berapa banyak manusia dari dunia lain yang pernah masuk ke dalam sini?"
Kadita menoleh ke arah Lira. Lira mengangguk tanpa merespon. Lalu, Kadita kembali menatap Lingga seraya menyahut. "Sebenarnya, baru kamu yang berhasil sampai di sini. Karena percobaan kami sebelumnya selalu gagal dan tak pernah berhasil memanggil satu makhluk pun dari dimensi lain," tukasnya dengan sedikit keraguan. Hal itu membuat Lingga sedikit menaruh rasa curiga terhadap ucapannya.
"Apa kalian tidak menutupi sesuatu? Apa ada jaminan aku akan selamat setelah masuk ke ruangan di balik pintu ini?" tanya Lingga semakin waspada setelah mendengar penuturan Kadita.
"Diam, Lingga! Jangan banyak mulut dan segera masuk!" hardik Lira sudah tak tahan dengan Lingga yang penuh pertimbangan seolah sedang mengulur waktu.
Deg!
Tanpa Lingga duga tiba-tiba Kadita memegang pipinya lalu membelainya perlahan. Tangan lembutnya menyapu setiap jengkal wajah Lingga dengan senyum begitu tulus. Pandangan matanya begitu fokus seolah menembus relung hati Lingga dan membuat jantungnya seketika berdegup kencang. Wajah Lingga seketika merona merah, antara malu dan juga bingung dengan perlakuan Kadita saat ini.
"Lingga... sudah aku bilang, di dalam tak ada sesuatu yang bisa menyakitimu. Hanya ada dua hal yang aku yakini di sana. Yakni antara ruangan kosong atau ruangan yang benar-benar berisi sumber suatu kekuatan. Percaya padaku... dan cobalah masuk ke sana."
"B-baiklah... Yang Mulia Kadita," jawab Lingga masih dengan perasaan tak karuan. Ia pun menghadap pintu tersebut lalu mendorongnya perlahan. Namun, pintu itu nampak tak bisa dibuka begitu saja. Sontak saja Lingga menoleh ke arah Kadita dengan ekspresi wajah penuh kebimbangan. "Pintu ini susah sekali dibuka!"
Kadita seketika menatap Lira. "Bagaimana, Lira?"
"Lingga, coba dorong sekuat tenaga!" titah Lira mencoba memberi usul.
"Ngomong aja sih enak! Sini bantuin aku!"
Lira pun menghela nafas kasar lalu berdiri di samping Lingga. Ia menoleh sesaat lalu berkata. "Dalam hitungan ketiga, kita dorong pintu ini sama-sama!"
"Oke!" sahut Lingga seraya mengangkat jempolnya.
"Satu... dua.... tiga!"
"Urgh!"
Benar apa yang dikatakan Lingga, dengan dorongan keras dari dua orang, pintu besi yang cukup berat itu akhirnya terbuka juga. Senyum puas terulas dari bibir tipis Kadita. Lira pun mendesah kelelahan setelah usahanya bersama Lingga mendorong pintu itu sekuat tenaga.
"Ah, akhirnya kebuka juga," ujar Lingga seraya mengusap dahi dengan lengannya. "Kalian nggak mau ikut masuk?"
Kadita menggeleng pelan. "Sudah aku bilang, ruangan di balik itu hanya diperuntukkan bagi makhluk yang bukan berasa dari dunia ini, Lingga."
"Hah... baiklah kalau begitu. Aku masuk dulu." Setelah Lingga berjalan melewati pintu yang sudah terbuka, secara tiba-tiba pintu besi itu terbanting cukup keras dan menutup kembali seolah tak mengijinkan siapapun lagi untuk masuk ke dalam.
Duag!
Sontak Kadita dan Lira tersentak karena saking terkejutnya. Lira mundur beberapa langkah lalu menoleh ke arah ratunya. "Yang Mulia? A-apa yang terjadi?"
"Kita hanya bisa mendoakan yang terbaik untuknya, Lira." Kadita pun bergumam. "Semoga kamu baik-baik saja, Lingga..."
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!