Suasana di ruangan itu terasa kelam, ruangan yang menjadi saksi dua sejoli akan dipersatukan.
Kediaman keluarga Anugerah.
Tidak ada hiasan mewah dan tamu-tamu, tidak ada makanan hajatan dan menu prasmanan yang khas menggiurkan, tidak juga baju pengantin yang indah dan berkilauan, semua dilakukan secara diam-diam yang hanya melibatkan dua keluarga inti saja.
--Keluarga Manggala--pihak lelaki, dan keluarga Anugerah--pihak wanita.
Bukan karena ketidakmampuan, harta Manggala tak akan habis tujuh turunan. Hanya ini semua memang sudah terencana dalam kitabnya seorang Kavi, Tuan Muda Manggala. Itu keinginan yang juga disetujui calon istrinya--Puja Anugerah.
Kavi membubuhkan tanda tangan di atas sehelai dengan wajah tak senang. Itu sertifikat pernikahannya dengan wanita yang sama sekali 'tak dia inginkan jadi pasangan.
Puja menyusul menggores bagiannya tanpa berpikir setelah Kavi. Wajahnya biasa saja. Kelakuan yang membuat pandangan Kavi seperti kobaran api di California buatan AI.
Padahal aslinya tidak! Puja juga terpaksa melakukannya.
"Menjijikkan banget!" Bunyi umpatan Kavi dalam hatinya. “Segitu maunya dia nikah sama gua.”
"Baiklah. Sekarang kalian sudah sah menjadi pasangan suami istri. Selamat." Ucapan pria petugas pencatat nikah itu kedengaran sangat manis dan menyenangkan.
Mungkin iya, jika pasangan yang disahkannya adalah pasangan saling menginginkan. Sedangkan ini adalah Kavi Manggala dan wanita yang sangat dibencinya sejak mereka masih ingusan--Puja Anugerah. Sejoli yang dipersatukan karena orang tua dan keadaan.
Bagaimana pun ini tak adil, tapi mereka harus. Pura-pura rela menjalani alasan yang berlainan.
(Note: ini bukan novel religi---jangan kaitkan apa pun dengan agamis!)
Semua berjabat tangan dan mengucapkan terima kasih satu sama lain setelah itu.
Setelah bapak petugas catatan sipil berlalu pulang ....
"Udah selesai, aku harus balik ke kantor." Kavi berdiri dari tempatnya, menunjukkan dengan gamblang bahwa dia sangat tak ingin berlama-lama ada di sana. Tak peduli perasaan pihak istrinya, ada ibunya Puja--Sedayu Asih, juga adik iparnya--Luna Anugerah.
Namun langsung mendapat hardikan keras dari sang mama, "Nggak ada kantor! Hari ini kamu harus bawa Puja pulang ke rumah. Mama udah ngatur kamar pengantin buat kalian!"
Bukan hanya Kavi, Puja pun turut terkejut mendengar itu.
"Itu nggak ada dalam perjanjian kita, Mama!" debat Kavi, ditimpal anggukan oleh Puja tanda setuju. "Bukannya pernikahan ini cuma status aja? Kenapa Mama sampe repot nyiapin kamar pengantin segala?"
Bagian itu Puja cukup tersentak, melengak sesaat lalu merunduk lagi.
Bukan tentang dirinya, melainkan ... dia menoleh ke arah ibunya, wanita tua rapuh itu nampak sangat terkejut dengan sikap si berengsek yang kini telah sah jadi menantu.
Sebagai seorang ibu, Sedayu tentu pasti merasakan sakit jauh di dalam hati. Putri yang begitu dia banggakan dan sangat dia jaga semua bagian diri gadis itu sepenuh jiwa, harus menikah dengan lelaki yang sama sekali tak menginginkannya.
“Maafkan Ibu, Puja.” Keras dia gemakan itu di dalam benak. Ditampar penyesalan dari perasaan gagal sebagai seorang ibu yang seharusnya jadi pelindung anak-anaknya. “Maafkan Ibu karena kamu harus berkorban sebanyak ini.”
Tentu ada alasan di balik semua perkataan itu.
Di sebelahnya, Luna--adik Puja, nampak begitu geram. Kuat keinginannya menampar wajah tampan mengerikan yang kini telah sah berstatus kakak iparnya, tapi Sedayu menahannya dengan gelengan.
Sebenarnya lebih terhenyak dari siapa pun, Puja merasakan hatinya seperti ditusuk-tusuk. Sikap blak-blakan Kavi lumayan membuat harga dirinya seperti sepotong roti kering yang tercampakkan.
Tapi dia tak boleh terlihat lemah, harus tetap tenang.
Mata dipejamkannya untuk mengusir resah.
“Pokoknya aku pergi! Terserah Mama mau bawa dia atau nggak, aku gak peduli!” kukuh Kavi.
Tepat saat tungkai kaki lelaki itu lima langkah bergerak jauh, Puja juga ikut berdiri, kemudian berseru, "Aku setuju sama Mama Bening. Aku ikut Kavi pulang ke rumah kalian."
"Sebenernya lu rencanain apa, sih?!" telisik Kavi dengan nada setengah sengit.
Dia dan Puja kini sudah berada di dalam kamar yang dikatakan Mama Bening sebagai kamar pengantin.
Puja berpikir cepat, lalu tersenyum. "Aku cuma mau deket sama suami aku, itu aja," jawabnya seringan angin. Dengan tanpa beban bergerak santai melewati Kavi untuk menghampiri sebuah kursi rias yang kemudian didudukinya.
Kavi mengetatkan rahang, tidak suka jawaban Puja, lebih tepatnya pada nada yang ringan itu. Tubuhnya berputar menghadap wanita yang telah sah jadi istrinya baru dua jam lalu. Terlihat saat ini Puja tengah sibuk membersihkan sisa riasan di wajahnya dengan sehelai tissue.
"Puja atau masih lebih pantes gua sebut ... Baskom Cucian!" Kavi masih ingat julukan itu sepuluh tahun lalu, julukan yang dia berikan saat mereka masih sama-sama berseragam sekolah menengah. Keduanya berada di sekolah yang sama, Kavi adalah kakak kelas Puja di SMA bergengsi di ibukota.
Ada masalah pribadi yang membuat Kavi sangat membenci Puja saat itu. Walau sudah berlalu lama sekali, dia masih saja tak bisa melupakannya.
“Selain muka yang berubah can---”
Et! Salah!
Langsung Kavi meralat, “Sedikit bagusan maksud gua, selebihnya dalam diri lu itu masih sama, sama menyebalkan kayak sepuluh tahun lalu.”
Dari cermin, Puja melihat tatapan sinis lelaki itu, sangat kelam, tapi ...
"Aku nggak peduli!" tukasnya seraya berdiri, lalu tanpa takut dia kembali mendekati pria yang telah sah jadi bagian dari hidupnya. Wajahnya yang lebih rendah dari wajah Kavi naik mendongak, menyapu tatap setiap detail paras itu berbalut senyum.
“Yang terpenting bagi aku ...." Sejenak menggantung kalimat, sementara jarinya yang lentik tergerak nakal melakukan usapan halus di dada Kavi yang masih tertutup rapi dengan atribut. "Saat ini kamu itu suamiku, Kavi Manggala."
Cukup mengejutkan sampai membuat Kavi sulit berkata selama beberapa detik. Dia tak menyangka si 'Baskom Cucian' bisa melakukan hal yang dalam ingatan, rasanya cukup mustahil.
Tapi Puja yang sekarang jelas jauh berbeda!
"Lepas!" Jari jemari Puja ditepis cepat dari dadanya. "Dengerin gua, Baskom!" Posisi diubahnya, memajukan wajah lebih dekat ke wajah Puja hingga hanya tersisa setengah jengkal. "Apa pun tujuan lu nerima pernikahan ini, gua nggak peduli. Lu gak akan dapetin apa pun dari gua, dari pernikahan ini. Selamanya di mata gua, lu tetep baskom! Baskom cucian segede gaban!” Sesaat memberi tatapan sengit dipulas senyuman sinis, Kavi melenggang pergi dengan langkah-langkah lebar meninggalkan ruangan itu.
Pintu tertutup membanting dari luar menghasilkan suara keras.
Puja menatap itu dengan senyuman miring.
“Satu tahun! Kontraknya cuma satu tahun! Tolong sabarlah selama itu, Puja.”
...*****...
"Ngapa muka lu ditekuk? Bukannya ini hari hepi-hepian lu, ya? Kok dateng kemari?" Arjuna atau biasa disapa Jun--sahabat dekat Kavi sejak kuliah, memberondong dari balik bar counter-nya.
“Gara-gara gua kagak dateng, ya?” todong lelaki itu, lumayan pede.
"Diem lu!” hardik Kavi. Tubuhnya sudah terempas di atas kursi jangkung tepat di hadapan Arjuna. "Kasi gua botol minuman yang gede, gua pengin mabok."
Jun memiringkan kepala dengan mata menyipit tipis, menelisik kelakuan teman karibnya yang terasa mendadak aneh. "Ada apaan, nih? Calon manten lu kabur?"
Merebut pandangan kelam Kavi ke muka lelaki bertubuh tinggi itu. "Tumbenan lu berisik, sih, Jun?!” sarkasnya, lalu melengos. Pusing di kepalanya bertambah kadar. “Udah kayak Mama gua aja.”
Jun menarik tipis sudut bibirnya sembari menelisik ke wajah Kavi. "Oke! Gak lagi-lagi gua nanya,” katanya lantas. Dia mengalah untuk saat ini, berbalik badan untuk mengambil sebotol anggur mahal dari rak counter-nya, membuka tutup, lalu menyodorkannya ke hadapan Kavi.
"Sekalian lu telen juga sama botolnya!” Dia melepas apron dari badannya yang tegap, lalu meletakkan di atas kepala kursi. "Gua ada janji sama Yossi," katanya memberitahu Kavi. Tangannya melambai tangan pada seorang lelaki yang tengah meracik cocktail di sebelah kanan. "Layanin dia yang baek, Den. Kalo kelemer gegara mabok beneran, sirem aja pake aer kencing lu!”
Lelaki itu namanya Denta, pegawai di sana, mengangguki ucapan Arjuna sembari menahan tawa.
“Iya kagak, Den?” ulang Arjuna.
“Siap, Boss!" tanggap Denta sambil mengacung jempol ke depan wajah.
Arjuna memang pemilik tempat usaha ini. Boss muda dan ganteng asal Jawa separuh Turki.
"Lu mau kemana, Kompeni?!" Kavi bertanya keras. "Gua kemari ngapa lu malah cabut?!"
Jun sudah keluar dari counter dan berdiri di samping Kavi.
"Gua 'kan udah bilang tadi. Gua mau ketemu Yossi," ulangnya, lalu merundukkan kepala untuk berbisik di telinga Kavi. "Bre, ini hari nikahan lu, kan? Harusnya lu seneng-seneng sama bini yang setengah mati kagak mau lu tunjukkin di depan gua itu. Saking apa coba kelakuan lu itu?“ Tubuh kembali ditegakkan, tersenyum bersirat olokan. "Entah tu cewek beneran mirip banget sama baskom ... atau sebaliknya ... saking cakep bener, lu jadi gak rela berbagi pemandangan bening ama gua?"
Wajah yang menyebalkan itu mendapat pelototan ekstra dari Kavi Manggala. “Cabut aja lu sono! Gak guna amat jadi temen!”
Arjuna terkekeh, menular juga pada Denta yang kini berganti sibuk mengelap gelas.
“Keparat emang lu semua!”
Botol minuman diraih Kavi dalam genggaman, tanpa menuang ke dalam gelas dia meneguknya banyak, sampai jakunnya naik dan turun.
“Wah, beneran pengin mabok ni anak.” Jun geleng-geleng kepala, rada tak paham.
“Pergi gak lu!” sentak Kavi sembari mendorong pinggang Arjuna.
“Oke.” Satu tepukan di pundak Kavi mengakhiri perkataannya, Jun berlalu pergi. Tidak ada empati, dia tidak paham apa masalah si keparat itu, jadi 'tak perlu repot terlibat kegilaannya.
Kavi menatap kesal punggung sahabatnya sampai menghilang dari pandangan. "Sialan!”
Di rumah besar keluarga baru Puja.
Saat ini makan malam pertama wanita muda itu sebagai menantu keluarga Manggala, tanpa kehadiran Kavi sebagai suami. Tapi mereka semua paham itu dan memilih tak mempermasalahkan.
Tak sekedar makan malam saja, ada pembahasan penting di sela itu. Pembicaraan santai yang semakin jauh semakin jadi serius.
"Apa?!" Puja terperanjat mendengar hal yang baru saja diutarakan mertua laki-lakinya---Aji Manggala. "Om mau aku masuk kerja di perusahaan barengan Kavi?"
“Panggil Papa, Puja!” Bening Permata, mertua perempuan mengingatkan ketiga kali.
“Ah, iya, maaf, Ma. Aku belum biasa. Masih agak canggung," kata Puja malu.
“Gak apa-apa. Perlahan aja,” kata Aji bijak.
“Iya ... Papa.”
Aji Manggala tersenyum. “Nanti juga kebiasaan,” katanya, lalu menjawab pertanyaan Puja, "Soal kerjaan itu, kamu bisa pilih bagian apa pun yang kamu mau."
"Tapi, Om---eh, Papa maksudku ... aku kan gak ada pengalaman kerja di kantor, kayaknya aku gak akan bisa." Puja menjelaskan keadaan dirinya. “Lagian kalo aku milih yang aku mau, bukannya itu termasuk nepotisme? Masuk pake koneksi?”
Aji tersenyum mendengar itu. “Gak masalah. Kita kan emang keluarga. Papa yang akan jelasin kalo ada yang nanya.”
"Iya, Sayang." Mama Bening menimpal. “Mau nepotisme atau apa pun itu, nggak masalah. Gak penting pandangan orang. Kamu bisa belajar dulu. Kami akan minta orang dampingi kamu, sampai kamu bener-bener bisa.”
"Tapi, Ma, aku---"
"Puja!" Aji memotong. "Bukannya kamu ingin menyekolahkan adikmu ke luar negeri?!"
Sentilan pertanyaan itu membuat Puja tertegun, seketika dia mengingat bagaimana janjinya pada sang adik.
"Walaupun Ayah udah gak ada, Kakak janji akan kerja keras biar bisa sekolahin kamu ke Amerika.”
Luna Anugerah--adiknya, memang sangat ingin kuliah di Amerika.
"Kami akan memberikan gaji yang pantas," lanjut Aji Manggala, otomatis membuyarkan lamunan Puja "Selain itu, kami juga mau kamu awasi Kavi. Kata para karyawan, beberapa kali dia bawa temen perempuan ke kantor. Papa takut pekerjaannya akan jadi terpengaruh sama hal-hal yang nggak penting semacam itu. Jadi, Puja ... tolong ... bekerjalah di perusahaan kami. Nggak perlu sebagai menantu, lakukan sebagai diri kamu sendiri."
****
Sekitar jam dua malam, Kavi baru tiba di rumah. Mabuknya sudah separuh hilang setelah tidur seperti orang mati di bar Arjuna.
Saat memasuki kamar, dia lupa bahwa saat ini Puja Laya resmi jadi penghuni baru. Sontak demikian dia harus rela berbagi ruang.
Ada banyak kamar yang kosong di rumah besarnya, tapi Mama Bening mengecam dengan sangat keras sampai Kavi kemudian mengalah lagi pada aturan ibunya yang menjengkelkan.
"Baskom sialan!" Dia menggeram, mendapati Puja sudah terbaring manis di tempat tidur, menggunakan selimutnya pula.
Dengan kesal Kavi mencelat ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Di posisi baring yang menyamping, Puja membuka mata, dia belum bisa tidur nyenyak di tempat baru yang masih asing. Umpatan Kavi dan hentak kakinya yang menggema jelas dia mendengar. "Maaf, Kavi ... kali ini aku nggak akan ngalah lagi," gumamnya mendesis. Dari warna ucapan itu, sebelumnya mungkin dia selalu mengalah.
Tak lama ...
Pintu kamar mandi berderak terbuka, Kavi sudah selesai dengan ritualnya. Buru-buru Puja memejamkan mata, tak ingin diketahui bahwa dirinya belum tertidur.
Aroma sabun dan shampoo menyeruak ke penciuman. Kavi pasti hanya mengenakan sehelai handuk. Naluri Puja tergoda ingin mengintip, namun hatinya jelas mengecam.
Dia ingat bagaimana tubuh kurus Kavi saat SMA, berbeda dengan sekarang yang nampak gagah dan sedikit ketat saat pakai kemeja. Lalu bagaimana tampilannya saat bertelanjang dada?
"Puja, puja! Stop gila sendiri!" Cepat dia menegur diri, menepis pikiran kotor. Pernikahannya tidak diatur untuk hal itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!