NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikah Dengan Tuan Muda

Prolog

Di ruang tamu yang sunyi, ayah Ganhia Wijaya duduk dengan wajah cemas. Di hadapannya, Tuan Danendra Mahendra, seorang pria muda yang dingin dan penuh kekuasaan, duduk dengan sikap tenang namun tajam. Dalam genggaman tangan ayah Ganhia, ada dua foto yang terpampang jelas. Satu foto menunjukkan Ganhia, putri sulungnya yang cantik, dengan wajah polos dan penampilan yang sederhana. Foto lainnya menunjukkan Mharsela, adik tiri Ganhia yang lebih glamor, dengan penampilan yang mencolok dan makeup tebal, seorang model papan atas yang selalu tampak penuh percaya diri.

Ayah Ganhia menatap Tuan Danendra dengan serius. "Ini anak saya, Ganhia," katanya, menunjuk pada foto gadis yang lebih sederhana. "Dia lebih penurut dan bisa dipercaya. Sedangkan adiknya, Mharsela, meskipun cantik, terlalu manja dan tidak bisa diandalkan."

Tuan Danendra memandang kedua foto itu dengan tatapan yang tidak terburu-buru. Setelah beberapa saat, ia akhirnya mengambil keputusan dengan cepat. "Saya memilih gadis yang bernama Ganhia itu," ujarnya tegas.

Ayah Ganhia menghela napas lega, meski perasaan cemas masih menggelayuti dirinya. “Dia memang yang terbaik, Tuan Mahendra. Saya harap keputusan ini akan membawa jalan keluar untuk kita semua.”

Danendra tidak menyampaikan alasan pilihannya secara rinci, namun sepertinya ia melihat sesuatu dalam diri Ganhia yang tak terlihat oleh orang lain. Gadis itu, dengan wajah polos dan sifat penurut , seperti sebuah pilihan yang tepat untuk dimiliki. Seakan ia bisa melihat bahwa Ganhia adalah sosok yang mudah dikendalikan, seorang gadis muda yang belum sepenuhnya menyadari kekuatannya, dan yang lebih penting seseorang yang bisa ia "kendalikan."

Sementara itu, Mharsela, adik tiri Ganhia, sama sekali tidak mengetahui siapa Tuan Danendra sebenarnya. Ia hanya mendengar kabar bahwa ayahnya telah menjodohkan dirinya dengan seorang lelaki kaya, yang menurutnya pasti adalah seorang lelaki tua dengan banyak uang. Dengan anggapan itu, Mharsela menolak tawaran itu tanpa berpikir panjang, merasa dirinya pantas untuk menikah dengan pria yang lebih muda dan lebih menarik.

Namun, pilihan ayahnya jelas Danendra Mahendra sudah memilih Ganhia. Sementara Mharsela, dengan sikap sombong dan penuh rasa percaya diri, tak pernah menyangka bahwa perjodohan itu akan menyertakan pria muda yang dingin dan kuat, yang memilih Ganhia karena kecantikannya yang sederhana dan sifatnya yang penurut.

Danendra, dengan penuh perhitungan, melihat Ganhia sebagai sosok yang bisa dimiliki dan dikendalikan, dan dengan keputusan itu, takdir pun mulai berubah. Ganhia, yang tak punya pilihan lain, harus menjalani pernikahan ini demi menyelamatkan keluarganya meski hatinya hancur, meski dia merasa seperti dijadikan alat untuk menebus utang yang melilit ayahnya.

Tepat seminggu sebelum pernikahan, sebuah laporan masuk ke rumah keluarga Wijaya. Seorang bodyguard yang dikenal sebagai Tuan Edrian, tangan kanan Danendra, datang mengantarkan pesan penting. Dengan langkah tegas, ia memasuki rumah keluarga Wijaya dan menyerahkan sebuah amplop putih yang disegel rapat.

“Pernikahan antara Nona Ganhia dan Tuan Danendra akan dilaksanakan pada Minggu depan,” kata Tuan Edrian, suara tegasnya menggema di ruang tamu. “Hanya akan ada keluarga terdekat dan teman-teman bisnis Tuan Danendra yang hadir. Tidak ada publik, tidak ada media. Semua harus berjalan dengan sangat tertutup.”

Ayah Ganhia langsung mengangguk, meskipun hatinya berat. Semua yang terjadi seolah bukan lagi tentang kebahagiaan anaknya, tetapi tentang bagaimana mereka bisa keluar dari masalah ini. Tuan Edrian menambahkan, “Tuan Mahendra ingin pernikahan ini tetap jauh dari sorotan publik. Ini adalah urusan pribadi yang harus tetap terkendali.”

Ganhia menatap ayahnya dengan mata penuh kecemasan. Tidak ada yang menjelaskan secara jelas mengapa pernikahan ini harus dilaksanakan dengan begitu rahasia. Namun, dia tahu, jika ini adalah harga yang harus dibayar untuk menyelamatkan keluarganya, maka tak ada pilihan lain.

Minggu depan, hari yang telah ditentukan, menjadi titik awal bagi sebuah kehidupan yang baru bukan dengan cinta, tapi dengan kewajiban. Ganhia harus menikah dengan Tuan Danendra Mahendra, seorang pria yang bahkan tidak ia kenal dengan baik, demi melunasi utang yang melilit keluarga mereka.

Apakah hidupnya akan berubah setelah pernikahan itu? Ataukah ini akan menjadi awal dari sebuah perjalanan penuh tantangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya? Hanya waktu yang akan menjawab, sementara pernikahan itu semakin mendekat.

Hari itu, suasana rumah keluarga Wijaya terasa berat. Meskipun tampak seperti hari biasa, setiap sudut rumah dipenuhi dengan ketegangan yang tak terlihat. Ganhia duduk di ruang tamu, matanya terpaku pada dua foto yang telah berulang kali dilihatnya—foto dirinya yang polos dan penuh harapan, dan foto Mharsela yang penuh percaya diri, dengan segala kemewahan dan kilau dunia modeling yang ia miliki. Masing-masing membawa beban yang berbeda, namun satu hal yang pasti: Ganhia tak memiliki pilihan.

Tepat saat itu, ayah dan ibu tirinya masuk ke ruangan. Wajah ayah Ganhia terlihat kusut, seakan ia baru saja mengangkat beban yang terlalu berat. Ibu tiri Ganhia, yang selama ini sering menyimpan ketidaksukaannya pada Ganhia, kini hanya tampak lebih diam dan serius dari biasanya.

“Ibu, Ayah, ada apa?” Ganhia bertanya dengan lembut, meski hatinya sudah mulai dipenuhi oleh rasa takut akan apa yang akan mereka katakan.

Ayahnya duduk di hadapan Ganhia, matanya yang lelah bertemu dengan mata putrinya. “Nhia, ada hal penting yang harus kita bicarakan.” Suaranya berat, penuh kecemasan. “Tuan Danendra Mahendra, yang telah kita janjikan untuk menikahi kamu, telah menentukan hari pernikahan.”

Ganhia menatap ayahnya dengan penuh keraguan. “Pernikahan? Tapi, Ayah… kenapa harus minggu depan? Bukankah kita baru saja membicarakan semuanya?” Ia merasa perasaan tak menentu mulai menguasai dirinya.

Ibu tirinya yang duduk di sebelah ayahnya menatap Ganhia dengan tatapan yang sulit diartikan. “Pernikahan itu sudah ditentukan, Nhia. Tuan Danendra sudah memilihmu. Tidak ada pilihan lain. Ini demi keluarga kita, demi bisnis ayah yang hampir bangkrut.”

Ganhia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir saja menetes. “Tapi… aku tidak tahu apa-apa tentang dia. Aku hanya ingin membantu, Ayah… tapi kenapa harus seperti ini?” suara Ganhia hampir pecah, penuh keraguan dan kesedihan.

Ayahnya menghela napas panjang. “Aku tahu, Ganhia. Aku tahu betapa sulitnya ini untukmu. Tapi kita tidak punya pilihan. Utang yang kita miliki sangat besar. Hanya pernikahan ini yang bisa menyelamatkan kita. Dan Tuan Danendra… Dia adalah satu-satunya orang yang bisa membantu kita keluar dari semua ini.”

Ibu tiri Ganhia menambahkan, “Kamu hanya perlu bertahan, Nhia. Jangan pikirkan yang lainnya. Yang penting, pernikahan ini akan membawa kebaikan bagi keluarga kita. Kamu hanya perlu melakukan apa yang perlu dilakukan.”

Ganhia menunduk, mencoba mencerna semua yang baru saja dikatakan. Ini bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang keluarganya. Namun, hatinya tetap terluka. Semua yang ia harapkan cinta, kebahagiaan, dan masa depan yang cerah seolah sirna begitu saja. Ia harus menikah dengan seorang pria yang bahkan tak ia kenal, hanya demi menebus utang yang melilit keluarganya.

“Kapan pernikahannya?” tanya Ganhia dengan suara pelan, seakan setiap kata yang keluar begitu sulit.

“Pernikahan akan dilaksanakan minggu depan,” jawab ayahnya, matanya penuh penyesalan. “Hanya keluarga terdekat dan teman-teman bisnis Tuan Danendra yang akan hadir. Tidak ada publik, tidak ada pemberitaan. Semua harus berjalan sangat tertutup.”

Ganhia terdiam, sejenak meresapi apa yang baru saja didengarnya. Pernikahan itu bukan hanya mengubah hidupnya, tetapi juga kehidupan keluarganya. Tidak ada jalan keluar, hanya kewajiban yang harus ia penuhi. Semua yang ia miliki kini terasa begitu jauh. Ia hanya bisa berharap bahwa suatu hari, mungkin ada harapan untuk kebahagiaanbmeskipun itu masih terasa seperti mimpi yang jauh.

Ibu tiri Ganhia yang biasanya dingin dan keras kini memberikan sebuah senyuman kecil, meski senyuman itu tampak terpaksa. “Ingat, Nhia, kamu tidak bisa menolak. Ini demi masa depan kita semua.”

Ganhia memejamkan matanya, menahan semua perasaan yang berkecamuk di dalam dada. Tidak ada yang bisa ia lakukan, kecuali menerima kenyataan ini. Sebuah pernikahan yang tidak didasari oleh cinta, melainkan oleh kewajiban dan tekanan yang tak bisa ia hindari. Ia harus menjalani semua ini.

Dengan kepala yang tertunduk, Ganhia pun berdiri dan berjalan perlahan menuju kamarnya. Hati dan pikirannya terasa kosong, namun ia tahu satu hal sebuah babak baru dalam hidupnya baru saja dimulai, dan ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

Pernikahan

Hari itu, suasana rumah keluarga Wijaya terasa berat. Meskipun tampak seperti hari biasa, setiap sudut rumah dipenuhi dengan ketegangan yang tak terlihat. Ganhia berdiri di pelaminan, matanya terpaku pada kerumunan yang terbatas. Pernikahan itu hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat, teman-teman bisnis Tuan Danendra, dan beberapa keluarga yang sangat terbatas. Tidak ada sorotan media, tidak ada keramaian. Semua dilakukan dengan sangat tertutup, seolah-olah ini adalah peristiwa yang harus dijaga jarak dari dunia luar.

Namun, yang lebih menyakitkan adalah ketidakhadiran Mharsela, adik tiri Ganhia. Mharsela, meskipun mendengar tentang pernikahan itu, memilih untuk tidak hadir. Bagi Mharsela, pernikahan itu tidaklah penting. Ia merasa bahwa ini bukanlah acara yang bisa memberinya keuntungan apa pun. Selain itu, ia merasa sedikit iri dengan Ganhia, terutama karena kecantikan alami kakak tirinya yang selalu mendapat perhatian. Bagi Mharsela, Ganhia adalah gadis yang selalu menjadi pusat perhatian, sesuatu yang sangat ia benci.

Di pelaminan, Ganhia berdiri tegak, mengenakan gaun pengantin yang indah, namun hatinya terasa hampa. Dia menatap kosong ke depan, berusaha mengesampingkan segala perasaan cemas yang menguasai dirinya. Tuan Danendra berdiri di sampingnya, mengenakan jas hitam rapi. Tak banyak kata yang terucap dari bibirnya, hanya sikap dingin dan sikap yang seolah tak peduli dengan momen pernikahan ini. Ganhia bisa merasakan ada jarak yang sangat besar di antara mereka berdua.

Ketika upacara pernikahan selesai, mereka duduk di pelaminan, sementara tamu-tamu yang hadir menyaksikan tanpa banyak berkomentar. Di tengah-tengah upacara yang sepi, Ganhia merasa perasaan dan harapannya semakin terkikis. Tuan Danendra tetap memandang lurus ke depan, namun dalam hati, ia tak bisa menghindari sedikit rasa kagum yang muncul.

Dalam hati, Tuan Danendra mengucapkan kalimat itu, meskipun ia tak berniat untuk mengatakannya dengan keras. "Kenapa gadis ini bisa secantik ini?" pikirnya, seakan ia baru menyadari sesuatu yang selama ini tersembunyi. "Dia terlalu sederhana, terlalu polos. Tapi… dia cantik. Sungguh, dia… cantik."

Meskipun begitu, senyum yang terukir di wajah Danendra tetap tampak dingin dan terpaksa. Itu adalah senyum yang dipaksakan, seolah sebuah kewajiban. Dalam pikiran Tuan Danendra, pernikahan ini bukanlah soal cinta, melainkan soal kebutuhan yang harus dipenuhi. Namun, meski ia mencoba untuk menahan diri, ia tak bisa mengabaikan kecantikan yang dimiliki Ganhia—kecantikan yang tampaknya begitu murni dan alami, jauh berbeda dengan gadis-gadis lain yang biasa ia temui.

Ganhia yang duduk di sampingnya hanya bisa menunduk, berusaha menyembunyikan keraguan yang menggerogoti dirinya. Ia tahu bahwa pernikahan ini bukanlah pilihan yang ia inginkan, dan bahwa ia tak bisa berharap banyak. Namun, di saat-saat seperti itu, ia merasakan sedikit keanehan. Tuan Danendra yang dingin dan tak peduli, ternyata juga bisa melihat sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang mungkin tak pernah ia perhatikan sebelumnya.

Tetapi, Ganhia tahu, itu hanyalah perasaan sesaat. Ini bukan tentang cinta—bukan tentang kebahagiaan. Ini adalah tentang kewajiban yang harus ia jalani demi keluarganya, demi masa depan yang tidak pasti. Cinta? Itu bukanlah bagian dari pernikahan ini. Dan dalam hati Ganhia, ia hanya berharap waktu akan membawa jawaban, apakah suatu hari nanti ia bisa merasakan kebahagiaan, ataukah ia akan terus terperangkap dalam kehidupan yang tak pernah ia pilih.

Tuan Danendra kembali menatap Ganhia sejenak, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya—sesuatu yang hampir tak terlihat. Meskipun dia tetap diam, hatinya sedikit tertarik oleh kecantikan Ganhia yang begitu alami dan tak terduga. Tetapi, pada akhirnya, itu semua tetaplah sebuah pernikahan yang didasarkan pada kewajiban. Perasaan itu hanyalah bayangan yang akan tenggelam begitu saja.

Seiring dengan berlalunya waktu, pernikahan ini hanya akan menjadi bagian dari perjalanan hidup mereka. Tak ada janji kebahagiaan, tak ada kata-kata manis yang diucapkan. Hanya dua orang yang terjebak dalam sebuah pernikahan yang terpaksa, masing-masing membawa beban yang berbeda. Dan meskipun ada sedikit ketertarikan yang tidak terucapkan, baik Ganhia maupun Danendra tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai.

Resepsi pernikahan telah selesai, dan meskipun semua orang di sekitar mereka sudah beranjak, suasana di dalam rumah keluarga Wijaya masih terasa berat. Ganhia berdiri dengan gaun pengantin yang kini sudah mulai terlihat sedikit kusut, matanya kosong menatap amplop yang baru saja diberikan oleh Dirga, sekretaris Tuan Danendra. Amplop itu berisi surat kontrak yang tak terelakkan, yang mengikatnya pada pernikahan ini, dan pada kehidupan yang tidak pernah ia inginkan.

Di sampingnya, Tuan Danendra berdiri tegak, mengenakan jas hitam yang sempurna, wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi. Ia tampak seperti pria yang sudah biasa dengan segala hal yang harus dilakukan, termasuk pernikahan ini. Dalam hatinya, ini bukan tentang kebahagiaan atau cinta. Ini adalah kewajiban, sesuatu yang harus dijalani demi melanjutkan bisnis dan mengatasi masalah utang yang telah menggantung di kepala ayah Ganhia.

Danendra tidak menatap Ganhia sama sekali. Ia hanya memerintahkan Dirga dengan suara rendah, "Beri dia surat itu. Katakan padanya, dia harus siap."

Dengan gesit, Dirga memberikan amplop tersebut pada Ganhia. Gadis itu, dengan gemetar, menerima amplop itu tanpa kata-kata. Ia tahu, meskipun tak ada yang perlu dipaksakan, hidupnya kini telah berubah 180 derajat. Tak ada lagi keluarga yang dulu ia kenal, tak ada lagi rasa aman yang datang dari rumah yang ia tinggali. Sekarang, ia adalah bagian dari dunia Tuan Danendra, dunia yang jauh berbeda dengan dunia yang selama ini ia jalani.

Namun, yang lebih membuatnya tertekan adalah sikap Tuan Danendra. Pria ini, meskipun tampan, dingin dan penuh kekuasaan, seperti tak peduli sedikit pun dengan perasaannya. Baginya, Ganhia hanyalah bagian dari urusan yang harus diselesaikan. Tidak lebih dari itu. Tidak ada perhatian, tidak ada pertanyaan tentang perasaannya. Semuanya berjalan berdasarkan aturan yang ditentukan, tanpa ada ruang untuk hal-hal pribadi.

Ganhia menatap amplop di tangannya, dan kemudian menunduk. "Apa yang harus saya lakukan, Tuan?" tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Tuan Danendra, yang sejak awal tidak banyak bicara, mengalihkan pandangannya dari Dirga ke Ganhia. Dengan ekspresi datar, ia menjawab, "Kamu akan tinggal di rumahku mulai besok. Persiapkan dirimu."

Tidak ada pertanyaan, tidak ada penawaran. Hanya perintah yang harus diterima, tanpa ruang untuk menolak.

Ganhia mengangguk pelan, meskipun hatinya terasa sesak. Tidak ada pilihan lain, semuanya sudah ditentukan. Bahkan sebelum ia sempat mengerti, hidupnya telah diarahkan ke jalur yang tak bisa ia hindari. Dengan berat hati, ia mendengarkan perintah-perintah yang diberikan kepadanya oleh Tuan Danendra. Ini adalah jalan yang harus ia jalani demi keluarga, demi ayahnya yang terbelit utang.

Setelah pertemuan singkat itu, Danendra melangkah menuju pintu dengan langkah tegas. Dirga, yang selalu berada di sisi tuannya, mengikuti di belakangnya. "Siapkan semuanya. Kita berangkat besok," perintah Danendra pada Dirga, dan sang sekretaris segera pergi untuk melaksanakan perintah itu.

Ganhia tetap berdiri di tempatnya, masih memegang amplop yang berisi kontrak pernikahan mereka. Hatinya tak bisa menghindar dari perasaan terjebak. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah ia akan bisa bertahan dalam dunia yang dipenuhi dengan aturan dan tuntutan yang begitu ketat?

Saat Ganhia memalingkan wajahnya, ia melihat Danendra yang sudah keluar dari rumah, berjalan menuju mobil mewah yang menunggu di halaman depan. Hatinya berdebar. Akan seperti apakah kehidupan yang harus ia jalani di bawah kendali Tuan Muda yang dingin itu?

Keesokan harinya, pagi yang penuh ketegangan tiba. Ganhia bersiap dengan segala yang diminta. Tanpa bisa melawan, ia hanya mengikuti perintah. Ia tidak pernah membayangkan bahwa hari setelah pernikahan ini akan membawa dirinya ke dunia yang sangat berbeda. Rumah yang selama ini ia kenal, kini hanya menjadi kenangan. Rumah baru yang akan ia tempati bersama Tuan Danendra adalah tempat yang sama sekali tidak ia kenal sebuah dunia yang jauh lebih besar dan lebih keras.

Saat ia hendak keluar dari rumah keluarganya, ia melihat beberapa bodyguard Tuan Danendra yang berdiri tegak, siap mengawal perjalanannya. Di depan rumah, sebuah mobil hitam mengkilap menunggu. Dengan langkah berat, Ganhia berjalan menuju mobil itu, diikuti oleh bodyguard yang setia mengawal. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dan ia merasa seolah-olah hidupnya telah diserahkan sepenuhnya kepada Tuan Danendra.

Di dalam mobil, hanya ada dirinya dan satu bodyguard yang duduk di sampingnya. Tidak ada percakapan, hanya rasa hampa yang mengisi ruang di antara mereka. Ganhia menatap ke luar jendela, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Semua yang ia rasakan hanya ketidakpastian. Ia tahu bahwa ia harus siap menghadapi apapun yang datang, meskipun hatinya penuh dengan kekhawatiran.

Di rumah mewah milik Tuan Danendra, semuanya sudah dipersiapkan. Segala sesuatunya diatur dengan sempurna, sesuai dengan keinginan Tuan Muda yang selalu menginginkan segalanya berjalan sesuai rencana. Ganhia memasuki rumah itu dengan langkah ragu. Ketika pintu mobil dibuka, seorang bodyguard membuka pintu rumah dengan sigap, dan Ganhia melangkah masuk.

Danendra sudah berdiri di ruang tamu besar, menunggu. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apapun. Ia hanya menatap Ganhia dengan tatapan kosong, seolah-olah ini hanyalah rutinitas biasa yang harus ia jalani. Tidak ada senyum, tidak ada sambutan hangat. Hanya perintah yang harus diterima.

"Selamat datang di rumahmu yang baru," ujar Danendra dengan nada datar. "Di sini, kamu harus mengikuti semua aturan yang ada. Tidak ada pengecualian."

Ganhia hanya mengangguk, meskipun di dalam hatinya ada perasaan hancur. Apa yang akan terjadi setelah ini? Apakah ia akan bisa bertahan di dunia ini? Tetapi untuk saat ini, ia hanya bisa menelan kata-kata itu dan berharap bisa menjalani hari-hari yang akan datang, meskipun itu tidak akan mudah.

Dengan satu perintah lagi, Danendra menambahkan, “Kamu harus siap. Jangan berpikir untuk melawan. Ini adalah kehidupanmu sekarang.”

Ganhia menunduk. Tanpa bisa berkata lebih banyak, ia hanya menerima semua yang diberikan, dan mengikuti langkah-langkah yang telah ditentukan. Dunia barunya dimulai, dan tidak ada jalan kembali.

Ganhia berdiri kaku di ruang tamu yang besar, memandang ke arah Tuan Danendra yang masih berdiri dengan sikap dingin dan tak peduli. Suasana di sekelilingnya seakan membeku, tidak ada kebahagiaan, hanya keheningan yang penuh ketegangan. Setelah beberapa detik yang terasa lama, akhirnya Tuan Danendra membuka mulutnya lagi dengan suara datar, namun tajam, seolah-olah setiap kata yang keluar darinya adalah perintah yang tak bisa dibantah.

"Mulai sekarang, kamu adalah pelayan pribadiku." Kata-kata itu begitu tajam, seakan membekas dalam hati Ganhia. Ia menatapnya dengan mata yang semakin berkaca-kaca, berusaha menahan agar tidak menunjukkan perasaan kecewa yang mendalam. "Tugas kamu di sini jelas. Tak ada tempat untuk kelemahan atau keluhan. Kamu akan mengikuti semua perintah saya tanpa terkecuali."

Setiap kata yang keluar dari mulut Tuan Danendra bagaikan sebuah hukum yang tak bisa diganggu gugat. Bukan hanya sekadar perintah biasa, tapi seperti sesuatu yang harus dijalani tanpa bisa ditawar. Ganhia merasakan sakit yang tak terucapkan, terutama ketika mendengar kata "pelayan pribadi" yang begitu merendahkan. Apakah hidupnya sekarang hanya sebatas itu? Tidak lebih dari sekadar pelayan bagi tuannya yang tidak pernah menganggapnya sebagai manusia seutuhnya?

Dirga, yang berdiri beberapa langkah di belakang Danendra, mendekat dan memberikan amplop berisi surat kontrak itu kepada Ganhia. "Ingat semua isi surat kontrak ini dengan baik," kata Dirga dengan nada yang tidak kalah tegas. "Kamu harus mematuhi setiap perkataan Tuan Danendra, tidak boleh ada pengecualian. Jika kamu tidak mengikuti aturan ini, konsekuensinya akan sangat berat."

Ganhia menatap surat kontrak yang diserahkan padanya. Itu adalah sebuah perjanjian yang mengikat, di mana ia harus mengikuti semua perintah tanpa bisa menolak, menjalani kehidupan yang telah ditentukan untuknya, meski hatinya meronta. "Tuan, saya..." kata-katanya hampir tersangkut di tenggorokannya. Apa yang bisa ia katakan? Apa yang bisa ia lakukan selain menerima kenyataan ini?

"Tidak ada kata 'saya' di sini," potong Danendra dengan tegas, sambil menatapnya tajam. "Kamu harus belajar untuk menerima peranmu. Mulai sekarang, kamu adalah bagian dari dunia saya. Kamu harus tahu tempatmu."

Setiap kalimat yang keluar dari mulut Danendra bagaikan cambukan, membuat Ganhia semakin merasa kecil dan terpojok. Semua rasa sakit itu hanya bisa ia telan dalam diam. Dirga, yang selalu tahu apa yang diinginkan oleh Tuan Danendra, hanya mengangguk pelan, seolah memastikan bahwa perintah yang baru saja diberikan akan dipatuhi tanpa ragu.

"Perintah Tuan Danendra adalah segalanya. Tidak ada ruang untuk melawan atau membantah," kata Dirga, memastikan bahwa Ganhia mengerti bahwa ini adalah aturan yang tak bisa diganggu gugat.

Ganhia menunduk dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang hampir keluar. Apa yang bisa ia lakukan sekarang? Kehidupannya telah berubah menjadi sebuah rutinitas yang penuh peraturan dan batasan. Semuanya begitu dingin dan kaku, seolah ia hanya sebuah benda yang harus mengikuti perintah. Ia merasa terperangkap dalam kehidupan yang sama sekali bukan pilihannya.

"Tuan Danendra, saya..." lagi-lagi kata-kata itu tertahan. Tak ada yang bisa ia katakan. Semua yang ada di pikirannya kini hanya sebuah kekosongan.

Danendra menatapnya sebentar, kemudian berbalik dan melangkah menuju tangga dengan langkah mantap. "Ikuti saya," katanya tanpa menoleh. "Kamu akan tinggal di kamar yang sama denganku agar kamu bisa mengatur semua keperluanku. Jangan banyak tanya, cukup ikuti semua aturan yang ada."

Ganhia, meskipun hatinya hancur, hanya bisa mengangguk. Ia tahu, apa pun yang terjadi, ini adalah kehidupan yang harus ia jalani sekarang. Tidak ada pilihan lain.

Dengan langkah pelan, ia mengikuti Danendra yang sudah mulai naik ke lantai atas. Dirga, yang tetap setia mengikuti di belakang mereka, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ketiganya memasuki sebuah dunia yang penuh dengan aturan tak terucapkan, tempat di mana Ganhia hanya bisa menerima takdir yang telah digariskan untuknya.

Mempelajari dan menandatangani surat Kontrak

Kamar Tuan Danendra bukanlah kamar seperti pada umumnya. Kamar itu tampak megah, namun tidak memiliki kehangatan atau kenyamanan yang biasa ditemukan di rumah-rumah lainnya. Semua barang di dalamnya teratur dengan sempurna, dan setiap sudut kamar seakan menunjukkan bahwa ini adalah ruang yang milik seorang pria dengan kontrol penuh atas hidupnya—ruang yang tidak mentolerir kekacauan atau ketidakdisiplinan.

Dinding kamar dipenuhi dengan warna netral yang dingin: abu-abu dan hitam. Lampu-lampu yang menggantung di langit-langit memberikan pencahayaan yang minim, menciptakan suasana malam yang tenang, namun penuh dengan ketegangan. Sebuah ranjang besar dengan tempat tidur yang terbuat dari material premium menjadi pusat perhatian di tengah ruangan, dikelilingi oleh meja kerja yang luas dengan perangkat elektronik dan dokumen yang tertata rapi. Tidak ada aksen warna cerah, tidak ada dekorasi berlebihan. Segalanya serba minimalis, namun terkesan mewah—sebuah desain yang menunjukkan kekuasaan dan kontrol yang penuh.

Di sisi lain kamar, sebuah sofa panjang terletak dengan sangat sempurna, namun dengan sedikit jarak dari ranjang. Itu adalah tempat Ganhia akan tidur malam ini, seperti yang telah diperintahkan oleh Tuan Danendra. Sofa itu tidak terlalu besar, dan meskipun tampaknya nyaman, tidak ada rasa kehangatan atau kenyamanan yang bisa ia rasakan. Itu adalah tempat yang tidak pernah direncanakan untuk menjadi tempat peristirahatannya, tetapi sekarang menjadi satu-satunya tempat yang bisa ia tempati dalam kamar ini.

Ranjang itu tempat tidur yang besar dan nyaman dianggap sebagai ranjang pribadi milik Tuan Danendra. Tidak ada tempat bagi Ganhia di sana, kecuali jika Tuan Danendra memberinya izin. Begitu banyak peraturan yang mengikatnya, dan aturan yang paling jelas adalah bahwa ia tidak boleh tidur di ranjang atau bahkan duduk di atasnya tanpa perintah dari Tuan Danendra.

Malam semakin larut, dan Ganhia duduk di sofa yang sudah disiapkan untuknya, memandangi amplop yang masih tertahan di tangannya. Surat kontrak pernikahan yang telah diberikan kepadanya oleh Dirga itu kini terbuka, dan ia mulai membaca dengan seksama setiap kata yang tertulis. Hatinya semakin berat seiring ia menyadari bahwa hidupnya kini terikat pada perjanjian yang kaku dan tanpa ruang untuk penolakan.

Ia membaca bagian pertama dari kontrak itu dengan seksama:

"Pernikahan ini hanya berlaku selama dua tahun, setelah itu kedua belah pihak bebas untuk mengambil keputusan lebih lanjut."

Ganhia menatap kalimat itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Dua tahun hanya dua tahun. Waktu yang terasa begitu lama, namun di sisi lain, ia bisa bebas. Namun, apakah dua tahun yang penuh dengan ketegangan dan aturan akan mampu ia jalani?

Bagian selanjutnya dari kontrak itu mulai menambah beban di hatinya.

"Tidak ada kontak fisik antara pihak pertama (Tuan Danendra) dan pihak kedua (Ganhia Wijaya) selama masa pernikahan."

Tidak ada kontak fisik. Ganhia merasa tubuhnya kaku. Itu berarti tidak ada kehangatan atau perhatian lebih dari yang ia harapkan. Ia akan tinggal bersama pria yang dingin dan tidak pernah menunjukkan rasa empati, dan semuanya harus berjalan sesuai perintah tanpa ada ruang untuk kedekatan atau kasih sayang. Semua ini terasa begitu dingin dan kering, seakan pernikahan ini hanyalah kontrak bisnis semata.Ganhia melanjutkan membaca.

"Pihak kedua wajib menyambut Tuan Danendra pulang kerja, namun tidak diperkenankan ikut campur dalam urusan pribadi Tuan Danendra. Pihak kedua juga wajib mengantar Tuan Danendra sampai depan pintu saat berangkat kerja."

Ini adalah sebuah rutinitas yang harus ia jalani, sebuah tindakan formal tanpa emosi. Ganhia memikirkannya dalam-dalam. Apa yang bisa ia lakukan selain menjalankan semua itu? Menyambut dan mengantar Tuan Danendra pergi hanya itu yang bisa ia lakukan. Tanpa bertanya, tanpa meminta penjelasan lebih lanjut. Hanya sebuah tugas yang harus ia lakukan sebagai "istri" yang tak lebih dari sekadar pelayan.

Ia melanjutkan membaca dengan hati yang semakin sesak.

"Pihak kedua wajib menyediakan air untuk Tuan Danendra saat mandi dan memenuhi segala keperluan mandi Tuan Danendra."

Ganhia merasa tubuhnya seakan dibekukan oleh kata-kata itu. Ia harus menjadi pelayan dalam segala hal, bahkan untuk urusan yang paling pribadi sekalipun. Tidak ada ruang untuk dirinya sendiri. Tidak ada pilihan selain melayani, memenuhi setiap kebutuhan Tuan Danendra,meskipun ia tahu itu bukanlah pilihan hidup yang ia inginkan.

Bagian terakhir dari kontrak itu menegaskan segalanya.

"Pihak pertama (Tuan Danendra) berhak untuk mengubah isi surat kontrak ini kapan saja, dan pihak kedua hanya bisa menyetujuinya tanpa bantahan."

Kalimat ini membuat Ganhia semakin merasa terjepit. Tidak ada ruang untuk perlawanan. Tuan Danendra berhak untuk menuntut apapun yang ia inginkan, dan ia, Ganhia, hanya bisa patuh. Hatinya terasa hancur, namun ia tahu tidak ada jalan untuk menolak. Ini adalah takdir yang sudah digariskan untuknya. Apa pun yang terjadi, ia harus menerimanya.

Tepat saat itu, pintu kamar diketuk dengan ringan. Ganhia segera menutup surat kontrak itu dan meletakkannya di meja. Ia tahu siapa yang datang. Dirga, seperti biasa, hadir untuk memastikan semuanya berjalan sesuai perintah Tuan Danendra.

“Apakah kamu sudah membaca surat kontrak itu dengan seksama?” tanya Dirga dengan nada yang cukup datar, seakan ini adalah hal yang biasa baginya.

Ganhia mengangguk pelan, masih terdiam dengan perasaan hancur yang menyelimuti hatinya. "Saya sudah membacanya," jawabnya, suara pelan dan agak tercekat.

"Bagus," kata Dirga sambil melangkah masuk. "Ingat, kamu harus mematuhi setiap ketentuan yang ada dalam surat itu. Tidak ada ruang untuk melawan atau bertanya-tanya. Tuan Danendra sangat jelas dengan apa yang ia inginkan, dan kamu hanya perlu mengikuti perintahnya."

Ganhia menatap Dirga, merasa seolah-olah dirinya telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Apa yang harus saya lakukan sekarang?" tanyanya, suara penuh kebingungan.

Dirga menatapnya dengan mata yang penuh pengertian, meski tak ada rasa empati yang muncul. "Sekarang kamu tinggal di sini. Mulai besok, kamu akan menjalani rutinitas yang sudah ditentukan. Kamu harus siap untuk menyambut Tuan Danendra setiap kali ia pulang dan mengantarnya saat ia berangkat kerja. Kamu juga harus siap melayani kebutuhan pribadinya, seperti yang tertulis dalam kontrak. Tidak ada yang bisa kamu ubah."

Ganhia hanya bisa menunduk, merasakan beban yang semakin berat. Dirga melangkah mundur, meninggalkan Ganhia yang masih terperangkap dalam pikirannya.

Ketika pintu kamar tertutup, Ganhia kembali memandangi surat kontrak yang kini terasa seperti beban berat yang harus ia pikul. Tak ada pilihan. Tak ada jalan lain. Ia harus menjalani kehidupan ini, mengikuti semua aturan yang telah ditetapkan untuknya. Tidak ada ruang untuk kebebasan, hanya kepatuhan.

Malam pertama di kamar ini berlangsung dengan kesunyian yang memadat. Ganhia duduk di sofa, mencoba tidur dengan posisi yang tidak nyaman. Tidak ada suara yang terdengar, hanya gelegar jam yang berdetak pelan. Di sisi lain kamar, Tuan Danendra duduk di meja kerjanya, tenggelam dalam pekerjaan yang sepertinya tak ada habisnya. Sesekali, suara ketikan di keyboard memecah keheningan, namun ia tetap tidak menoleh sedikit pun ke arah Ganhia.

Ganhia menatap langit-langit, berpikir tentang hidupnya yang tiba-tiba berubah menjadi sebuah rutinitas yang begitu kaku. Tidak ada kehangatan yang bisa ia rasakan, tidak ada perhatian yang ia harapkan. Semua itu hilang seiring dengan pernikahannya yang terpaksa ini yang hanya berdasarkan kontrak, perintah, dan kewajiban.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!