NovelToon NovelToon

TAKDIR CINTA SETELAH DIKHIANATI

Chapter 01

Tok!

Tok!

Tok!

Ketukan palu dari hakim ketua penanda berakhirnya biduk rumah tangga sepasang suami istri yang baru seumur jagung.

Pihak laki-laki tidak hadir, hanya diwakilkan oleh pengacaranya saja.

Nirma, wanita cantik dengan tinggi badan semampai mulai beranjak dari kursinya, bersama dengan sang pengacara, mereka menunduk hormat sebagai bentuk terima kasih kepada pak hakim beserta jajarannya.

Langkah pastinya melambat dan berakhir gontai, sampai membutuhkan pegangan dari sosok pengacara muda yang sedari awal membantunya agar segera terbebas dari pernikahan tidak sehat.

“Menangislah bila hal itu dapat sedikit melegakan hatimu! Saya akan menunggu di depan,” ucapnya prihatin, lalu melangkah menjauhi lorong sepi.

“Ya Rabb, ajari hamba untuk ikhlas menerima ketentuan-Mu ini.” Tubuhnya luruh, bersandar pada dinginnya dinding tembok.

Nirma menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, menangis tanpa suara sampai bahunya bergetar hebat.

“Maaf Mbak, dulu diriku begitu congkak, bertingkah layaknya wanita murahan, bahkan lebih rendah daripada kupu-kupu malam, tanpa hati merebut tunanganmu, mencoreng kening Mamak dengan arang, menginjak-injak martabat almarhum Bapak … maafkan aku yang sesungguhnya tak layak mendapatkan sebuah pengampunan.” Nirma memukul dadanya yang terasa sesak, menyesali perbuatan bejatnya di masa lalu.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana dulu dirinya begitu tega menyakiti saudari kandungnya yang sudah berkorban besar untuknya, membiayai kuliah sampai jadi sarjana. Begitu lulus, bukan topi toga yang disematkan pada kepala sang Kakak sebagai tanda terima kasih, tapi malah mengabarkan tentang kehamilannya bersama calon suami kakak kandungnya sendiri, Nur Amala.

“Ya Allah ….” Nirma menekuk kedua lututnya, membenamkan wajah pada lipatan kaki.

Rasa bersalah dan berdosa begitu menggerogoti hatinya, meskipun sudah mendapatkan kata maaf dari kedua orang yang ia sakiti dengan begitu hebatnya, tetap saja ia masih berkubang dalam penyesalan tidak bertepi.

“Ima ….”

Sebuah suara bass, rendah nan dalam itu berhasil mengusiknya, ia mendongak menatap sosok pria dewasa yang tidak lagi muda, tatapan mereka saling mengunci, satu memandang sendu, dia sendiri menatap pilu.

“Kamal sudah mulai rewel, sepertinya dia haus.” Sosoknya kembali berdiri tegak, tanpa sedikitpun memutuskan pandangan mereka. “Sudahi kesedihanmu, mulailah kembali menata hidup, tak perlu terburu-buru, tapi tak jua berhenti disitu saja. Kau berhak maju, berdiri dengan kedua kakimu sendiri, Nirma!”

Byakta Nugraha, duda tampan, mapan, hartawan, berumur 40 tahun, berperut sedikit bergelambir dikarenakan malas berolahraga, lebih suka berdiam diri seraya memantau mangsa yang berani mengusik ketenangannya.

Kini targetnya bukan lagi sesama pesaing bisnis ataupun para preman maupun bandit kala berebut lahan kekuasaan, tapi seorang wanita yang baru saja berstatus janda, Nirma.

Nirma mengangguk, kedua tangannya membenahi hijab yang terlihat kusut, lalu berusaha berdiri dengan menekan lututnya sendiri sebagai tumpuan.

“Ini!” Byakta, atau yang sering disapa Juragan itu mengulurkan sapu tangan.

Sedikit ragu Nirma menerimanya, kemudian mulai mengelap wajah yang sudah bersimbah air mata. “Terima kasih, Mas.”

“Hem. Nirma ….” Byakta mengedarkan pandangannya, memastikan bahwa tidak ada yang mencuri dengar, lalu kembali menatap sang wanita. “Saya tahu bila sekarang bukanlah waktu yang tepat, tapi tetap ingin mengutarakan nya … mengenai lamaran tempo hari, apa dirimu tidak mau memikirkannya lagi?”

Nirma gamang, bingung hendak mengatakan isi hatinya, mencoba merangkai kata-kata tanpa menyakiti harga diri pria yang sudah banyak membantunya ini. “Maaf, Mas. Saya belum kepikiran menikah lagi. Hanya ingin fokus membesar Kamal, dan membenahi diri agar pantas kembali ke kampung halaman, biar bisa hidup berdampingan dengan Mamak dan Mbak Mala.”

“Namun, saya tidak akan membatasi bila Mas ingin dekat dengan Kamal, pun tentang berperan sebagai bapak angkatnya, telah saya setujui,” tambahnya cepat, agar tidak menyinggung perasaan pria baik hati yang divonis oleh dokter, susah memiliki keturunan.

Senyum masam terbit di bibir berwarna kecoklatan akibat pecandu nikotin, dirinya berusaha menyamarkan raut kecewa dengan ekspresi biasa saja. “Ayo temui anak kita!”

Nirma mengangguk, melangkah lebih dulu. Dirinya tidak mengetahui bagaimana tajamnya tatapan laki-laki di belakangnya seraya menyeringai culas.

‘Tak apa, diri ini masih memiliki seribu cara untuk membuat mu setuju ku nikahi Nirma,’ batinnya berbisik, otaknya memikirkan cara halus sampai kasar, dari yang halal hingga haram, semua akan dia lakukan agar bisa mempersunting ibu dari anak yang telah berhasil menawan hatinya.

Kamal Rashad, bayi yang sangat disayangi oleh seorang tuan tanah kejam, pemilik perkebunan kelapa sawit dan penginapan pinggir pantai.

Dibalik keinginan menggebu-gebu itu, ternyata ada tujuan lebih besar lagi, sampai membuat dirinya begitu berambisi ingin segera memiliki Nirma sekaligus putranya, apa tujuan itu, hanya ia dan Tuhan, beserta orang kepercayaannya lah yang tahu.

.

.

“Anak Ibuk haus ya?” Nirma masuk ke dalam mobil bagian penumpang, mengambil sang anak dalam gendongan wak Sarmi, pengasuh yang dikirim dari kampung halaman ibunya.

Bayi berumur enam bulan itu terlihat tidak sabaran, rautnya sudah memerah siap menangis kencang.

“Putra kesayangan Ayah, sabar sedikit ya Nak!” Byakta mencondongkan badan, posisinya berdiri di tengah pintu mobil terbuka, sedikit membungkuk sampai sisi wajahnya hampir menyentuh lengan atas Nirma, diusapnya lembut pucuk kepala Kamal, bayi itu sibuk mencari sumber makanannya yang masih tertutup sempurna pakaian muslimah sang ibu.

“Keluarlah dulu, biar Kamal bisa tenang menyusu!” titahnya tidak terbantahkan, langsung saja sang sopir beserta pengasuh dan dirinya sendiri keluar, lalu menutup rapat pintu mobil yang terparkir di halaman gedung pengadilan agama kabupaten.

“Sayang, maafkan Ibuk ya! Di usiamu yang masih terlalu dini ini, sudah kehilangan figur ayah kandung. Maaf, Ibuk memilih menyerah mempertahankan biduk rumah tangga bersama bapak mu, Nak.” Nirma mengelus lembut pipi putranya yang tengah menyusu, jarinya meraba bagian bibir sumbing sang anak.

Hatinya begitu nelangsa bila melihat bukti nyata ketidakbecusan nya menjadi seorang ibu, dulu demi menyenangkan suami dan juga ibu mertuanya, dia sampai mengabaikan tumbuh kembang sang janin, berakhir sang anak terlahir sumbing di bagian bibir sebelah kiri.

Selepas menyusui, mobil juragan Byakta mulai melaju kembali ke rumah kontrakan Nirma yang berjarak 15 menit dari gedung pengadilan.

.

.

“Ayah tak mampir dulu?” tanyanya lembut, bila sedang bersama Kamal dan lainnya, maka Nirma akan memanggil juragan Byakta dengan sebutan ‘Ayah’, begitupun dirinya yang di panggil ‘Ibuk’.

“Lain kali saja, Buk. Sedang ada urusan mendadak.” Juragan Byakta memiringkan badan dan mencondongkan tubuhnya ke belakang agar bisa mencium kening Kamal yang sedang tertidur dalam dekapan ibunya.

Nirma pun turun, begitu juga dengan Wak Sarmi. Setelah mobil juragan Byakta sudah melaju jauh, bergegas mereka melangkah hendak masuk rumah.

Kamal diambil alih oleh sang pengasuh, agar Nirma bisa membuka pintu. Saat pintu dibuka, ada amplop lumayan besar dan tebal.

Wanita yang baru saja menjadi janda itu begitu penasaran, langsung saja membungkuk untuk mengambilnya, merobek bagian ujung amplop, mengeluarkan isinya, netranya langsung berembun, hatinya seperti diremas tangan tak kasat mata, ternyata …?

.

.

Bersambung.

Setting tahun 1990-an. Wilayah transmigrasi pelosok Sumatera Utara.

Terima kasih banyak Kak, sudah berkenan mampir ke karya sederhana saya, semoga betah, tertib membaca dari awal hingga akhir 🙏🥰

Chapter 02

Lembaran foto itu jatuh berserakan di lantai beralaskan semen, tangan Nirma yang bergetar hebat tak lagi mampu memegang semuanya, buliran bening meluncur begitu saja manakala netranya menatap sendu mantan suaminya mencium kening sang wanita, istri barunya.

Nirma memicingkan mata guna memperjelas penglihatan di sudut kertas foto yang masih tertinggal satu dalam genggaman.

Deg.

Jantungnya bertalu layaknya suara tabuh gendang. ‘Ini kan dua minggu yang lalu, berarti saat menikahi lagi, dia masih berstatus suamiku?’

Tanggal, bulan dan tahun yang tertulis, menjadi bukti tak terbantahkan kapan pernikahan itu dilaksanakan.

“Yasir telah menikah lagi?” tanya wak Sarmi, dirinya memungut satu lembar potret di lantai, sedangkan Kamal sudah dibaringkan pada ayunan kain sarung ber per dua.

Nirma enggan menjawab, ia memungut asal lembaran foto berserak, lalu melangkah cepat memasuki kamar sederhana dan bergegas mengunci pintunya.

“Mengapa masih terasa sakit, ya Rabb? Sekeras apapun hamba berusaha melupakannya, tetap saja kenangan masa lalu terus menghantui,” adunya pilu, dirinya berbaring miring di tempat tidur ber tilam tak seberapa tebal, menangis seraya menatap sosok yang telah menorehkan luka begitu dalam.

“Bohong bila hamba mengatakan tak ada lagi rasa yang tersisa, nyatanya masih ada sejumput tertinggal dihati ini. Tolong ajari bagaimana caranya menghilangkan tanpa meninggalkan bekas ya Rabb,” Nirma terus meracau lirih, dadanya terasa semakin sesak, buliran bening mengalir membasahi bantal.

Melupakan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Yasir Huda, laki-laki pertama dalam kehidupan Nirma.

Pria yang berhasil bertahta di hatinya, sampai ia rela memberikan mahkotanya secara cuma-cuma tanpa adanya ikatan pernikahan terlebih dahulu.

Sekeras apapun mencoba membenci, kenyataannya di lubuk hati terdalam, masih ada nama sang mantan. Nirma belum sepenuhnya bisa melepaskan Yasir, ayah biologis dari Kamal.

Kenangan manis dan pahit itu saling tumpang tindih berlomba-lomba muncul dipermukaan memori Nirma, sampai kepalanya terasa begitu sakit, berakhir dirinya memilih memejamkan mata, tak lama kemudian tertidur, sesekali tarikan napasnya terdengar sedu sedan.

***

Malam hari selepas sholat maghrib.

“Kau tak makan, Nirma? Sedih boleh, tapi harus tetap ingat bila dirimu tak lagi sendiri! Ada Kamal yang perlu diperhatikan!” tegur wak Sarmi.

Nirma berhenti mengaduk-aduk nasi campur sayur beningan kol, kentang dan wortel, serta daun seledri, lauknya ada ikan asin goreng, tak ketinggalan sambal krengseng (tomat).

Wak Sarmi menghela napas panjang, menatap iba pada wajah sembab Nirma yang menangis sambil menelan makanannya. “Apa yang kau tangisi? Dia menikah lagi disaat kalian belum resmi bercerai, atau tentang Kamal yang memiliki ibu tiri?”

Nirma meletakkan sendok di atas piring, lalu menjauhkan letak alat makan itu, agar kakinya bisa menekuk menyamping, saat ini ia duduk di atas tikar ruang tamu sekaligus tempat bersantai, rumah kontrakannya berukuran kecil dan begitu sederhana, meja makan saja tidak punya.

“Jujur, aku bingung Wak. Entah mengapa hati ini masih merasakan sakit kala melihatnya bersanding dengan wanita lain,” akunya jujur, ia sudah menganggap sosok sebaya mamaknya itu seperti ibunya sendiri.

“Nirma, maaf bila apa yang hendak Uwak katakan ini sedikit kasar, mungkin jua menyinggung perasaan mu.” Wak Sarmi meraih tangan wanita berpakaian daster selutut, lalu menggenggamnya.

“Mungkin sudah suratan takdir Yang Maha Kuasa, membuat skenario nyaris sama seperti yang dialami oleh kakak kandungmu, saat dirinya kau khianati, kalian tikam hatinya menggunakan belati.”

Tubuh Nirma langsung menegang dengan tatapan mata terbelalak, bibirnya bergetar hebat. 'Maaf Mbak. Karena aku, dirimu pernah begitu menderita.'

“Namun, setiap manusia memiliki kesempatan untuk menjadi pribadi lebih baik, dan Tuhan itu Maha membolak-balikkan hati hamba-Nya. Jadi, dibalik cobaan yang sedang menerpa mu ini, banyak hikmahnya, Nirma!” Wak Sarmi menepuk lembut lengan ibunya Kamal.

“Uwak benar. Lucu rasanya bila aku merasa paling tersakiti, padahal apa yang terjadi tak lain dan tak bukan adalah buah dari perbuatan ku sendiri di masa lalu,” Nirma terkekeh sumbang, netranya kembali berkaca-kaca.

“Terima kasih Uwak, selalu mengingatkan kala hatiku kembali meragu, tekad ku mengendur, dan diri ini mulai kehilangan arah.” Didekap nya sosok wanita paruh baya berbusana baju kurung serta kain jarik itu.

“Kau pantas mendapatkan kesempatan kedua. Sejatinya dirimu pribadi yang baik, hanya saja mudah diperdaya berakhir berbuat dosa.” Wak Sarmi mengelus punggung Nirma, kemudian melerai pelukan mereka. “Macam mana dengan lamaran juragan Byakta tempo hari? Apa kau tolak lagi?”

“Ya. Tadi pun dia menanyakannya lagi, tapi langsung ku tolak halus, Wak. Aku sama sekali tak punya rasa terhadapnya, dan juga bila menerimanya, itu sama saja dengan memutus garis keturunan, Wak. Belum lagi ada hal lebih besar yang menjadi penghalangnya," ucapnya apa adanya.

Walaupun tidak ada cinta diantara dirinya dan juragan Byakta, dan tujuan pernikahan itu semata hanya demi mengeruk keuntungan masing-masing. Tetap saja, bila ia sudah dipersunting, maka tak akan ada jalan perpisahan.

Menghabiskan waktu seumur hidup bersama sosok pria yang sulit memiliki keturunan, bukanlah hal mudah bagi Nirma, sedangkan wanita itu menginginkan setidaknya sepasang anak. Belum lagi mereka memiliki masa lalu nyaris sama dan saling terhubung.

“Tapi, apa tak tambah runyam bila Kamal beranjak besar, dan mulai mengerti arti orang tua. Dia pasti akan bertanya siapa sebenarnya juragan Byakta, serta dimana ayah kandungnya. Apa kau telah memiliki jawaban untuk semua pertanyaan yang pasti akan terlontar dari bibir putramu itu, Nirma?”

Wanita berumur 23 tahun itu menggeleng lemah, pertanda dia belum memiliki jawaban menyakinkan.

“Aku kira begitu menjadi janda, semua masalah hilang seketika, tapi nyatanya bertambah banyak saja,” gerutunya dengan senyum masam.

“Namanya juga orang hidup, ya sudah pasti dihampiri berbagai cobaan, semua itu sebagai bentuk pendewasaan, serta pendekatan diri agar kau selalu ingat siapa pencipta mu.” Wak Sarmi mulai beranjak, membawa piring kotor mereka ke dalam kamar mandi, hendak di cuci.

“Biar aku saja, Wak. Sekalian mau berwudhu.” Nirma mengambil alih tumpukan alat makan.

***

Sementara di lain tempat, tidak jauh dari rumah kontrakan Nirma. Sosok dewasa tengah mengisap cerutunya seraya menatap kolam kecil berisi ikan hias.

“Juragan ….” Kiron atau yang disapa Ron, mendekati sang tuan.

Tanpa menoleh, juragan Byakta mengangguk mempersilahkan salah satu orang kepercayaannya memberikan informasi terkini.

“Mereka sudah tidur, Juragan. Saya pun telah menjalankan rencana selanjutnya,” beritahu nya dengan kepala sedikit menunduk, ia telah lama ditugaskan mengawasi sekaligus menjaga incaran sang tuan.

“Kerja bagus, Ron. Jika masih gagal jua dan Nirma tetap enggan menerima lamaran ku, mari kita berikan tekanan lebih besar dari ini!" Juragan Byakta tersenyum culas seraya mengepulkan asap tembakau.

Ron mengangguk setuju, ia saksi hidup bagaimana sang juragan begitu terobsesi ingin menikahi ibu beranak satu itu, dan dirinya jelas tahu dibalik keinginan menggebu-gebu itu, bukan hanya karena perihal Kamal saja, tapi lebih dari itu.

.

.

Keesokan harinya.

“Assalamualaikum Nirma.” Seseorang mengetuk pintu kontrakan paling ujung.

“Walaikumsalam. Ada apa Bu?” tanyanya kala mendapati pemilik kontrakan yang berdiri di depan pintu.

“Cuma ingin memberitahukan, kalau awal bulan depan, uang sewa kontrakan di naikan!”

“Mengapa begitu mendadak, Bu ...?”

.

.

Bersambung.

Chapter 03

Ibu pemilik kontrakan menatap sungkan seraya memijit pelipis. “Sebetulnya, sudah ada orang yang mau menyewa dengan harga lebih tinggi, tapi saya kasihan denganmu. Belum lama pindah ke tempat asing, kebetulan pula jarak tempuh kerumah sakit dimana dirimu bekerja begitu dekat. Jadi, saya mencoba mempertimbangkannya lagi.”

Nirma menghela napas berat, punggungnya bersandar pada kusen pintu. “Kira-kira naik berapa ya, Bu?”

“Cuma 20 ribu,” jawabnya tegas.

‘20 ribu di bilang cuma, uang segitu bukanlah nominal kecil bagiku yang sedang berhemat ini,’ batinnya menggerutu.

“Apa tak bisa di tawar, Bu? Itu nominal lumayan mahal bagi saya yang hanya seorang perawat di rumah sakit kecil,” lirihnya mencoba peruntungan.

“Tak bisa, Nirma. Sekarang apa-apa itu mahal.”

Tak ada yang bisa dilakukan oleh Nirma, selain menerima kenaikan harga sewa kontrakan, jika dirinya memilih pindah akan memakan biaya lagi, belum tentu juga dapat hunian disekitar rumah sakit tempatnya mencari rezeki, yang mana tidak memerlukan biaya transportasi bila hendak pergi dan pulang kerja, sebab sehari-hari bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

“Baiklah, Bu. Saya setuju,” putusnya kemudian dengan nada lemah.

Kemudian pemilik kontrakan berlalu dari sana. Nirma masih pada posisi semula, bersandar di sisi pintu, netranya menerawang jauh.

‘Harus bagaimana lagi aku mengatur keuangan? Mana Kamal sudah mulai MPASI, belum lagi membayar upah wak Sarmi,’ batinnya menangis pilu memikirkan nasib kedepannya.

Sang putra sudah mengonsumsi makanan pendamping ASI, dirinya telah bertekad ingin memberikan yang terbaik sebagai penebus dosa serta rasa bersalah, tentu saja akan menjauhkan Kamal dari makanan mengandung bahan pengawet.

Hal tersebut sudah dapat dipastikan menguras kantong, seperti membuat kaldu dari daging ayam ataupun ikan, tak ketinggalan buah-buahan segar agar gizi anaknya terpenuhi.

“Apa ku terima saja uluran tangan dari Mamak dan Mbak Mala ya?" tanyanya pada diri sendiri, tapi logikanya langsung menepis seraya menggeleng kepala. “Tak boleh, aku sudah berjanji mau berdiri di atas kakiku sendiri, sudah cukup diriku membebani mereka di masa lalu, jangan sampai terulang kembali.”

Ibu muda itu lantas berdiri tegak dan kembali menutup pintu, dirinya hendak bersiap berangkat kerja.

“Siapa yang datang, Ima?” tanya Wak Sarmi pura-pura tidak tahu, padahal dirinya mendengar jelas percakapan tadi.

Nirma menatap sendu pengasuh sang anak yang sedang merebus air di kompor sumbu. “Pemilik kontrakan, Wak. Dia memberitahukan kenaikan uang sewa,” ucapnya dengan raut masam sambil mengambil handuk di jemuran kawat dapur.

“Mengapa tiba-tiba sekali? Bukankah dua bulan yang lalu sudah dinaikan 5 ribu?” Kening Wak Sarmi mengerut.

Nirma mengedikkan kedua bahunya, menggeleng tanda dirinya sendiri pun tidak tahu, lalu masuk ke kamar mandi sederhana, yang mana hanya ada gentong air, gayung, dan wc jongkok, lantainya masih semen kasar.

.

.

Setengah jam kemudian, Nirma sudah rapi dengan pakaian dinas khas perawat, ia mengenakan hijab berwarna putih bersih.

“Nak, Ibuk berangkat kerja dulu ya,” pamitnya, mengecup lembut kening Kamal yang sedang disuapi oleh Wak Sarmi.

Bayi berbulu mata lentik, alis tebal, pipi tembam itu tersenyum seolah mengerti apa yang dikatakan oleh ibunya.

“Hati-hati, Ima! Bekalnya tak ketinggalan ‘kan?” tanya Wak Sarmi.

“Ini!” Nirma mengangkat tas yang ia jinjing, demi mengirit, dirinya selalu membawa bekal makan siang. “Assalamualaikum.”

“Walaikumsalam, dadah Ibuk.” Wak Sarmi melambaikan tangan kanan Kamal.

Hanya butuh 10 menit berjalan kaki menuju RS kawasan pelosok kabupaten, Nirma sampai di tempat penyimpanan barang sekaligus ruang istirahat, ia menaruh tas dan bekalnya dalam lemari bersekat kotak.

“Pagi, Ima!” sapa Dwi, rekan sejawatnya.

“Sepertinya ada yang lagi berbahagia ni, apa sebab wajah Kak Dwi begitu sumringah?” tanyanya penasaran.

Dwi meletakkan tas sandangnya di atas meja, wajahnya masih berseri-seri. “Aku diterima kerja di puskesmas kampung halaman ku, Ima.”

Auh … Nirma meringis kala jari telunjuknya tertusuk jarum tag nama yang belum sempurna dikaitkan pada bajunya.

“Kau ini, ceroboh betul!” Dwi menepis tangan Nirma, lalu mengaitkan peniti dengan benar.

“Mengapa begitu mudah, Kak? Bukankah baru empat hari yang lalu Kakak memasukkan lamaran kerja nya?”

“Sebetulnya aku juga heran sih, kok bisa lancar sekali prosesnya, seperti laju air terjun saja, tadinya pun tak percaya, tapi begitu Kakak ku yang memberi tahu lewat telepon umum, baru aku yakin.” Binar wajahnya terlihat begitu senang, akhirnya ia bisa hidup berdampingan dengan sang ibu yang sudah sepuh.

Meskipun bingung, tapi Nirma langsung memeluk teman baiknya ini. “Selamat ya Kak, bisa jadi ini berkat kekuatan doa Ibu Kakak. Aku ikut senang, sebentar lagi Dio akan punya banyak teman bermain.”

Dwi pun membalas, mengusap sayang punggung sang teman. “Aku doakan, semoga kau jua secepatnya bisa kembali ke kampung halamanmu, agar Kamal bisa mengenal para saudaranya dan memiliki teman sebaya.”

“Aamiin.” Nirma melerai pelukan mereka. “Jadi, kapan Kakak pulang kampungnya?”

“Mungkin akhir bulan ini, menunggu pengganti ku datang dulu.” Dwi menatap lembut wajah teman yang sudah hampir satu tahun bekerja bersama. “Kamal jadikan, dioperasi saat umurnya sudah 10 bulan, Ima? Kalau iya, nanti aku datang bersama suami dan Dio, kami ingin memberikan dukungan secara langsung.”

“Insya Allah, Kak,” jawabnya yakin, tapi dalam hati meragu. ‘Semoga saja tak ada aral melintang, dan uang tabungan khusus buat operasi Kamal tidak terpakai.’

Keinginan dua wanita itu sama, ingin memberikan masa kecil yang bahagia untuk buah hati mereka, bermain tanpa takut tertabrak kendaraan lalu lalang, dikarenakan tinggal di rumah kontrakkan yang tidak memiliki halaman luas dan langsung terhubung dengan jalan raya.

Lagipula, lingkungan tempat tinggal di perantauan, jarang ada anak kecil sebaya. Jadi, anak Nirma dan Dwi, lebih banyak menghabiskan waktu bersama sang pengasuh.

Setelahnya, Nirma maupun Dwi mulai bertugas mengikuti dokter jaga mengecek kondisi terkini para pasien, membantu para orang sakit minum obat, dan lain sebagainya.

***

Hari terus berlalu, dari pagi beralih ke siang dan bertemu sang malam, sampai berganti minggu.

Akte cerai Nirma sudah turun, dan status cerai hidup telah tersemat di kartu tanda pengenal serta kartu keluarga.

Tiba waktunya bagi pengganti Dwi mulai masuk kerja, sosoknya terlihat pongah dengan senyum meremehkan kala melihat Nirma.

“Hai … mantan sahabat, akhirnya kita kembali dipertemukan. Tak ku sangka kalau mantan pelacur macam kau, bisa diterima kerja di rumah sakit ini. Aku jadi penasaran, kepada siapa dirimu mempersembahkan tubuh, Nirma?” ucapnya dengan nada sedikit keras.

Bisik-bisik pun terdengar jelas di pendengaran Nirma, dirinya berdiri kaku dengan kedua tangan terkepal erat.

Sosok itu mengikis habis jarak, mencondongkan badan, berbisik dengan nada mengejek tepat ditelinga Nirma. "Setelah menjadi pemuas nafsu gratisan, apa sekarang kau mengangkangi paha pria tua demi mendapatkan pekerjaan, Nirma ...?"

.

.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!