NovelToon NovelToon

My Possessive Love

Terkena marah

Seorang gadis melajukan motor sport merahnya dengan kecepatan tinggi membelah jalanan ibu kota yang sedang macet saat ini. Tak peduli dengan keadaan sekitar, yang dirinya pikirkan hanya bagaimana caranya ia sampai di gedung pernikahan abangnya tepat waktu.

"Habis sudah, Mami akan memarahiku habis-habisan setelah ini." Gumamnya.

Matanya menangkap lampu kuning jalan, pertanda sebentar lagi akan masuk lampu merah. Gadis itu menambah kecepatan motornya, dan lolos dari antrian lampu merah. Tapi tak sengaja, motornya hampir menyerempet mobil dari arah berlawanan dengan lampu jalan yang sudah berubah hijau.

Hal yang gadis itu lakukan membuat supir mobil itu marah.

"APA TIDAK BISA MENYETIR DENGAN BAIK HAH?!"

Sayangnya gadis itu tetap melajukan motornya dan tak memperdulikan apa yang terjadi tadi.

"Maaf yah Tuan, warga disini emang suka ngasal kalau naik motor. Hampir aja kita celaka dia buat." Ucap sang supir pada majikannya yang duduk santai di belakang.

"Tak apa, aku tahu siapa dia. Sepertinya ... dia semakin nakal." Gumam pria itu dengan seringai di bibirnya.

.

.

.

Terlihat sebuah gedung tengah ramai para tamu yang sedang menikmati jamuan acara. Pernikahan mewah tengah di selenggarakan di gedung itu, menampilkan banyak hiasan bunga yang memanjakan mata. Pintu utama gedung terbuka, sepasang pengantin yang baru saja mengikrarkan janji suci berjalan beriringan dengan bergandengan tangan.

Fotografer yang bertugas mengabadikan momen langsung bersiap mengambil gambar. Penabur bunga bergerak cepat menaburkan mawar di jalan yang akan di lalui sepasang pengantin. Keluarga Arkatama dan keluarga Williams saling berbahagia dengan pernikahan putra putri mereka, Chio Arkatama dan Varsha Williams.

Chio, anak yang dulunya menggemaskan bertepatan hari ini sudah menjadi kepala keluarga. Serra terharu melihat putranya menikah dan memilih pendamping, ia berjalan menghampiri putranya dan mengelus wajahnya.

"Selamat sayang atas status barumu, jaga istrimu dengan baik. Jangan sakiti dia, sayangi dia dan cintai dia sepenuh hati. Belajarlah dari Papi mu bagaimana meratukan seorang wanita, hm?"

Chio meraih tangan Serra yang masih berada di pipinya dan mengenggamnya dengan lembut. Wanita berusia hampir setengah abad itu tetap cantik walaupun kulitnya sudah tak sekencang dulu. Serra merawatnya dengan baik, walaupun dirinya bukanlah anak kandung wanita itu tapi kasih sayang yang di berikan sangatlah banyak untuknya yang hanya seorang anak angkat.

"Terima kasih Mami, aku akan mengingat semua nasehat Mami." Ucap Chio dengan mata berkaca-kaca.

Tatapan Serra beralih menatap gadis yang sudah menjadi menantunya, ia kemudian beralih mengelus wajah gadis itu dengan lembut, "Terima kasih sudah menerima anak Mami, sayang. Kalau dia macam-macam, bilang pada Mami hm? Mendiang bundamu sudah menitipkanmu pada keluarga Arkatama, yang berarti kamu adalah putri keluarga ini. Jika Chio macam-macam, Mami tak segan memberinya pelayaran."

Varsha tersenyum, gadis pemilik hidung mancung dan mata yang cantik itu membalas perkataan Serra. "Mami tenang saja, dia tak akan berani berbuat macam-macam padaku. Apa Mami lupa? Aku kan guru karate, dia pasti habis duluan di tanganku." Serra tertawa mendengarnya, berbeda dengan Chio yang meliriknya tak terima.

"Hei ... nanti malam kamu tak bisa berbuat apa-apa, lihat saja!" Seru Chio merajuk.

"Sudah-sudah, kalian samperin Ayah kalian yah, Mami harus mencari adik perempuan kalian. Sejak tadi dia belum datang, padahal abangnya yang menikah. Oh astaga, punya anak perempuan satu kelakuannya melebihi anak laki-laki!" Serra berbalik, ia mencoba menghubungi anak gadisnya yang sejak tadi belum menampakkan batang hidungnya.

"Coba kamu telepon Chia, dia kemana?" Bisik Varsha pada suaminya.

"Hais, anak itu lebih mengutamakan balap motornya. Lihat saja, sebentar lagi dia akan muncul dengan suara cemprengnya." Balas Chio.

"ABANGKU TERSAYAANG, ADIKMU INI SUDAH DATAAAANG!"

Pandangan semua orang beralih menatap seorang gadis yang memakai pakaian serba hitam tanpa gaun seperti yang lainnya. Hanya celana panjang dan juga jaket hitam yang biasa pemotor kenakan. Rambut panjangnya ia biarkan terurai, permen lolipop masih stay di dalam mulutnya.

Dean yang sedang mengobrol bersama pria lain terkejut melihat gadis kecilnya datang ke acara pesta spesial putranya dengan berpakaian ala kadarnya. Ia langsung berlari menghampirinya, begitu pun dengan Serra yang langsung mel0t0tinya.

"Apa-apaan ini chiaaa! Ini pesta abangmu, sudah datang telat malah pakaianmu ... kenapa celana robek ini kamu pakaaaai!" Kepala Serra rasanya ingin pecah melihat penampilan putrinya yang sudah seperti preman pasar.

"Astaga Mi, aku mana sempat berganti pakaian. Mami harus lihat aku bawa apa. Taraaa! Seratus juta, aku memenangkan nya pagi ini!" Chiara menunjukkan cek senilai seratus juta. Hal itu tak membuat Serra bahagia, ia langsung menarik tangan putrinya pergi karena keduanya jadi tontonan para tamu.

"Aduh apaan sih Mii, aku belum ucapin selamat ke abang." Chiara akan beranjak pergi, tapi Serra menahan lengannya dan menatapnya dengan tajam.

"Kapan kamu gak maluin Mami Chiara? Kapan kamu nurut sama Mami?! Mami gak suka kamu balapan, Mami gak suka Chiaa! Kamu itu anak perempuan, kenapa kelakuan kamu kayak anak laki-laki sih?!" Omel Serra, ia sungguh kesal dengan kelakuan putrinya.

"Mi, ini hobiku. Apa salahnya sih?"

"Mami tahu ini hobi kamu tapi setidaknya kamu tahu waktu! Ini pesta pernikahan abang kamu, acara sakral saja kamu tidak hadir! Grandpa sama Grandma pasti sangat kecewa kalau lihat kelakuan cucu perempuan satu-satunya ini! Mami kecewa sama kamu Chia! Kenapa sih kamu gak bisa buat Mami tenang sehariiii aja!"

"Sayang sudah, Chia kan baru pulang. Kasihan dia lelah, minta dia ganti pakaian dulu." Dean menghalangi istrinya yang akan kembali memarahi putri mereka yang sudah terlihat sedih. Namun, hal itu justru menambah kekesalan Serra.

"Kamu lihat! Kamu selalu manjain dia! Sehingga dia gak tahu waktu, gak tahu tempat dan gak pernah perduli akan apa yang keluarga kita dapatkan! Aku mendidik dia agar menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Tapi kamu malah memanjakan dan ini lah hasilnya!"

"Iya tapi ...,"

"Mami, Chia minta maaf belum bisa jadi anak yang baik buat Mami. Tapi, uang hasil balapan ini mau Chiara gunain buat hadiah pernikahan abang. Maaf, Chia janji gak akan balapan lagi setelah ini." Dia tak mau kedua orang tuanya berdebat karenanya.

Serra dan Dean menatap wajah penyesalan Chiara, lalu tatapan keduanya beralih pada cek yang masih Chiara pegang. Perasaan Serra melunak, ia mencoba mengatur emosinya.

Serra selalu mendidik putrinya menjadi anak perempuan yang mandiri dan punya rasa tanggung jawab. Berbeda dengan Dean yang justru sangat memanjakan putri mereka karena dia lah anak perempuan satu-satunya.

"Kamu janji gak akan balapan lagi? Mami gak mau kecewa lagi Chiara, kamu anak perempuan dan berlaku lah seperti anak perempuan pada umumnya." Serra meraih kedua tangan Chiara dan menggenggamnya dengan lembut. Ia menatap lekat kedua mata putrinya yang menyorot penuh penyesalan.

"Janji Mami,"

Serra menarik putrinya dalam pelukannya, ia mengelus lembut punggungnya. Dean yang melihat itu tersenyum. Istrinya memang mendidik anak mereka dengan tegas, tapi wanita itu juga punya sisi kelembutan.

"Yasudah, ayo ikut Mami. Kita ganti bajumu dengan gaun yang Mami bawa. Anak perempuan kok pakai celana robek begitu, sudah ayo." Serra membawa Chiara pergi berganti pakaian, meninggalkan Dean yang tersenyum menatap kepergian keduanya.

"Pi!"

Dean tersentak kaget, ia berbalik menatap anak berusia sepuluh tahun yang sedang meminum susu kotaknya. "Daffin, mana Bang Kaisar?"

"Tuh, lagi tebar pesona." Unjuk Daffin pada seorang pemuda yang tengah menyapa para gadis cantik yang hadir. Dean menggelengkan kepalanya, ia merangkul anak bungsunya untuk pergi dari sana.

"Dean?!"

Dean berbalik, menatap pria berkaca mata yang sudah lama tak pernah dirinya lihat. Senyuman Dean mengembang, begitu juga dengan pria itu. Keduanya pun saling berpelukan ala pria dan menepuk bahu mereka.

"Astaga, sudah lama kita tidak bertemu, berapa tahun yah?"

"Sangat lama sekali, aku sampai lupa! Astaga Eric, kamu masih terlihat jeleek saja."

"Aah, kau ini!" Adik kakak itu saling merangkul, sudah lama Dean juga tak pernah bertemu dengan adik tirinya itu.

"Oh ya, mana Rajendra?" Tanya Dean saat tak menemukan keberadaan keponakannya.

"Ada, bentar lagi datang. Dia datang bersama calon menantuku,"

"Oh ya?! Calon?!" Kaget Dean.

"Iya, nah itu mereka!"

______

Hai Hai Haaaai dari tadi pagi udah pada nagih yah😆

Disini gak ada bocil, kalau mau bocil ke sini aja okeee

Pertemuan kembali yang mengecewakan

Chiara menatap malas pantulan dirinya di cermin, raut wajahnya sudah terlihat tidak mengenakkan sekali. Serra memakaikannya gaun berwarna ungu soft dengan kalung berwarna senada. Sungguh, Chiara paling tak suka warna itu apalagi dengan aksesoris anting dan perhiasan lainnya.

"Kamu tuh perempuan, di belikan baju bagus, perhiasan mahal, malah pakaiannya kayak anak gak punya rumah. Heran Mami sama kamu, kenapa sih susah banget buat jadi perempuan seutuhnya." Greget Serra sembari memasangkan cincin di jari jemari putrinya.

"Mami kira selama ini aku perempuan jadi-jadian huh?" Desis Chiara.

"Ya bukan, maksudnya coba deh kamu jadi selayaknya perempuan. Cari tahu perempuan tuh harus bagaimana, dari segi penamilan dan tingkah. Jangan kayak preman pasar, Mami berasa punya anak laki-laki semua." Chiara hanya menahan nafas mendapat omelan dari Serra yang tak ada habisnya.

"Sudah, ayo kita pergi. Keluarga kakak iparmu pasti sudah menunggu, kita terlalu lama disini." Serra mengenggam tangan putrinya dan mengajaknya pergi. Namun, Chiara justru menghentikan langkahnya dan menatap dua buah foto yang terdapat di ranjang kamar hotelnya.

Serra mengerti, ia melepaskan tangan Chiara dan membiarkan putrinya itu menghampiri foto tersebut.

"GrandMa, GrandPa, kalian pasti bahagia melihat cucu kesayangan kalian menikah dengan wanita yang ia cintai bukan? Kalian bilang waktu itu, kalian ingin menemani Chia di atas altar. Tapi kenapa, kalian pergi lebih dulu bahkan sebelum abang menikah?"

"Chia ...." Serra mengelus punggung putrinya lembut.

Lima tahun lalu Nicholas dan Nessa, orang tua dari Dean itu berpulang. Jarak keduanya meninggalkan dunia ini tak sampai sehari. Nessa pergi lebih dulu, berselang sejam kemudian Nicholas menghembuskan nafas terakhirnya sambil memeluk Nessa. Kepergian keduanya, menyisakan duka terdalam bagi keluarga Arkatama.

"Ayo, kamu sudah terlambat." Serra tak ingin putrinya kembali bersedih, ia mengajak gadis itu pergi bersamanya menuju aula acara.

Dean tengah mengobrol bersama Eric, keduanya saling berbincang di selingi dengan canda tawa. Daffi mengabaikan obrolan keduanya, ia sibuk memakan dessert yang tersaji. Padahal anak itu saat kecil sulit sekali makan, tapi sekarang berbeda.

"Aku masih tak menyangka Rajendra sudah membawa calon menantu untukmu. Semoga lancar sampai pernikahan yah." Ucap Dean sembari menatap seorang pria muda dengan balutan kemeja hitamnya. Pria itu hanya tersenyum tipis, begitu juga gadis cantik di sampingnya yang memakai gaun hitam senada dengannya.

"Dimana keponakan cantikku? Sudah lama aku tak melihatnya, astaga ... apa dia masih nakal?" Tanya Eric antusias.

Dean tersenyum, "Ya biasa, dia masih menikmati masa muda. Umur nya juga baru dua puluh satu tahun, aku masih membebaskannya dan yah ... itu putriku, Chiara Arkatama."

Rajendra mengikuti arah pandang Dean yang tertuju pada seorang gadis bergaun ungu yang tengah cemberut kesal sembari memegang kedua sisi gaunnya. Melihat hal itu, pandangan Rajendra terkunci padanya. Ia seolah mengabaikan bising sekitar dan terfokus hanya pada gadis itu.

"Astagaaa, Taraaa!" Serra berteriak antusias kala melihat wanita seumurannya yang sudah lama tidak dirinya lihat. Kedua wanita itu saling berpelukan bahagia sambil bergerak ke kanan dan ke kiri.

"Apa kabar? Kenapa kamu makin kurus aja sih?"

Tara, istri dari Eric itu tersenyum sembari mengelus lengan Serra yang memegang pinggangnya. "Yah, nafsu makanku sedang tidak baik. Dimana Jenia? Dari tadi aku tak melihatnya,"

"Dia ada, lagi ngurus anak bungsunya. Biasa, lagi aktif-aktifnya." Jawab Serra.

Tara merubah raut wajahnya, senyumannya terkesan terpaksa. Dia dan Eric sempat berpisah, kemudian kembali rujuk sepuluh tahun yang lalu. Sampai saat ini, dirinya masih belum memberi suaminya keturunan. Rajendra memang anak angkatnya dan Eric, tapi keduanya begitu menyayangi pria itu.

"Ayo makan dulu, kamu harus makan banyak disini, kita samperin Jenia juga." Serra merangkul Tara dan membawanya pergi menuju Jenia. Ketiga sahabat itu berkumpul, menghiraukan seorang gadis yang tengah menggerutu kesal.

"Kaaan ... Kaaan! Kalau udah kumpul anak gadisnya di tinggal! Astaga, tahu gitu aku kembali ke Mansion saja. Aku tak betah berkumpul dengan gaun badut ini!" Gerutu gadis manis itu sambil menghentakkan kakinya kesal. Tanpa ia sadari, Rajendra tertawa kecil melihat tingkahnya. Ekspresi Rajendra, tak lepas dari pandangan aneh gadis di sebelahnya.

"Chiara, kemari!"

Chiara menoleh, menatap Dean yang tengah memanggilnya. Gadis itu tersenyum, menghampiri sang papi yang tengah menunggunya. Dean merangkul lembut bahunya sehingga pandangan Chiara langsung bersitatap dengan mata elang pria yang tidak pernah lagi ingin dia temui.

"Aku mau ke abang lah Pi,"

"Eh, sini dulu! Kamu gak kangen sama Om Eric?" Dean menarik putrinya yang akan pergi. Ada apa dengan gadis kecilnya? Tadi tersenyum lebar tiba-tiba memasang raut wajah jutek seolah tengah menahan kesal.

"Chiara?!" Eric membulatkan matanya, ia sedikit kaget melihat perubahan Chiara.

"Halo Om, ubannya makin banyak yah." Ucap Chiara dengan tatapan polosnya, hal itu membuat Dean dan Eric tertawa di buatnya.

"Papimu lebih banyak dari Om, dia saja yang suka mewarnai rambut. Kamu juga, banyak berubah. Dulu gendut, sekarang sudah jadi gadis cantik. Apa kamu tertekan terus mendapat omelan mami mu?" Ucap Eric yang mana membuat Chiara tersenyum malu.

Memang saat remaja tubuhnya sedikit gemuk, tapi sekarang ia sudah bisa menjaga pola makannya walau setiap kali banyak pikirannya ia selalu makan banyak. Adik dari Papinya itu memang paling mengerti soal dirinya yang selalu kena omelan dari sang kanjeng ratu.

"Chia, masih ingat Abang Rajendra?"

Pertanyaan Eric membuat Chiara menatap sekilas ke atah pria tampan di hadapannya sebelum mengalihkan pandangannya. "Masih," ucap Chiara malas.

"Kalau masih kenapa tidak menyapanya? Dulu kalian sangat dekat, bahkan sulit di pisahkan. Lihat, sekarang Abang Rajendramu kembali dengan membawa calon istri hahaha ... calon kakak iparmu!"

Raut wajah Chiara berubah melemah, ia mengangkat pandangannya dan menatap ke arah Rajendra dengan tatapan pias. Eric tak menangkap tatapan keponakannya, ia hanya menepuk bangga bahu putranya tanpa tahu apa yang pernah terjadi antara keduanya.

Rajendra masih menatap lekat wajah Chiara, ia menangkap rasa sedih dari wajah gadis itu. Apalagi, saat Chiara beralih menatap gadis di sebelahnya yang tengah menggandeng lengannya.

"Berlina, kenalkan ... ini keponakan Om, sepupunya Rajendra dan Chiara, ini Berlina calon Kakak iparmu." Eric memperkenalkan keduanya, rasa canggung menyelimuti suasana di sekitar saat ini.

"Berlina," gadis bernama Berlina itu mengulurkan tangannya dengan senyuman manis di bibirnya.

Chiara menatap sejenak tangan Berlina, sebelum menatap wajah gadis di hadapannya saat ini. Pantas saja Rajendra akan menikah dengannya, karena Berlina sungguh cantik dan anggun. Tak seperti dirinya yang berantakan, tak ada anggunnya sama sekali. Sangat cocok dengan selera Rajendra yang suka kesempurnaan.

Chiara menyambut uluran tangan Berlina dengan senyum memaksa, "Chiara, senang berkenalan denganmu kakak ipar." Ucapnya sembari melirik tajam pada Rajendra yang saat ini memandang penuh ke arahnya.

"Pi, aku cari abang dulu." Chiara beranjak pergi, ia tak mau berlama-lama melihat hal yang membuat hatinya semakin sakit.

"Sepertinya Chiara masih malu, sudah lama kan tak bertemu Rajendra." Gumam Dean sambil menatap kepergian putrinya.

"Pa, Om, aku ke toilet sebentar." Rajendra menepis tangan Berlina dari lengannya, ia lalu pergi dari sana. Meninggalkan Berlina yang menatap kepergiannya dengan tatapan yang sulit di artikan.

_____

Hari ini double dulu yah, aku mau ngejar 80 bab di sebelah. Besok baru kita triple😆

Mantan

Chiara sungguh tak betah bergabung bersama yang lain, ia memilih menjauh. Sepertinya, balkon lebih baik. Ia berjalan dengan mengangkat kedua sisi gaunnya agar lebih mudah berjalan. Namun tiba-tiba seseorang menariknya masuk ke dalam sebuah ruangan.

"Kamu ...." Chiara menahan nafasnya kala Rajendra membekap mulutnya, keduanya sama-sama melirik pelayan yang baru saja melewati ruangan dimana keduanya berada. Setelah di pastikan aman, Rajendra baru menarik tangannya dari mulut Chiara.

"Iiiih apaan sih! Geser!" Chiara akan melepaskan diri dari kurungan Rajendra, tapi pria itu justru malah semakin mengurungnya. Tatapan Chiara berubah datar, ia menatap Rajendra yang saat ini menatap lekat ke arahnya.

"Kenala menghindar?" Tanya Rajendra dengan alis yang terangkat satu.

"Siapa yang menghindar? Tidak ada. Bukankah, seperti ini hubungan sepupu itu? Jarak jauh!" Chiara mencoba mendorong Rajendra, tapi pria itu semakin mendekatkan tubuh mereka.

"Nanti ada yang lihat!" Desis Chiara takut, ia melirik pintu yang masih terbuka dan Rajendra tak mencoba menutupnya.

"Biarkan, memangnya kenapa?"

Chiara membuang wajahnya saat Rajendra mencoba mengelusnya. Tatapannya terlihat kesal, kedua tangannya terkepal kuat. Seenaknya Rajendra mendekatinya di saat pria itu sudah memiliki calon istri. Chiara sungguh muak dengan tingkah Rajendra yang sangat sulit di tebak.

"Bagaimana jika orang tua kita tahu kita pernah memiliki hubungan?"

Tatapan Chiara berubah, ia kembali melihat Rajendra yang saat ini menyeringai dalam.

"Jangan sampai mereka tahu, ingat ... hubungan kita sudah berakhir! Sekarang, kamu sudah di miliki orang lain!" Dessi Chiara yakin. Tapi hal itu, justru membuat Rajendra merasa tertantang.

"Hubungan rahasia kita, masih bisa berlanjut bukan, Chiara?"

Chiara tertawa sinis, ia bersedekap d4da sembari menatap ke arah lain. Rajendra masih menunggu apa yang akan Chiara katakan. Hubungan spesial keduanya, tak ada yang mengetahuinya sampai detik ini.

"Bang, bukankah kanu sendiri yang menghancurkannya? Gadis tadi, gadis yang sama saat aku melihatmu berpelukan dengannya. Sudahlah, anggap saja kita tak pernah dekat apalagi sampai memiliki perasaan." Chiara menatap penuh kedua mata Rajendra yang menatapnya dengan tatapan tajam.

Merasa tak ada lagi yang di obrolkan, Chiara berniat akan pergi, tetapi tiba-tiba Rajendra menarik tangannya dan menahannya kembali, "Tapi aku masih dapat melihat jika kamu masih mencintaiku, benar kan?"

Chiara menarik tangannya, satu sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah seringaian. "Pede sekali. Pernah dengar ruang hati? Yah, ruang hatiku ada banyak! Abang itu di ruang hati paling belakang, ruang hati terbengkalai. Hais ... sifat playboy abang ini gak pernah hilang yah. Sudah punya calon istri, tapi masih mencoba mendekati mantan. Aku lagi nunggu duda kaya raya, bukan tunangan orang! Paham?"

Chiara berlalu pergi, meninggalkan Rajendra yang merasakan kekesalan dalam hatinya. Entah mengapa, ia tak terima Chiara mengatakan hal tadi. Ia tidak terima Chiara melupakan cinta untuknya. Rajendra pun kembali mengejar Chiara, tapi langkahnya terpaksa harus berhenti kala melihat Chiara sedang berbincang hangat dengan pria lain.

"Siapa dia? Apa ... dia kekasih Chiara?" Batin Rajendra dengan kedua tangan terkepal kuat.

"Rajendra, kamu disini ternyata." Berlina datang menghampirinya dan merangkul lengannya. Rajendra sedikit tersentak kaget, ia langsung merubah raut wajahnya.

"Aah iya, aku kesulitan mencari toilet." Balas Rajendra, sembari matanya sesekali masih melirik ke arah Chiara dan juga pria yang dirinya tidak ketahui.

"Toilet ada di sana, kenapa kamu malah kesini. Ayo, aku antar. Takutnya nyasar lagi." Berlina membawa Rajendra, sedikit paksa sebenarnya karena tubuh Rajendra seolah menolak di ajak olehnya.

Chiara menangkap kepergian Rajendra bersama Berlina, raut wajahnya terlihat sendu menatap kepergian keduanya. Ia melihat bagaimana Berlina menggandeng mesra lengan Rajendra. Tak seharusnya ia merasa cemburu bukan?

.

.

.

Chiara melamun di taman belakang rumahnya, sambil dirinya duduk santai di kusi taman dengan pandangan ke arah langit malam yang di hiasi banyak bintang. Dirinya kembali teringat akan kejadian di pesta tadi.

"Sedang apa?"

Chiara tersentak kaget melihat keberadaan Dean yang membawa dua gelas coklat panas di tangannya.

"Tidak ada, Papi mengejutkanku." Ucap Chiara singkat dan kembali menatap langit malam.

Dean menggelengkan kepalanya, ia duduk di samping putrinya dan menyodorkan segelas coklat panas. Chiara menerimanya, ia menyesapnya sedikit demi sedikit. Coklat panas ternyata berguna sekali untuk menghangatkan tubuhnya yang terasa dingin saat ini.

"Sedih abang menikah?" Tanya Dean yang berpikir jika Chiara merasa kesepian.

"Bukan, aku hanya bosan saja." Balas Chiara dengan nada suara yang lirih.

"Haaaah ...." Dean menghela nafas pelan, ia bersandar dan menaikkan satu kakinya ke atas pahanya.

"Papi tahu kamu Chia, pasti ada yang sedang kamu pikirkan. Kamu bisa ceritakan dengan papi hm?"

Chiara melirik sekilas Dean, sebelum ia memutuskan menyandarkan kepalanya pada bahu pria itu. Kasih sayang yang Dean dan Serra berikan sama sekali tidaklah kurang. Dean selalu memanjakannya, padahal saat bersekolah dulu Dean selalu mendapat surat panggilan kenakalannya. Namun, pria itu tak pernah memarahinya sama sekali dan hanya menegurnya dengan lembut.

"Pi, apa aku boleh pacaran?" Tanya Chiara sembari melirik ekspresi Dean saat ini.

"Kamu sedang mencintai seorang pria?" Balas Dean santai.

Chiara menggeleng, "Tanya saja,"

Dean kembali menatap ke depan, ia mengusap lembut rambut panjang putrinya yang sangat dia jaga. "Bukan Papi membatasi masa mudamu ... tidak sama sekali. Pacaran, hanya menimbulkan hal negatif. Saat umurmu sudah cukup nanti, baru kamu bisa mencari sosok pria yang kamu rasa cocok untukmu. Seperti Rajendra, sepupumu itu tinggal beberapa tahun di LA dan kembali dengan calon istri."

Chiara cemberut kesal di buatnya, ia menarik kepalanya dari d4da Dean. Lagi-lagi, pria itu yang papi nya bahas. Apalagi, pembahasannya tentang pertunangannya Rajendra.

"Kenapa lagi?" Heran Dean.

Chiara menggeleng, ia tiba-tiba teringat sesuatu. "Kalau ... aku pacaran, dan papi tahu ... apa yang akan papi lakukan?"

Dean menegakkan tubuhnya sebelum menjawab pertanyaan putrinya. Matanya lalu menatap lekat kedua manik mata yang sangat persis seperti miliknya.

"Papi akan sangat kecewa padamu,"

"Kenapa?" Tanya Chiara dengan nada suara yang sedikit pelan.

"Papi sudah memberimu kepercayaan, lalu kamu menghancurkannya. Menurutmu, apa Papi akan bahagia dengan itu? Chia, selama ini apa yang kamu lakukan, Papi maklumi. Tapi satu hal yang perlu kamu ingat, papi paling benci pengkhianatan. Papi benci dengan orang yang di beri kepercayaan dia mengingkarinya. Papi percaya, kamu bisa menjaga kepercayaan papi baik-baik."

Degh!

Raut wajah Chiara mendadak berubah, kedua tangannya saling menggenggam untuk menetralkan degup jantungnya karena rasa takut. Selama ini Dean tak pernah mempermasalahkan soal kenakalannya, tapi soal kepercayaan, tak ada toleransi untuk itu.

"Sudah malam, Papi masuk duluan. Jangan terlalu lama di luar, nanti kamu bisa sakit, Heum?" Dean sempat meng3cup kening putrinya sebelum masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Chiara yang langsung bersandar lemas setelah kepergiannya.

"Bagaimana ini ... jika Papi tahu aku dan Bang Rajendra pernah berpacaran, dia pasti akan marah besar dan akan menggantung bang Sajen di atas pohon jambu." Lirih Chiara dengan tatapan pias.

________

Hayoo kemana Bang Rajen arahnya, ke yang pertama atau yang kedua😆 semoga nda jadi waaalid yang bang Rajen😆

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!