NovelToon NovelToon

Pria Gila Itu Milikku

Shella Gallo

Aku Shella Gallo, gadis yang baru saja duduk di bangku sekolah Menengah Atas. Aku memiliki seorang saudari yang bernama Maurice, wajah nya begitu cantik dengan rambut lurus alami berwarna kuning keemasan persis sama seperti ku.

Namun hanya rambut saja yang memiliki kemiripan, selebihnya sangatlah berbeda jauh dan aku sangat mensyukuri itu didalam hatiku.

Wajah kakakku merupakan perpaduan sempurna dari wajah Ayah dan Ibuku, sedangkan wajah ku sendiri, kalau kata Ayahku adalah hasil jiplakan dari ibuku sendiri.

Aku sempat mensyukuri ketidak mirip-anku pada kakakku dari segi wajah, namun tidak semudah itu. Aku kembali membenci wajahku yang begitu mirip dengan ibu yang sama sekali tidak menyukai kehadiranku.

Ibuku bernama Anna merupakan wanita karir yang mampu mendaki kepuncak tinggi hingga departemen Kementerian Luar Negeri.

Sungguh keluarga yang dilimpahi materi, namun tidak dengan kasih sayang. Kemewahan selalu mengikuti kemanapun aku dan saudariku melangkah.

Tak cukup hanya dengan ibuku yang memiliki pekerjaan impian, pekerjaan Ayahku juga tak kalah membanggakan. Beliau yang merupakan seseorang yang bekerja di sebuah agen keamanan negara, semakin membuat derajat sekaligus keangkuhan saudariku melambung tinggi.

Pekerjaan Ayahku membuatnya tidak bisa menetap setiap hari dirumah mewah kami. Dan kenyataan itu secara perlahan-lahan membentuk sebuah lubang kecil didalam hatiku.

Lalu bagaimana dengan ibu, pekerjaanya tidak selalu menuntutnya untuk datang setiap hari kekantor.

Ibuku dapat melakukan pekerjaanya dari rumah, juga jarak antara kantor dan rumah kami tidaklah jauh.

Namun kehadiran ibuku dirumah setiap harinya malah membuat hatiku sedikit tercabik. Sejak aku tumbuh menjadi gadis yang telah mengerti akan dunia ini, aku telah menerima banyak penolakan dari ibuku dan kebencian dari saudariku, Maurice.

"... kau merebut kasih sayang ibuku, karenamu, ibu tidak punya waktu bermain denganku,,! "

Kata saudariku saat aku baru menginjak di usia lima tahun. Aku masih ingat dengan jelas jari telunjuk nya menunjuk-nunjuk tepat dibahuku hingga dorongan yang tak sedikit membuatku terjatuh.

Kala itu usia nya telah menginjak lima belas tahun, usia dimana masa keemasan seorang remaja sedang bersinar.

Ia telah memiliki segalanya termasuk orang tua yang memiliki pekerjaan yang sangat membanggakan. Hingga kabar hadirnya aku didalam perut ibuku membuat dunia nya seakan berubah seratus delapan puluh derajat.

Kehadiranku yang semakin hari semakin mengusik ketenangannya, membuatnya berubah menjadi penyihir cantik yang menyembunyikan tanduknya dengan rapi.

***

Hah,,,

aku menghela nafasku mengingat semua kenangan pahit itu.

Saat ini kondisiku sangat berbeda jauh dari semua cerita ku diatas. Tidak ada lagi kemewahan, apalagi sendok perak yang dahulu selalu mengikuti ku.

Perlahan aku membereskan buku-buku yang tersusun tidak rapi disudut kamarku yang kecil. Hari ini aku dan Ayahku baru saja melakukan pindahan setelah berkali-kali kami telah melakukannya.

Sekolah,? apa-apaan sekolah. Aku bahkan tidak menginginkannya lagi, desah ku pelan.

Aku menggerakkan otot leherku yang terasa kaku, mungkin karena emosiku sering tidak stabil akhir-akhir ini.

Begitu banyak masalah yang datang bertubi-tubi, dan aku harus menghadapinya seorang diri.

Setelah kematian ibuku tiga tahun yang lalu, aku dan Ayah telah hidup secara berpindah-pindah hingga tiga kali banyaknya.

Aku berharap semoga ini kali terakhir kami hidup bagai berkemah, tidak ada pendirian pasti dan tidak ada teman.

Masa yang kulalui di waktu Sekolah Menengah Pertama adalah masa semuanya terasa abu-abu. Semua terasa seperti tidak ada kehidupan sama sekali.

Kala itu, aku dan Ayah yang hanya tinggal berdua memutuskan untuk menyewa sebuah hunian kecil disudut kota, yang orang-orang sebut adalah kos-kosan bagi para mahasiswa.

Sedangkan saudariku yang masih menolak sadar akan kenyataan masih bertahan didunia fantasi yang ia ciptakan dan kembangkan sendiri sehingga mengorbankan waktu dan tenaga Ayahku.

Saudariku Maurice berkuliah di Universitas bergengsi di kota kelahiranku. Ia yang awalnya selalu dilimpahi kemewahan oleh mendiang ibuku, merasa sangat sulit untuk beradaptasi dengan keadaan sulit kami saat itu.

Sehingga Ayah tidak punya pilihan selain menuruti kemauan saudariku, tentu saja aku tidak dapat melakukan apapun untuk menyadarkan saudariku.

Melihat wajahku saja bisa membuat nya mengeluarkan tanduk iblisnya.

"... sejak awal, kehadiranmu membuatku dan ibu kewalahan, dan sekarang kau bahkan menyebabkan ibu pergi untuk selamanya. "

Sakit,? tentu saja sangat sakit.

Bahkan saking sakitnya, dadaku bahkan mati rasa ketika melihatnya dihadapanku.

Sakit yang kuterima dari kakaku saja sudah sesakit ini, lalu bagaimana sakit yang kuterima dari ibuku sendiri.?

Kematian ibuku tiga tahun lalu menjadi titik balik bagi keluargaku. Bukan hanya kepedihan mendalam yang harus dirasakan Ayah dan saudariku.

Aku juga kehilangan pendengaran ku detik itu juga.

***

Hah,,,

Kembali aku menghela nafas yang kali ini lumayan panjang. Aku bahkan kesulitan bernafas kala mengingat semua kejadian itu.

Aku sejenak menelungkupkan kepalaku kedalam lututku, mengambil nafas yang panjang untuk meredakan rasa sesak yang membutuhkan dadaku.

Namun bukan ketenangan yang kudapat, kesedihan itu malah datang menghampiri, mengembalikan semua kenangan demi kenangan pahit yang tak ingin ku ingat lagi.

Aku menangis keras, namun aku merasa nyaman mengeluarkan suara ku yang tidak berisik ditelingaku.

Aku mengeluarkan semuanya yang telah ku pendam selama tiga tahun selalu kusimpan rapat sendirian.

Aku tidak peduli sedang dimana aku, karena telah terbiasa hidup sendirian. Kadang ditemani Ayah jika sedang off kerja.

Hingga sebuah tangan menyentuh pundakku, lalu ku hentikan tangisku. Aku yakin mataku pasti telah memerah hebat karena hidungku telah sesak karena dipenuhi cairan kesedihan itu.

Ada apa,?

Kulihat gerakan bibir Ayahku menanyakan ada apa. Dan aku hanya menggeleng sambil cemberut.

Kupikir aku sedang sendirian, kupikir Ayah sedang bekerja. Aku melakukan kebiasaanku saat Ayah tidak ada.

Aku tidak mendengar Ayah datang,, ucapku dengan suara yang agak aneh akibat dari tangisanku.

Bagaimana mungkin kamu dengar Shell, kamu terlalu asyik dengan duniamu sendiri,.

Aku tahu Ayah mengatakan itu secara halus karena tidak ingin menyakiti perasaanku. Aku yang kehilangan pendengaran ku tentu saja tidak dapat mendengar tanda-tanda kehadiran Ayahku.

Aku benar-benar lupa akan keadaan ku sejak tadi. Entah mengapa ingatan-ingatan itu tiba-tiba saja muncul memenuhi kepalaku.

Membuatku kelepasan menunjukkan diriku yang lain dari yang selama ini kutunjukkan pada Ayahku.

Ayah tahu kamu sedang mengingat kejadian menyedihkan itu. Bukankah ini hari ulang tahunmu sekaligus peringatan kematian ibumu,.

Kata Ayah.

Ayah, aku pergi dulu, kataku memotong pembicaraan Ayah.

Aku keluar bukan benar-benar karena ingin, aku hanya tidak ingin terlibat pembicaraan dengan Ayah jika menyangkut masa kelam itu.

Didepan sana, tepat dipersimpangan gang ada sebuah minimarket. Jaraknya lumayan jauh namun tidak terlalu melelahkan jika ditempuh dengan berjalan kaki.

Aku menuruni tangga menuju lantai satu, tempat usaha sampingan Ayahku yaitu kedai malam yang menyajikan minuman beralkohol disamping menu utama yaitu makanan cepat saji atau bahasa gaulnya junk food.

Setelah tiba di pintu keluar yang berbeda jalur dari kedai, aku menatap jalanan yang tidak terlalu lebar karena memang diperuntukkan untuk sebuah gang.

Rumah-rumah warga tersusun rapi, berdiri berdampingan. Mataku terus memandang dari ujung jalan ke ujung yang satu nya lagi.

Hingga mataku tertuju pada satu rumah mewah diujung jalan. Rumah yang mengingatkanku pada rumah kami dahulu.

.

.

Next...

Pergi

Rumah sejuta kenangan yang menyimpan banyak sekali memori indah sekaligus pedih. Tak ingin aku berlama-lama larut dalam kesedihan itu, sesegera mungkin aku mengalihkan kembali perhatianku pada jalanan yang sepi ini.

Suasana yang asri masih mendominasi, membuatku merasa nyaman ditempat ini. Jika dibandingkan dengan yang sebelum-sebelumnya, lokasi ini jauh lebih baik.

Seperti biasa, aku nyaman dengan suasana senyap. Hingga sebuah tangan menyambar tubuhku membuat kepalaku menabrak pada sesosok tubuh lain.

Aaaw,,,

Mataku memicing hendak menyalahkan siapapun yang telah kurang ajar padaku. Namun tidak jadi, sebab pria tinggi itu telah lebih dulu membulatkan matanya marah.

Kau mau mati,,?

Aku baru tersadar setelah melihat sebuah motor pengantar pesanan melaju kencang, seolah ini jalan nenek moyangnya saja, pikirku.

Maaf, ucapku merasa tidak enak.

Pria itu tidak menjawab, ia perlahan melepaskan pegangannya dari bahuku. Lalu berbalik pergi. Pandanganku tak bisa lepas darinya, jantung ku berdebar-debar dengan begitu kerasnya.

Entah ini karena rasa gugup akibat ditarik secara tiba-tiba, atau karena melihat kilat kemarahan diwajah pria itu?

Aku tidak tahu pasti, yang jelas aku masih setia memandanginya hingga pria itu masuk kedalam rumah mewah yang sempat mengalihkan perhatianku tadi.

Dia sangat pemarah sekali, bukankah ini kali pertama ia melihatku,? Mengapa sikapnya seolah-olah telah mengenal lama?

Aku bersungut-sungut melanjutkan langkahku setelah sosok pria itu tenggelam ditelan pagar rumahnya yang tinggi.

Entah dari mana ia muncul, tiba-tiba saja sudah ada dan marah-marah, pikirku lagi.

***

Beralih pada pria yang marah-marah pada Shella, ia Rangga. Pemuda matang yang masih terjebak pada cinta masa kecilnya, Sera.

Awalnya pria itu ingin keluar sejenak menenangkan pikirannya, namun perhatiannya tertuju pada seorang gadis yang berjalan sempoyongan seolah tak punya tulang.

Lagi-lagi, Sera mengajak nya bicara serius. Tentu Rangga sudah sangat tahu tujuan dari pembicaraan itu.

Sekalipun Ardian lebih memilih wanita lain, aku tetap tidak mau bersamamu. Jika kita bersama, luka diantara kita bertiga tidak akan sembuh. Semua hasrat ingin memiliki sekaligus rasa bersalah itu akan selalu menghantuiku. Lebih baik kita membuka lembaran baru, berikan hatimu kesempatan yang baru.

Rangga terdiam dibalik pagar rumahnya, suasana sore yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi muram.

Salahkah aku mencintaimu,? Bukan kah si brengsek itu telah mengalah dan memilih wanita lain? tanya Rangga dengan nada putus asa.

Aku yang tidak mencintaimu Ngga, jangan paksakan perasaanku. Dan juga aku merasa bersalah padanya. Aku mencintainya namun bermain dengan pria lain.

Rangga mengepalkan tangannya kuat-kuat mengingat kembali kalimat penolakan demi penolakan yang selalu Sera lontarkan membuat kepalanya berdengung.

***

Kembali pada ku yang telah selesai berdamai dengan suasana hatiku, aku kembali melanjutkan aktivitasku merapikan kamar yang masih berantakan.

Sembari membereskan semuanya, pandanganku beralih pada surat pendaftaran pada sebuah sekolah negeri.

aku kembali menghela nafas berat, berbagai pertanyaan berkecamuk didalam benakku.

Akankah aku diterima baik yang notabenenya sama sekali tidak bisa mendengar ini,?

Aku tahu Ayahku memiliki koneksi didalam sekolah sehingga aku dapat diterima, namun bukankah itu tidak akan membantuku didalam kelas nanti nya,?

Aaakkhh, aku sungguh pusing, tidak ingin memikirkan itu semuanya.

Aku lalu turun, mungkin dengan melihat Ayah dapat menghalau semua pikiran-pikiran nelangsa itu.

Sayang, kau sudah turun.

Ini, bantu Ayah mengantarkan ini pada tetangga kita. Rumah besar yang paling ujung....

Tanpa penolakan, Ayahku segera mendorong-dorong tubuhku yang telah memegang sebuah kotak yang bisa kutebak itu adalah makanan ramah tamah.

Tak ada yang bisa kulakukan selain menuruti Ayah. Walaupun kakiku rasanya berat melangkah, aku tetap harus mengantarnya melihat Ayah yang menggerak-gerakkan tangannya menyuruhku melanjutkan langkahku.

Ada apa dengan Ayah, dulu saja tidak seperti ini, sungut ku.

Aku telah tiba didepan pagar tinggi ini, perlahan namun ragu, aku memencet bel yang segera disambut oleh seorang bibi. Aku yakin itu adalah salah satu pekerjanya.

Halo nona, ah kau sudah datang. Mari silahkan masuk.

Kembali aku terheran, seolah beliau itu menyambut teman lama saja, pikirku.

Oh ya, kamu masukkan saja kedapur, jalan terus lalu belok kiri. Aku harus segera kebelakang, pekerjaanku tidak bisa ditinggal lama. Katanya.

Aku bahkan belum mengenalnya, bagaimana kalau aku orang jahat,? Aneh sekali.

Aku bertanya-tanya sambil berjalan mengikuti arahan yang diberikan bibi tadi.

Belum sempat aku menyelesaikan tujuanku, bahkan kotak makanan ini masih melekat didalam peganganku.

Tak sengaja saat melewati sebuah ruangan yang bisa kupastikan itu ruang tamu, aku melihat pria tadi, pria yang marah-marah padaku. Aku dapat melihat dengan jelas ekspresi yang ditunjukkan wajahnya.

Ada perasaan sedih dan frustasi, bercampur menjadi satu.

Mungkin kah ia sedang diputuskan,? aku dapat menebaknya dengan mudah.

Tentu saja, pria pemarah seperti itu layak diputuskan. Pikirku lagi. Sungguh otak ku tidak dapat diselamatkan.

Sayang sekali wajah wanita itu tidak terlihat karena membelakangiku. Namun dari caranya berpakaian dan tatanan rambutnya, aku bisa menebak jika ia adalah wanita elegan yang mempesona.

Aku melihat lagi pria itu mengusap wajahnya. Aku yakin sekali jika ia telah mengeluarkan air matanya. Diriku yang terbiasa memendam luka ini dapat mengerti bagaimana rasanya jadi pria itu.

Tak ingin berlama-lama menikmati aib orang lain, aku segera beranjak melanjutkan langkahku. Namun tiba-tiba saja tubuhku diterobos dan untung saja pertahanan kakiku kuat.

Kotak yang aku bawa tidak terjatuh walaupun tubuhku telah menabrak sebuah meja makan yang terletak didalam dapur.

Wajahku panik, dua sejoli itu ternyata telah berada ditempat yang sama denganku. Keduanya sibuk dengan urusan mereka yang mungkin sangatlah pelik. Kulihat wanita itu menyambar sebuah tas tangan yang tergeletak dimeja. Sepertinya ia hendak pergi.

Namun pria itu lagi-lagi menahannya, mungkin masih belum menemukan solusi.

Aku dapat menyaksikan semuanya dari jarak dekat, karena kaki ku enggan untuk menjauh. Sepertinya tontonan ini sedikit menghibur hatiku yang sempat gundah gulana.

Pandangan mataku sengaja ku fokuskan melihat bibir keduanya. Seolah tak ingin melewatkan satu pun kalimat penting.

Aku mengunjungi mu bukan untuk menjawab semua perasaanmu. Aku memutuskan untuk membuka kembali lembaran baru dihidupku. Tolong hargai keputusanku, hm?

Air mata wanita itu juga telah turun. Aku tidak yakin apakah permintaan itu benar-benar tulus atau tidak. Intinya ini semakin menarik.

Lalu kulihat pria itu menundukkan kepalanya.

Jika saja aku mendapatimu menikahi pria lain, aku tidak akan mau lagi mengenal yang namanya wanita. Akan kutunjukkan betapa gilanya aku.

Ia pergi. Aku terpaku. Namun pikiranku kembali.

Mereka tidak melihatku,? Aku bertanya-tanya.

Saat aku sibuk mempertanyakan diriku yang terlihat atau tidak, wanita itu menoleh padaku.

Cantik, kata pertama yang muncul dari bibirku. Sejak tadi aku tidak memperhatikan wajahnya, karena mataku hanya fokus pada bibirnya saja.

Kau pasti sudah sangat lelah menghadapinya kan,? Sama seperti ku. ucap wanita itu membuatku kembali kebingungan.

Aku menunjuk diriku.Otak ku seketika tidak berfungsi. Mungkinkah ada yang telah kulewatkan. Atau aku hanya bermimpi.?

Sudah tiga tahun aku berusaha membuka hatiku, namun tetap tidak bisa. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke negara asal ku. Tolong perhatikan dia ya. ucapnya.

Oh God..!

.

.

Next...

Kecelakaan

Kepalaku sedikit pusing melihat drama singkat yang terjadi dirumah mewah itu. Mengapa semua orang bersikap seolah-olah aku adalah orang terdekat mereka?

Masalahku sudah sangat banyak, dan aku harus ikut memikirkan masalah mereka? Oh tidak, aku tidak peduli.

Namun walaupun aku berkata tidak peduli, rasa penasaran dibenakku semakin tak terbendung. Apalagi melihat seorang wanita paruh baya di halaman belakang sedang duduk disebuah kursi roda.

Siapa lagi kah itu,? Pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan di kepalaku saat perjalanan pulang kerumah.

Lantas ku temui Ayah, untuk memperjelas semua rasa penasaran ku. Alangkah lebih baik jika aku mengenal baik lingkungan ini bukan,? Aku yakin ini adalah rumah terakhir kami. Sangat yakin.

Ayah, soal rumah mewah itu. Yang mana pemiliknya?. Tanyaku.

Ayah menghentikan aktivitas nya yang sedang membuat adonan demi untuk menjawab pertanyaan ku. Namun wajah cuek Ayah seketika mematahkan rasa penasaran ku.

Aku harus tahu untuk menyesuaikan diri dilingkungan ini, benar kan Ayah? tanya ku lagi dengan nada menuntut.

Hm, kau lihat ada wanita paruh baya sedang duduk di kursi roda? tanya Ayah.

Lihat, jawabku.

Dia bibi Anggie, nyonya besar di rumah itu. Ia memiliki seorang putra. Jika kau melihatnya sapa lah dengan sopan. jawab Ayah panjang lebar.

Mataku membola, pria menyedihkan itu,? Sungguh rumit percintaannya, pikirku.

Setelah rasa penasaran ku terbayar sudah, aku lalu kembali kekamar ku. Kamar baru, rumah baru dan suasana yang baru.

Aku berharap semoga ditempat yang baru ini, semua akan baik-baik saja. Segala permasalahan yang kami temui dimasa lalu semoga tidak lagi muncul.

Oh ya, ada satu hal yang membuat kami selalu hidup berpindah-pindah. Kecelakaan yang menyebabkan meninggalnya ibuku, hingga saat ini masih jadi misteri bagi keluargaku.

Sampai saat ini tidak ada polisi yang bisa mengungkap dalang dari kecelakaan tersebut. Entah mereka tidak ingin terlibat dalam kasus besar yang mungkin menyeret berbagai pihak, atau memang tidak benar-benar menyelidiknya. Aku tidak mengerti.

Ayah juga selalu menutupinya dariku, padahal sangat jelas di ingatanku jika ibu sempat memegang sebuah ponsel, namun pihak kepolisian menyatakan tidak ada barang bukti berupa ponsel.

Kenyataan bahwa aku juga tidak pernah diwawancarai setelah kecelakaan itu semakin memperkuat rasa curigaku.

Namun sekarang semua telah berlalu, aku hanya menilai jika inilah karma yang diterima ibuku karena telah mengabaikan ku selama ini dan melakukan perselingkuhan dibelakang Ayahku.

Rasa sakit hati yang begitu mendominasi membuatku tidak merasa kehilangan sama sekali, dan masih banyak rahasia yang sengaja tidak aku ungkapkan pada Ayah.

Aku hanya memendamnya sendirian, karena tidak ingin Ayah merasa sedih dan terpukul. Karena menurutku, hidup hanya berdua saja dengan sederhana sudah sangat cukup.

Walau kadang aku merasakan kesepian yang tiada berujung jika Ayah sedang bertugas dan tidak pulang selama berhari-hari.

Kini aku menyempatkan diriku berbaring sejenak, rasanya badanku sedikit berat mungkin karena sibuk sejak tadi pagi.

***

Waktu berlalu, aku terbangun dan menyadari jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

Aargh,

Aku merentang kan kedua tanganku, ku miringkan kepalaku kekiri dan dan kekanan. Sungguh kenyamanan yang telah lama aku dambakan.

Aku segera turun kebawah, karena kulihat kamar Ayah masih kosong. Mungkin Ayah masih sibuk dibawah, maklum karena Ayah masih sendirian dan belum memiliki pekerja.

Benar saja, kulihat telah banyak mangkok dan piring menumpuk di wastafel. Ini masih hari pertama Ayah membuka kedai nya, namun sudah banyak piring yang harus dibersihkan.

Dengan sedikit berat hati, aku mulai mengerjakan bagianku. Selama tiga tahun ini Ayah selalu menggeluti bisnis sampingannya ini. Dan aku direkrut menjadi pegawai paruh waktunya.

Saat sedang asyik mencuci piring-piring, dari kejauhan kulihat bibi pekerja dirumah mewah itu sedang membujuk-bujuk seseorang supaya segera pulang kerumah.

Aku sedikit tertawa, ini sedikit menghibur. Pekerjaanku, jadi tidak membosankan.

Tuan, pulanglah, ibu akan marah jika melihat tuan seperti ini.

Aku mempercepat pekerjaanku hingga selesai. Dan kudapati pria itu semakin menjadi. Kulihat Ayah tidak ditempat, namun bukan itu yang ingin kucari.

Melainkan pria mabuk yang masih sibuk dengan dunianya sendiri itu. Siapa lagi kalau bukan pria pemarah yang kutemui dipinggir jalan itu.

Aku bahkan tidak penasaran siapa namanya, rasa tidak suka ku semakin mendominasi hanya dengan melihat tingkahnya yang menyebalkan itu.

Aku kembali teringat pada bibi Anggie yang mungkin tidak bisa tidur karena memikirkan anak nya yang merepotkan ini.

Pergilah, aku tidak akan pulang. Katakan pada ibu.

Jawaban pria itu tentu saja tidak bisa kumengerti. Lalu tanpa ragu, ku hampiri ia yang masih nyaman dengan kegilaannya.

Paman,!!!

Dengan kuat ku gebrak meja dihadapannya, membuat bibi yang sedari tadi membujuknya begitu terkejut.

Namun pria matang ini tidak kunjung bergeming. Aku jadi kebingungan dibuatnya. Terpaksa harus putar otak.

Bibi, tinggalkan saja dia. Katakan pada nyonya jika paman tidur disini. Aku yakin bibi Anggie pasti mengerti. Usul ku.

Setelah keputusan ini dilakukan, bibi pekerja itu pun pergi. Tertinggal pria gila yang membuat kepalaku sedikit pusing.

Aku teringat kejadian tadi sore, lihatlah betapa lemahnya ia hanya karena cinta. Pikirku.

Sama sperti saudariku yang dimabuk asmara, segalanya ia berikan pada kekasihnya hanya karena jatuh cinta. Sungguh pembodohan menurutku.

Aku segera pergi hendak mencari Ayah, yang ternyata sedang berada di kamar kecil.

Biarkan saja dia, pamanmu itu sedang dilanda patah hati. Kata Ayah.

Aku mengedikkan bahuku, membayangkan setiap hari melihat pemandangan seperti itu membuatku merasa jengkel.

Aku segera naik, melanjutkan tidurku karena besok harus pergi kesekolah.

***

Pagi-pagi sekali, aku telah bangun dan bersiap-siap. Kulihat Ayah juga telah selesai dengan urusan dapurnya.

Ayah akan mengantarku kesekolah karena ini adalah hari pertama ajaran baru. Aku dapat melihat semangat baru yang diperlihatkan oleh Ayahku.

Sembari menyantap sarapan ku, aku melihat tempat semalam pria itu tertidur. Tidak ada lagi sosok pria itu.

Dia sudah sadar? tanya ku pada Ayah,

Sudah, pagi-pagi sekali dia pulang. jawab Ayah.

Itu lah sebabnya aku selalu mengatakan jangan jual minuman keras, ucapku pada Ayah.

Ayah hanya tersenyum, sambil memandang padaku.

Minuman itu yang menemani Ayah selama tiga tahun ini.

Jawaban itu membuatku menghembuskan nafasku kuat.

Semua orang memiliki kesulitannya masing-masing, termasuk Ayah yang masih sangat terpukul dan baru saja beranjak bangkit dari rasa sakitnya.

Melihat cerahnya matahari yang muncul sempurna, kukira pagi ini akan seindah matahari pagi.

Sebuah dering ponsel Ayahku mengalihkan perhatian kami. Aku harap-harap cemas, semoga itu bukan pekerjaan yang mengharuskan Ayah berpergian lagi.

Halo,,,

Baik. Saya segera kesana.

Aku masih diam menunggu Ayah. Sesungguhnya aku tidak berharap banyak jika Ayah akan selalu berada disisiku.

Kakakmu Maurice mendapati kecelakaan kecil.

Kulihat Ayah memperhatikan arlojinya, aku masih menunggu dengan tenang.

Lokasinya berlawanan, ayo, kita langsung berangkat saja.

Ayahku bergerak mengambil tasku, namun aku segera mencegahnya.

Biar aku sendiri saja Ayah, lagian aku sudah terbiasa. ucapku sambil meraih tas dari tangan Ayah.

Aku berlalu pergi tanpa menoleh kebelakang lagi.

Ini bukan kali pertama.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!