Pagi begitu cerah. Awan putih berjalan sesuai keinginan angin. Terik matahari yang memanas mulai meninggi, padahal hari masih pukul tujuh. Dari pagi sudah bergulat dengan tepung dan beberapa sayuran. Hari ini libur sekolah yaitu minggu, maka dari itu siap-siap untuk menyiapkan bekal kiriman untuk suami tercinta.
Namaku Mila Keyra Arunika, gadis cantik yang menjadi incaran disekolahan, namun banyak kutolak karena tidak ada yang cocok. Garis keturunan dari nenek moyang dari chinese, tentunya mata agak sipit, kulit putih dan mulus., rambut terurai memanjang dengan warna hitam lebat. Sejak kecil sudah diajari harus mandiri dan menjadi wanita kuat. Kalau masalah cengeng biasalah, sebab memang anak perempuan yang penuh kemanjaan.
Aku tidak pernah mengenal yang namanya arti cinta, namun diusia yang menginjak diangka tujuh belas tahun aku mulai belajar arti menyayangi atar lawan jenis yang sesungguhnya itu bagaimana, dan itupun belajar dari seseorang yang kini sudah menjadi suami sahku. Walau dibilang ini masih zaman Siti Nurbaya ngak jadi masalah, yang penting kami masih tidak melewati batasan sebagai suami istri. Apalagi orangtua sudah mengingatkan jika tidak boleh hadir seseorang baby dulu dikarenakan aku masih sekolah dan belum waktunya.
Satu persatu sayur sudah hampir selesai kumasak, setelah sekian menit berdrama dengan memotong dan menyiapkan bumbu. Sekarang hanya butuh menyiapkan camilan kue kering kesukaan kak Ryan.
Yup, sekarang aku telah sah menjadi istri seseorang secara resmi dan agama. Seorang perwira polisi bernama Ryan telah meluluhkan hatiku.
Awal pertemuan kami dibilang tidak sengaja disebuah kafe tongkrongan anak muda. Kebetulan dia juga ada disana bersama teman-teman sebaya dia. Sebenarnya aku diajak tetangga yang umurnya lebih tua 3 tahun dariku.
Awalnya tidak mau, tapi karena dipaksa dan tidak tega dia berangkat sendirian, ya mau tidak mau harus ikut. Kami berdua sebenarnya agak takut dan ragu untuk masuk, namun demi menemui teman kenalan tetanggaku itu, kami berdua tetap harus berani. Katanya sudah lama penasaran dan ini kesempatan yang langka sebab si cowok sudah bekerja, jadi jarang ada waktu luang untuk menyempatkan waktu ketemu.
"Mila, maaf ya jika harus melibatkan kamu begitu," Tidak enaknya kak Tika. Terlihat dari wajahnya yang mulai sungkan.
"Iya Kak, ngak pa-pa. Ngak usah tidak enak gitu. Kita 'kan tetangga dan teman, jadi santai saja, ok!" balasku sambil menyeruput es lemon yang sudah kami pesan.
"Ok 'lah kalau gitu."
Mata kak Tika sudah celingukan mencari kenalannya, tapi dilihat kanan kiri belum ada gelagat dia datang.
"Duh, mana yah si Tono? Kita udah nungguin selama setengah jam, tapi kok belum ada tanda-tanda dia datang?" Kak Tika mulai gelisah.
"Cie ... cieee, yang mulai ngak sabaran, nich!" ledekku.
"Hehehe, bukan gitu, Mil. Kalau ngak datang ya kita pulang saja, ngak perlu ngegantungi orang kek gini. Nyuruh menunggu. 'Kan ngak enak sama ibu kamu jika nanti kita pulang terlalu larut malam."
"Iya juga, sih. Ya, sudah kita tunggu saja. Siapa tahu sebentar lagi akan datang."
"Hemm. Okelah."
Rasanya ngak enak banget banyak yang memerhatikan. Apalagi para pria yang kelihatan mulai jelalatan melihat ke arah tempat duduk kami berdua. Apesnya lagi, hanya ada dua tempat duduk yang dihuni perempuan saja dan itu termasuk kami. Hampir semua tamu kafe laki-laki muda semua.
"Eh, Kak. Ada yang aneh ngak sih?" Berbisik pelan, dengan badan merunduk ke arah kak Tika duduk.
"Iya, nih. Kayak kita sasaran empuk mereka saja."
"Kalau urusan Kak Tika sudah selesai, kita harus cepat-cepat pergi dari sini agar tidak kena masalah. Bisa brabe jika kena marah Ibu dan Bapak nanti," Kekhawatiranku.
"Sipp. Sesuai keingiannmu, kita akan pulang cepat.'
Benar saja, selang beberapa menit ada sekitar empat orang pria mulai gaduh dan tertawa riang, dan naasnya mereka mulai menghampiri ke arah kami duduk. Yang bikin merinding mereka sepertinya pria dewasa sekitar berumur 23 atau 24 tahunan.
"Kamu Tika, yak?" tanya seoarang pria berkulit hitam manis dan agak semampai.
"Eeh, iya. Kamu Tono, ya!" Kak Tika menyambut baik jabatan tangan dari pria yang barusan datang.
"Iya. Lumayan juga kamu, tapi lebih mengoda temanmu ini. Siapa namanya?" Modus yang menjengkelkan.
Uluran tangannya tidak kusambut dengan baik. Selain takut dan tidak senang, diri ini tidak ingin ada masalah, apalagi itu kenalan Kak Tika tapi kenapa malah berbalik tertarik padaku. Wajah Kak Tika 'pun udah cemberut, seakan-akan tak senang kenalannya malah lebih agresif padaku.
"Cih, sombong amat jadi cewek. Diajak kenalan saja tidak mau!" simbat teman Kak Tono.
"Bukan gitu. Tapi maaf banget. Ini sudah larut, aku mau pulang dulu!" Alasanku yang langsung bangkit dari tempat duduk dan berusaha melenggang pergi.
"Eitt, mau kemana cantik? Jangan pergi dulu, kenapa buru-buru!" Cegah salah satu dari mereka dengan memegang tanganku sebelah kanan.
"Issh, lepaskan. Jangan kurang ajar. Kita baru bertemu disini. Jangan jadi orang yang tidak menghargai dan sopan!" pekikku tak senang dan berusaha melepaskan cengkraman tangan.
"Cuiih, dasar cewek angkuh."
"Lepaskan tangan temanku. Kukira kalian baik, tapi ternyata sama saja kek yang lain, buaya!" Kak Tika berusaha menolong yang menghampiri posisiku.
Sungguh malu kejadian sekarang ini. Semua mata tertuju ke arah kami.
"Ngak usah ikut campur. Teman kamu terlalu cantik, jadi apa salahnya jika kami bermain sama dia dulu!" Teman Tono yang lain mencegah kak Tika untuk menuju kearahku dengan cara menghadang tubuhnya.
Aku yang mulai gemetaran, mulai menangis sebab terlalu takut. Wajar sih bisa begitu, sebab belum ada pengalaman sama sekali apalagi bersentuhan dengan pria lain.
"Kalian ini terlalu berisik disini. Ini tempat tongkrongan. Semua ingin kenyamanan, bukan kayak kalian cecuurut yang ingin mengacau!" Salah satu pengunjung yang sudah mendekati kami sedang berdebat.
Wow, pria yang berusaha menolong kami begitu tampan. Perfeck dari atas sampai bawah. Perawakan tinggi dan kulitnya juga putih. Beralis tebal, hidung mancung, bibir belah ditengah bagai singgar jambe. Senyumannya begitu melelehkan tiap perempuan memandangnya. Ada lesungan pipi ditengah. Sorot matanya tajam dan membulat. Siapapun yang memandangnya pasti terpikat. Tidak ada cela sama sekali.
"Pieeh, jangan ikut campur urusan kami. Pergi sana!" usir salah satu dari mereka.
"Ya, wajar jika aku harus ikut campur, karena kalian mengganggu kesenangan dan ketenangaku dan semua pengunjung disini, paham!" Kelihatan dari raut wajah pria itu mulai gregetan.
"Ahh, banyak b*coot!" Salah satu dari mereka sudah melayangkan tinju ke arah pemuda yang berusaha menolong.
Ternyata dengan lihai bisa menghindar. Suasana begitu tegang. Pria yang menolong membabi buta sudah menendang dan melayangkan tijuan. Hebat juga, mengalahkan empat pria sekaligus.
"Cepat pergi dari sini, atau kalian akan mendekam secepatnya dipenjara!" acamnya sambil menunjuk lencana.
"Wah, apa dia seorang polisi?" gumam hati merasa kagum.
Semua orang hanya bisa menonton, saling riuh dan berbisik.
"Ryan, kamu ngak pa-pa?" salah satu temannya menghampiri dengan rasa khawatir.
"Aku baik-baik saja," jawab tegas.
"Syukurlah kalau aman. Terus gimana sama kalian? Apa kalian baik-baik saja, atau ada yang terluka?" Berbalik bertanya pada kami.
"Ehh, Kak. Kami baik-baik saja. Terima kasih atas bantuannya," gagapnya diri ini menjawab. Saking terpesonanya sama orang yang bernama Ryan ini, sampai tidak sadar atas pertanyaan barusan.
"Baguslah kalau begitu. Sama-sama, tapi lebih berterima kasihlah pada temanku yang tampan ini, karena dialah yang jadi pahlawan tadi," Bahu Ryan sudah dilingkari tangan temannya.
"E-eeh iya. Terima kasih atas bantuannya tadi," Menganggukkan kepala kebawah. Tidak berani menatap wajahnya. Kelihatan garang, takut jika dia marah sebab sudah mengeluarkan tenaga untuk membantu kami.
"Hmm," jawabnya ambigu.
"Bukannya kamu masih bocil, ya! Kok malam-malam begini keluyuran dan berani nokrong dikafe? Apa orangtua kalian tahu atau kalian sendiri yang sembunyi-sembunyi datang ke sini? Kalau iya, aku seorang polisi dan bisa saja melaporkan kalian yang keluyuran seenak saja," tanya dan peringatannya terdengar kasar.
"E-ee-eeh, maaf ... maaf. Kalau begitu kami permisi dulu!" Langsung kutarik tangan Kak Tika untuk segera pergi menjauh dari mereka berdua.
"Ehh, tunggu ... tunggu. Kalian belum kenalan!" panggil temannya yang berusaha menghadang.
"Issh, ngapain sih minta kenalan pulak. Apa ngak lihat dia masih bocil gitu," suara Ryan yang terdengar jijik sama kami.
Kami baru selangkah melenggang dari hadapan mereka, jadi masih terdengar saja bisik-bisik mereka berdua. Kami berdua secepatnya menghilang dari pandangan mereka. Bisa matilah kalau beneran dilaporkan sama orangtua kami.
"Fiuuh. Gila tuh cowok. Tampan tapi kasar juga. Tadi sudah kagum sebab menolong kita, tapi setelah tahu dia mau jahat sama kita, rasanya ogah banget mau kenalan," keluh Kak Tika.
"Udah, lupakan. Lebih baik kita cepat pergi dari sini, sebelum orang itu beneran akan melaporkan kita," ajakku gugup.
"Ehh, iya ...iya. Ayo!"
Kami berduapun segera mendekati jalanan untuk segera mencari kendaraan roda empat. Jam sudah menunjukkan angka sembilan, namun nampaknya bakalan susah mencari sebab ini malam minggu, pasti banyak penumpang yang sudah memakai duluan jasa antar jemput itu.
Kaki mulai pegal menunggu. Taxi tak kunjung jua nampak. Kak Tika mulai memukul-mukul betis yang kelihatannya sudah tidak tahan lagi untuk berdiri. Untung saja aku memakai sepatu jadi masih aman. Disebabkan mau ketemuan sama kenalan, makanya kak Tika hari ini cukup berdandan menor dan memakai higheels.
"Duh, Mila. Kok lama banget ya taxi nya ngak lewat-lewat! Bisa mati sungguhan kita nanti, kalau ngak pulang secepatnya," Dia khawatir.
Kegelisahanpun sudah menghampiriku juga. Orangtua pasti marah besar sebab janjian hanya keluar sebentar, tapi ini malah kelewat jamnya.
"Duh, gimana ya, Kak! Kita tunggu sebentar lagi saja. Lagian ngak mungkin 'kan kita mau jalan kaki pulang."
"Iya, juga sih. Ya, sudah kalau gitu, kita tunggu sebentar lagi saja."
Mata sudah ke kanan kiri melihat ke arah jalan. Tak ingin terlena melewatkan satu kendaraanpun.
Tin ... tin. Sebuah mobil berwarna hitam berkali-kali membunyikan klaksonnya. Kami berduapun saling berpandangan karena kaget, siapakah gerangan yang sedang memanggil kami.
"Duh, siapa itu Mila. Kamu kenal pemilik mobil itu?"
"Enggak, Kak!" jawabku tegas.
"Duh, siapa 'lah. Apa mungkin orang jahat?" Kak Tika mulai panik.
"Bisa jadi, Kak. Karena kita berdua tidak kenal siapa pemiliknya. Lebih baik kita cepat menghindar saja. Jangan sampai ketangkap sama pemiliknya."
"Ayo ... ayo, kita pergi."
Mulai ancang-ancang untuk kabur. Nampak pemilik mobil itu benar-benar ingin membawa kami.
"Eh, kalian mau ke mana?" panggil pemilik mobil itu.
Kami berdua sudah menoleh ke arah sumber suara itu. Betapa terkejutnya kami berdua. Oh ternyata, orang yang tadi menolong. Dia mulai menghampiri kami yang tengah berdiri dalam keadaan ketakutan.
"Aku memanggil kalian dari tadi, kenapa ngak direspon sih!"
"Maaf, Kak. Kami pikir tadi orang jahat, ma-m-makanya!" gagapnya menjawab.
"Makanya mau kabur, gitu! Aku bukan orang jahat kali. Masih waras dan mana doyan sama bocil kayak kalian," ketusnya dia berkata.
"Cihh, sombong amat nih orang. Kayak dia suci aja."
"Kamu ngomong apa barusan? Sombong?."
Kak Tika langsung menyenggol lenganku menggunakan sikutnya.
"Eeh enggak kok, Kak. Hehe, mungkin salah dengar saja aku ngomong tadi."
"Ok 'lah. Tapi pendengaranku masih baik-baik saja ini."
Duh, rasanya ngak enak banget ngatain dia barusan, tapi salah dia sendiri sih, kenapa mancing perkara jadinya 'kan keceplosan.
"Sekarang kalian naik 'lah mobil," suruhnya lagi.
"Tapi-? Ngerepotin ngak ini, Kak?" tanya kak Tika.
"Aman. Kalau ngak aman, kenapa juga harus menawari kalian. Ngak ada yang direpotkan disini. Sekarang cepetan naik, sebelum kalian hilang sebab diculik pria dewasa," Dia mencoba menakuti.
Kami berdua ragu, tapi kalau dipikir ada benarnya. Apa lagi sudah malam, pasti banyak orang dewasa yang ingin berbuat jahat.
"Ayo, tunggu apa lagi. Tidak usah banyak berpikir."
"Hm, baiklah kalau begitu," jawabku ramah.
Kami berdua duduk dibelakang. Sesekali dia melirik dibalik kaca spion. Aku pura-pura tak menyadari dengan menengok ke arah kaca. Sepertinya dia mengagumiku karena cara dia menatap sungguh berbeda sejak diawal kafe. Muka memang cantik, sekali orang menatap pasti ingin memiliki.
Setelah beberapa menit akhirnya kami sampai. Ternyata sikapnya tidak sejahat mukanya yang banyak diam dan menakutkan. Tanpa basa-basi membukakan pintu mobil. Rasanya kami jadi tak enak hati.
"Terima kasih, Kak!" ucapku malu-malu.
"Iya, sama-sama."
"Kalau begitu kami permisi dulu. Hati-hati dijalan," Segera ingin melenggang pergi.
"Eeh, tunggu."
Baru beberapa langkah kami undur diri, mulai membalikkan badan lagi untuk menyambut baik panggilannya.
"Iya, ada apa? Apakah Kakak perlu bantuan kami?"
"Enggak ada sih, cuma mau tahu nama kamu aja sih."
Kak Tika menyenggol pelan lenganku. Tak cukup keberanian sekedar menatap wajahnya. Malu-malu kucing tengah menghampiri.
"Hello, siapa nama kamu?"
"Nn-namaku Mila." Gugup sambil gemetaran.
Kutarik tangan kak Tika dan kami berlarian kecil menghindarinya. Takut jika ditanya hal lain lagi. Menoleh sebentar kebelakang untuk memastikan, ternyata dia sedang tersenyum.
Hari demi hari kulewati dengan bahagia. Bayangan wajah pria itu terus saja menghantui. Hanya orang buta yang mungkin tidak akan tertarik padanya. Jangankan wanita dewasa, akupun yang masih bocil ikut mengagumi ketampanannya. Senyuman itu cukup membuat leleh tiap wanita yang menatap.
"Aah, gila kamu, Mila. Kenapa sih selalu terbayang-wajah wajahnya," guman hati kesal.
"Mana mungkin dia mau sama kamu yang masih bocil. Dia itu pria yang terlalu perfeck, jadi mimpi saja bisa mendapatkannya suatu hari nanti."
Sambil mengayuh sepeda sepulang sekolah, pikiran terus saja terbayang-bayang akan dirinya.
Tin ... tin, sebuah bunyi klakson mobil mulai mendekati posisiku. Seketika menekan rem dan berhenti. Kaget saja sih dipanggil pemilik mobil itu. Masih hafal warna dan plat nomornya.
"Astaga, tak pikir dia bakalan lupa. Kenapa sekarang memanggilku?" risau hati tak percaya.
Dia melambaikan tangan supaya bisa mendekati posisinya. Tanpa ragu lagi langsung saja mengiyakan.
"Eeh, Kak. Kita bertemu lagi. Ada apa? Apa ada hal yang penting sehingga kamu ingin menemuiku?" Kepolosan bertanya.
"Sebenarnya ada sih. Bisakah kita bicara sebentar dikafe itu?" Tunjukknya disamping kami.
"Duh, gimana yah? Ini waktu pulang sekolah. Kalau tidak tepat waktu, takut nanti kena marah," Keraguan menjawab.
"Gampang itu, nanti aku yang tanggung jawab." Tangan langsung ditarik untuk mengikuti langkahnya.
"Eeh, tapi Kak."
"Ngak usah tapi-tapian. Ada hal penting yang perlu kita omongin." Dia terus memaksa.
Sudah berpikiran aneh terhadapnya. Hal penting apa yang perlu kita bicarakan bersama, sedangkan sama-sama tidak kenal.
"Duduklah dan pesan makanan yang kamu inginkan," Dia mempersilahkan sesudah mengeserkan kursi untukku.
"Iya, terima kasih."
Dia begitu tenang dan belum memulai obrolan. Rasanya begitu canggung diantara kami.
"Kalau boleh tahu kamu sudah punya pacar?" tanyanya langsung.
"Belum," Menundukkan kepala sambil mengunyah makanan.
"Baguslah kalau gitu. Berarti aku ada kesempatan untuk menjadi kekasihmu."
Uhuk ... uhuuk, tiba-tiba kesedak makanan.
"Lah, ayo minum ... minum ini," Dia menyodorkan segelas jus jeruk miliknya.
"Uhuk, terima kasih."
Menyeruputnya sampai setengah. Rasa kaget akibat ditembak, membuatku semakin kepanasan dan haus. Tangan mengipas-ngipaskan diwajah.
"Gimana tawaranku tadi?"
"Em, aku ngak tahu, Kak."
"Kok bisa ngak tahu."
"Jujur saja bingung sih. Aku masih kecil, apa kata orang nanti jika Kakak mau pacaran sama aku. Usia kita terpaut jauh, takutnya malah bikin malu kamu."
"Kalau aku sih, ngak masalah. Yang terpenting sekarang ada di kamunya. Menurutku cinta itu tidak mengenal usia, yang penting sama-sama suka dan mau menjalin hubungan dengan baik."
"Iya juga sih. Kalau ngak serius pacaran buat apa jadian. Cinta itu harus tulus dari dalam hati biar nanti tidak sakit hati."
"Nah, tahu 'pun. Lalu bagaimana, apa kau mau jadi kekasihku?" tanyanya kembali.
Dia menatapku dengan tajam dan serius. Semakin dibuat memerah saja pipi ini.
"Apa kau ada syarat lain?"
"Enggak ada sih, Kak. Cuma-?" Masih saja ragu.
"Diam dan keraguanmu itu menjawab iya. Lihat, muka kamu aja bisa aku tebak. Terlalu merah kayak udang, hehe."
"Aah, masak sih, Kak. Mana ada iih." Pipi kuraba dengan tangan biar kesemuannya cepat hilang.
"Jadi benar 'kan. Sekarang kau resmi jadi pacarku, setuju."
Hanya menunjukkan wajah malu-malu kucing. Karena kaget tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Mimpi jadi kenyataan. Tidak menyangka jika dia super cool itu bisa menembakku, wanita yang biasa aja tapi wajah cukup membuat terpesona. Banyak hal yang mulai kami obrolkan. Ternyata dia asyik juga walau kadang wajahnya menunjukkan kejutekkan. Bagiku tidak masalah, asal angan-angan bisa jadi nyata sekarang ini.
Kami mengenal satu sama lain hanya beberapa minggu saja. Sibuk kerja dan sekolah membuat kami hanya mengenal lewat telepon. Bertemu 'pun cuma tiga kali, itupun mencuri-curi waktu agar tidak diketahui orang. Bisa gawat jika orangtua tahu, karena belum waktunya diri ini mengenal cinta.
Hari ini libur sekolah. Tidur kesiangan hal biasa dan ibu tidak akan marah sama sekali. Terlalu sayang sama anak gadisnya maka dibiarkan saja. Yang cerewet justru bapak, kata tidak baik bagi anak gadis.
"Mila ... Mila, cepetan bangun. Ada tamu yang ingin ketemu sama kamu," Ibu mengetuk berkali-kali.
Mulut kututup dengan tangan ketika menguapnya tak kunjung mereda.
"Mila? Apa kau tidak dengar?" Sekali lagi Ibu memanggil.
"Iya ... iya, Bu. Ini sudah bangun. Duluan saja, aku akan menyusul."
"Jangan lama-lama. Kasihan tamunya sedang menunggu."
"Hm, ini sudah mau ke situ."
Takut kena marah, langsung menyusul langkah beliau dari belakang.
"Siapa sih Bu, pagi-pagi begini bertamu?" Tanpa malu langsung menemuinya.
"Lihat sendiri saja."
Mata terbelalak ketika melihat ke arah sofa. Langsung berbalik dan merapikan rambut. Tak menyangka jika kak Ryan bertamu. Muka tercoreng malu sekali. Air liur masih dibibir tapi tidak sopan menemuinya. Tawanya yang terdengar cekikikan bikin malu seumur hidup. Melengang pergi secepat kilat menuju kamar mandi.
"Astaga, Mila. Apa yang kamu lakukan tadi. Muka belum dibasuh sudah berani menemuinya. Duh, betapa malunya diriku!" Mengacak-acak rambut.
"Em, ngapain sih dia kesini. Aku harus cepat-cepat merapikan semuanya. Aic, mau ditaruh mana lagi mukaku ini," Kekesalan hati.
Dengan hati bimbang tetap memberanikan diri menemuinya. Takut juga kalau ketahuan sama orangtua, kalau sebenarnya kami telah menjalin hubungan asmara. Bisa dibunuh beneran kalau orangtua tahu. Mata berkedip memberikan isyarat, yang ingin bertanya kenapa kesini?.
Dia malah tersenyum santai, seperti ingin merahasiakan.
"Siapa dia, Mila?" Ibu sudah bersedekap tak suka.
"Hehe, cuma teman biasa saja, Bu."
"Teman? Apa ngak salah ngomong kamu?" Ibu mencoba menginterogasi.
Muka kak Ryan cukup tenang, sedangkan diriku dilanda grogi dan ketakutan. Malahan dia tersenyum kecil melihat tingkahku.
"Iya, Ibu. Terus apaan kalau bukan teman."
"Jangan bohong kamu. Mana ada teman, wajahnya kok kayak ngak seumuran sama kamu. Lebih tepatnya lebih tua," Ibu terus terang.
"Sudah ... sudah, Bu. Jangan ngomong begitu. Tidak enak sama tamu kita," timpal Bapak.
"Tidak apa-apa, Pak. Memang kenyataannya umur saya memang lebih tua dari Mila."
Ada yak orang seperti Kak Ryan. Aku mau setengah mati diintrogasi, tapi dia begitu santainya menjawab. Ini benar-benar kejutan. Tidak memberitahukan juga kalau mau datang, 'kan bisa berkompromi dulu boleh tidaknya.
"Terus kalau boleh tahu nak Ryan ini siapa?"
"Saya pacar Mila."
"Apa?" Ibu langsung berdiri. Bapak meraih tangan beliau untuk segera duduk, mungkin dengan maksud agar sabar dan tenang dulu.
Aku memalingkan muka ke kanan. Matilah diri ini. Semua terbongkar dan pasti bakalan kena marah habis-habisan.
"Kalian serius pacaran? Ibu tidak salah dengar 'kan ini, Mila? Apa kau tahu resikonya? Apa kau tahu bakalan kayak gimana akhirnya jika kami tahu?" cecar beliau.
Tangan sudah berkeringat dingin. Takut menjawab. Salah sedikit ngomong pasti akan berakibat fatal.
"Jawab, Mila. Jangan bisu kau ini?" Ibu nampak naik pitam.
"I-ii-iya, Bu." Terjingkat kaget dan gagap.
"Kamu, yak!" Ibu sudah menaikkan lengan baju.
"Sudah ... sudah, Bu. Apa tidak lihat disini ada nak Ryan. Dia kesini mau menjelaskan semuanya, mungkin dengan maksud agar kita tidak terlalu khawatir," Bapak berusaha menengahi.
"Iya, Pak. Saya bermaksud datang kesini untuk memberitahukan itu, tapi ada yang lebih penting juga selain itu."
Aku terus saja dibuat mlongo. Menatap ke arahnya tajam dengan segudang pertanyaan. Belum cukup memberitahukan status kami, ternyata dia punya kejutan lain.
"Maksud kamu apaan?" ketus Ibu.
Kak Ryan mengelap keringat dikeningnya. Muka Ibu yang judes dan bicara yang tak ada aturan itu, kini membuat kekasih hati salah tingkah. Aku berbalik mentertawakan.
Dia yang cari masalah, dia sendiri yang kena batunya. Ekspresinya sangat lucu sih, sebab takut juga sama Ibu. Sebenarnya Ibu itu baik, tapi kalau menyangkut anak gadisnya pasti beliau duluan yang akan membela mati-matian.
"Duh, maaf sebelumnya, Bu. Ma-makksud saya datang kesini adalah?" Tercekat suaranya.
"Katakan saja nak Ryan. Tidak usah takut, jika memang itu yang terbaik buat anakku Mila." Bapak dengan sabar berbicara.
"Sebenarnya saya ingin memiliki Mila selamanya dengan maksud ingin menikahinya." Dengan gampang dan lancarnya dia berbicara.
"Apa?" Kami bertiga dibuat tercengang.
Aku yang jadi korban masih tidak percaya, apa yang terdengar barusan.
"Maafkan aku, Tante, Om. Saya tahu ini secara tiba-tiba, tapi dibalik itu semua kami janji tidak melakukan hal yang dilarang, makanya saya ingin mengesahkan dia menjadi milikku selamanya. Entah mengapa dari pertama bertemu, saya sudah tertarik pada Mila. Maaf jika ini lancang, tapi saya benar-benar tulus mencintainya dan insyallah akan saya jaga selama sisa hidupku," ungkapnya yang bikin hati trenyuh.
Gimana tidak melayang jika ada seorang pria yang kini mengungkapkan isi hati di depan orangtua sendiri.
"Bapak, sangat tahu kalau kamu menyukai anakku, tapi apakah kau tidak memikirkan resiko besar suatu saat nanti sebab Mila masih sekolah?" Bapak sepertinya menyimpan keraguan.
Sama, ada keraguan sebab tidak dapat restu, tapi ada benarnya juga rasa khawatir beliau.
"Saya sudah memikirkan ini semua dengan matang. Bapak dan Ibu tidak usah khawatir. Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya pada diri Mila. Saya paham jika dia masih bersekolah. Agar dia tidak lepas dari genggamanku, maka dari itu saya ingin mengikat dia dengan sebuah janji suci pernikahan. Saya tahu batasan dan akan jaga jarak agar tidak terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan. Itu janji saya," Kak Ryan terus saja meyakinkan.
"Maaf, sekali lagi. Bukan kami tidak merestui, tapi jalan Mila untuk menuntut ilmu masih panjang. Untuk sementara ini kami menolak lamaran kamu." Ibu langsung to the point.
Aku menggoyang-goyangkan lengan Ibu. Merengek seperti tak suka omongan beliau barusan. Bukannya luluh, beliau malah melotot tajam ke arahku. Kepala tertunduk takut. Tidak ingin membantah beliau lagi, karena surga masih dibawah telapak kakinya.
"Tapi, Pak, Buk."
"Maafkan kami nak Ryan. Mila untuk sementara ini harus fokus sama karier dan masa depannya dulu, jadi tolong maklumi dan berlapang dada 'lah untuk menerima keputusan kami."
"Baiklah kalau begitu, Pak. Maaf jika merepotkan kalian."
"Tidak apa-apa. Kami memaklumi itu."
Ingin rasanya menumpahkan segala airmata, tapi malu jika hanya masalah sepele bisa cengeng.
Akhirnya kak Ryan pulang membawa seutas kekecewaaan. Walau kami berbicara tak mengenakkan di hatinya, tapi kami semua tetap menyambutnya dengan baik dengan obrolan dan canda tawa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!