Pesta pernikahan telah usai. Ruangan penuh kemewahan kini sepi, hanya menyisakan bayangan siluet pengantin yang melangkah memasuki kamar hotel yang disiapkan untuk malam pertama mereka. Laras berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya dalam gaun putih berkilauan yang kini terasa seperti belenggu.
Dari belakang, Edward mendekat dengan langkah tenang. Udara di antara mereka terasa berat, penuh dengan sesuatu yang tak terucapkan.
“Kita akan membuat malam pertama ini tak terlupakan, Sayang,” bisiknya tepat di telinga Laras, suaranya dalam dan penuh kendali.
Laras mengepalkan tangan. Napasnya tertahan, tapi ia menolak untuk menunjukkan ketakutan.
Tiba-tiba, suara ketukan terdengar di pintu. "Malam panjang dimulai, Sayang." Edward menyeringai, seolah sudah menantikan momen ini.
Ia melangkah menuju pintu tanpa ragu, dan saat membukanya, seorang gadis muda berdiri di ambang pintu. Cantik—sama cantiknya dengan Laras. Matanya dipenuhi ekspresi yang sulit diartikan.
"Kau datang tepat waktu, Sayang." Edward mengusap pipi gadis itu dengan lembut, tatapan matanya menggelitik sesuatu yang dalam dan menjijikkan di perut Laras.
Pria itu mengeluarkan sebutir obat dari sakunya.
“Telan ini dan bersiaplah,” ujar Edward dengan nada pelan namun tegas. “Aku ingin malam ini sempurna.”
Gadis itu menunduk patuh, melangkah masuk ke kamar mandi tanpa sepatah kata pun. Namun, sebelum pintu tertutup sepenuhnya, Edward menambahkan, “Pakai pakaian yang ada di dalam paperbag.”
Laras merasakan hawa dingin menjalar di tubuhnya. Ia menoleh menatap Edward, wajahnya tetap datar, namun matanya menyala dengan kemarahan yang terpendam.
“Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya terdengar datar namun tajam.
Edward menoleh ke arahnya, tersenyum sinis. “Ini malam pernikahan kita, Sayang. Bukankah wajar jika seorang suami menikmati malam pertamanya?”
Laras menghela napas pelan, lalu melangkah menuju pintu tanpa ragu. “Kalau begitu, selamat menikmati malam pertama.”
Namun, sebelum ia sempat menyentuh kenop pintu, suara ‘klik’ terdengar. Edward telah menguncinya.
Ia bersandar di pintu dengan santai, menatap Laras dengan penuh kemenangan. “Kau tidak akan ke mana-mana. Kau harus melihatnya.”
Laras membeku.
Edward melangkah mendekat, mengangkat dagunya dengan satu jari. "Aku ingin kau belajar, Sayang," ujar Edward, menelusuri wajah Laras dengan tatapan dingin. "Supaya saat waktunya tiba, kau tahu bagaimana cara melayaniku dengan baik."
Detik itu, sesuatu dalam diri Laras pecah. Ia tersenyum kecil, sebuah senyum yang dingin dan berbahaya.
“Kau benar,” katanya pelan. “Malam ini akan menjadi malam yang tak terlupakan.”
Tapi bukan untuk alasan yang Edward pikirkan.
Kini malam pertama dimulai—dengan cara yang jauh dari kata sakral bagi Laras.
Edward berdiri di tengah kamar, tangan lincah melepas tuksedo, lalu kemejanya, memperlihatkan tubuhnya yang terawat dengan dada bidang dan perut berotot. Laras tak bereaksi, tak sekalipun mengalihkan pandangan dari cermin di depannya. Ia bukan gadis polos yang akan merona melihat pria bertelanjang dada. Tidak, bukan itu yang membuat hatinya bergemuruh malam ini.
"Dia pikir aku akan kagum melihat tubuhnya?"
Senyum Edward melebar saat pintu kamar mandi terbuka, menampilkan sosok gadis yang kini hanya berbalut lingerie tipis.
"Malam ini akan menjadi malam pertama yang sempurna." Edward menatap Laras dengan senyuman yang menjijikan bagi Laras.
Tatapan gadis itu berkabut, napasnya memburu—efek obat yang mulai bekerja. Dengan langkah goyah namun tanpa ragu, ia mendekat, matanya penuh gairah yang dipaksakan. "A--aku.."
Edward tersenyum penuh arti. "Aku akan membuat panas di tubuhmu hilang, Sayang."
Tanpa perlu aba-aba, gadis itu membiarkan tubuhnya direngkuh oleh Edward, menerima kecupan pria itu dengan pasrah, bahkan membalasnya dengan gelora yang semakin liar.
"Menjijikan." Laras masih berdiri di tempatnya, ekspresinya tetap datar. Tapi ada sesuatu di dadanya yang mencengkeram begitu erat, seolah hendak menghancurkannya dari dalam.
Tak ingin menjadi saksi lebih lama, Laras berbalik, melangkah ke balkon. Ia mendorong pintu kaca, membiarkan angin malam menyambutnya dengan dingin yang menusuk kulit.
Di bawah sana, kota berpendar dalam cahaya. Begitu luas. Begitu ramai. Dan di tengah gemerlap itu, Laras merasa begitu sendirian.
Namun, kesendirian itu tak seberapa dibandingkan suara yang mulai memenuhi kamar.
"Akh..sa--sakit..."
"Ta--tahan sebentar..."
"Ugh..kau sempit sekali..."
"Hah..hah..."
Desahan, bisikan mesra, erangan yang tanpa ragu terdengar dari dalam.
Laras menutup mata, tetapi suara itu tetap menyerangnya, menusuk gendang telinganya tanpa belas kasihan.
"Dasar brengsek!"
Malam ini, ia hanya bisa berdiri di balkon, mendengarkan suaminya bercinta dengan wanita lain—sepanjang malam.
Ia tidak menangis. Tidak akan menangis.
Karena ini adalah pilihan yang telah ia ambil.
***
Fajar merayap masuk melalui tirai yang setengah terbuka, cahaya samar menyapu kamar yang masih berantakan. Suara napas tertidur gadis itu masih terdengar, tapi Laras tidak memedulikannya. Dia masih berdiri di balkon, tangannya mencengkeram pagar besi hingga buku-buku jarinya memutih.
Udara pagi yang dingin menyentuh kulitnya, tetapi itu tidak bisa menghapus jejak malam sebelumnya. Suara Edward, bisikan mesra yang ditujukan kepada wanita lain, gema kepuasan yang ia dengar sepanjang malam—semuanya masih terukir di pikirannya, meninggalkan luka yang tak terlihat.
Langkah kaki mendekat dari belakang. Edward sudah berpakaian lengkap, wajahnya masih menyimpan kepuasan yang sinis. Dengan santai, ia menyesap segelas anggur yang entah sejak kapan ia ambil, lalu bersandar di kusen pintu balkon.
"Bagaimana, Sayang?" Suaranya terdengar malas, penuh ejekan. "Malam pertama kita tak terlupakan, bukan?"
Laras tidak langsung menoleh. Dia hanya menghela napas, lalu mengangkat tangannya yang masih gemetar untuk merapikan rambutnya. Saat akhirnya ia menoleh, tatapannya tidak lagi kosong—melainkan sedingin es yang menusuk.
"Benar." Bibirnya melengkung tipis, hampir seperti senyuman. "Aku tak akan pernah lupa betapa menjijikkannya dirimu."
Edward tertawa kecil, seolah menikmati responsnya. Dengan langkah santai, dia meraih dagu Laras, mencengkeramnya cukup kuat hingga Laras terpaksa menatap langsung ke matanya.
"Jangan khawatir." Bisiknya rendah, bibirnya nyaris menyentuh telinga Laras. "Aku punya banyak cara untuk membuatmu tunduk padaku."
Laras bergeming, bahkan ketika rasa sakit menjalar dari cengkeraman Edward.
"Aku mungkin tak bisa melawanmu," suaranya tenang, hampir terlalu tenang. "Tapi jangan pernah berharap aku akan menyerah begitu saja."
Edward mendecakkan lidahnya. "Kita lihat saja nanti, Sayang." Ia melepaskan dagu Laras, lalu melangkah pergi, meninggalkannya sendiri di balkon yang dingin.
Begitu Edward menghilang dari pandangan, Laras menyentuh dagunya yang terasa nyeri. Tatapannya meredup. Di balik ketegarannya, hatinya menjerit.
"Sampai kapan aku diperlakukan seperti ini?"
Tapi dia tidak akan menangis. Tidak di depan Edward. Tidak di tempat ini.
Laras masih berdiri di balkon kamar hotel itu, tubuhnya bersandar lemah pada pagar besi yang dingin. Gaun pengantin putihnya telah kehilangan makna—kini hanya selembar kain simbol penyerahan yang dipaksakan. Angin pagi menyapu pelan wajahnya, seakan mencoba menghapus jejak malam kelam yang baru saja ia lalui.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka, lalu ditutup kembali. Suara langkah kaki… tidak ada. Hening.
Laras tetap di tempatnya, memejamkan mata sejenak. Ia menunggu—entah menunggu Edward datang lagi atau hanya memastikan bahwa pria itu benar-benar sudah pergi.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan.
Dengan langkah enggan, Laras akhirnya meninggalkan balkon. Gaun pengantin yang panjang menyapu lantai, sebagian renda-rendanya sudah kotor terkena debu dari lantai luar.
Ia masuk ke kamar. Pandangannya menyapu ruangan.
Tuksedo Edward tergeletak begitu saja di lantai, bersama dasi, kemeja… dan pakaian dalam pria itu.
Perlahan, tatapan Laras naik ke arah ranjang.
Sprei putih itu ternoda. Sebuah bercak merah di tengah-tengahnya, seolah menjadi penanda kemenangan yang menjijikkan.
Mendadak terlintas di benaknya—pekikan kesakitan gadis itu semalam, teriakan samar yang berbaur dengan suara erangan Edward.
Laras menelan ludah. Bukan karena cemburu. Tapi karena muak. Jijik. Perutnya bergejolak, seperti hendak memuntahkan sesuatu.
Ia mundur selangkah, memegangi pinggir meja agar tetap berdiri. Napasnya berat, namun tidak ada air mata yang jatuh. Ia terlalu lelah untuk menangis.
Saat itulah, suara ketukan terdengar dari arah pintu.
Tok… Tok… Tok.
Di balik pintu, suara pria terdengar sopan namun tegas.
“Nyonya Laras, saya diperintahkan Tuan Edward untuk mengantar Anda pulang.”
Laras memejamkan mata. Kata “pulang” terasa asing baginya sekarang.
Karena sejak menikah dengan Edward, ia tak tahu lagi—rumah yang mana yang benar-benar bisa disebut pulang.
...🔸🔸🔸...
...Pernikahan adalah lambang kesucian, namun saat dilandasi dendam dan kebencian, pernikahan hanyalah penjara menyakitkan....
..."Dhanaa724"....
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Laras melangkah keluar dari kamar hotel dengan kepala tegak, tetapi baru beberapa meter berjalan, seorang pria menghalanginya.
"Maaf, Nyonya. Perintah Tuan Edward, Anda harus pulang ke rumah utama. Ada pengawal yang akan mengantar."
Laras menatapnya tajam. "Aku mau ke rumahku sendiri."
"Maaf, tidak bisa. Kami hanya menjalankan perintah. Jika Nyonya menolak, kami diperintahkan untuk mengawal Anda sampai ke gerbang rumah Tuan Edward. Mobil sudah menunggu."
"Tak ada jalan keluar yang mudah," pikir Laras, "jika aku melawan sekarang, Edward bisa bertindak lebih gila lagi. Dan aku belum siap kehilangan kendali. Belum sekarang."
Dengan suara dingin, ia menjawab, "Baik. Tapi katakan pada Tuanmu… aku bukan boneka yang bisa ia seret ke mana pun seenaknya."
Mobil hitam mewah itu melaju pelan melewati gerbang menuju rumah megah yang tampak angkuh dalam keheningannya.
Di Dalam Rumah Edward
Laras berjalan menyusuri lorong panjang, langkahnya bergema di tengah kesunyian. Seorang pelayan tua menunduk singkat.
"Selamat datang, Nyonya. Kamar Tuan Edward sudah disiapkan. Silakan ikuti saya."
Laras mengangguk tanpa kata, mengikuti pelayan menuju kamar di lantai atas—ruangan mewah yang terasa dingin, seperti hati pria yang telah menikahinya.
"Ini bukan kamar, ini penjara," bisik hatinya. "Dindingnya megah, ranjangnya besar, tapi semua terasa seperti kuburan."
Saat pintu dibuka, aroma parfum Edward menyergapnya, membuat dadanya sesak.
"Ini kamar Anda mulai malam ini," ucap pelayan itu. "Tuan Edward menyampaikan bahwa beliau akan menyusul."
Laras tak menjawab. Begitu pelayan pergi, ia duduk di tepi ranjang, menatap cincin perak di jari manis kirinya—hadiah ulang tahun dari Bayu.
"Bayu..." Nama itu terucap dengan bibir bergetar.
Bayu pernah menggenggam tangannya erat dan berkata dengan mata penuh harapan, "Suatu hari cincin ini akan kuganti dengan cincin berlian, Laras. Tapi bukan sekarang. Nanti. Saat semua sudah siap."
Kenangan itu menusuk. "Tapi ‘nanti’ itu tak pernah datang."
Laras mengepalkan tangan hingga buku jarinya memutih. Ia teringat ruangan putih rumah sakit, suara dokter yang datar tapi menghancurkan, “Sangat kecil kemungkinan Anda bisa mengandung…”
Air matanya jatuh tanpa suara.
"Andai aku wanita yang sempurna... andai aku bisa memberinya keturunan..." Laras memejamkan matanya menahan sesak di dada. "Bayu...aku ingin bersamamu..."
Suara langkah berat mendekat. Laras bergegas menghapus air matanya. Pintu terbuka, dan Edward berdiri di ambang, kemejanya terbuka sebagian, matanya penuh kemenangan.
"Sudah nyaman di kamar barumu?"
Laras menatap lurus ke depan, menolak menanggapi.
"Aku tak suka suasana murung di rumahku. Dan mulai malam ini, kau akan belajar bersikap seperti istri yang baik. Duduk diam. Melihat. Tapi tidak pernah ikut campur."
Laras masih diam, hingga Edward membungkuk, menyentuh dagunya, memaksa wajahnya menghadap ke arahnya. "Lihat aku saat aku bicara, Laras."
Mereka saling menatap—Edward dengan senyum sinis, Laras dengan ketegaran dingin.
"Aku bukan bonekamu, Edward," ujarnya, suara bergetar tapi tegas.
Edward tertawa pendek. "Benar. Kau bukan boneka. Kau milikku. Dan aku akan memastikan kau tak pernah lupa itu."
Ia berbalik, berjalan ke pintu. Sebelum pergi, ia melemparkan kalimat terakhir:
"Oh ya, malam ini… aku akan membawa teman. Kuharap kau tidak keberatan dengan penonton tambahan." Senyumnya mengerikan. "Atau mungkin kau mulai menikmatinya?"
Pintu tertutup. Laras menggigit bibir hingga nyaris berdarah.
"Dia pikir aku akan diam? Dia pikir aku akan menyerah?"
Tangannya mengepal erat, cincin Bayu menekan di kulitnya.
"Tidak, Edward. Aku mungkin terjebak di sini, tapi aku tidak akan hancur begitu saja."
Dan untuk pertama kalinya, api pemberontakan menyala dalam matanya.
Sementara itu, setelah menutup pintu di belakangnya, Edward berdiri mematung. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras.
"Aku akan membuatmu takluk, Laras." Napasnya berat, nyaris seperti geram yang ditahan. "Tapi penyakit sialan itu..." Ia mengepalkan tangan. "...selalu jadi penghalang."
Matanya menatap lantai kosong, tajam dan kelam. "Tubuh rapuhnya. Gen cacat itu. Bahkan jika dia hamil... anak kami bisa lahir membawa kutukan."
Edward mengusap wajahnya kasar. Ada amarah, ada frustrasi, dan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebencian—obsesi.
***
Laras berdiri di balkon. Angin malam menyapu wajahnya. Langit hitam, bintang-bintang seakan enggan menampakkan diri. Mungkin jijik melihat dunia sebusuk ini.
Cklek.
Suara pintu terbuka. Heels tinggi berdetak di atas marmer. Tawa nyaring menyusul, renyah tapi palsu—seperti sengaja diperdengarkan.
Suara Edward terdengar. Rendah. Liar. "Aku harap malam ini kau bisa membuatku lupa waktu."
"Aku tak akan mengecewakanmu, Sayang~"
Tawa perempuan itu menusuk gendang telinga.
Laras menutup mata.
“Menjijikkan.”
"Edward... Ini kamar istrimu, ya? Kamu gila."
"Justru itu yang membuatnya lebih... panas. Kau suka bahaya, 'kan?"
Laras mencengkram pagar balkon. Dingin. Tajam. Tapi tak setajam perih di dadanya.
“Dia bawa perempuan ke kamar ini... ke kamar kami. Tidak—kamar dia. Aku cuma boneka. Penonton yang dipaksa menyaksikan.”
Terdengar suara ranjang berdecit. Ciuman basah. Desahan.
"Apa istrimu beneran diam aja di balkon? Seperti... boneka rusak?"
"Dia tahu tempatnya. Sudah kuberi pelajaran. Patung tak boleh bersuara."
Laras menggigit bibir.
“Jangan menangis. Jangan beri dia kemenangan. Kau bukan korban. Kau pejuang. Lihat… cincin ini masih di jarimu. Cincin dari Bayu. Itu artinya kau masih punya ‘diri’ yang belum sepenuhnya mati.”
Gemetar. Tapi ia tetap berdiri.
"Ah! Edward—kau...!"
"Ughh..."
Dari celah pintu kaca, siluet dua tubuh terlihat. Melilit. Membakar tempat tidur dengan hasrat murahan. Seakan Laras tak ada.
Ciuman. Desahan. Tawa perempuan itu meledak lagi.
"Kau memang tahu cara buatku gila," bisik Edward dengan napas terengah.
"Tentu saja." Suara wanita itu terdengar bangga. "Istrimu jinak banget, ya. Diam aja. Nggak protes."
"Tentu. Semua wanita bisa kujinakkan."
Laras mendengar kesombongan itu seperti tamparan.
Ia membuka mata.
Bukan tangisan yang keluar. Tapi kehampaan. Sunyi yang beku.
Ia menunduk. Cincin perak di jarinya masih di sana. Bayu. Satu nama yang tak pernah menyakiti.
Dalam hati, ia bicara.
“Kau bisa hina aku, Edward. Tapi aku belum mati. Dan selama aku hidup… aku akan membalas semuanya.”
***
Pagi menjelma dalam keheningan yang asing. Edward membuka matanya perlahan, merenggangkan tubuh di atas ranjang yang masih menyisakan aroma malam tadi. Sisi ranjang di sebelahnya kosong. Wanita penghibur itu sudah pergi.
"Malam yang indah," gumamnya, suaranya serak oleh sisa tidur. "Tapi bukan itu yang paling berkesan."
Matanya beralih ke balkon. Ingatannya menyusup kembali—semalam, Laras berdiri di sana. Diam. Menyaksikan segalanya dengan mata yang tak berkedip.
"Aku melupakan istriku."
Senyumnya mengembang, dingin dan puas. Ia turun dari ranjang, tubuh polosnya bergerak tanpa malu. Handuk di nakas dililitkan di pinggang, tapi udara pagi masih menyentuh kulitnya dengan dingin yang menusuk. Tak peduli. Langkahnya mantap menuju balkon. Tatapannya tajam, dan senyum licik terbit saat melihat sosok yang dicarinya.
“Oh… ternyata istriku tersayang masih tertidur,” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan ejekan.
Laras meringkuk di sofa, seperti mencoba menghilang. Wajahnya pucat. Kelopak mata sembap. Napasnya tenang—tapi Edward bisa mencium aroma luka yang tak terlihat.
"CK. CK. Apakah istriku tersayang kedinginan?"
Suaranya rendah, hampir seperti belaian—tapi bukan belas kasihan yang ada di sana. Ini kepuasan. Kepuasan melihatnya hancur.
Ia berjongkok, menatap wajah Laras dalam diam.
“Masih bisa tidur nyenyak setelah semalam?” bisiknya pelan. “Atau kau terlalu lelah membenci?”
Tangannya terulur, menyentuh pipi Laras yang dingin. Sentuhan perlahan, nyaris seperti kelembutan… jika saja bukan dari seorang pria yang penuh dendam.
Ia tersenyum kecil.
“Pipi ini… yang dulu berani menamparku di depan semua orang.”
Edward tertawa pendek, getir. “Dan sekarang? Lihat dirimu.”
Laras menggeliat pelan. Tubuhnya menegang seketika saat kulitnya menangkap sentuhan asing.
Bulu kuduknya meremang.
Tanpa membuka mata, ia menarik tubuhnya menjauh, refleks. Bibirnya bergetar, napas tercekat.
Edward terkekeh pelan. “Bahkan dalam tidur pun kau membenciku, ya?”
Tangan Laras mengepal, masih gemetar. Tapi matanya tetap terpejam. Enggan memberinya kemenangan, bahkan sekadar dari tatapan.
"Kau ingat itu, bukan?" bisiknya. "Kau satu-satunya wanita yang berani menolakku. Mempermalukanku. Dan justru karena itulah... aku takkan pernah melepasmu."
Ia berdiri, meninggalkan Laras yang masih terlelap. Tapi senyumnya tak hilang.
"Permainan baru saja dimulai, Sayang."
Dan ia tahu—Laras takkan bisa lari lagi.
...🔸🔸🔸...
..."Hidup seseorang boleh kau permainkan, tapi kau bukan Tuhan. Akan tiba waktunya... karma menunjukkan siapa pemilik takdir yang sesungguhnya."...
..."Dhanaa724"...
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Matahari belum benar-benar naik saat seorang pelayan tua mendorong pintu kamar dengan perlahan. Di tangannya, nampan berisi teh hangat bergetar pelan.
Langkahnya pelan, seolah takut menyingkap sisa dosa semalam. Matanya menyapu ranjang—seprai kusut, baju wanita yang bukan milik Nyonya Laras berserakan di lantai.
Ia menghela napas berat. “Jadi benar… Tuan membawa perempuan itu ke kamar ini.”
Kepalanya menoleh ke balkon. Di sanalah Laras, meringkuk di sofa kecil. Selimut tipis melilit tubuhnya. Wajah pucat, mata sembap. Napasnya tenang tapi lemah. Seolah sudah lelah bahkan untuk menangis.
Pelayan itu mendekat perlahan. Nampan ia letakkan di meja kecil dekat pintu balkon. Tangannya sedikit gemetar.
“Kenapa Nyonya... harus melewati ini semua? Apa salah dan dosanya?”
Matanya terarah ke cincin tipis di jari Laras. Masih ia pakai. Masih bertahan, seperti pemiliknya.
“Kalau tak ingin mencintainya, mengapa Tuan Edward menikahinya?” bisiknya lirih. “Untuk apa pernikahan kalau hanya untuk menyakitinya begini?”
Hatinya mendesak, ingin menolong, tapi langkahnya tetap ragu.
“Aku cuma pelayan... cuma orang tua yang tak bisa melawan majikannya sendiri. Tapi kalau saja aku bisa... aku ingin membawa Nyonya pergi dari tempat ini.”
Ia menunduk dalam, suara tercekat.
“Maafkan saya, Nyonya. Maaf karena hanya bisa melihat Anda hancur, tanpa bisa menghentikannya.”
Ia melangkah mundur, hati-hati agar tak membangunkan Laras.
Dan saat pintu ditutup perlahan, hanya angin pagi dan burung-burung yang menjadi saksi. Saksi atas luka yang tak terlihat, tapi nyata menyakitkan.
Tak lama setelah pelayan pergi, Laras terbangun perlahan, kelopak matanya berat. Tubuhnya terasa kaku. Ia buru-buru duduk tegak, merapikan selimut tipis yang entah sejak kapan menutupi tubuhnya.
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Laras menoleh dan menemukan Edward berdiri di ambang pintu balkon. Rambutnya masih basah, tetesan air mengalir dari pelipis ke rahangnya. Sebuah handuk putih melilit di pinggangnya. Aroma sabun mandi pria masih melekat kuat di udara.
Namun, tak ada sedikit pun kekaguman dalam diri Laras—yang ia rasakan justru mual.
"Apa dia ingin memamerkan bentuk tubuhnya padaku?" Tatapan Laras begitu dingin, menusuk. "Tubuh itu, seberapa pun proporsional dan terawatnya, bagiku tak lebih dari kumpulan daging menjijikkan yang telah bersentuhan dan menyatu dengan banyak wanita."
Edward sempat mengangkat alis, menyeringai tipis, namun senyum itu perlahan luntur saat menyadari jijik yang terpancar jelas dari mata istrinya. Ia mendengus pelan, menelan sisa egonya bersama udara pagi.
Tatapan pria itu turun perlahan, seolah melihat sesuatu yang tak layak berada di hadapannya. Bibirnya tertarik membentuk senyum tipis yang lebih mirip ejekan.
“Kau kelihatan… menyedihkan,” katanya akhirnya, nyaris berbisik. “Seperti boneka rusak yang bahkan toko loak pun enggan memajangnya.”
Laras menegakkan punggung, mencoba tak goyah.
Edward menyeringai kecil. “Oh ya, kau masih bisa bekerja di tempatmu dulu. Aku sudah bicarakan dengan atasanmu. Kerja sama akan tetap jalan... dengan catatan kau tetap profesional. Kupikir, memiliki seorang istri yang masih menjadi karyawan bawahan akan memberi kesan ‘rendah hati’ padaku.”
Ia mendekat, bersandar santai di tepi balkon. “Dan karena kau tinggal di rumahku, aku akan memberimu uang belanja... lima juta sebulan. Cukup, 'kan? Jangan sampai penampilanmu mempermalukan aku di luar. Kalau kau berani tampil seperti kemarin—aku akan pastikan kau menyesal.”
Laras menelan ludah. Tangannya mengepal di pangkuan.
“Tapi lebih dari itu...” Suara Edward menurun nadanya, menjadi lebih dingin. “Aku sudah menghubungi dokter. Kau harus mulai terapi.”
“Terapi?” Laras mengerutkan kening.
“Jangan pura-pura lupa,” suara Edward rendah namun tajam. “Aku masih ingat jelas kata dokter kemarin—kondisimu itu, vaginismus, membuat tubuhmu menolak saat berhubungan badan.”
Tatapan dinginnya menusuk lurus ke mata Laras. “Aku tak ingin kau menamparku… apalagi menendangku, saat aku meminta hakku sebagai suami.”
Ia mendekat satu langkah, cukup dekat hingga napasnya terasa di wajah Laras.
Laras membuang muka, rahangnya mengeras.
“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Jadi, kau harus mulai terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik tepat di telinganya, “...aku pastikan kau tetap ada di kamar ini... mengikatmu di samping ranjang setiap malam. Tanpa busana. Menjadi penonton setiap kali aku menikmati wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar. Tapi kali ini ia menatap Edward tanpa gentar—tatapan penuh muak dan jijik yang tak lagi bisa disembunyikan. “Kau memang sejak awal... tak lebih dari monster,” bisiknya serak, seperti meludah luka yang terlalu lama ia pendam.
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
***
Bayu berdiri di balkon kamarnya, matanya menatap kosong ke arah lampu-lampu kota yang berkedip seperti ejekan. Angin malam meniup rambutnya, tapi yang membuat dadanya sesak bukan udara dingin, melainkan kenangan yang terus menghantui.
"Laras..." gumamnya lirih.
Malam itu...
Ia menyelinap ke kamar hotel dengan menyamar sebagai staf. Hanya untuk melihat Laras, gadis yang seharusnya jadi istrinya hari itu.
Laras berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin berenda putih yang menonjolkan kesederhanaan dan keanggunannya sekaligus. Cantik. Sangat cantik. Tapi bukan untuknya.
Saat mata mereka bertemu, waktu seolah membeku.
"Aku sudah bilang, Bayu," ucap Laras akhirnya, suaranya terdengar datar, nyaris tanpa emosi. "Aku memilih ini. Aku ingin menikah dengan Edward."
Bayu menatapnya dengan mata merah, rahangnya mengatup keras. “Kau bohong…”
Laras mengangkat dagunya, mencoba terlihat kuat meski suaranya bergetar samar. “Kalau itu yang kau pikirkan, maka itu urusanmu. Aku tidak akan mengulanginya lagi.”
Bayu mengepalkan tangannya, sorot matanya penuh kepedihan. "Jadi… kau benar-benar ingin aku pergi?"
Laras menatapnya satu kali lagi—tatapan yang penuh luka yang tak pernah bisa diucapkan. Dan ketika ia berbalik, Bayu tahu… itu bukan penolakan, tapi pengorbanan.
“Pergilah sebelum mereka menemukanmu.”
Mengingat kenangan itu, Bayu menghela napas berat. Ia melangkah pelan masuk ke dalam kamarnya, membiarkan tirai balkon tetap terbuka. Ia duduk di tepi ranjang dengan napas berat.
Ponselnya ia tarik dari saku celana, layarnya menyala dalam gelap. Jari-jarinya gemetar sedikit saat membuka galeri—dan di sanalah, foto Laras. Foto candid yang diambil diam-diam saat mereka dulu duduk berdua di taman kafe, Laras tertawa kecil sambil memainkan ujung rambutnya yang diacak angin.
Wajah itu masih sama… tapi tidak lagi ceria seperti dulu.
"Kalau kau benar-benar memilih dia karena cinta…" bisik Bayu lirih, "kenapa sorot matamu waktu itu seolah minta diselamatkan?"
Ia mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Laras bukan tipe wanita yang silau oleh kekayaan. Ia tahu itu lebih dari siapapun. Laras mencintainya… Ia masih yakin akan hal itu.
Dan sesuatu pasti telah terjadi.
"Aku akan cari tahu, Ras," gumamnya pelan namun pasti. "Apapun alasannya, aku harus tahu kenapa kau memilih menikah dengan pria itu."
Tatapannya berubah tajam. Bukan hanya karena rasa cinta—tapi karena naluri. Ada sesuatu yang salah sejak malam itu. Dan Bayu bersumpah dalam hati, jika Laras dipaksa, disakiti, atau dijebak… maka tak akan ada tempat aman untuk pria bernama Edward.
***
Sore itu, Laras nyaris tak berkedip saat Edward melangkah masuk ke kamar, kancing kemejanya masih terbuka sebagian, dan senyumnya penuh kemenangan. Ia berjalan santai, lalu berhenti sejenak di depan cermin. Satu tangannya menyisir rambut ke belakang, sementara ibu jarinya… mengusap bibirnya perlahan.
Gerakan kecil itu menghantam Laras seperti kilasan samar yang menyakitkan. "Kenapa gerakan itu terasa familiar, seolah aku pernah melihat kebiasaan itu sebelumnya—di tempat lain, pada pria lain?"
Perutnya melilit tanpa alasan. Sebuah rasa takut yang tak bisa ia beri nama merayap naik ke dadanya. Ia menunduk perlahan, menatap cincin sederhana yang masih melingkar di jari manisnya—logam kecil yang pernah menjadi lambang harapan.
Dulu, Bayu yang menyelipkan cincin itu ke jarinya dengan janji, "Suatu hari cincin ini akan kuganti dengan cincin berlian, Laras. Tapi bukan sekarang. Nanti. Saat semua sudah siap."
Laras menarik napas panjang, matanya mulai basah. "Berapa banyak janji yang pernah membuatku hidup? Dan sekarang… berapa banyak yang membunuhku pelan-pelan?"
Laras menghela napas berat.
"Sekarang, cincin ini terasa seperti belenggu. Pengingat bahwa harapanku telah dikubur, dan sebagai gantinya… aku harus menyaksikan neraka di balik pintu kamar ini."
Ia menarik napas pelan, matanya kembali pada Edward. Tatapan pria itu tak biasa—bukan sekadar dingin atau kasar. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih tajam. Dan untuk pertama kalinya, Laras mulai bertanya-tanya… "Siapa sebenarnya Edward?"
"Apakah aku pernah benar-benar mengenalnya? Atau sejak awal, aku hanya menikahi bayangan yang dia ciptakan… sementara wajah aslinya tersembunyi di tempat yang bahkan Tuhan enggan menyentuhnya?"
Seketika, Laras merasa kecil. Sendiri. Terjebak di tengah badai yang tak bisa ia lawan, hanya bisa ia rasakan menerjang tubuhnya berulang kali.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!