Seorang pria dengan rambut dicukur undercut tengah melangkah melewati penuh sesak orang di bandara. Celana jeans dipadu dengan kaos ketat tampak serasi membalut tubuhnya yang memang tampak kekar. Matanya menatap jalanan dengan pandangan dingin dan segera melangkah mendekati pintu keluar bandara. Sesekali melemparkan lirikan mencari seseorang yang dikenalnya.
“Om Bara,” teriak seorang anak kecil yang terdengar begitu dekat.
Bara yang merasa namanya dipanggil segera mencari ke asal suara. Matanya menatap dua orang dewasa dan satu anak kecil yang tengah berdiri di antara mereka tengah melambai ke arahnya. Wajah datar yang sejak tadi ditunjukan perlahan berubah. Ada senyum tipis yang tercetak di bibirnya. Sangat tipis hingga tidak ada orang yang bisa melihatnya.
Bara segera melangkah mendekati kakaknya yang sudah tampak begitu antusias. Langkahnya semakin cepat ketika dilihat kakaknya juga ikut mendekatinya. Setelah sampai di depannya, Bara segera menjabat tangan kedua kakaknya dan menatap keponakannya dengan tampang gemas.
“Morning, kecil. Gimana kabarnya?” sapa Bara dengan wajah yang masih tampak kaku.
“Jelas, dong. Makanya sekarang Gibran ada di sini. Jemput Om Bara,” jawab anak kecil berusia enam tahun tersebut.
Bara hanya terkekeh kecil dan menatap kakaknya yang sudah memandang dengan air mata menggenang di pelupuk mata. “Kakak kenapa nangis?” tanya Bara dengan pandangan hangat.
Rika yang mendegar segera menghapus air matanya dan menggeleng pelan. “Aku hanya merasa bahagia dengan kelulusan kamu kali ini. Aku benar-benar bangga,” ucap Rika yang langsung memeluk Bara erat.
Bara menghela napas dan memeluk kakaknya lembut. Dia merasa bahagia bisa bertemu dengan keluarga kecil kakaknya yang ternyata benar-benar bahagia. Randy menjaga kakaknya dengan begitu baik.
“Maaf, saat kamu wisuda kakak tidak bisa datang,” ujar Rika penuh penyesalan.
Bara tersenyum dan mengangguk. “Tidak masalah. Aku tahu kondisi kehamilan kakak yang kedua tidak memungkinkan untuk datang ke sana,” ucap Bara yang langsung melepaskan pelukannya, menatap kakaknya dengan senyum menenangkan. Matanya menatap perut buncit Rika yang sudah semakin membesar dan tinggal menunggu waktu saja.
“Selamat untuk kelulusanmu, Bara,” ucap Randy yang sejak tadi dilupakan.
Bara yang disapa segera menatap ke arah Randy dan tersenyum. “Terima kasih, Kak. Terima kasih karena sudah menjaga mereka selama ini.”
Randy menepuk pelan pundak Bara dan mengangguk. “Aku pasti menjaga mereka. Mereka jauh lebih penting dari apa pun.”
Bara yang mendengar langsung menganguk dan tersenyum. Matanya masih menatap Rika yang bergelanyut manja di lengannya. Hatinya benar-benar menghangat melihat begitu besar rasa cinta Randy untuk kakaknya.
“Kalau begitu, ayo kita pulang. Kakakmu akan menyiapkan makanan spesial untuk menyambut kedatanganmu,” ajak Randy.
Bara mengangguk dan kembali mengikuti langkah kakak iparnya yang sudah melangkah bersama dengan Gibran, putra pertama Randy dan Rika. Dalam hati Bara benar-benar merasa tenang. Setidaknya keputusannya untuk mengatakan kebenaran kepada Randy bukanlah hal yang salah.
“Kakak bahagia dengan Randy?” tanya Bara sembari menatap kakaknya yang masih berjalan di dekatnya.
Rika yang ditanya mengangguk dan tersenyum. “Tentu. Aku sangat bahagia. Terima kasih karena kamu sudah mengatakan semuanya kepada Randy. Aku tidak tahu jika dulu aku masih tetap kekeh dengan pendirianku, akan jadi apa kehidupanku dan Gibran nantinya.”
Bara mengelus puncak kepala kakaknya dan tersenyum manis. “Aku cukup bahagia melihat keluarga kecil Kakak selalu bahagia,” ucap Bara tulus dan melangkah menyusul Randy dan Gibran yang suda semakin jauh.
*****
Setelah sampai di rumah Randy, Bara segera meletakan tasnya di lemari yang sudah disiapkan. Kamar yang sama yang selalu digunakan ketika dia kembali dari study-nya. Dia langsung membersihkan diri dan segera keluar. Dia tahu, kakaknya masih sibuk memasak di dapur. Padahal dia yakin, kandungan Rika sudah mencapai usia delapan atau bahkan sembilan dan tinggal menunggu hari kelahiran anak ke dua.
Bara menuruni tangga dan menuju ke dapur. Tampak di sana Rika tengah sibuk dengan penggoreng dan beberapa alat masak yang lain. Kakinya segera melangkah mendatangi kakaknya dan menatap dengan pandangan lekat.
“Kakak sudah hamil besar kenapa malah memasak?” tanya Bara yang sudah berada di belakang Rika.
Rika yang mendengar langsung membalikan tubuhnya dan menatap Bara yang tengah berdiri di kusen pintu. “Kakak harus menyambut kedatangan kamu dan sebagai ucapan syukur karena kamu sudah lulus dengan nilai yang sangat bagus,” ucap Rika dengan wajah berseri begitu bahagia. Bahkan, sejak mendengar kepulangan adiknya, dia sudah begitu bahagia.
Bara hanya terkekeh kecil dan menatap kakaknya dengan pandangan tidak percaya. “Kak, kamu tidak perlu memperhatikanku begitu besar. Aku tidak butuh penyambutan atau perayaan ini. Aku senang melihatmu bahagia dan itu sudah cukup,” ujar Bara yang memang tidak suka dengan pesta atau apa pun bentuknya.
“Kenapa memangnya? Kamu malu kakak memperhatikanmu? Aku kira kamu masih anak kecil yang selalu merengek meminta permen sama kakak,” sahut Rika dengan bibir mengulum senyum.
Bara yang mendegar berdecak kesal dan menatap kakaknya tajam. “Jangan ingatkan aku tentang itu, Kak. Aku sudah cukup dewasa. Aku bahkan sudah menjadi seorang Master,” kata Bara mulai membanggakan diri sendiri.
Rika yang mendengar semakin terkikik melihat kelakuan adiknya. Rika melangkah dan mengacak rambut adiknya pelan, membuat rambut yang tertata rapi menjadi sedikit berantakan. Matanya menatap tajam ke arah Bara dan tersenyum lembut.
“Tetapi kakak penasaran, kapan pria yang bahkan sudah menyelesaikan study-nya di Jepang sampai strata dua ini akan datang mengenalkan kekasihnya?” tanya Rika dengan mata menatap adiknya.
Wajah ceria yang sempat ditunjukan Bara langsung berubah menjadi muram. Senyumnya menghilang berganti dengan wajah datar dan tatapan tidak suka. “Kak, kita pernah membahas masalah ini. Kakak tau apa pun yang....
“Bara,” potong Rika dengan suara yang masih tetap melembut, “kamu harus melupakan masa lalu, Bara. Kamu harus mulai menata hidupmu kembali. Tidak semua wanita sama. Buktinya Kakak tidak meninggalkanmu sama sekali,” kata Rika menyadarkan adiknya dengan dunia yang sudah berbeda. Menghilangkan semua pikiran buruk adiknya tentang wanita.
Bara menatap Rika dengan pandangan tajam dan terkesan menusuk. “Kakak berbeda. Kakak memiliki nasib yang sama denganku. Kita sama-sama ditinggalkan oleh ibu yang tidak berhati dan ayah yang tidak berotak. Kita sama-sama menderita. Itu sebabnya kita mampu saling menyayangi dan Kakak adalah malaikat dalam hidupku,” jelas Bara masih kekeh dengan perasaannya.
Rika menghela napas pelan dan mengelus adiknya. “Itu sebabnya, carilah wanita yang bisa menjadi seperti kakak. Mampu merasakan luka dan juga kabahagiaanmu. Carilah wanita yang membuatmu merasa nyaman dengan semua sikapmu. Kakak yakin, ada wanita yang bisa membuatmu merasakan bagaimana indahnya cinta, Bara.”
Bara menghela napas panjang dan menatap kakaknya dengan pandangan melembut. “Kak, Bara tidak mau membahas masalah ini lagi. Bara cukup senang hidup sendiri dan yang pasti, jika ada wanita seperti yang Kakak katakan, Bara adalah orang pertama yang akan pergi sejauh mungkin,” ucap Bara dan langsung pergi dari dapur. Dia enggan berdebat dengan Rika dan jauh memilih menghindar.
Rika yang melihat adiknya menjauh hanya menghela napas panjang dan menatap Bara sampai tidak terlihat lagi. “Mama telah meninggalkan trauma yang dalam sama Bara, ma,” keluh Rika dengan perasaan bercampur aduk.
*****
Gadis dengan rambut panjang lurus tengah menatap tampilan dirinya di cermin meja rias di kamarnya. Mata bening yang selalu mengenakan kontak lens berwarna biru muda itu tampak serasi dengan kulit putihnya. Bibir merah alami membuatnya semakin tampak cantik dan juga anggun.
Alice Surya Pranata, anak tunggal dari pasangan Surya Pranata dan Galuh Ajeng. Pewaris tunggal perusahaan Surya Company. Gadis anggun yang tampak begitu sempurna. Namun, bagaimana pun manusia memang tidaklah pernah sempurna. Alice sering melakukan kesalahan dan tidak bisa membuat dirinya tampil seperti malaikat tanpa dosa.
Alice mulai menggores wajahnya dengan make up tipis dan masih tampak natural. Statusnya sebagai wakil kepala Direktur membuatya harus tampak sesesmpurna mungkin dengan fisik yang kuat. Papanya benar-benar tengah memeprsiapkan diri untuk membuatnya menggantikan posisi pria yang sudah merawatnya sejak kecil.
“Sayang, kamu sudah selesai?” tanya seorang wanita yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya dengan jemari yang menggenggam gagang pintu. Mata teduh yang selalu disukai Alice tengah menatapnya dengan penuh kelembutan.
Alice yang melihat buru-buru mengenakan lipstik dengan sangat tipis dan segera berlari ke arah mamanya. “Sudah, Ma,” ucap Alice dengan wajah riang.
Galuh yang melihat anaknya begitu bahagia langsung tersenyum senang. Jemarinya menggenggam jemari Alice dan segera melangkah menuruni anak tangga.
“Kenapa kamu tampak begitu bahagia? Ada yang spesial di hari ini?” tanya Galuh dengan mata menyelidik.
Alice yang ditegur hanya tersenyum kecil dan menggeleng. “Tidak, Ma. Hanya saja, Alice merasa begitu bahagia saja sejak pagi. Mungkin Papa atau Mama mau memberikan hadiah untuk Alice,” ucap Alice bergurau.
“Memangnya kamu sedang berulang tahun?” goda Galuh dengan tawa kecil.
Alice tertawa kecil dan memeluk mamanya erat. Rasanya dia benar-benar merasakan ketenangan ketika memeluk wanita yang selalu memanjakannya saat ini. Belum lagi, papa yang juga menyayanginya dengan begitu dalam. Alice merasa bersyukur bisa menjadi bagian dari keluarga Surya Pranata.
Alice sudah menuruni anak tangga terakhir dan melihat pria dengan wajah tegas tengah duduk dengan mata menatap tulisan di koran pagi ini. dengan cepat dia melepaskan pelukannya, berlari ke arah papanya dan memeluknya dengan erat.
“Morning Papa,” sapa Alice dengan suara suara riang, memberikan sapaan yang selalu diucapkannya setiap pagi.
Surya yang sudah melihat anaknya datang segera melipat korannya dan meletakan di meja. Senyumnya langsung terukir ketika melihat Alice sudah mulai melepaskan pelukanya dan duduk di sebelahnya. Diikuti Galuh yang juga duduk di sisi lain sebelahnya.
“Pagi, sayang. Apa tidurmu nyenyak?” tanya Surya dengan pandangan lembut.
Alice mengangguk. “Tentu saja,” ucap Alice dengan pandangan antusias. Dia tidak perlu menceritakan mengenai mimpi yang masih sering dilihatnya, kan? Dia tidak mau melihat kedua orang tuanya merasa begitu khawatir nantinya.
Surya yang mendengar langsung diam. Dia segera menyendok makanan yang sudah disiapkan oleh istrinya. Suasana kembali hening ketika semuanya sibuk makan. Hanya denting piring dan sendok yang saling beradu, menjadikan tempat sunyi tersebut memiliki sedikit suara.
Lama mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, sampai akhirnya Surya selesai dan sudha mengelap mulutnya. Matanya menatap Alice dengan pandangan yang masih sama. “Sayang, hari ini kamu bereskan semua barang-barang kamu karena mulai besok kamu sudah tidak bekerja di perusahaan papa lagi,” ucap Surya dengan pandangan lekat.
Alice yang baru akan menyendok makanan terakhirnya langsung diam dan menatap papanya lekat. “Alice dipecat, Pa?” tanya Alice dengan mata menatap tajam. “Apa Alice melakukan kesalahan selama bekerja?”
Surya yang melihat pandangan khawatir dari anaknya langsung menggeleng dan mengelus kepala anaknya pelan. “Tidak, Alice. Papa tidak memecatmu. Papa hanya memindahkanmu ke kantor cabang kita yang baru. Papa yakin kamu akan bisa membuatnya lebih maju lagi.”
“Besok akan ada pegawai baru yang membantumu. Papa yakin, dia akan sangat membantu pekerjaanmu. Dia benar-benar hebat di usianya yang masih terbilang muda,” lanjut Surya dengan penuh keyakinan.
Alice yang mendenggar langsung mengangguk dan tersenyum. “Alice akan membuatnya menjadi maju, Pa. Alice janji,” ucap Alice tidak menyangka kalau papanya akan mempercayakan perusahaan cabang untuk dipimpinnya.
Surya yang mendengar hanya mengangguk dan menepuk pelan puncak kepala anaknya. Dia yakin dengan semua kemampuan Alice yang memang begitu cerdas. Bahkan, perusahaannya juga lebih maju karena usaha Alice selama ini.
Galuh yang sejak tadi diam hanya tersenyum melihat kedekatan anaknya dengan sang suami. Aku senang kalian benar-benar akur, batin Galuh melanjutkan acara sarapannya.
*****
Alice turun dari mobil dan segera melangkah memasuki bangunan dengan lantai tujuh yang berdiri tepat di depannya. Langkahnya segar masuk ketika pria berpakaian hitam membukakan pintu untuknya dan mengumbar senyum singkat.
“Pagi, Pak. Apa kabar?” tanya Alice ramah.
“Pagi juga, Non Alice. Kabar saya baik. Nona juga bagaimana kabarnya?”
“Saya baik, Pak. Terima kasih sudah membukakan pintu untuk saya. Kalau begitu saya harus segera ke ruangan. Selamat bekerja, Pak.”
Alice langsung kembali melangkah memasuki gedung tersebut semakin dalam. Senyumnya masih belum juga luntur. Ritual pagi yang selalu dilakukan, menyapa seluruh karyawan yang ditemuinya dengan begitu ramah. Membuat beberapa karyawan yang juga bertemu dengannya menjadi tersenyum dan melakukan hal yang sama. Bahkan, dengan begitu seluruh karyawan hormat dan bersikap baik kepadanya. Tidak ada yang pernah membicarakan atau berbuat buruk kepada Alice sama sekali.
Alice menghentikan langkahnya ketika sudah sampai di depan pintu besi yang masih menutup dan langsung menekan tombol yang sudah disiapkan. Tidak lama kemudian, pintu tersebut sudah terbuka dan Alice segera masuk. Jemarinya menekan angka tiga untuk menyapa seseorang yang juga berarti dalam hidupnya.
“Huft, aku merasa hari ini benar-benar membahagiakan,” gumam Alice dengan wajah sumringah. “Aku penasaran, orang seperti apa yang akan menjadi partnerku nantinya. Aku harap dia adalah orang yang benar-benar bisa diandalkan dan baik.”
Alice menghela napas panjang dan segera keluar ketika pintu terbuka. Sepanjang lorong menuju ke ruangannya, semua karyawan menyapanya dengan begitu ramah dan dia menyukainya.
Bukannya segera masuk ke ruangan, Alice malah memilih masuk ke ruangan lain. Dia membuka pintu di depannnya dan menatap seseorang yang tengah sibuk dengan berbagai map di depannya.
“Selamat pagi, Dara,” sapa Alice dengan senyum penuh kebahagiaan dan segera masuk.
Gadis berkacamata di depannya hanya berdecak kecil melihat kehadirannya. “Alice, aku sedang sibuk. Jika kamu mau meminta tolong nanti dulu, ya. Hari ini divisiku akan melakukan rapat pagi dan aku lupa menyiapkan berkas-berkasnya,” ucap Dara yang tidak lepas dari kertas dan laptop di depannya.
“He? Aku bahkan tidak mau meminta bantuan apa pun ke sini,” protes Alice tidak suka.
“Terus, kamu mau ngapain ke sini?” tanya Dara tanpa mengalihkan pandangan.
Alice berdiri dengan tegap dan berdehem sejenak. “Aku cuma mau bilang, mulai besok aku tidak akan bekerja di sini,” jawab Alice membuat Dara mengehentikan aktivitasnya dan berbalik menatap Alice dengan kening berkerut. “Karena mulai besok aku sudah ditugaskan untuk memimpin perusahaan cabang,” lanjut Alice dengan wajah riang.
“Apa?” tanya Dara yang masih melongo tidak percaya.
“Iya, mulai besok aku sudah ditugaskan untuk memimpin perusahaan cabang,” ulang Alice dengan senyum sumringah.
“Aaaa....selamat.” Dara langsung berlari dan memeluk Alice erat. Alice hanya tertawa kecil melihat ekspresi Dara yang menurutnya berlebihan.
Aku sudah janji akan bahagia, kan, Randy. Sekarang aku bahagia, batin Alice senang.
*****
💞💞💞💞
Halo semuanya...Kim datang lagi nih bawa cerita Bara, Alice dan juga Dave. Jangan lupa tinggalkan like, comment, tambah ke favorit, vote dan follow Kim ya. Boleh juga kalau mau kasih ucapan selamat tahun baru buat Kim. Terserah deh di karya yang mana saja. hehe
Yuk baca cerita Kim yang lain. Judulnya "Wedding with My lecturer". Jangan lupa tinggalkan like, comment, tambah ke favorit, vote.
Baca juga Wedding Drama dan jangan hapus dari daftar favorit ya. Karena Kim mau kasih beberapa part extra nantinya.
Selamat membaca sayang-sayangkuh. 😚😚😚😚
💞💞💞💞
“Bagaimana pekerjaan kamu, Dave?” tanya seorang wanita dengan pakaian rapi yang tengah memakan sarapannya.
Dave yang sedang duduk di depannya mendongakan kepala dan tersenyum. “Baik, Ma.”
“Apa Michael jahat?” tanya Mamanya lagi karena takut kalau anaknya disakiti oleh Michael. Dia mendengar dari orang-orang bahwa selama ini Michael selalu bertingkah kasar kepada siapa pun. Namun, dia sendiri belum tahu seperti apa bentuk seorang Michael yang diceritakan banyak orang.
Dave yang selalu mendapat pertanyaan yang sama langsung tersenyum sembari menatap mamanya. Jemarinya langsung menggenggam lembut buku jari wanita yang sudah melahirkannya. “Kenapa Mama selalu menanyakan hal yang sama setiap hari? Padahal Dave sudah menjawabnya setiap hari,” ucap Dave lembut.
Renita hanya menundukan kepala pelan. “Mama hanya merasa takut jika Michael menyakitimu,” jawab Renita pelan.
Dave tersenyum dan mengangkat wajah mamanya. Perlahan dia menggeleng sembari tersenyum. “Michael tidak pernah menyakiti Dave, Ma. Michael itu orang baik. Dia bos pengertian dan juga sangat perhatian dengan kondisi karyawannya,” jelas Dave pelan.
“Kamu yakin tidak sedang membohongi Mama?” Renita menatap Dave dengan mata teduh menyelidik.
Dave tertawa kecil dan mengegeleng. “Untuk apa Dave berbohong, Ma? Dave mengatakan yang sebenarnya.”
Renita yang mendengar menghela napas lega dan menatap anaknya dengan senyum manis. “Mama lega kalau memang dia seperti itu. Mama pikir kamu selalu disakiti dan dimarah ketika kerja.”
Dave yang mendengar mengerutkan kening heran. “Kenapa Mama bisa berpikir seperti itu?” tanya Dave penasaran. Dia bahkan sudah meninggalkan acara sarapannya dan sibuk menatap mamanya dengan rasa penasraan yang membuncah. Sebenarnya apa yang sudah didengar mamanya?
“Kata orang-orang bilang, Michael itu pria galak dan tidak berperasaan. Dia rela menyakiti siapa pun hanya untuk kesenangannya. Makanya, ibu-ibu tetangga kita langsung menyerbu ke rumah kita ketika tahu kamu kerja di kantor Michael. Mama jadi takut kalau yang mereka katakan itu adalah benar,” ucap Renita dengan memperhatikan anaknya yang hanya tersenyum.
Dave hanya tersenyum mendengarnya. Jadi, itu yang dikatakan tetangga-tetangga baruya? Ya, Dave memutuskan menjual rumah utamanya dan berpindah tempat, membeli rumah yang tidak terlalu besar karena hanya ditempati olehnya, Renita dan satu asisten rumah tangga.
“Ma, jika ada yang mengatakan hal itu lagi, katakan kepada Ibu itu bahwa itu semua salah. Michael adalah pria baik dan bahkan sangat baik. Dia tidak pernah menyakiti siapa pun,” jelas Dave dengan senyum menenangkan.
Setidaknya setelah menikah dengan Vinda, batin Dave.
Renita yang mendengar langsung mengangguk senang. Dave yang melihat mamanya sudah merasa baikan langsung tersenyum senang. Dia juga tidak berusaha mengelak dan menyalahkan apa yang dikatakan tetangganya karena memang Micahel seperti itu. Namun, itu adalah dulu. Sekarang Michael sudah menjadi pria baik-baik dan tidak pernah melakukan kejahatan seperti sebelumnya.
Michael, ternyata reputasimu memang sudah hancur sejak dulu, bahkan dikalangan ibu-ibu, batin Dave sembari melanjutkan sarapannya.
*****
Sesudah sarapan, Dave langsung melajukan mobilnya menuju kantor. Hanya butuh lima belas menit sampai akhirnya dia sampai di kantor karena jarak rumah yang begitu dekat. Ditambah dengan jalanan sepi karena dia sengaja memilih perumahan di bagian dalam dan bukan tepat di depan jalan raya. Tujuannya agar mamanya merasa nyaman dan tidak terlalu bising.
Dave keluar dari mobil dan segera masuk. Dia masih bekerja di perusahaan Michael. Bedanya saat ini dia sudah menjabat sebagai manajer marketing. Dave cukup bersyukur dengan kebaikan Michael dan tentu saja Vinda yang saat itu ambil alih untuk membantunya.
Dave hendak masuk ketika sebuah panggilan menghentikan langkahnya.
“Dave.”
Dave langsung menengok dan menatap Michael tengah melangkah bersama seorang anak kecil yang menatapnya dingin. “Hai, Ael. Ada apa?” tanya Dave dengan kening berkerut karena Michael tampak tergesa-gesa.
Dave menatap Michael yang sudah berdiri di depanya dan tersenyum menatap anak laki-laki di sebelah atasannya. “Pagi, Mikail,” sapa Dave dengan tangan mengepal yang sudah dijulurkan.
Mikail, anak pertama dari Michael dan Vinda tersebut langsung melakukan hal yang sama dan meninjukan pelan kepalan mereka. “Pagi juga, uncle,” jawab Mikail tanpa ekpresi.
Dave mengabaikan Mikail dan kembali fokus dengan Michael yang masih menatapnya. “Ada apa? Ada masalah?” tanya Dave penasaran.
“Apa hari ini kamu ada jadwal rapat?” tanya Michael dengan wajah khawatir.
“Tidak. Aku hari ini lumayan senggang karena memang sudah diselesaikan kemarin. Hanya sedikit tugas yang harus dikerjakan,” jawab Dave penasaran. Memangnya kenapa dengan jadwalnya?
Michael yang mendengar bernapas lega. “Syukurlah. Aku ada rapat pagi ini dan aku tidak tega meninggalkan Mikail di ruanganku sendiri. Jadi, bisa aku titip dia sebentar?” tanya Michael dengan mata memohon, “Vinda sedang menemani mamaku berbelanja. Sebentar lagi dia akan datang.”
“Dad, Mikail bisa di tunggu diruangan. Nanti ketika Moms datang, Mikail bisa bersama dengannya. Mikail hanya akan diam menunggu saja,” protes Mikail dengan wajah tidak suka.
“No. Kamu gak boleh sendiri. Kamu ikut Om Dave atau Dad....”
“Oke,” putus Mikail singkat.
Dave yang melihat hanya diam. “Baiklah. Aku akan menjaganya,” putus Dave membuat Michael lega.
“Terima kasih,” ucap Michael yang langsung berlari.
Dave yang melihat atasannya sudah menjauh langsung mengajak Mikail masuk ke ruangan. Mereka sudah dekat sejak Mikail masih kecil, itu sebabnya bocah berusia hampir enam tahun tersebut tidak banyak permintaan ketika ditinggalkan bersama dengannya. Karena Mikail tipe pemilih dan Dave tahu itu.
*****
Sudah dua jam sejak Mikail ditinggalkan di ruangan Dave. Dave hanya sibuk dengan pekerjaannya dan sesekali melirik Mikail yang masih diam di sofa ruangannya. Jemarinya tidak henti memainkan ponselnya dan mata yang menatap lekat. Tidak ada ekspresi sama sekali. Dave berpikir, apa selama mengandung, Vinda merasa tidak bahagia? Sampai anak yang dilahirkannya minim ekspresi.
“Om, kerjaannya sudah selesai?” tanya Mikail dengan mata yang tidak lepas dari gadget-nya.
Dave yang ditegus masih menatap cuek ke arah Mikail. “Tinggal sebentar lagi. Kenapa? Kamu lapar?”
“Tidak. Hanya saja, kalau belum selesai kenapa malah lihatin Mikail terus. Lebih baik Om Dave kerjakan saja tugasnya,” jelas Mikail dengan suara datar.
Dave yang mendengar hanya tertawa kecil mendengar ucapan Mikail. Dia baru saja diceramahi bocah yang bahkan belum genap berusia enam tahun. Menyadari hal tersebut membuat Dave menggeleng tidak percaya. Dia selalu merasa salah ketika berhadapan dengan Mikail. Dia merasa sifat Michael sudah menurun kepada anaknya.
“Kenapa kamu tidak ikut sama Moms kamu?” tanya Dave dengan rasa penasaran karena biasanya Mikail tidak pernah berpisah lama dari Vinda.
Mikail menghentikan gerakannya dan menatap Dave dengan pandangan dingin. “Om, akan lebih baik kalau pekerjaannya diselesaikan terlebih dahulu, baru boleh tanya-tanya. Dari pada nanti kena marah Dad Ael,” tegur Mikail dengan wajah tanpa ekspresi.
Dave menggeleng kepala heran. “Dasar, keturunan Michael. Benar-benar minim ekpresi,” gumam Dave sembari mengulum senyum
*****
💞💞💞💞
Selamat natal untuk semua yang merayakan. Semoga berkah natal kali ini bsia menjadi berkah kita semua.
Selamat membaca sayang-sayangkuh. Jangan lupa tinggalkan like, comment, tambah ke daftar favorit, vote dan follow Kim.
Jangan lupa juga, baca cerita Kim yang lain berjudul Wedding With My Lecturer. Jangan lupa tinggalkan like, comment, tambah ke daftar favorit, vote.
Baca juga Wedding Drama ya. Akan ada Give Away setelah extra part diupdate.
Untuk info lebih lanjut silahkan follow instagram Kim ya. @kimm.meili.
See you again sayang-sayangkuh
💞💞💞💞
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!