Gedung fakultas hari itu lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa berlalu-lalang dengan wajah panik, membawa map biru tebal berisi dokumen penting yang bisa menentukan hidup dan mati mereka tesis. Di antara keramaian itu, Renatta Zephyra melangkah cepat, rok span hitamnya hampir membuatnya tersandung sendiri.
"Kenapa juga gue harus lupa bawa flashdisk hari ini?" gerutunya sambil terus berjalan.
Ia baru saja mencetak ulang berkas presentasi tesisnya setelah menyadari bahwa ia memberikan versi revisi yang salah ke bagian akademik. Dan kelas sastra dimulai Lima belas menit lagi.
"Natta!"
Suara itu membuatnya menoleh. Sela, sahabatnya, berlari kecil dengan dua gelas kopi di tangan. Satu untuk dirinya sendiri, dan satu, seperti biasa, untuk menyuap mood Renatta yang selalu buruk kalau sedang panik.
"Gue dapet yang Lo suka! Caramel macchiato no ice!"
Renatta sempat tersenyum, tapi itu hanya berlangsung setengah detik sebelum ia melihat tragedi terjadi dalam gerakan lambat Sela tersandung tas seseorang dan kopi di tangannya terlempar ke udara, menuju arah yang sangat salah.
"AWAS!"
Refleks, Renatta mundur. Namun sialnya, tubuhnya justru mengenai seseorang yang berdiri di belakangnya. Ia merasa punggungnya membentur sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang. Seseorang yang tinggi dan… sangat tidak asing.
BRUK.
"Aduh!" Renatta menoleh cepat ke belakang, dan detik itu juga, ia terpaku.
Pria itu menatapnya dengan ekspresi datar, nyaris bosan. Rambutnya tersisir rapi, kemeja putihnya tidak kusut sedikit pun, dan map biru yang ia pegang kini terlindung sempurna di balik tubuh Renatta yang jadi tameng darurat. Sementara itu, kopi yang seharusnya mendarat di berkas pria itu, kini menghiasi lantai koridor.
Renatta membuka mulut, mau bilang sesuatu, tapi otaknya malah sibuk memproses betapa gantengnya pria itu.
Sial.
Kenapa manusia kayak gini harus muncul di saat yang sangat salah?
"Apa ada noda kopi nya?" tanya pria itu akhirnya.
Renatta mengangguk kaku, masih setengah terpesona. "I-Iya… kayaknya."
Pria itu menunduk memeriksa map birunya. Setelah memastikan tidak ada satu tetes kopi pun mengenai kertas-kertas pentingnya, ia menghela napas lega. Lalu, tanpa menatap Renatta lagi, ia berkata pelan, "Syukurlah."
Renatta sempat merasa hangat di dada sampai ia sadar bahwa 'syukurlah' itu bukan untuk dirinya.
"Tunggu… syukurlah? Buat… map itu?"
Pria itu mengangguk ringan, masih tanpa ekspresi. "Tesis mahasiswa. Kalau kena kopi, harus cetak ulang. Menyebalkan."
Renatta mengedip, tidak percaya. "Aku nyaris terjungkal, dan kamu cuma peduli sama berkasmu?"
Ia menatap pria itu lebih saksama, dan baru sadar ID card dosen penguji tergantung di dadanya. Nama di sana: Zavian Alaric.
Zavian Alaric. Dosen penguji yang kalau gosipnya benar dikenal galak, kaku, dan sangat, sangat sulit dilulusi.
Sempurna.
Zavian akhirnya menatapnya. "Kamu bisa berdiri sendiri, kan?"
Renatta menganga. "Aku bukan anak ayam yang butuh dituntun."
"Bagus. Maka saya tak perlu membantu."
Sela akhirnya sampai di sisi mereka, wajah panik. "Maaf! Maaf banget! Saya nggak sengaja!"
Zavian mengangguk sopan pada Sela, lalu menoleh kembali pada Renatta. "Lain kali hati-hati, Tapi terimakasih telah melindungi map saya."
Dan dengan kalimat seenaknya itu, ia berjalan pergi.
Renatta menatap punggung Zavian yang menjauh, rahangnya mengeras. "Dia... dia ngomong apa barusan?!"
Sela menepuk pundaknya pelan. "Gue rasa Lo baru aja berinteraksi dengan Zavian Alaric si dosen penguji super dingin."
Renatta menatap map di tangannya, lalu ke kopi yang berserakan di lantai.
Hari ini seharusnya jadi awal perubahan hidupnya.
Tapi ternyata, dia malah jadi tameng kopi, bertemu dengan dosen paling nyebelin sejagad kampus, dan kemungkinan besar, akan diuji oleh pria yang lebih peduli sama kertas daripada keselamatan manusia.
Sial. Dunia memang tidak adil.
Dan Renatta sudah tahu ia dan Zavian tidak akan pernah akur.
Atau… benarkah begitu?
***
Setelah kejadian super memalukan tadi pagi, Renatta menarik napas dalam-dalam dan memasuki ruang kuliah Sastra Modern. Ia masih harus mengikuti kelas meski hatinya setengah ambyar.
Ia memilih duduk di barisan tengah. Baru saja ia ingin membuka laptop, suara pintu terbuka membuat semua kepala menoleh.
Langkah tegap dan suara sepatu kulit yang menghentak lantai menggema di ruangan. Dan ketika pria itu masuk... dunia seakan berhenti sejenak. Semua mahasiswi terpaku.
Renatta menelan ludah. “Astaga…”
“Ya ampun ganteng banget..."
"Kok pak Zavian bisa ada di kelas kita?" tanya salah seorang teman sebangku yang duduk disamping Renatta.
“Dia dosen pengganti,” jawab Mira pelan. “Bu Raisa cuti hamil. Jadi, mulai sekarang... dia yang ngajar kita.”
Zavian Alaric pria dingin dan tampan, berdiri di depan kelas. Dengan gaya khas akademisi elegan, ia meletakkan mapnya di meja dosen, lalu menatap seluruh ruangan dengan aura yang tegas tapi menenangkan.
"Selamat pagi. Saya Zavian Alaric, dan saya akan menggantikan Ibu Raisa selama masa cuti beliau."
Suara baritonnya yang halus mengalun bak ASMR kelas atas. Grup chat kelas langsung meledak:
> [Astrid]: OMAAAAGAAAT INI DOSEN APA MODEL?!
> [Vina]: Suara dia tuh... bisa bikin aku lulus skripsi dalam sehari...
> [Clara]: Dia ngajarin sastra atau ngajarin cara jatuh cinta sih??
Renatta menepuk jidatnya, berarti selama beberapa hari kedepan ia akan terus bertemu dengan Zavian. Sungguh menyebalkan.
Renatta membuka roomchat dan mengirim pesan pada sela.
>[Renatta]: Demi apaaa... Zavian ada di kelas gue sekarang!!
>[Sela]: Hah seriusan??? Kok bisa??
>[Renatta]: Gantiin Bu Raisa selama masa cuti
>[Sela]: Seru dong! Di ajarin sama dosen ganteng, hehehe... Btw Ren, potoin dia dong! Biar gue pajang di grup!"
Renatta menunduk dan pura-pura sibuk dengan laptopnya.
>[Renatta]:"Ishh gila Lo ya? Nggak berani gue... Gila Lo, yang bener aja
Zavian memandang seisi kelas. Tatapannya melintas ringan, sampai akhirnya berhenti pada satu titik.
Renatta.
Gadis itu pura-pura mengetik materi. Tangannya gemetar. Ia merasa seperti dikejar kamera CCTV hidup.
Zavian berjalan mendekat sedikit. “Saya harap kamu bisa fokus ke materi daripada sibuk membuka chatting di laptop.”
“Eh... saya, saya nggak chatting, Pak…”
“Saya belum minta kamu menjawab. Cukup dengarkan.”
Mira yang berada di sebelahnya menahan napas, sedangkan Renatta mematung.
“Lho, kenapa lo nggak ngomong balik? Lo kan biasanya galak,” bisik Mira.
“Gue.. Gue lagi nggak pengen ribut” Renatta balas lirih.
Mira ketawa ngakak sampai dipelototi Zavian. Sedangkan Renatta… mengutuk hari itu sebagai Hari Paling Apes Sejagat Raya.
***
Zavian Alaric
Renatta Zephyra
“Dalam sastra, simbol adalah bentuk komunikasi tak langsung antara penulis dan pembaca…”
Zavian berjalan perlahan di depan kelas, tangannya menyelip di saku celana, langkahnya tenang seperti model catwalk yang tersesat ke dalam kampus. Suaranya terdengar nyaman, ritmenya teratur, dan cara bicaranya seolah punya efek menenangkan, seperti podcast jam sepuluh malam.
Sebagian besar mahasiswi memperhatikannya dengan penuh semangat atau lebih tepatnya, memperhatikan wajah dan postur tubuhnya yang nyaris tanpa cela.
Renatta? Dia justru sedang berada di dunia lain.
Bukannya mencatat materi, tangan Renatta malah sibuk menggambar bunga matahari besar di pojok buku catatannya. Tangannya menari-nari pelan dengan pena, bibirnya sedikit mengerucut, berusaha fokus menggambar kelopak demi kelopak padahal seharusnya dia mencatat tentang simbolisme dalam puisi.
Tanpa ia sadari, langkah Zavian membawa pria itu tepat ke sebelah bangkunya.
“Kamu,” suara bariton itu menyentak kesadarannya.
Renatta mendongak cepat, mata membelalak. “Saya, Pak?”
Zavian menunduk sedikit, melihat ke arah buku catatan Renatta. “Bunga matahari?” gumamnya. “Simbol apa yang ingin kamu sampaikan dari sini?”
Kelas langsung tertawa kecil. Beberapa temannya menutup mulut agar tidak terlalu keras. Mira bahkan hampir jatuh dari kursinya.
Renatta langsung menutup bukunya dengan cepat. Wajahnya memanas.
“Maaf, Pak… saya cuma… ehm, mencoret-coret.”
Zavian menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil. “Tapi kamu juga mencatat, ‘kan?”
"Iya saya mencatat materi yang bapak kasih"
Renatta membuka lagi bukunya, dengan harapan ada setidaknya satu paragraf normal. Sayangnya, tulisan tangannya seperti efek gempa 6,5 skala richter.
Zavian menyipitkan mata, lalu berkata tanpa ekspresi, “Tulisannya mirip grafik detak jantung pasien IGD.”
Kelas pecah lagi. Kali ini, tawa mereka lebih tidak tertahankan.
Renatta ingin tenggelam di lantai. Ingin teleport ke zaman dinosaurus. Apa saja asal tidak di kelas itu.
“Aku sumpah, ini dosen bukan manusia biasa,” gumamnya ke Mira yang masih menahan tawa. “Baru muncul satu hari udah bikin hidup gue kayak reality show.”
“Dan gue suka banget reality show-nya,” balas Mira sambil tertawa pelan. “Lanjutkan, Ren. Dunia perlu drama seperti ini.”
Zavian yang sudah kembali ke depan kelas, tetap melanjutkan penjelasan seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi Renatta tahu… hari-hari ke depan akan sangat panjang.
Dan menyebalkan.
Apalagi kalau dosen itu terus berdiri tepat di atas garis antara menyebalkan… dan ganteng.
Setelah kelas berakhir, Renatta langsung tancap gas ke asrama Sela. Ia masih kepikiran dengan kejadian di kelas tadi. Rasanya seperti membawa aib nasional ke dalam kehidupan pribadinya. Begitu sampai, tanpa basa-basi, ia langsung nyelonong ke dalam kamar Sela dan menjatuhkan diri ke kasur.
"Gue habis dilecehin secara akademik,” rengek Renatta.
Sela yang sedang menyetrika baju cuma melirik. “Lha, lo kuliah di kampus atau syuting sinetron?”
Renatta duduk dengan dramatis, meletakkan tangannya di dada. “Sela, gue dihina. Di depan seluruh kelas. Sama dosen kulkas itu.”
“Oh my God, lo kenapa?” Sela langsung duduk di tepi kasur. “Dia ngapain?”
Renatta langsung menirukan adegan tadi, lengkap dengan nada suara Zavian yang cool dan menyebalkan itu. “‘Tulisannya mirip grafik detak jantung pasien IGD.’ Dia bilang gitu! Dan semua orang ketawa! Termasuk si Mira yang tertawa kayak burung gagak!”
Sela langsung ngakak. “HAHAHAHA! Sumpah, itu lucu sih! Ya ampun, kenapa lo bisa seapes itu sih?”
Renatta membulatkan bibir, matanya nyaris berair. “Sela… dia bukan cuma nyebelin tapi dia juga Dia jahat. Nyebelin dan jahat. Kombinasi paling mematikan!”
“Lo sadar nggak sih,” kata Sela sambil menahan tawa, “kapan lagi lo dapet kelas sama Pak Zavian? Harusnya mah ya.. Lo itu bersyukur! Harusnya ajak gue, biar gue juga bisa menikmati panorama edukatif itu.”
“Lo gila. Lo bukan anak sastra.”
“Siapa peduli jurusan, Ren! Demi Pak Zavian, gue pindah prodi juga nggak masalah. Bahkan nggak lulus pun rela, asal dosennya dia.”
Renatta menatap sahabatnya itu dengan ekspresi jijik. “Oke. Gue pergi. Teman kayak lo cuma bikin luka batin makin dalam.”
Sela mencubit pipinya. “Yaelah drama queen. Muka lo tuh lucu banget loh pas lo tiruin ekspresi dia.”
Renatta menepis tangan Sela. “Gue berharap cepat lulus biar gak usah ketemu lagi sama dosen kayak dia. Serius.”
Sela tertawa lagi. “Kayaknya lo harus mulai berkelakuan baik deh, supaya masa depan lo nggak dalam bahaya.”
Renatta langsung berdiri dan menegakkan badan dengan gaya sok elegan. “Please, masa depan gue tuh udah terang banget ya.”
“Oh ya?”
“Gue tinggal ngerjain tesis seminggu lagi, habis itu ijazah di tangan, lalu kerja di perusahaan impian gue, gaji dua digit, terus gue beli rumah dengan desain ala Pinterest, halaman belakang buat nanem lavender, dapur warna putih, dan...”
Sela ngangguk sambil tepuk tangan pelan. “Wah, wah, calon bintang TikTok sukses. Hidup lo udah kayak slide PowerPoint seminar motivasi.”
Renatta menatap langit-langit kamar. “Pokoknya... Zavian itu cuma figuran di masa depan gue. Paling bentar lagi juga dia lupa sama kejadian tadi.”
Sela nyengir. “Atau... jangan-jangan justru dia bakal jadi plot twist-nya?”
Renatta mendengus. “Enggak. No. Not in a million years.”
Dan saat itu juga, di grup chat angkatan, muncul pengumuman:
"Info: Pak Zavian akan mengajar Kelas Sastra Lanjut setiap Senin dan Kamis selama beberapa hari ke depan."
Renatta menatap layar ponselnya.
Sela menahan tawa.
Renatta teriak, “TIDAAAAK!!!”
Sela menepuk-nepuk punggung Renatta dengan lembut, seperti sedang menenangkan anak kecil yang habis kehilangan balon. “Udahlah, Ren. Gue yakin lo bakal survive kok walau ketemu dosen itu tiap minggu. Anggap aja itu ujian kesabaran.”
Renatta masih meringkuk dengan wajah menyedihkan. “Gue gak kuat, Sel… bayangin muka dia terus-terusan. Kayak... kayak kutukan yang berbahaya. Gue nggak mau kenak sial...”
“Daripada mikirin dosen itu terus,” kata Sela sambil tersenyum jahil, “mending lo mikirin interview lo hari ini, deh.”
Renatta langsung mendongak, matanya membelalak. “OH MY GOD!”
Ia panik, buru-buru mengelap ingusnya dengan ujung lengan sweater. “Gue lupa! Astaga, kenapa gue bisa lupa?! Interview kerja pertama gue, dan... GUE NGGAK BAWA BAJU!!!”
Sela refleks mundur dan menyingkirkan wajah Renatta yang mendadak mendekat dengan ekspresi seperti zombie kelaparan. “Eh, eh, Lo jangan dekat-dekat sama gue! Ingus Lo tuh"
Renatta nyengjr bagai kuda.
"Pinjemin gue baju Lo ya sel, please..."
"Lo tuh ya, kebiasaan banget...”
Renatta merengek, “Selaaa… pinjemin bajuuu… plis… gue udah stress!”
Sela mendengus pelan, lalu berdiri sambil membuka lemari. “Udah deh, mending lo mandi dulu. Masalah baju buat interview, biar gue yang atur. Tapi jangan salahin gue kalo lo tampil kayak calon model majalah anak kampus.”
Renatta langsung berdiri dan menuju kamar mandi sambil masih mengomel, “Asal jangan kayak anak pramuka aja, Sel…”
Sela hanya terkekeh melihat kelakuan sahabatnya. Ya, begitulah Renatta. Drama tiap hari, tapi selalu berhasil bikin hari-hari Sela nggak ngebosenin.
Renatta keluar dari gedung dengan senyum mengembang, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan impiannya. Interview kerja pertamanya berjalan dengan lancar. Ia bukan tipe yang jenius, nilainya pun biasa-biasa saja, tapi Renatta punya tekad yang kuat. Dan itu cukup.
“HANYA TINGGAL NUNGGU PANGGILAN!!” serunya di telepon sambil menari-nari kecil di pinggir jalan.
Sela yang berada di seberang telepon langsung menjerit, “WAAAAAH SERIUSAN? GILA LO, REN!”
“Gue kabarin Mira sama Arya juga ya, kita harus rayain ini!” Renatta langsung mengirimkan pesan ke dua temannya, dan dalam waktu singkat, mereka semua sepakat untuk bertemu di tempat makan langganan mereka.
Malam itu, tawa mereka memenuhi sudut ruangan. Tempat makan sederhana tapi penuh kenangan. Mira langsung merangkul Renatta dengan heboh.
“Lo tuh ya… kadang gue suka heran. Nilai pas-pasan, muka pasrah, tapi rejeki lo gak pernah pas-pasan!” ejek Mira sambil tertawa.
Arya, satu-satunya cowok di kelompok kecil mereka, ikut nimbrung, “Setuju! Tapi emang lo punya modal penting sih… semangat juangnya tuh, bikin iri!”
Sela mengangkat gelas jus mangga-nya, “Untuk Renatta! Gadis keras kepala yang akhirnya bikin pewawancara luluh!”
“Dan semoga cepat dipanggil kerja, supaya gak ketemu dosen tampan beracun lagi!” celetuk Mira disambut tawa keras semuanya.
Renatta tertawa lepas, malam itu hatinya penuh. Ia merasa hidupnya mulai menemukan arah. Setidaknya, sampai ia pulang ke rumah.
---
Langkah Renatta terasa berat saat ia membuka pagar rumah. Cahaya hangat dari malam tadi kini tergantikan dengan hawa dingin dan menusuk. Ia menarik napas dalam, berusaha menyiapkan mentalnya.
Begitu membuka pintu, suara cempreng langsung menyambutnya.
“Eh, kamu ya! Kalau pulang jangan malam-malam, ini tuh rumah tante. Jangan suka-suka hati keluar masuk kayak gini” suara itu milik Tante Diah, istri dari pamannya Renatta.
"Maaf Tante"
"Udah pulang nggak bawa uang. Udah tau numpang dirumah ku, kamu itu harus pengertian sedikitlah... Buat apa sih kamu kuliah tinggi-tinggi? mending kerja bantuin Tante. kuliah juga ujung-ujungnya bakal jadi pengangguran buat apa? mending kerja dari sekarang"
Renatta tidak menjawab, hanya melangkah pelan ke kamarnya—atau lebih tepatnya, ruang kecil di pojok belakang yang bahkan lebih mirip gudang ketimbang kamar tidur.
Sambil menaruh tasnya, ia memandang sekeliling. Dinding kusam, kasur tipis, rak kecil tempat ia menyimpan buku-bukunya. Dulu, kamar ini adalah ruang setrika.
Perhiasan ibunya sudah lama raib, dicuri oleh Tante Diah. Mobil yang dulu milik ayahnya, dijual tanpa izin. Dan rumah ini… rumah masa kecilnya, kini menjadi milik Tante Diah dan anak-anaknya yang selalu memperlakukannya seperti pembantu. Renatta hanya menumpang. Tak ada ruang untuk protes.
Dulu, saat oom-nya masih belum merantau ke luar negeri, setidaknya ada seseorang yang membelanya. Tapi kini, ia sendirian.
Ia duduk di tepi kasurnya, menggigit bibir agar tidak menangis.
“Aku harus kuat… sebentar lagi ijazah keluar, aku bisa kerja… dan aku akan keluar dari rumah ini.”
Malam itu, Renatta tidur dengan doa dalam hati—agar hidupnya segera berubah, dan ia bisa lepas dari rumah yang tak lagi terasa seperti rumah.
Di luar kamar nya Tante Diah masih mengomel tidak jelas, lagi-lagi Tante Diah selalu mengungkit tentang kebaikan hatinya yang masih mengizinkan Renatta untuk tinggal dan makan dengan gratis dirumah ini.
Padahal ini adalah rumah peninggalan orang tua Renatta, dan entah kenapa rumah ini bisa menjadi atas nama Tante Diah. Saat itu Renatta masih sangat kecil jadi tidak tau apa-apa tentang semua itu.
***
Pagi itu, mata Renatta masih terasa berat. Semalaman ia hanya tidur dua jam, setelah mencuci piring-piring bekas makan malam yang bahkan bukan untuknya. Ia baru saja akan memejamkan mata kembali ketika ponselnya bergetar pelan.
Nama yang muncul di layar membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
Om Aryo.
Dengan tergesa, Renatta mengangkat panggilan itu.
“Halo, Nak… ini Om Aryo” suara berat itu terdengar serak tapi hangat, seolah sudah menyimpan rindu terlalu lama.
Renatta mendekap ponselnya erat, matanya langsung memanas.
“Om Aryo? Iya om, ini Renatta...”
Hening beberapa detik. Lalu suara itu kembali terdengar.
“Kamu gimana, Nak? Kuliahmu lancar? Kesehatanmu baik? Tante kamu masih sering bawel?”
Renatta menutup mulutnya, berusaha keras agar isaknya tak terdengar. Tapi air matanya jatuh begitu saja.
“Alhamdulillah semuanya baik, om,” jawabnya sambil menarik napas panjang. Suaranya bergetar, tapi ia berusaha tegar.
“Kamu yakin semuanya baik-baik aja, Ren?” suara sang Paman terdengar lebih pelan kini, namun tajam seperti tahu bahwa keponakannya sedang berbohong.
Renatta terdiam, lalu menggigit bibirnya.
“Om… kapan pulang?” tanyanya akhirnya.
“Belum bisa, Nak… jadwal cuti Om ditunda lagi. Mungkin beberapa bulan ke depan…” jawab sang Paman, pelan, penuh sesal.
Renatta menunduk, rasa hampa mengisi dadanya. Ia ingin sekali berkata “Aku nggak kuat lagi di rumah ini,” tapi ia tahu ia harus tetap kuat. Ia menahan sesak itu sendiri.
Tak lama kemudian, ponselnya kembali bergetar. Notifikasi transfer masuk. Jumlahnya cukup besar.
“Dari: Aryo Widodo”
Renatta buru-buru menelpon balik.
“Om, ini maksudnya apa? Kenapa transfer uang sebanyak ini?” tanyanya panik.
"Bicaranya jangan kuat-kuat nak, nanti Tante mu dengar"
Renatta pun kembali berbicara dengan hati-hati.
"Kenapa Om transfer aku uang sebanyak ini? Aku nggak kekurangan uang kok om" bohong Renatta.
“Kalau kamu nggak tahan lagi tinggal di rumah itu, sewa kosan atau pindah ke asrama kampus. Om gak bisa diam aja kalau kamu disakiti di rumah sendiri.”
Renatta menggeleng pelan, meski tahu Paman tak bisa melihatnya.
“Nggak usah, Om… kasih aja uang itu ke Tante. Dia lebih butuh uang daripada aku. Aku masih bisa tahan, kok.”
Namun suara Paman terdengar tegas.
“Denger ya, Ren. Kamu berhak atas uang itu. Itu bukan sekadar bantuan. Om mau bayar semua hutang Tante kamu atas perhiasan almarhum ibumu yang dia ambil, uang yang dia pakai seenaknya, dan semua yang dia rampas dari kamu.”
Renatta terisak lagi, kali ini tak sanggup menyembunyikan tangisnya.
“Maaf ya, Nak… Om belum bisa jagain kamu. Tapi Om janji… begitu uangnya cukup, Om akan beliin kamu rumah. Rumah yang layak, rumah yang bisa kamu sebut sebagai tempat pulang.”
“Terima kasih banyak om…” jawab Renatta lirih, air matanya mengalir deras.
"Sudah-sudah jangan nangis... Ayah mu menitipkan kamu ke om, tapi om malah nggak ada disana buat jagain kamu nak... Om minta maaf ya"
Pagi itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Renatta merasa hatinya sedikit lebih hangat. Bukan karena rumah yang ia tempati, tapi karena seseorang di luar sana masih peduli dan berjanji akan memperjuangkannya.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!