NovelToon NovelToon

Cinta Lelaki Sempurna

Rea

Cinta, oh cinta, satu kata indah sejuta makna, tak perlulah mencari dalam kamus besar bahasa Indonesia, rumus matematika, alogaritma atau pun anatomi tubuh manusia, tentang letak dimana cinta berada.

Hati ?, Jantung ?, Ginjal ?, Paru-paru ?, Otak ?, Empedu ?, Pankreas ?, Usus ?, yang buntu ? atau dua belas jari ?.

Tidak ada yang tahu darimana datangnya cinta, semua tampak samar dan misterius, tapi cinta itu nyata dan bisa dirasakan.

Cinta datang tiba-tiba, merasuki jiwa, mencuci otak, membuat orang lupa teman, sahabat, tetangga, saudara, orang tua, kartu ATM, isi dompet, hutang piutang, tunggakan cicilan panci, alamat rumah, hingga mereka lupa dirinya sendiri.

Itulah cinta.... lima kata indah yang memutar balikkan pikiran manusia dari waras menjadi gila atau pun sebaliknya.

Orang-orang bisa gila karena memikirkan cinta, akal sehat lepas kendali karena kerasukan cinta. Kawin lalu cerai, kawin lagi, cerai lagi. belum kawin udah cerai, kebanyakan cerai, sampai lupa kapan kawinnya. semua karena cinta menjadi sumber masalah.

Tapi cinta itu adalah perasaan. Perasaan seperti apa ?, sulit dijelaskan, tidak mudah dipahami, sukar diterka, datangnya entah darimana, semua orang memiliki. Tidak perduli siapa, kawan atau lawan, tangis air mata dan tawa ceria, diputar balik mudah saja tanpa permisi.

Sedangkan untuk Reafani Nur Azizah, gadis cantik dengan rambut hitam panjang, mata tajam, ekspresi dingin, bibir tipis merah jambu, 32 C, pinggang 45 cm, tinggi 162 cm, berat 44 kg, dan sepatu 38. Gadis keras kepala, berkemauan kuat seperti batu pondasi gedung bertingkat, bermulut kasar dan seenaknya sendiri. Secara tegas menyatakan, dia tidak ingin dipermainkan oleh cinta.

Reafani Nur Azizah yang biasa dipanggil Rea. Lahir di desa antah berantah, kecil nun jauh dari perkotaan, mendaki gunung, lewati lembah, tanah lumpur, berbatu, terjal menanjak, licin, turunan curam, kerikil tajam, dan kotoran kerbau sepanjang jalan. Tapi tersedia sinyal operator seluler, counter isi pulsa atau pun layanan WiFi gratis.

Desa Pakusanga, sebelah barat kecamatan Margasuri, kurang lebih tiga puluh kilometer dari kantor pusat pemerintahan wilayah kabupaten Tegal. Gadis muda yang sesaat lagi akan menyelesaikan wajib belajar 12 tahun, atau setara murid SMA, sedang duduk didepan cermin tanpa ekspresi. Dia meratapi wajah kusut penuh kemalangan nasib, merasa perih sebagai korban dari cinta.

Cinta bagi Rea adalah penindasan, kepahitan, hambar, emosi, asam, manis, sedih, sakit, marah, sepi, rindu, gila, nekad, pasrah, gila, cemburu, bahagia dan takdir, semua itu bergabung dalam lingkaran perbudakan antara cinta dan kehidupan.

Tentang apa artinya cinta yang Rea ketahui, hanya dia dengarkan dari mulut-mulut para artis dalam drama televisi setiap malam. Seperti kisah perdebatan antara janda dengan satpam komplek, atau pun sekedar kisah rumitnya biduk rumah tangga kucing pak Jelan, Alberto, yang kehilangan istri tercinta, Marlena.

Pilihan tragis yang diberikan oleh kedua orang tua Rea, kalau dia dijodohkan, kawin terpaksa, nikah sepihak, kepasrahan, tanpa perlawanan dan selalu menjadi jalan hidup seorang wanita desa di kawinkan dengan lelaki tidak dikenal, alih-alih sebagai bentuk bakti pada orang tua, atau pun lebih tepatnya mengurangi beban keluarga.

Pilihan pahit yang harus Rea telan tanpa bisa menolak, hanya menerima keputusan dan menunggu nasib menjadi istri seorang lelaki tanpa tahu darimana asalnya, kenal pun tidak, tapi datang sebagai calon suami dan membawa secara paksa.

Rea tidak bisa membenci keputusan orang tuanya, selama ini, Rea sudah dibesarkan dengan segala jerih payah, kerja keras, keringat, luka, perjuangan, panas, perih, pahit dan air mata.

Demi membahagiakan ayah dan ibu, Rea harus mau mempertaruhkan kebahagiaan masa muda yang dia impikan.

"Maafkan ayahmu ini Rea, jika bukan karena bantuan tuan Rahmat dulu, ibumu mungkin sudah dipanggil sang pencipta. Paling tidak, ini adalah cara untuk membalas kebaikan mereka, kau harus menjadi istri dari anaknya." Ujar Samroji dalam sebuah pembicaraan serius.

Berat Samroji berbicara kepada Rea dengan wajah lembut penuh keriput, bukti nyata perjuangan hidup yang sudah dilewati selama 54 tahun demi keluarga kecil miliknya.

"Tapi ayah, bagaimana jika Rea bekerja, Rea akan berusaha untuk membayar semua hutang-hutang itu, Rea yakin bisa."

"Rea ... Ini bukan tentang uang, tapi janji yang sudah ayahmu berikan kepada pak Rahmat, tidak mungkin diganti oleh apa pun." Ucap ibunya dengan mengusap tangan Rea.

Keputusan yang diambil Samroji tepat setelah Rea lulus dari masa wajib belajar 12 tahun.

Sudah terbayang dalam benak Rea, tentang nasib korban pemaksaan menikah muda dengan lelaki yang tidak dia kenal.

Segala macam adegan skenario tentang mertua jahat, suami selingkuh, mabuk-mabukan, berjudi, beras habis, listrik habis, semua harta habis, anak-anaknya terlantar, tidak bisa makan, di ghibah tetangga, hutang di warung menumpuk, suami kena PHK, menganggur, kekerasan rumah tangga, cerai dan itu semua yang dia lihat di dalam drama sinetron acara selepas Maghrib dari rumah tetangga.

Lagu 'ku menangis' menggema di telinga Rea, meski tidak ada yang sedang memutar siaran radio. Tapi karena cukup sering dia mendengar suara sendu dari lagu itu setiap hari, sampai hafal Rea dengan semua lirik, nada, kunci gitar, bahkan biografi penyanyi pun sudah tertanam dalam pikiran.

"Tidak apa ayah, Rea mengerti, bagiamana pun juga ini menjadi tanggung jawab yang harus aku lakukan." Jawab Rea tanpa ragu dan menerima.

"Sungguh, maafkan ayahmu ini Rea, harapanmu yang begitu besar untuk bisa kerja dan kuliah harus lenyap oleh keegoisan ayah."

Semua mimpi yang berusaha untuk Rea wujudkan kini hanya menjadi angan-angan, pupus dan hilang demi membayar hutang milik sang ayah.

Tatapan mata Rea sendu melihat halaman rumah yang tumbuhi rumput-rumput liar, angin malam berhembus perlahan menerpa daun-daun kelapa kemudian jatuh mengibas rambut panjangnya dan Rembulan di atas kepala, seakan datang penuh kesombongan di waktu tidak tepat.

Jika hari-hari berjalan seperti biasa, tanpa pernah dia dengar ucapan sang ayah untuk menikah, tentu malam ini adalah waktu terbaik Rea menikmati suasana acara sinetron di rumah tetangga.

Tertawa terbahak-bahak bersama setiap temannya di depan televisi tabung tua merek Blaupunkt yang sudah menjadi saksi bisu penjarahan masa orde Baru. Terlebih dengan para ibu-ibu yang emosi, sembari memaki antagonis sinetron agar tewas tersedak biji kedondong.

Tapi kini Rea sendirian, dia berjalan di pinggiran sawah yang basah selepas hujan siang tadi. Tangan mengepal erat penuh emosi, seakan semua meluap melewati tenggorokan.

"Si*alan kau, jangan pikir aku akan menjadi istri penurut, rajin atau pun hemat, akan aku buat kau menyesal karena memaksa ku menikah denganmu, ingat itu Ryan." Keras teriakan Rea menggema di tengah sawah.

Rea adalah wanita tangguh yang hidup dalam kerasnya dunia tanpa belas kasih, kaki berpijak tanah berkerikil tajam dan kepala terangkat melawan panas matahari, bahkan jika itu badai, kokoh tubuh akan senantiasa bertahan.

Hanya karena takdir membawa Rea dalam pernikahan yang terpaksa, dia tidak akan goyah, bersedih atau pun kalah. Teguh hati ingin menunjukan, bahwa dia mampu melewati tragedi besar dalam hidupnya sebagai istri tertindas dari pernikahan paksa.

Bersertifikat

Dalam beberapa hari, kabar tentang pernikahan Rea sudah tersebar seantero pelosok desa, para emak-emak menjadikan berita itu sebagai trending topik pembicaraan paling panas di bulan ini, dengan judul 'Masih jaman kah dipaksa menikah ?.'.

Bagaimana tidak, di era globalisasi seperti sekarang, meski desa Pakusanga masih jauh dari kata modern. Tapi tetap saja, pernikahan yang diatur oleh orang tua membuat para wanita seperti kehilangan harga diri mereka.

Semua anggapan itu tentu berasal dari drama sinetron malam selepas shalat Maghrib, dimana protagonis wanita harus rela menikah dengan duda anak dua karena hutang orang tua yang tidak mampu dibayar. Namun siapa sangka kedua anak tirinya adalah teman kelas dan juga wali kelasnya.

Sinetron itu berjudul 'Teman dan wali kelasku kini menjadi anak tiri ku.' sungguh ironis sekali.

Itu sama halnya dengan tragedi yang sedang Rea hadapi sekarang. Walau sedikit berbeda karena dia tidak menikahi seorang duda beranak dua.

Ketika Rea belanja di tukang sayur atas perintah ibunya, sekelompok emak-emak yang dikenal sebagai penghibah bersertifikat profesional, mulai memberi komentar mereka.

"Rea, Aku dengar dari ibumu, kau akan menikah." Ucap ibu Susi membuka percakapan.

'Kalau memang sudah dengar dari ibuku, jangan tanya lagi kepadaku.' balas Rea dalam hati.

"Menikah itu berat loh, apa lagi kalau suamimu pengangguran, beeehh, sakitnya berasa sampai di ulu hati." Ibu Sari memberi pendapat.

'Jangan samakan masalahku dengan penderitaan ibu juga kali. Urus saja suami ibu yang pengangguran itu.' balas Rea masih dalam hati dengan kesal.

"Iya loh Rea, kalo di sinetron-sinetron, biasanya menikah karena paksaan orang tua itu banyak susahnya, kadang suaminya mabuk-mabukan lah, tukang judi lah, selingkuh lah, akhirnya cerai... Pusing kalau jadi seperti itu." Ibu Sri tidak mau ketinggalan.

'Iya, iya aku juga belum nonton sampai tamat, tapi gak usah bagi-bagi spoiler.' semakin kesal Rea menjawab, tapi tetap di dalam hati.

Cepat Rea untuk belanja karena panas mendengar semua ocehan para ibu-ibu yang bicara masalah orang lain seenak jidat.

"Permisi yah ibu-ibu." Tersenyum Rea berjalan pergi dengan cepat.

"Iya silahkan, jangan lupa undangannya." Tukang sayur pun ikut bicara.

'Jangan harap....' Sekali lagi, jawaban Rea dari dalam hati.

Rea tidak peduli tentang apa yang mereka ucapkan, dianggap seperti angin dari pan*tat dan lenyap begitu saja setelah terhirup oleh hidung.

Tapi gosip itu bukan yang terburuk dari semua.

Ketika Rea di sekolah untuk mengurus administrasi dan mengambil ijazah, berita pernikahannya pun sudah diperbincangkan oleh tiap guru disana.

"Rea, apa benar kau akan menikah ?." Kata Ibu Atika.

Sekali lagi pertanyaan itu datang untuk kelima kalinya dalam satu hari ini.

"Iya Bu, ayah menjodohkan ku dengan anak dari temannya." Rea pasrah saja menjawab.

Dianggap tidak sopan mengabaikan perkataan guru, sekali pun ibu Atika sekedar guru Honorer di bidang Tata usaha yang gajinya seperti sedang bercanda.

"Harusnya kau menolak Rea, sekarang bukan jaman Siti Nur hartanto, perjodohan apa lah itu, padahal ibu kita Kartini sudah bersusah payah menegakkan keadilan bagi hak-hak wanita untuk bisa mandiri."

'Bu, aku sudah lulus loh Bu, tidak usah bahas lagi pelajaran Sejarah.'

"Kita itu harus menjunjung keadilan sebagai seorang wanita, tidak hanya berakhir sebagai ibu rumah tangga, wanita juga berhak untuk bekerja dan mencari uang, jika tidak malu kita dihadapan ibu Kartini." Tegas ibu Atika penuh semangat.

'Daripada mengurusi masalah ku, lebih baik ibu cepat-cepat menikah sebelum keriput tambah banyak.'

Rea berusaha tersenyum ramah... "Iya Bu, tapi mau bagaimana lagi, anak harus berbakti kepada orang tua."

"Kau benar, memang rumit menjadi wanita."

"Kalau sudah selesai, aku permisi Bu." Rea pun segera pergi.

Rea merasa lelah, lebih dari mendengar pidato kepala sekolah di upacara bendera hari Senin yang terkenal panjang dan lamanya minta ampun.

Setelah Rea lulus dua minggu lalu, dia benar-benar jarang pergi ke sekolah dan lebih sering membantu ibunya berjualan di pasar.

Begitu juga dengan hari ini, bisa dikatakan Rea hanya ingin mengingat kembali kenangan masa-masa bersekolah sebelum menjadi istri dari lelaki yang tidak dia kenal.

Tapi seseorang menangkap Rea dari belakang... "Rea, Kalau kau datang ke sekolah, harusnya beritahu aku."

"Untuk apa ?, bukannya setiap hari juga kita bertemu."

Dia adalah Sean, nama aslinya Marsani, tapi bersikeras untuk dipanggil Sean. Sahabat Rea sejak kecil, lima tahun sebagai tetangga sebelah rumah dan dua belas tahun menjadi teman kelas, tentu keduanya memiliki keakraban yang seperti saudara sendiri.

"Jelas berbeda, jika di rumah kita tetangga, tapi di sini kita adalah teman satu kelas." Ucap Sean tersenyum-senyum sendiri.

"Teman kelas kah ?, Baru dua Minggu lalu kita wisuda, tapi sekarang aku benar-benar merindukan semua teman-teman." Rea tersenyum getir.

Dia tentu merasa enggan meninggalkan kenangan masa sekolah dan berakhir di pelaminan.

"Oh iya Rea, aku ingin tahu....." Belum selesai Sean bicara, Rea segera menutup mulutnya.

Sorot mata Rea membuat Sean terdiam seketika, wajahnya menjadi pucat pasi, karena dia sendiri cukup paham bagaimana sikap Rea ketika marah.

"Apa lagi ?, Apa kau juga mau bertanya kalau aku akan menikah, lima kali aku mendengarnya sampai bosan." Rea sudah muak.

"Kalau soal itu, aku sudah tahu sejak awal."

"Jadi apa yang ingin kau katakan." Marah Rea tidak bisa di tahan.

"Aku hanya ingin tahu, tanggal berapa ijab Kabul nya ?, Aku mau ngabarin teman-teman agar bisa datang saat pernikahan mu."

"Lupakan, aku lebih senang jika tidak ada yang tahu soal pernikahan ku nanti." Tegas Rea.

"Apa kau tidak senang ?."

"Tentu saja tidak, dan juga .... Apa kau yang menceritakan tentang pernikahan ku ini kepada guru-guru di sekolah." Tanya Rea seakan paham sesuatu.

"Apa itu salah ?." Jawab Sean seakan tidak memiliki dosa.

"Tidak, itu tidak salah, benar-benar tidak salah, sama sekali." Rea tersenyum.

Sean merasa lega... "Syukurlah, aku pikir kau akan marah."

"Tapi bagaimana jika aku marah ?."

"Aku takut kau memukul ku seperti yang kau lakukan kepada Gee."

"Ya kau tahu, Gee itu anak kurang ajar, jadi kalau tidak menggunakan kekerasan dia tidak akan diam."

Sean benar-benar paham ketika Rea marah, bahkan beberapa bulan lalu, ketika seorang lelaki mencoba menggodanya, dia harus masuk ke puskesmas karena luka pukul di wajah hingga membekas lebam selama dua Minggu.

Dia adalah Gerdan, biasa dipanggil Gee yang katanya anak juragan beras di kampung sebelah. Untungnya, Rea seorang wanita dan menjadi korban, sehingga dia tidak disalahkan karena bersikap kasar. Sebaliknya, Gee harus menanggung malu karena di hajar oleh Rea.

"Lalu bagaimana dengan Noe ?." Tanya Sean.

"Noe ?, Kenapa dengan Noe ?." Rea balik bertanya karena bingung membahas nama orang lain.

"kenapa kau bertanya, padahal semua teman kita tuh tahu, kalo Noe punya perasaan denganmu. Kau memang tidak tahu atau pura-pura bodoh."

"Buat apa aku tahu, kalau dia sendiri tidak pernah memberitahu ku." Santai Rea menjawab.

"Jadi kalau dia memberitahu perasaannya, kau akan menerima Noe." Sean penasaran .

"Tidak juga, karena aku tidak menyukainya."

"Aku tahu, pasti karena kau menaruh harapan kepada lelaki yang kau kenal saat SMP itu ?." Sean tahu akan kisah cinta Rea.

"Aku bahkan tidak mengenalnya sama sekali, tapi jika boleh berharap, aku ingin bertemu lagi dengannya."

"Meski pun kau akan menikah."

"Apa salahnya, jika aku berharap dan juga ini tidak ada hubungannya dengan pernikahanku. Aku hanya ingin berterimakasih, karena jika bukan karena dia, aku mungkin menyesal untuk tetap bersekolah." Ungkap Rea rumit.

"Mau bagaimana lagi, kau hanya bertemu dengan lelaki itu beberapa kali, tidak kenal pula siapa namanya."

"Itulah kenapa aku sedikit menyesal."

Rea tersenyum pahit mengingat kejadian di masa lalu, ketika dia tahu, bahwa itu semua hanya akan menjadi kenangan dan lambat-laun hilang dari ingatan.

Bukan muhrim

Rea berkeliling sekolah, ini terasa aneh, ketika siswa kelas satu dan dua masih belajar di dalam kelas, dia kini berjalan-jalan tanpa perlu takut ada guru datang dan memasukkannya ke dalam ruang BK.

Meski pun tidak ada kenangan indah masa-masa sekolah yang penuh kisah romantis bertabur bunga-bunga dan bernyanyi seperti drama India. Tapi di tempat ini dia mengerti banyak hal, bahwa hidup sebagai seorang siswa masih lebih baik karena tidak perlu memikirkan tagihan listrik, beras habis atau pun hutang di warung yang ditagih karena tiga bulan tidak bayar.

Ini semua lebih seperti masalah pribadi yang sering dia alami di keluarganya, karena itu juga menjadi bayangan seberapa rumit kehidupan nanti setelah menikah.

Rea melamun selagi menatap foto ibu Kartini yang tergambar dengan raut ekspresi seorang wanita tanpa senyum di wajah.

Begitu lugu, begitu lelah dan menyedihkan. Tapi itu adalah bayangan wajah Rea sendiri yang terpantul di kaca bingkai.

Beliau sudah berjuang demi hak asasi wanita, tapi masyarakat tidak pernah paham apa itu kemerdekaan untuk memilih jalan hidup mereka sendiri.

Sebagian besar dari masyarakat hanya beranggapan, ketika anak perempuannya sudah memiliki suami, beban hidup yang ditanggung pun akan berkurang.

Rea ingin sekali berkata..."Jika aku bisa memilih, aku tidak pernah mau dilahirkan sebagai wanita yang pada akhirnya harus hidup hanya untuk menyerahkan diri kepada lelaki."

Tapi ungkapan hati itu tidak mungkin dia keluarkan kepada ayah atau ibunya. Hanya kalimat setan yang terlintas untuk membuat dirinya berdosa karena sudah menolak takdir tuhan.

Menoleh ke samping, Rea kini melihat Sean yang mengintip ke jendela kelas.

"Sean, apa yang ingin kau lakukan selanjutnya." Tanya Rea.

"Pergi ke kantin untuk berpamitan dengan Ibu Erni. Kau tahu, kita sering sekali mengambil gorengan lima bilangnya tiga." Jawab Sean masih tersenyum seakan tanpa dosa.

"Bukan itu, apa kau akan tetap di desa ini, atau pergi merantau untuk bekerja." Rea mengganti pertanyaan.

"Hmmm aku ingin bekerja, menjadi artis kalau bisa."

"Aku iri denganmu, aku juga ingin bekerja, tapi menjadi artis tidak cocok untukku."

"Sebenarnya bekerja atau pun menjadi ibu rumah tangga juga tidak cocok denganmu Rea." Sindir Sean.

Rea tersinggung..."Sembarangan kau bicara."

"Jangan emosi dulu, sekarang aku tanya, apa kau bisa masak ?."

"Sedikit." Jawab Rea dengan senyum pahit.

"Sedikit itu seberapa banyak ?."

"Masak air, masak mie, masak telor...."

Sean segera menghentikan Rea untuk menghitung, karena dia sendiri yakin itu tidak lebih dari lima jari ditangannya.

"Ok, aku anggap itu rata-rata."

"Tapi tunggu. Aku juga sudah pernah bekerja."

"Apa itu ?."

"Kuli angkut beras di toko sembako haji Mahmud." Jawab Rea.

"Aku bertanya-tanya kau itu sebenarnya wanita seperti apa ?. Bagaimana mungkin kau yang ingin menjadi ibu rumah tangga tapi kau hanya bisa memasak air. Itu pun hampir gosong." Keluh Sean melihat sahabatnya terkejut.

"Darimana kau tahu !!!."

"Ibumu bercerita saat membeli sayur." Ungkapnya.

Kemampuan para emak-emak ketika menyebarkan berita memang sangatlah hebat. Namun Rea tidak merasa bangga untuk hal itu.

"Rea aku katakan kepadamu satu hal, ini karena kau sahabatku dari kecil dan juga aku tidak ingin kau sedih dengan keputusan orang tuamu." Sean menatap Rea serius.

"Apa ?."

"Bagaimana kalau kita kabur, kita pergi merantau ke Jakarta dan bekerja. Kau mungkin bisa membayar hutang orang tuamu di masa depan kan ?." Sean memberi solusi, sekali pun itu terdengar berat bagi Rea.

Sejenak Rea terdiam, dia memandang kembali bingkai gambar seorang wanita yang menunjukan tatapan muram penuh kesedihan, tapi bayangan itu tetap pantulan wajah Rea sendiri.

"Aku tidak mungkin melakukannya." Rea menjawab sedih.

"Bukankah kau menolak untuk menikah dengan lelaki yang tidak dikenal itu, jadi kenapa kau harus ragu-ragu ?."

Rea menundukkan wajahnya..."Bagaimana pun juga, aku tidak bisa membuat malu ayah dan ibu."

"Aku bingung, kau yang bisa menghajar anak nakal seperti Gee, memaki-maki tukang parkir karena kembalian kurang lima ratus dan memakan beling kaca, tanpa nasi pula."

Rea tidak senang dengan perkataan Sean..."Memang kau pikir aku kuda lumping."

"Tapi urusan kabur dari rumah, kau benar-benar penakut, padahal itu demi kebahagiaan mu sendiri, aneh." Sean mengeluh kesal.

Sean menarik tangan Rea pergi, dia membawanya ke belakang kantin, dimana itu menjadi tempat persembunyian bagi murid lelaki yang merokok. Tapi sekarang hanya adik kelas, menatap bingung ketika Rea muncul.

Tanpa perlu memperkenalkan diri, Rea memang sudah terkenal, meski bukan karena cantik, tapi cukup untuk membuat para berandalan kelas bertekuk lutut, secara khusus dengan tangan kosong.

"Apa yang kau lihat ?." Ucap Rea kesal karena murid-murid berandal itu menatapnya aneh.

"Tidak, kak." Mereka menggeleng kepala dan cepat pergi.

Di sekolah ini hanya Sean saja yang berani mengeluarkan kata kasar kepada Rea, kedekatan mereka sudah seperti keluarga, saudara meski tidak sedarah, dan terpenting adalah Rea berhutang banyak contekan dari masa sekolah dasar sampai lulus SMA.

"Rea aku tanya sekali lagi, apa kau benar-benar rela menikah muda dan menjadi istri lelaki yang entah asal usulnya itu ?."

"Tidak. Tapi..."

"Jangan beralasan dulu, biar aku selesaikan emosiku, sebelum aku lupa." Sean menghentikan ucapan Rea.

Rea mengangguk.

"Aku tahu, kau tidak mau membuat ayah dan ibumu malu dan juga sedih. Bertindak sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tua, agama dan negara. Tapi aku kesal sendiri, jika harus melihat mu kebingungan seperti sekarang."

"Maafkan aku."

"Kenapa kau meminta maaf ?, kau tidak salah Rea. Kita itu sudah seperti saudara, kau seperti kakakku atau pun aku seperti adikmu. Begitu juga sebaliknya. Jadi apa pun yang terjadi kepadamu aku ada di sampingmu." Sean memberi kepercayaan diri bagi Rea.

"Aku tahu itu. Terimakasih Sean." Rea memeluk Sean.

"Kalau begitu, biar nanti pulang aku yang bicara dengan pakde Samroji. Aku akan minta biar kau bisa pergi ke Jakarta dan bekerja untuk membayar hutang mereka." Tegas Sean.

"Ayo kita lakukan." Rea pun menyakinkan tekadnya.

Sekembalinya di rumah...

Tepat di halaman depan, sudah terparkir mobil Mercedez berwarna hitam mengkilap hingga menjadi pusat perhatian orang-orang sekitar rumah.

Tetangga kiri atau pun kanan, murid-murid sekolah dasar yang baru pulang, pak tani dan Bu tani selesai menggarap sawah, rentenir panci harian datang membawa tagihan. Mereka semua menatap penuh kagum dengan mobil mewah itu. Bahkan tukang Es cendol yang tidak sengaja lewat menyaksikan adanya keramaian segera membuka lapak untuk jualan.

Rea bingung, apa lagi dengan Sean yang hanya bisa melongo melihat mobil mewah di depan rumah. Mereka berdua segera pergi melewati kerumunan orang-orang.

"Ayah, ayah, siapa yang seenaknya sendiri parkir di depan rumah kita, apa dia tidak tahu kalau itu menghalangi orang mau lewat." Panggil Rea dari luar, begitu kesal mengajukan keluhan.

Tapi sebelum dia membuka pintu beberapa orang keluar dari rumah bersama dengan Ayahnya.

Melihat Rea yang sudah ada di depan pintu, ekspresi pak Samroji tersenyum lebar dan berkata..."Rea kau sudah pulang, perkenalkan, ini adalah anak bapak Rahmat, Ryan. Dia calon suamimu."

Seakan tidak percaya, perkataan ayahnya itu ibarat suara gemuruh petir yang menyambar di atas kepala.

"Akhirnya kita bertemu, Rea." Ucap Ryan dengan senyum ramah dan tangan yang berniat mengajak bersalaman.

Rea menolak ... "Ya, tapi maaf bukan muhrim."

"Maafkan aku. Kalau begitu aku pamit dulu pak, aku tidak bisa berlama-lama karena harus mempersiapkan dokumen untuk pernikahan nanti." Cara bicara Ryan benar-benar sopan kepada pak Samroji.

Samroji pun dengan senyum ramah membalasnya..."Baiklah, Ryan hati-hati di jalan."

"Rea sampai jumpa lagi."

'Aku harap sih tidak bertemu lagi.' Ucap Rea dalam hati.

Ketika dia hendak membuka pintu mobil, Ryan dengan sopannya meminta orang-orang untuk memberinya jalan, cara dia berbicara benar-benar lembut tanpa menyakiti perasaan mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!