NovelToon NovelToon

Imamku Ternyata Bos Mafia

Syahga 1.

Ssss ...

Ahhh ...

Suara meresahkan terdengar mengusik telinga gadis berhijab moka, ia tutup telinganya dengan bantal. Sangat menyebalkan, setelah adik tirinya menikah dengan pria yang sudah lama ia pacari itu, hampir setiap waktu mereka melakukannya padahal sudah bukan pengantin baru lagi.

Hatinya teriris lagi, kemudian menangis lagi mendengar suara-suara manja disertai desahan kedua insan, yang bercumbu dibalik dinding GRC itu. Dulu kamar tersebut luas dan hanya miliknya, boneka-boneka cantik dan imut menghiasi setiap sudut kamarnya, juga lemari besar yang banyak sekali pakaian manis dan imut sebagai putri semata wayang.

Namun semua berubah tiba-tiba, setelah sang ayah diam-diam berpoligami dengan sahabat ibunya sendiri, tiap malam ia melihat ibunya menangis diatas sejadah biru peninggalan sang nenek, hingga akhirnya ia kehilangan satu-satunya tumpuan kasih dan sayangnya untuk selamanya, ibunya meninggal diatas sejadah tersebut dalam keadaan bersujud.

Kamar miliknya yang luas itu dibagi menjadi dua dan hanya terhalang dinding GRC sebagai pemisah, barang-barang yang dulu menjadi miliknya semuanya direbut oleh adik tirinya, sedangkan ia hanya disisakan lemari plastik berukuran kecil dengan ranjang kayu ukuran single, tak hanya itu luas kamarnya pun lebih kecil dibanding kamar adik tirinya yang cukup menampung ranjang king size dan lemari besar, sangat tak adil bukan.

Kemudian pakaian ibunya, barang milik ibunya semuanya dibuang tanpa ia ketahui, menyisakan sejadah biru yang saat itu ia simpan untuk ia pakai sebagai kenangan saat beribadah bersama sang bunda.

"Bunda, sasa kangen," lirihnya mencium sejadah biru yang menjadi satu-satunya peninggalan almarhumah.

Ia peluk erat sejadah itu, hingga tanpa terasa air matanya menetes membasahi alas sholat tersebut, masih terbayang kenangan indah bersama ibunya, ketika melaksanakan ibadah meski sudah bertahun lamanya.

Kini ia sendirian, hanya memeluk kehampaan yang hampir setiap hari ia rasakan, kerinduan itu tak bisa ia redakan hanya dengan sebuah do'a yang setiap kali ia lakukan selesai beribadah.

"Ah, mas. Nikmat banget," suara adik tirinya kembali terdengar dengan nada manja.

Dibalik dinding bercat putih itu bahkan deritan ranjang pun terdengar, membuat sasa merasa kesal setiap kali berada dikamarnya, walaupun berusaha tak mendengarkan, tetap saja suara itu terdengar, seolah disengaja agar bisa terdengar olehnya.

Sasa atau gadis bernama lengkap syahla adzkia, berusia 26 tahun itu mengumpat dalam hatinya mendengar suara-suara yang meresahkan itu, seharusnya dua bulan lalu dirinyalah yang menikah dengan ilham bukan adiknya, alesia.

"Dasar pasutri mesum!" umpatnya lagi namun dengan nada yang terdengar tinggi.

Biar saja mereka mendengarnya, sasa tak peduli lagi, ia sudah benci dengan pasangan suami istri yang bercumbu mesra dibalik kamarnya tersebut, sepulang ia kerja dua insan itu sudah menghabiskan waktu bersama dikamar mereka.

Syahla bekerja di puskemas dengan gaji yang lumayan untuk memenuhi kebutuhannya, tiap hari ia harus berangkat pagi dan pulang sore kadang juga malam hari, karena puskemas tersebut belum memiliki perawat yang banyak dan dokter yang lengkap juga fasilitas-pun masih tak memadai, ya, namanya juga desa pesisir.

Dia tinggal di kecamatan Pameungpeuk, kabupaten Garut yang terkenal dengan pantai sayang heulang dan pantai santolo-nya yang indah, namun keindahan desa tersebut tak seindah kisah hidupnya yang dipenuhi kemalangan.

Brak

"Dasar pengganggu!" umpat dari kamar sebelah yang ia hapal sudah pasti alesia, siapa lagi coba.

"Dasar ale-ale!" balas Syahla saking kesalnya, kembali mengumpat.

Jangan tanya seperti apa hidupnya, semasa ibunya meninggal ia tak pernah dianggap keluarga, semua sibuk mengurus hidupnya alesia, sedangkan syahla hanya bisa gigit jari karena ibunya berasal dari keluarga miskin.

Berbeda dengan ibu tirinya yang berasal dari keluarga sepadan dengan keluarga ayahnya, keluarga dari ayahnya pun tak ada satupun yang peduli pada syahla kecuali jika soal uang, iya uang, ngutang terus tapi tak mau mereka membayarnya.

Syahla sendiri harus mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, ia ingin pergi dari rumah bangsat yang dipenuhi dengan iri dan dengki itu, setelah menikah dengan kekasihnya yang sudah lima tahun ia pacari, namun malangnya justru lelaki itu tergoda pada adik tirinya dan kini mereka sudah dua bulan menikah.

Rumah yang ia tinggali pun cukup sederhana, tidak besar tidak kecil pula, dengan dinding tembok dan keramik merah yang menempel sebagai alasnya juga genting tanah sebagai atapnya. Halaman rumahnya pun cukup luas dan ada beberapa pohon yang tumbuh lebat ditanah tersebut, ada juga bunga-bunga yang ditanam oleh ibunya sasa yang berderet rapi dibawah teras rumah.

Rumah itu milik sang ayah yang membuka toko kelontong dipasar, dulu seorang karyawan sukses namun sekarang tak lagi, karena ibu tirinya tak ingin ditinggal pergi kerja ke kota.

Hari semakin sore perlahan warna jingga memudar berganti dengan kelabu, biasanya sore begini ayahnya sudah pulang bersama ibu tirinya.

Syahla beranjak dari kasur kapuknya yang keras itu, ia keluar dari kamarnya dan berjalan menuju dapur, sudah waktunya ia menyiapkan makanan untuk makan malam, sebelum ibu tiri galaknya pulang meminta jatah perutnya.

Sambil memasak ia mencuci piring kotor yang menumpuk, padahal setiap pagi sudah ia cuci sebelum berangkat kerja. Ia mendesah pelan, hatinya lelah setiap hari seperti inilah hidupnya, entah sampai kapan, ia menuruti perintah ibu tirinya itu.

Klek

Suara pintu terbuka, membuyarkan lamunan indahnya yang mengkhayal hidup yang penuh ketenangan dan kedamaian.

"Sasa" teriak wanita paruh baya, dari ruang tamu memanggil namanya.

"Iya" sahut Syahla segera.

Gadis itu beranjak meninggalkan dapur menuju ruang depan, setelah mencuci tangannya dari sisa busa sabun pencuci piring.

Tampak ayah dan ibu tirinya tengah duduk dikursi sofa dengan ukiran kayu jati, sambil menyandarkan kepalanya pada bantal kursi itu, mungkin lelah setelah seharian menjaga toko. Sasa maklum-in, tapi apa ada yang memakluminya? Ia juga lelah baru pulang kerja.

Apalagi hari ini ada pasien kecelakaan, sehingga membuatnya harus bekerja ekstra.

"Ada apa? Mah," tanya Sasa sembari mengelap tangannya yang basah.

"Itu" ibunya menunjuk ke arah keranjang plastik, yang ada dibawah meja.

"Belanjaannya bawa ke dapur dan masukan ke kulkas, sekalian kamu bikinin mamah sirup dan kopi buat ayah," titah ibu negara tersebut.

"Sekalian buat kita juga," seloroh Alesia datang bersama ilham, mereka duduk dikursi tamu tersebut bergabung dengan ibu tirinya.

Syahla mengambil keranjang tersebut dan langsung meninggalkan ruang itu tanpa menolak perintah, karena jika ia bantah sudah pasti ia kena amukan nyai berangah tersebut.

Bukan tak bisa melawan, tapi syahla juga capek karena tak ada satu pun yang membelanya, ia sendirian sedangkan mereka berdua, dan paling kesalnya adalah ayahnya yang selalu menyuruhnya mengalah dan mengalah.

Ia memasukan sayuran dan buah-buahan juga lainnya, seperti camilan, dilanjutkan dengan membuat sirup dan juga kopi. Disamping itu, ia melanjutkan menggoreng ayam dan juga memasak lainnya.

"Sasa! Cepetan dong! Mamah haus ini," teriak ibu tirinya.

"Iya, nih. Lama banget, cuma ngambil minuman doang," timpal Alesia.

Syahla hanya mendengus sebal mendengar suara-suara dua siluman itu, tangannya gatal ingin menjambak rambut panjang mereka yang diwarnai kuning kecoklatan itu, juga mencakar wajah mereka yang dilapisi make up 3 centi yang terlihat menor itu.

Setelah selesai menggoreng, segera ia antarkan pesanan dua wanita itu, ibu dan anak tersebut, ia taruh minuman tersebut di atas meja tepat dihadapan masing-masing.

Seperti orang kepanasan, ibu dan saudara tirinya segera meraih dan meneguk sirup orange yang dibawa sasa.

"Cih, apaan ini? Kok gak dingin?" ujar ibunya, yang langsung menumpahkan sirup tersebut pada baju sasa.

Karena tak siap dan tak tahu akan diperlakukan seperti itu, sasa hanya diam, lalu mengelap cipratan itu.

"Mah, baju aku jadi kotor," keluh Syahla mengibaskan baju gamisnya.

"Alah, baju murahan begitu. Lagian kamu, kenapa sirupnya gak pake es batu sih? Kan jadinya gak dingin," sewot ibu tirinya itu, dengan bibir yang bergerak sinis.

"Es batunya habis, aku gak tahu karena baru pulang kerja juga," sahut Sasa membela diri.

"Alah, paling kamu malas," sergah ibu tirinya.

"Kenapa mamah gak suruh alesia saja yang bikin? Aku capek pulang kerja harus ngurus rumah dan masak, sedangkan dia cuma ongkang-ongkang saja dirumah," protes Syahla.

"Dia itu lagi bikin cucu buat kami, lagi pula kamu jomblo dan belum menikah, apa salahnya kalo kamu yang melakukannya?" ucap ibu tirinya membela alesia.

sedangkan adik tirinya itu hanya tersenyum simpul mendengarnya, seberapa kali sasa protes tetap ia yang dibela, anak tiri itu siapa? Cuma numpang hidup, pikir alesia.

"Iya, ka sasa. Aku ini capek loh, walau dirumah aja," Alesia menatap wajah ilham yang sedari tadi hanya memasang wajah datar, "Iya kan, sayang," panggilnya mesra.

Tanpa tahu malu alesia langsung bergelayut manja pada suaminya itu, tepat dihadapan syahla yang hanya bisa diam melihatnya. Bayangkan saja, lima tahun pacaran dengannya tapi menikah dengan adik tirinya berasa cuma jagain jodoh orang, bukan.

"Tapi, ini gak adil buat sasa__" ucapan sasa terhenti kala suara sang kepala keluarga akhirnya menyela.

"Cukup!" bentak ayahnya.

Semua orang terkejut, termasuk sasa yang langsung menundukkan kepalanya, ia telan salivanya yang terasa berat, firasatnya buruk jika ayahnya sudah mulai bersuara.

"Sasa, kamu ini kenapa, sih? Kalo kamu gak mau ngerjain pekerjaan rumah, kamu boleh pergi dari rumah ini," ujar ayahnya, dengan tajam menatap wajah putri sulungnya.

Syahla memainkan ujung hijabnya, ucapan ayahnya terasa seperti batu yang menghantam dadanya, sakit dan menyesakkan. Apa maksud perkataan ayahnya itu? Apa ia telah diusir? Dari rumah yang sejak kecil ia tinggali.

Air mata gadis itu menetes tanpa ijin, menandakan rasa nyeri yang tak bisa ia tahan, namun secepatnya ia hapus dengan kasar.

"Yah, jangan begitu! Sasa itu perempuan, terlalu bahaya untuk tinggal sendiri," ucap Ilham berusaha mencegah dan membela.

Alesia menyenggol lengan suaminya, ia tak suka ilham membela kakak tirinya, matanya melotot pada lelaki itu tanda bahwa ia marah, membuat ilham akhirnya diam.

Sasa beranjak dari tempatnya berdiri, mencoba pergi dengan luka yang ayahnya buat, ia sudah tidak tahan ingin menangis sepuasnya dikamar kecilnya, kalau boleh ia ingin mengadu tentang rasa sakitnya.

"Mau kemana kamu? Ayah belum selesai bicara," ujar ayahnya yang bernama mustofa itu.

Sasa menghentakkan kakinya pelan, "Sebentar lagi maghrib, sasa mau ke mushola," sahutnya dengan nada yang tinggi.

Syahga 2.

Syasa menangis didalam kamar sempitnya, duduk dilantai dengan memeluk lututnya, ia menatap lurus dinding grc yang menjadi pembatas kamarnya dan kamar adik tirinya.

"Sakit, ya Allah," lirihnya.

"Kapan Engkau berikan aku imam yang sholeh? Ya Allah, aku lelah disini," gumamnya menundukkan kepalanya, lalu menyembunyikan wajahnya didalam pelukan lututnya itu.

Hatinya tak bisa bohong, ia memang terluka, namun tak bisakah sekali saja ia dibela, kenapa ayahnya begitu tega padanya? Salahnya apa?

Selalu begitu, kala dirinya protes, dibentak, disalahkan dan sekarang dia diusir.

Bukan tak bisa hidup sendiri dan mandiri, ia sangat trauma, karena pernah waktu itu setelah ia mulai bekerja di Puskesmas, ditengah malam gelap gulita kontrakannya didatangi pria asing, ia ketakutan dan tak membukanya sama sekali.

Keesokan harinya, tetangga yang mengontrak tepat disebelah kamarnya itu dikabarkan meninggal, karena pria asing yang semalam itu mabuk dan salah kamar, tetangganya yang bahkan lebih dewasa dan berani darinya itu diperkosa dan berakhir dibunuh.

Tentu sasa semakin ketakutan, dan ngerinya hampir tiap malam ada saja yang mengetuk pintu kamar kontraknya, ia akhirnya pindah dan kembali tinggal bersama ayah dan ibu tirinya, ia trauma dan tak berani mengontrak rumah sendirian lagi.

Ditengah tangisnya, terdengar seruan adzan maghrib yang berkumandang indah di mesjid yang tak jauh dari rumahnya, ia menghapus air matanya sambil beristigfar berkali-kali, lalu mengganti baju gamisnya juga hijabnya kemudian bergegas pergi menuju rumah ibadah.

Ia keluar dari kamarnya, terlihat empat orang diruang tamu itu masih duduk santai dikursi sofa, ia diam dan fokus pada langkahnya, namun saat ia melewati ayahnya, kepala keluarga itu berdehem.

"Ingat, ayah belum selesai bicara. Setelah pulang dari mesjid, kita bicarakan hal ini lagi," ujar pak mus dengan suara tegasnya.

Sasa yang sempat menghentikan langkahnya sejenak hanya diam, ia tak menyahut apa yang diucapkan oleh pak mus, ia justru kembali melanjutkan jalannya tanpa menoleh pada ayahnya.

"Dasar! mirip siapa anak itu," gerutu pak mus dengan nada kesalnya.

Syahla yang sudah keluar dari pintu rumah itu mendengarnya, ia juga semakin kesal dan tak suka ditanya, jika dia mirip siapa?

"Mirip ayahnya," dengan nada tinggi sasa menyahut dari teras rumah, menjawab kekesalan ayahnya.

Pak mus yang tengah menyeruput kopinya langsung tersedak kaget, ia terbatuk-batuk mendengar jawaban sang anak. Mirip dirinya, tapi kenapa ia sangat kesal.

Didalam mesjid sasa langsung sholat, dengan kusu' ia beribadah kepada-Nya, ia percaya pasti ada jalan yang terbaik untuknya nanti yang harus ia lalui, dan ia yakin do'anya akan terkabul.

Tatapannya lurus menatap ukiran indah sang Maha Kehendak, air matanya kembali menetes sembari mengangkat tangannya dan berdo'a dalam hatinya.

Setelah selesai melakukan sholat maghrib berjama'ah dan berdo'a, satu persatu jama'ah mulai keluar dari mesjid, hanya ada dia dan beberapa orang termasuk imam yang masih bertasbih disana.

"Ya Allah Yang Maha Kehendak, berikan hamba imam yang sholeh, yang bisa membahagiakan hamba dan membawa hamba pergi dari rumah yang selalu membuat hamba menderita, yang bisa menuntun hamba menuju janah-Mu, yang mengajari hamba akan ibadah yang baik pada-Mu, Amin." Sasa mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang ia angkat keatas sebagai tanda akan do'anya, setelahnya ia bertasbih.

Syahla tak ingin pulang, ia memilih berdiam diri disana, menenangkan hati dan jiwanya meski dalam perutnya ia keroncongan meminta jatah.

Satu jam berlalu, tempat ibadah itu kembali ramai, suara adzan kembali terdengar syahdu ditelinga, kemudian mereka kembali melaksanakan ibadah sholat isya, berdzikir dan menyeru nama indah Sang Pencipta.

Satu persatu orang mulai pulang ke rumahnya, tak terkecuali imam mesjid, beliau mematikan lampu utama dan tetap menyalakan lampu luar mesjid setelahnya ia melangkahkan kakinya untuk pulang tanpa tahu bahwa sasa masih berada didalam sana.

Gadis itu tertidur setelah berdo'a dan bertasbih menyebut nama Tuhan Yang Maha Kuasa, ia kelelahan, hingga tanpa sadar ia terlelap dan terbawa arus mimpi indah didalam sana.

Waktu bergulir dengan cepat, jam dinding menunjukan angka 3 dimana waktu sahar membuat separuh orang bangun untuk beribadah didalam rumah masing-masing, sekelompok pemuda masih asyik berjalan mengelilingi kampung mereka, agar bisa mengawasi daerah tempat tinggal mereka dari orang yang suka mencuri dan merampok rumah.

Ada yang memegang kentongan sebagai alat pemberitahuan yang manual, untuk membangunkan warga jika ada bahaya.

Brak

Terdengar suara yang membangunkan sasa dari tidur nyenyaknya, gadis itu mengucek matanya, melirik sekitar tempatnya berada, ia baru sadar bahwa dirinya ketiduran setelah melaksanakan ibadah sholat isya.

"Astagfirullah, aku ketiduran," gumamnya lalu menguap, segera ia tutup mulutnya.

Brak

Kembali suara itu terdengar, sasa celingukan, dia berada di mushola sendirian, dan suasana remang-remang menjadikannya tegang, hanya lampu luar yang menyala dan menyorot masuk kedalam ruangan yang lumayan luas itu, lewat jendela kaca yang tanpa gorden tersebut.

"Astagfirullah, Ya Allah," gumamnya.

Ia mulai merasakan ketakutan, tangannya gemetar, bulu kuduknya serasa berdiri seolah merasakan hawa dingin yang mencekam disekelilingnya.

"Ya Allah, ini di mushola gak mungkin ada hantu," ujarnya dengan suara yang bergetar ketakutan.

Ia beranjak dari tempatnya, melipat sejadahnya lalu melangkahkan kakinya untuk bergegas keluar dari tempat tersebut, tanpa melepaskan mukenanya.

Brak

Lagi suara itu terdengar, itu bukan suara aneh tapi seperti suara buku yang jatuh, pikir gadis tersebut.

"Hei, apa ada orang disini?" tanyanya berharap ada manusia yang menyahutnya, entah itu imam mesjid atau penjaga mushola, namun tak ada sahutan sama sekali.

Sasa penasaran, rasa takutnya mulai berkurang karena ia yakin itu bukan suara hantu yang biasanya tertawa cekikikan, ia melangkah kan kakinya mendekat ke arah mimbar dimana disana ada ruang khusus yang menyimpan al-kitab dan beberapa buku keagamaan, bukan gudang tempat penyimpanan barang mesjid dan alat kebersihan.

Namun, semakin ia dekat semakin ia bisa dengar suara orang yang tengah menahan sakit, seperti berdesis atau mendesah, dan dari suaranya ia yakin itu laki-laki.

Pikirannya berputar dipenuhi pertanyaan, tentang siapa gerangan? Apa yang dia lakukan disana?

"Hallo, apa kamu malaikat? Atau penjaga mesjid? ... Mang sholeh," ujarnya memanggil nama penjaga mushola tersebut.

Tak ada sahutan dari sana yang terdengar masih suara desisan, dan sekali-kali suara desahan.

Ia memutar knop pintu yang menjadi penutup satu-satunya ruangan itu, setelah terbuka matanya membola melihat sosok yang serba hitam tengah duduk menghadap padanya, jantungnya menegang kala mata tajam seperti kilat melihat kearahnya.

Tubuhnya gemetar, ia lihat rambutnya panjang, sosok itu sangat mengerikan dilihatnya, ia ingin lari tapi kakinya kesulitan bergerak dan tak bisa pergi bahkan untuk melangkah saja.

"Aaaaaaaaaaa!" hanya itu yang bisa ia lakukan.

Syahla berteriak sekuat dan sekencang mungkin, namun bukannya menghilang sosok itu justru menarik tangannya kedalam ruangan tersebut, seperti tersedot ke alam lain itulah yang sasa rasakan.

Mulutnya dibekap, tubuhnya dirangkul kuat, membuatnya tak bisa bergerak dan tak bisa pula meminta pertolongan.

Disisi lain para pemuda yang masih berkeliling kampung, tak sengaja mendengar suara teriakan wanita, mereka mulai siaga, suara itu terdengar jelas saat mereka melewati masjid.

"Jangan-jangan yang biasa, tuh," ujar salah satu pemuda, mengira-ngira.

"Iya, anak zaman sekarang ngelakuinnya dimushola," timpal lainnya.

"Kita kawinkan saja sekarang juga, kampung kita jadi kotor," timpal yang lainnya.

Para pemuda itu masuk kedalam mushola, yang penguncinya sudah rusak parah dan tak bisa dikunci, sehingga mudah saja bagi orang asing untuk masuk, dan melakukan apa yang mereka suka.

Mereka menyalakan lampu utamanya, melihat-lihat sekitar ruang tersebut, disetiap sudut, hingga berakhir ke sudut mimbar.

Ada sejadah biru yang tak asing bagi mereka, ketika beribadah di mesjid, alas itu tergeletak asal dekat mimbar.

"Kayak punya neng sasa," ucap pemuda yang mengambil dan melirik sejadah itu.

Mereka melihat kearah pintu ruangan tempat menyimpan buku, dimana ruang itu sempit dan hanya ada rak dan tumpukan buku yasinan, al-kitab bekas dan lainnya.

Saat membuka pintu tersebut mereka terkejut melihatnya, ada dua jiwa yang duduk tanpa jarak sedikitpun, berhimpitan, dan wajah gadis tak asing bagi mereka dibekap dan dirangkul dari belakang oleh pria yang berambut panjang, yang mengesalkan adalah pria itu bertelanjang dada.

"Astagfirullah! Neng sasa," pekik mereka bersamaan.

"Apa yang kalian lakukan? Beraninya sudah berzinah disini," tanya seorang pemuda menatap marah pada dua insan itu.

Syahga 3.

Mereka berdua terkejut dan menengadah ke arah pintu, dimana para pemuda itu menatap tajam pada mereka, marah sudah pasti karena melihat posisi mereka yang berhimpitan.

Syahla melirik kearah pria asing dibelakangnya, rasa takut itu perlahan menghilang, karena sosok yang dia takutkan ternyata manusia biasa hanya saja dia berantakan dan rambutnya gondrong. Ia mengira dirinya diculik genderuwo.

Sasa menghembuskan nafasnya yang terasa lega. Ia melepaskan tangan pria itu dari mulutnya lalu segera berdiri menjauhi pria asing itu.

"Kalian sudah mengotori mesjid ini, kalian harus menikah sekarang juga," ujar seorang pemuda lagi dengan suara yang menekan.

Syahla terkejut. Menikah? Dengan orang asing mana bisa seperti itu?

Ia melihat pria asing itu, tak bisa ia lihat sepenuhnya yang ia lihat adalah wajah yang berkeringat dan rambutnya yang panjang lurus mirip model rambut aktris zaman dahulu, mungkin kekasihnya sancai.

Pikiran sasa mulai berkecamuk, antara malu dan juga ngeri jika ia dinikahkan dengan pria asing dan berantakan itu. Bagaimana jika ia seorang mafia? karena dari keseluruhannya lelaki itu memang mirip, pikir sasa.

"Dasar, sok bikin malu!" timpal lainnya.

Mereka menatap sasa dan pria asing itu bergantian, kesal sudah pasti dan itu entah keberapa kalinya mereka melabrak orang berzinah di mesjid.

"Aa ayu, sasa teh gak kenal dia," sahut gadis itu mencoba membela diri meski dengan bibir bergetar.

Jari tunjuknya bahkan menunjuk pada lelaki asing yang hanya diam membisu sedari tadi.

"Lamun teu kenal, kalian ngapain disini? Duaan deui. Tingal buku-na berantakan," ujar pemuda bernama wahyu dengan mata yang melirik buku yang berserakan dilantai.

("kalau tak kenal, kalian ngapain disini? Berduaan lagi, lihat bukunya berantakan,")

Syahla terdiam tak bisa lagi membela diri ditambah lelaki asing itu hanya diam dan menunduk, seberapa banyak ia membela diri secara logika keberadaan mereka berdua memang akan membuat orang salah paham.

"Sudahlah, urang kawin ken. Bae kita bawa ke kang mus," ajak kang wahyu dengan logat sundanya yang kental.

("Sudahlah, kita kawinkan saja. Biar kita bawa ke kang mus,")

Mereka langsung menarik tangan syahla untuk dibawa, namun gadis itu segera meronta.

"Astagfirullah, aa ayu percaya sama sasa. Kami gak ngelakuin apapun," sambil menarik tangannya sasa berujar, namun mereka tetap tak percaya.

Sedangkan pria asing itu terkejut, meski tak sepenuhnya paham bahasa sunda tapi mendengar nama kang mus matanya membulat dan tubuhnya terasa merinding.

"Tunggu!" sela pria itu, menghentikan tindakan mereka.

"Apa yang kalian maksud kang mus itu? Kang muslihat, tangan kananya kang bahar, pengusaha ki-ci-m-pring," tanya pria itu dengan wajah serius.

Mereka seketika terdiam lalu saling menatap pada rekan masing-masing, kemudian mereka bersamaan menatap pria itu dengan aneh, baru berbicara sudah buat mereka kebingungan.

Melihat kebingungan mereka sasa segera menjawab. "Eh, kamu itu terlalu banyak nonton preman pensiun, apa? Bapak saya teh pak mustofa bukan kang muslihat," bentaknya.

Pria itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal dengan bibir tersenyum tak enak. "Sorry, tadi mereka panggil elo neng sih. Jadi gue pikir elo anaknya kang mus," ujar pria tersebut.

"Emang, namanya bapak aku kang mus-tofa," sahut syahla dengan menekan kalimat mus ditambah tofa.

"Sudah, sudah. ngomongnya teu kenal tapi kalian ngobrol," sergah kang ayu.

"Hayu kita bawa mereka!" ajak pemuda lainnya menimpali.

Seorang pemuda memberikan sarungnya pada pria itu. "Pake ini, kang. Masa telanjang terus," ujarnya menyerahkan sarungnya.

Pria itu menerimanya. "Terima kasih," ucapnya.

"Sami-sami, kang," sahut pemuda itu yang usianya masih muda diantara para pemuda itu.

Segera pria tersebut memakainya, sementara yang lain sudah membawa syahla keluar dari mesjid.

Mereka dibawa beriringan ke rumah kang mus, dimana itu adalah rumah ayahnya syahla. Saat berjalan gadis itu melihat cara berjalan lelaki asing itu, sesekali ia meringis kesakitan, dan kadang berdesis ngilu.

Pikiran sasa melayang pada saat pertama kali melihatnya, ia tak memakai bajunya dan malah mengikatkan bajunya pada pinggangnya. Juga ada noda merah yang menempel dibaju putihnya, noda amis yang biasa ia temui di rumah sakit dan itu adalah noda darah.

"Apa ia terluka? Ya," batin sasa.

Setelah sampai didepan rumahnya, mereka mengucapkan salam. Berkali-kali mereka mengucapkannya tapi seolah rumah itu tak ada penghuninya, sama sekali tak ada seorang pun yang menjawab salam.

Ini masih jam sahar dimana para penghuni masih terlelap dalam arus mimpi. Mereka pun saling tatap dan mengulang kembali kata salam dengan suara yang lebih keras.

"ASSALAMMU'ALAIKUM ..." teriak mereka bersamaan saking kesalnya.

Ada juga yang memukul kentongan agar penghuninya bisa bangun, dan benar saja hal tersebut berhasil.

"Wa'alaikumsalam" jawab seorang pria dari dalam rumah.

Klek

Suara pintu terdengar dibuka, menampakkan ilham yang keluar dari rumah itu dengan sarung yang melekat dipinggangnya. Wajah lelaki itu terkejut melihat para pemuda dan juga kakak iparnya yang datang kerumah mereka.

"Ada apa ini?" tanya Ilham dengan wajah bingung.

"Kang mus na aya?" tanya kang wahyu.

("Kang mus nya ada?")

Ilham mengangguk, lalu mempersilahkan mereka untuk masuk kedalam rumahnya.

pertanyaan demi pertanyaan bergelayut dalam pikiran ilham, namun satu hal yang paling menonjol adalah siapa pria yang ada disamping sasa?

Rambutnya panjang, postur jangkung, dan wajahnya tampan dengan warna kulit bersih. Sedangkan sasa, gadis itu terlihat masih mengenakan mukenahnya, tampak baru selesai sholat.

Setelah mereka masuk, ilham segera membangunkan ayah mertuanya dengan mengetuk pintu kamarnya. Mereka-pun bangun dan suasana ruang tamu mulai tegang, disaat kang mus melihat beberapa pemuda yang duduk dikursi ruang tamunya dengan sasa yang duduk dihimpit kang ayu dan pria asing, gadis itu hanya diam menundukkan kepalanya.

Sementara sasa, ia tak ingin menatap wajah sang ayah. Luka tadi sore masih terngiang ditelinganya, dan sekarang dengan kejadian seperti ini sudah pasti akan membuatnya di usir.

Gadis itu hanya menundukkan kepalanya dengan jemari yang saling meremas, jantungnya sudah tegang bahkan saat ayahnya keluar dengan wajah sangarnya.

Hal tersebut tak jauh dari penglihatan pria asing itu, ia menatap sasa dengan wajah bingung dan bergantian melirik pria paruh baya, bertubuh bongsor dan berambut kriting yang baru keluar dari kamarnya.

"Ada apa ini?" tanya kang mus sembari mengikat sarungnya dipinggang dengan kuat.

"Ini kang, neng sasa dan pria ini sudah melakukan hal tak senonoh. Mereka melakukannya di mesjid, jadi kami harap mereka dinikahkan sekarang juga," cerita kang wahyu masih dengan logat sundanya menjelaskan dengan bahasa indonesia.

Kening kang mus langsung bertaut, selama ini anak sulungnya tak pernah melakukan hal yang memalukan, tapi sekarang ia justru membuat keluarganya malu.

Syahla semakin meradang, rasa takut memenuhi hatinya tapi ia hanya bisa berdo'a didalam hatinya semoga Allah memberikannya jalan yang terbaik.

"Apa kubilang, yah. Sasa itu pake hijab doang buat nutupin rasa gak tahu dirinya, buktinya sekarang apa?" seloroh ibu tirinya yang tiba-tiba saja keluar dari kamarnya.

"Enggak, yah. Ini hanya kesalahpahaman," ujar Sasa segera berdiri dan secepatnya membela diri, meski dengan suara bergetar.

"Terus kenapa kamu gak pulang?" tanya ibu tirinya dengan nada yang membentak.

"Sa-sasa cuma ..." ucapan Syahla menggantung, rasanya tak kuat lagi menaha nyeri dan terlalu sesak hingga ia hanya bisa menangis.

Air matanya menetes begitu saja, seakan menjadi tanda seberapa sakit yang ia rasakan. Sasa kembali duduk bibirnya tak kuat lagi bahkan untuk membela diri-pun ia merasakan semuanya sia-sia, yang ada hanya bentakan yang berakhir dengan kata-kata yang menyakitkan hatinya.

"Tuh kan, yah. Sudahlah, biar dia menikah saja, biar tak lagi menggoda ilham," ujar ibu tirinya sasa bernama luna itu, dengan kalimat yang memfitnahnya.

Syahla segera beristigfar dengan pelan dan hanya pria asing itu yang mendengarnya, hingga menoleh pada sasa dengan wajah yang kembali bingung.

Ya, bingung. Bukankah aneh, kedua orang tua yang seharusnya menjadi orang pertama yang membela justru malah semakin menuduhnya. Tangan pria asing itu terkepal ia merasakan ketidakadilan pada wanita tersebut, yang sekarang menangis dengan tertahan, tertunduk oleh dunia yang merendahkannya.

Entah apa yang mendorong pria asing itu hingga ia memberanikan dirinya, ia berdiri menatap semua orang dan dengan sekali tarikan nafas ia mengucapkan sebuah kata lamaran.

"Saya ingin menikahinya segera, jadi saya minta restu pada keluarganya neng sasa," dengan tegas pria asing itu berujar.

Semua orang setuju dan merasakan kelegaan kecuali syahla, gadis itu menengadah menatap pada lelaki asing itu. Bingung karena bukankah seharusnya dia membela diri dari kesalahpahaman tersebut, dan mereka juga tak saling mengenal satu sama lain, lalu bagaimana bisa menikah? Jika kenal saja tidak?

Sementara dibalik dinding yang menghalangi ruang tamu dan ruang keluarga, ilham mengepalkan tangannya mendengar suara lelaki itu. Masih ada rasa dihatinya yang seakan tak rela cinta pertamanya dinikahi oleh pria lain, ia merasa marah dan tak bisa membayangkan jika sasa akhirnya berbagi selimut dengan pria yang tak dia kenal sama sekali.

"Perkenalkan, nama saya ... Aditya gala askara dengan ijin Allah, saya melamar neng sasa untuk menjadi istri saya," ucap Gala dengan tegas kembali mengucapkan lamarannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!