"Amina!" seru Nyonya Elsa, suaranya menggema lembut di dalam rumah.
"Iya, Ma... sebentar!" jawab Amina dari balik pintu kamar, terdengar sedikit tergesa.
...Tak lama kemudian, langkah kaki ringan menuruni anak tangga terdengar. Amina muncul dengan senyum merekah di wajahnya, menghampiri Nyonya Elsa yang telah menantinya....
"Aduh... putri Mama cantik sekali hari ini," puji Nyonya Elsa dengan mata berbinar, merentangkan kedua tangannya lebar-lebar menyambut kedatangan Amina.
"Ih, Mama..." Amina tertawa kecil, rona merah samar menghiasi pipinya.
...Ia segera menghambur ke dalam pelukan hangat sang ibu angkat. Meskipun Amina adalah putri adopsi bagi Nyonya Elsa dan Tuan Hernando Salvador, kasih sayang yang mereka curahkan padanya tak pernah berkurang sedikit pun, sama halnya dengan Stevan....
"Katakan, apa ada hal istimewa hari ini?" tanya Nyonya Elsa seraya melepaskan pelukannya, menatap lekat wajah ayu Amina.
Amina mengangguk pelan, senyumnya merekah. "Iya, Ma... hari ini adalah hari kelulusanku, dan-" Ia menunduk sejenak, menyunggingkan senyum tipis sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, tampak malu-malu.
"Dan apa, sayang?" goda Nyonya Elsa dengan tatapan penuh kehangatan.
"Dan... aku diajak makan siang oleh... seseorang yang kusukai, Ma," jawab Amina akhirnya, rona merah tipis mewarnai pipinya.
...Wajar saja jika Amina menyimpan harapan untuk memiliki seorang kekasih. Di usianya yang telah menginjak delapan belas tahun, ini adalah kali pertama ia diajak makan siang oleh pria yang selama ini berhasil membuatnya jatuh hati....
"Tidak!" Suara bariton berat Stevan tiba-tiba memecah kehangatan suasana, bagai petir menyambar di siang hari bolong.
...Nyonya Elsa dan Amina tersentak, serentak menoleh ke arah sumber suara. Stevan Salvador, kakak angkat Amina, tampak gagah dalam balutan setelan jas rapi, menuruni tangga dengan langkah tegap....
"Tapi kenapa, Kak?" protes Amina, nada suaranya meninggi karena terkejut dan tak setuju.
"Sudah kubilang tidak boleh, ya tidak boleh," tegas Stevan, tatapannya dingin tanpa menoleh pada Amina.
...Ia melangkah melewati kedua wanita itu menuju meja makan, aura dinginnya terasa menusuk, lalu duduk dengan gerakan kaku....
"Keributan apa ini di pagi hari?" tegur Tuan Hernando, suaranya tenang namun mengandung sedikit rasa ingin tahu.
...Ia menuruni tangga dengan setelan jas yang tampak sempurna, pandangannya beralih antara Amina dan istrinya....
"Ini lho, Yah," jelas Nyonya Elsa sambil menghampiri suaminya. Ia berdiri di hadapan Tuan Hernando, dengan lembut merapikan dasinya yang sedikit miring. "Amina baru saja bercerita kalau ia diajak makan siang oleh seorang teman pria."
"Lantas, kenapa tidak pergi saja?" tanya Tuan Hernando, senyum hangat terukir di wajahnya seraya mengusap lembut puncak kepala sang istri.
"Tapi... Kakak bilang tidak boleh," lirih Amina, suaranya tercekat.
...Matanya mulai berkaca-kaca menatap kedua orang tua angkatnya, mencari jawaban dan dukungan....
... Tuan Hernando menghela napas berat, raut wajahnya menunjukkan pertimbangan. Kemudian, ia merangkul pinggang ramping istrinya dan berjalan menuju meja makan. Amina mengikuti mereka dari belakang dengan langkah gontai, kepalanya tertunduk dalam kesedihan. Mereka pun duduk dalam keheningan yang terasa berat di kursi meja makan....
"Stevan," Tuan Hernando memulai percakapan, nada suaranya dingin namun tegas, "berikan alasan yang masuk akal, mengapa Amina tidak diperbolehkan makan siang dengan teman prianya?"
"Karena dia harus mempersiapkan diri untuk kuliah," jawab Stevan tanpa menatap siapa pun, suaranya datar. "Oleh karena itu, saya tidak ingin konsentrasi Amina terpecah oleh hal-hal yang kurang penting."
...Tuan Hernando dan Nyonya Elsa saling bertukar pandang, menimbang alasan yang diberikan Stevan. Ada benarnya juga, mengingat hari ini adalah hari kelulusan sekolah, yang berarti Amina harus segera bersiap untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan....
"Aku janji akan tetap belajar dengan fokus, Kak," ujar Amina cepat.
Prang!
Stevan membanting sendok dan garpunya ke piring, suaranya memecah keheningan. Ia berdiri dan menatap Amina dengan tatapan mengintimidasi.
"Setelah hasil ujianmu keluar, asistenku akan menjemputmu untuk daftar kuliah," katanya datar.
...Stevan membenarkan letak jasnya, lalu pergi tanpa menoleh. Amina langsung tertunduk, air matanya mulai jatuh. Ia bertanya-tanya dalam hati, Kenapa Kakak selalu begitu posesif? Bahkan ke pesta pun aku selalu dikunci, tidak boleh jauh darinya....
"Sayang, kamu yang sabar ya..." Nyonya Elsa mengusap lembut punggung Amina, mencoba menenangkan putrinya. "Kakakmu melakukan itu karena dia ingin kamu memiliki masa depan yang cerah."
...Tuan Hernando telah menyelesaikan sarapannya. Beliau bangkit dari kursi dan menghampiri Amina dan Nyonya Elsa yang masih duduk di meja makan....
"Jangan bersedih, Nak," ucap Tuan Hernando dengan senyum hangat.
"Nanti Papa akan mencari cara agar kamu bisa pergi makan siang dengan teman priamu. Tapi ingat, tidak boleh sampai larut malam ya."
"Terima kasih, Pa..." jawab Amina dengan suara sedikit serak, namun senyum kembali merekah di wajahnya sambil mengusap sisa air mata di pipinya.
"Baiklah, kalau begitu Papa berangkat kerja dulu." Tuan Hernando membungkuk dan mengecup pipi Nyonya Elsa dengan sayang, lalu melangkah pergi.
(Bersambung)
...Sesuai dengan arahan Stevan, setelah Amina menyelesaikan pengecekan hasil ujiannya, ia segera dijemput oleh Erik, asisten Stevan, untuk menuju perusahaan keluarga Salvador....
...Setibanya di sana, Erik dengan sigap mengantarkan Amina menuju pintu ruang kerja Stevan....
Tok.
Tok.
Tok.
"Masuk," jawab Stevan dari dalam ruangan.
Ceklek.
"Nona, silakan masuk," ujar Erik mempersilakan.
"Terima kasih," balas Amina dengan senyum hangat.
...Ia pun melangkah masuk, dan Erik segera menutup pintu ruangan di belakangnya....
"Duduklah di sana," perintah Stevan tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di tangannya.
"Baik, Kak," jawab Amina seraya menghampiri sofa dan duduk.
...Beberapa menit berlalu, Stevan akhirnya meletakkan berkas dari tangannya. Ia bangkit berdiri, lalu berjalan mendekati Amina dan duduk di sofa yang berhadapan dengannya....
"Kemarilah, duduk di sini," perintah Stevan sambil menepuk pelan pahanya.
...Dengan kepolosan yang terpancar, Amina hanya mengangguk. Ia menuruti arahan Stevan, sebuah kebiasaan sejak kecil di mana ia seringkali duduk di pangkuan kakaknya itu....
"Kenapa kamu ingin berpacaran? Apa kasih sayang Kakak selama ini kurang bagimu?" bisik Stevan lirih, sembari membelai lembut pipi Amina dengan gerakan sensual yang terasa menggelitik.
...Tatapan matanya begitu dalam dan sarat akan makna tersembunyi. Nafasnya terdengar sedikit memberat, seolah ia sedang berjuang menahan sesuatu dalam dirinya....
"A-aku... sudah lama menyukainya, Kak. Dan hari ini, dia baru saja mengajakku," jawab Amina dengan suara pelan, menundukkan kepala karena malu, kedua pipinya merona merah.
...Stevan menghela napas berat, kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Amina....
"Apa kamu tahu arti kata pacaran?" bisik Stevan rendah, sesekali mengecup lembut daun telinga Amina yang kini terasa panas dan memerah.
Amina menggeleng pelan, rasa malu menjalari tubuhnya. "Tidak, Kak," jawabnya lirih.
"Sini." Stevan meraih lembut tengkuk Amina, mengarahkan wajah gadis itu agar menatapnya. "Ini arti pacaran orang dewasa," bisiknya lagi, sebelum bibirnya perlahan mendekat ke bibir Amina.
...Lalu, bibir Stevan menyentuh dan melumat bibir Amina. Kedua mata Amina terbelalak sempurna karena terkejut, dan ia refleks menjauhkan diri....
"Kak... itu ciuman pertamaku," ucap Amina dengan suara bergetar, menatap Stevan dengan mata yang berkaca-kaca, penuh keterkejutan dan rasa tak percaya.
"Aku tahu," desis Stevan, tatapannya menggelap. "Dan jika kamu menolak seperti itu, maka dia akan membanting tubuhmu seperti ini."
...Dengan gerakan cepat dan kasar, Stevan merebahkan tubuh mungil Amina di sofa, lalu menindihnya tanpa ampun....
"Kak! Hentikan!" pekik Amina, suaranya bergetar hebat karena panik yang mulai mencengkeram.
"Dan akan mengunci kedua tanganmu seperti ini," lanjut Stevan dengan dingin, menggenggam pergelangan tangan Amina dan membawanya ke atas kepalanya, menguncinya dengan kuat.
"Kak, aku takut, hentikan, aku mohon..." lirih Amina dengan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Laki-laki yang sedang menginginkan sesuatu tidak akan mendengarkanmu, Amina," bisik Stevan dengan suara serak yang berbahaya.
...Perlahan, tangannya yang besar menyentuh salah satu paha Amina, membelainya dengan gerakan lambat namun penuh ancaman, naik semakin tinggi. Kemudian, tanpa menunggu, tangannya menyusup masuk ke dalam lipatan dress Amina....
"Kak, hentikan!" seru Amina dengan suara tercekat.
"Lalu, dia akan membenamkan wajah di dadamu dan berbisik, 'Aku menginginkanmu, sayang'," bisik Stevan dengan suara rendah yang berbahaya, lalu tanpa menunggu, ia membenamkan wajahnya di antara kedua gundukan dada Amina yang terasa penuh.
...Di bawah sana, tangan Stevan terus bergerak semakin dalam, berusaha merobek pertahanan dalaman Amina....
"Kak ... Hiks... hiks... hiks," tangis Amina pecah, meronta di bawa kungkungan Stevan dengan susah payah. Tubuhnya gemetar hebat, diliputi ketakutan yang tak terperi.
...Stevan menarik tangannya keluar, menatap Amina dengan senyum yang dipaksakan namun terlihat lembut, kemudian mengusap air mata yang membasahi pipi gadis itu....
"Itulah yang akan terjadi saat kamu berpacaran, Amina. Jadi, dengarkan Kakak," bujuk Stevan dengan nada persuasif.
"Baik, Kak," jawab Amina dengan anggukan patuh yang rapuh. Ia lalu membenamkan wajahnya di dada bidang Stevan, terisak hebat dalam pelukan posesif kakaknya.
"Pria bajingan, kamu mencoba mengambil wanitaku, jangan harap," batin Stevan menatap Amina yang tenga menangis dengan tajam.
...Kelelahan dan air mata akhirnya membawa Amina terlelap dalam pelukan Stevan. Dengan gerakan lembut dan penuh kehati-hatian, Stevan menggendong tubuh ringkih Amina, membawanya masuk ke ruangan privatnya, dan merebahkannya perlahan di atas kasur....
"Amina... kamu benar-benar membuatku gila," bisik Stevan lirih, mengusap lembut pipi gadis itu yang tampak damai dalam tidurnya.
...Stevan mengeram frustrasi. Alih-alih membangunkan Amina, ia memilih melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Di sana, ia melampiaskan hasratnya seorang diri, menjadikan sosok polos Amina sebagai objek dalam fantasi liarnya yang terpendam....
(Bersambung)
...(Bonus)...
(Visual Stevan)
(Visual Amina)
...Senja merayap tanpa terasa, namun Amina masih terlelap nyaman di atas kasur Stevan. Tidur pulasnya terusik oleh dering ponsel yang memekakkan telinga....
"Astaga... aku ketiduran!" gumam Amina seraya bangkit terperanjat dari kasur. Langkahnya terburu-buru menuju nakas.
"Siapa yang menelepon?" Dengan gerakan cepat, Amina membuka tasnya, mencari sumber suara yang tak kunjung henti.
"Amel?" Amina menatap layar ponsel, kemudian menggeser ikon hijau.
"Amina! Kamu di mana?" Suara melengking Amel terdengar dari seberang.
"Maaf, Amel. Aku ketiduran di kantor Kakak," jawab Amina sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Jalan-jalan, yuk!" ajak Amel dengan nada riang.
"Ke mana?"
"Ke pasar malam! Kita coba berbagai makanan enak. Ayolah, ya? Please..." rengek Amel penuh harap.
"Baiklah, aku akan pulang dulu untuk berganti pakaian, lalu-"
"Aku jemput mu di mansion, ya?" potong Amel tak sabar.
"Oke."
"Sampai jumpa! Bye!"
Panggilan terputus. Mata indah Amina tertuju pada jam di layar ponselnya. Rupanya, waktu telah menunjukkan pukul lima sore.
"Sebaiknya aku segera pulang."
...Amina bergegas menuju pintu dan membukanya. Baru saja ia hendak melangkah keluar, sebuah teguran menghentikannya....
"Kamu sudah bangun?" sapa Stevan.
Amina tersentak dan menoleh ke arah Stevan. "I-iya, aku sudah bangun, Kak," jawabnya gugup.
...Stevan bangkit dari duduknya dan menghampiri Amina, lalu berdiri tegak di hadapannya. Amina menelan ludah dengan susah payah, mendongak menatap kakaknya....
"Kak...." lirih Amina.
"Kamu masih ingat apa yang aku katakan tadi?" tanya Stevan sambil mengulurkan tangannya, menyentuh lembut pipi Amina.
Amina sedikit terkejut, lalu mengangguk pelan. "Iya, Kak."
"Bagus. Ayo, kita pulang."
...Stevan mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Amina, dan membawanya pergi....
...Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya mereka tiba di mansion dan segera turun dari mobil....
...Stevan mengerutkan kening ketika tatapannya tak sengaja menangkap keberadaan mobil Amel, teman sekolah Amina tengah terparkir di depan mansion....
"Untuk apa dia kemari?" tanya Stevan dengan nada curiga.
"Itu... kami berencana untuk jalan-jalan," jawab Amina jujur, meskipun jantungnya berdebar-debar karena takut.
"Kamu itu—"
"Kakak, aku tahu aku tidak boleh berpacaran, tapi Kakak juga tidak punya hak untuk melarangku berteman atau sekadar menikmati waktuku!" protes Amina dengan nada mulai meninggi karena kesal.
Stevan menghela napas berat. "Kamu boleh pergi, tapi dengan satu syarat," ucap Stevan akhirnya.
"Apa, Kak?" tanya Amina.
"Bawa pengawal Kakak bersamamu," putus Stevan tanpa memberikan kesempatan untuk Amina membantah.
"Cih! Terserah!"
...Amina mendengus kesal dan melangkah pergi meninggalkan Stevan. Semakin hari, sikap Stevan terasa semakin berlebihan, membuatnya tidak mengerti mengapa kakak tirinya itu bisa bersikap seperti ini....
"Amina!" seru Amel riang saat melihat Amina melangkah masuk ke dalam mansion.
"Kamu pasti sudah lama menunggu?" tebak Amina.
"Enggak kok, Sayang. Dia baru saja tiba," bukan Amel yang menjawab, melainkan Nyonya Elsa yang dari tadi menemani Amel di ruang tamu.
"Iya, benar kata ibumu," timpal Amel sambil tersenyum lebar.
"Baiklah, aku akan mandi dulu. Kamu tunggu di sini sebentar."
"Aku ikut!" sela Amel seraya melangkah mengikuti Amina, lalu menoleh ke arah Nyonya Elsa. "Enggak apa-apa kan, Tante?" tanya Amel.
"Hahaha, silakan," Nyonya Elsa terkekeh kecil dan mempersilakan Amel menunggu Amina di dalam kamar.
"Makasih," Amel tersenyum, lalu mendorong Amina menaiki anak tangga. "Ayo cepat!" desaknya.
...Setelah Amina dan Amel masuk ke dalam kamar, Stevan muncul dan melangkah memasuki mansion dengan wajah dingin....
"Nak, kamu baru pulang?" sapa Nyonya Elsa.
"Iya, Ma... aku mau istirahat sebentar, aku capek," ucap Stevan sambil terus melangkah pergi.
"Tunggu," cegah Nyonya Elsa.
"Ada apa lagi?" tanya Stevan sambil memutar kepalanya, menoleh ke arah ibunya dengan wajah memelas kelelahan.
"Papamu akan berangkat ke luar negeri, kamu temani dia," perintah Nyonya Elsa.
"Tapi, Ma—"
"Tidak ada tapi-tapian, titik!" tegas Nyonya Elsa.
"Cih!" Stevan mendengus kesal, melonggarkan dasinya, dan melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya.
...Di kamar, Amina bergegas mandi dengan cepat. Ia tak ingin membuat Amel menunggu lama. Selesai mandi, ia keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk melilit tubuhnya dan melangkah menuju lemari pakaiannya....
"Amina, apa kamu tahu kalau aku datang atas perintah siapa?" tanya Amel tiba-tiba.
Amina mengerutkan kening, melirik ke arah Amel. "Apa maksudmu?" tanyanya bingung.
"Aku datang atas permintaan Papamu. Kata beliau, dia sudah berjanji kepadamu, jadi dia harus menepatinya," beber Amel sambil kembali tersenyum lebar ke arah Amina.
"Terima kasih," ucap Amina tulus, ikut tersenyum setelah mendengar penjelasan Amel.
...Ia pikir tidak akan bertemu lagi dengan teman dekatnya itu, ternyata sang ayah angkat sudah mempersiapkan segalanya....
(Bersambung)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!