NovelToon NovelToon

Senandika Renata

01. Perundungan

Cairan bening mengalir mengguyuri tubuh mungilnya, seragam lusuh gadis yang tengah menunduk itu terkena noda lumpur sebab air comberan yang berpadu dengan tanah. Buku-buku jarinya memutih seiring emosi yang tertahan. Beberapa lembar kertas ujian yang dipenuhi coretan berwarna merah menyebar kemana-mana, berserakan. Kacamata yang awalnya bertengger manis, kini telah jatuh tergeletak berlumuran lumpur. Jemarinya meraba sekitar guna meraih benda berharga tersebut, namun ia merasakan sesuatu yang berat menghantam jarinya seolah memaksanya bungkam.

Ia mengadah, memandang wajah manis gadis sebaya dengannya. Secarik seringai tercetak pada bibir bergincu gadis tersebut. Jari-jari lentik yang dipoles sedemikian rupa menandakan bagaimana perlakuan orangtua yang senatiasa memanjakan dirinya.

"Well, hello nerd." Ujarnya seraya mengibaskan kacamata penuh lumpur dengan jijik.

"Hera, tolong, balikin kacamata saya." Mohonnya kepada si gadis bergincu.

Gadis yang disebut sebagai Hera hanya menggerling tidak peduli, ia lantas menjatuhkan kacamata itu ke tanah lalu menginjaknya hingga hancur berkeping-keping.

"Put it on, Renata." Kata Hera diiringi kekehan mengejek dari beberapa manusia di belakangnya.

Renata menggeram, ia lelah akan perilaku yang terkesan tak pantas dari seluruh insan di Amarta High School, terlebih tingkah Hera dan kawan-kawannya yang semakin hari semakin menjadi. Untung saja, alat bantu dengarnya masih bertengger apik di kedua telinga Renata, membuat gadis berkulit sawo itu menghela lega. Manik sehijau daun Renata memandang nyalang kearah sekelompok manusia biadab yang telah pergi meninggalkannya seorang diri, sejumput rasa syukur ia hanturkan. Dengan cepat ia berusaha meraup seluruh lembar ujian yang berisi nilai kurang memuaskan miliknya.

Gadis berambut panjang yang kusut tersebut berdiri sekuat tenaga, tangan kanannya ia gunakan untuk mencari tumpuan pada tembok putih serta memegangi satu dua eksemplar yang telah terkacau hal-hal lain yang pastinya menjijikan, sementara tangan kirinya meremas kacamata kuno yang telah rusak bersimbah lumpur.

Renata berjalan terseok-seok, kakinya keseleo akibat dorongan yang mengawali adegan perundungan.

Renata menyandarkan punggungnya pada bangunan putih yang terpisah jauh dari gedung kelas.

Tanpa sadar, setetes cairan bening mengalir melintasi pipinya.

''Tuhan...Berapa lama?" Tuturnya lirih secara implisit isakan pilu terdengar. Bahunya terasa sakit akibat pukulan benda tumpul yang sempurna melengkapi luka di tubuhnya.

"Selama kau kuat." Suara berat dengan sedikit serak seakan menyambar kalimatnya tadi, praktis membuat Renata mencari sumber suara.

"Kamu siapa?!" Ia berdecak sebal kala sebuah apel hijau terlempar mengenai kepalanya.

Samar-samar terdengar suara pantofel yang beradu dengan lantai. Perlahan, secercah cahaya memperjelas pandangannya, tidak, ini seperti sensasi saat ia mengenakan kacamata kesayangannya. Penglihatannya yang memburam kini semakin jelas. Netranya menangkap sesosok pemuda bertubuh tinggi, bahunya tegap lengkap bersama rahang tegasnya. Pemuda itu berjongkok menyesuaikan tinggi Renata guna memasangkan sebuah kacamata.

Pupil zamrud Renata tak sengaja bersinggungan dengan manik pemuda tersebut. Dapat ia lihat bias cahaya yang memantul dari mata setenang lautan, irisnya biru seperti langit cerah tanpa awan. Kulitnya putih pucat, namun entah mengapa nampak sehat. Hidungnya mancung, bibirnya sempurna seperti sebuah ukiran karya Yang Kuasa. Surai jelaganya berkibar terlihat lembut bila di usap.

Renata melongo, kelopaknya seakan enggan untuk berkedip.

Tanpa ia sadari pemuda itu telah menempatkan diri disampingnya.

"Makan tuh apel lo." Celetuknya, membuyarkan lamunan Renata.

Renata memandangi apel yang diberikan tadi dengan ujung matanya, seakan menaruh curiga.

"Ngapa?'' Ujar pemuda yang tengah mengunyah apel lainnya.

"Aneh," jawab Renata.

"Aneh gimana?" Sahut pemuda apel tersebut tanpa memandangnya.

"Kita tidak pernah saling mengenal, bertegur sapa, tapi kamu kasih aku kacamata, bahkan berbicara dan saling mengen-"

Kalimat panjang yang terlontar begitu saja di jeda oleh pemuda itu. "Maleo, Maleo Javares." Hal yang sontak membuat Renata bungkam bagai tak ada lagi kata yang dapat ia pilah.

Maleo menyodorkan telepon genggam pribadinya, Renata memandangnya dengan dua bola zamrud yang melotot, jantungnya berdegup kencang. Ia sontak mendongak, memandang pemuda dengan rambut belah tengah yang tertata rapi, Renata bertaruh dia menggunakan gel, Renata memandangnya seakan berkata: kamu--apa-apaan!

Maleo tertawa kecil, lantas membuat gesture, 'Minta nomor lo'.

Renata menggeleng. Maleo mengernyit.

"Kenapa?"

"Ga boleh." Tolak Renata mentah-mentah.

Maleo mengangguk, kemudian melenggang, tangganya ia masukkan kedalam kantung saku celananya yang agak kusut.

Renata hanya menggelengkan kepalanya, setelahnya menghela lega. Untung Maleo tak sadar bahwa kedatangannya membuat Renata merinding, menahan napasnya, hingga pasokan oksigen tak tersuplai dengan baik jikalau Maleo terus memaksa berbincang dengannya lebih lama dari ini.

Renata memandangi apel hijau yang berada di pangkuannya, hasrat ingin tahu menyeruak, karena ini kali pertamanya melihat apel hijau secara nyata. Biasanya hanya apel merah yang sanggup ia beli dan beredar di pasar-pasar dekat apartemennya.

Kalau hijau...Ia tidak terlalu familier.

"DIMAKAN APELNYA!" Suara keras membuat Renata terhenyak, ia mengadah memandang Maleo yang duduk manis di atas genting bangunan gudang seraya menyingsingkan seutas seringai. Mengundang senyum yang merekah di wajah kusam Renata,  dan praktis mengukir  lesung pipi yang sayang untuk dilewatkan.

"Gue gak kasih racun kok!" Tambah Maleo dari atas seraya mengibaskan tangannya ke kanan maupun kiri, nampak santai.

Renata terhibur akan hal itu. Hal kecil tapi memiliki pengaruh dua kali lipat dari nilai bagus.

"Iya." Lirihnya mengiyakan.

...----------------...

...Dear Diary...

...Who's him? However, he's my savior....

...-22.03.24...

...R...

Renata menutup catatan kecil yang menjadi atensi utamanya malam ini, ia meregangkan otot-ototnya sejenak kala rasa pegal melanda gadis berumur tuju belasan tersebut. Ia telah menutup rapat-rapat pintu. Netra emeraldnya mengedar, menangkap gorden yang tertutup lalu membukanya. Dari sana, ia dapat melihat gedung pencakar langit yang menjulang tinggi diantara hiruk pikuknya Ibu Kota yang padat. Asap kendaraan tersamarkan seiring larutnya malam.

Renata beralih menatap kacamata berlensa bulat pemberian pemuda apel bernama Maleo yang satu itu. Ia tersenyum mengingatnya, lalu bertekad untuk mengembalikannya besok, karena ia dapat memakai kacamata ibunya yang dulu.

02. Campur Aduk

Campur aduk rasanya kala mendapati pintu gerbang telah tertutup. Gadis bersurai legam yang kusut akibat lupa disisir itu duduk meringkuk di depan gerbang. Wajahnya pucat pasi sebab berlarian mengejar waktu. Napasnya memburu seiring jantungnya yang seolah ingin hengkang dari tempatnya.

Renata tak suka sensasi ini, sensasi aneh ketika ia merasa lemah dan perlu merepotkan orang disekitarnya.

"Aduh bocah zaman sekarang, gue jadi harus bukain lagi kann, nyusahin aje!'' Omelan dari pria jangkung bertubuh cungkring yang ia ketahui bernama Suripto, sama sekali tidak ia gubris.

Sebab ia tidak dapat mendengarnya, sungguhan tidak bisa ia dengar, semua akibat satpam yang telah mengabdikan diri kepada Amerta selama sepuluh tahun lamanya itu, berbicara kepadanya tanpa tahu menahu bahwa; Renata melupakan alat bantu dengarnya.

Tadi pagi ia sangat panik mendapati jarum pendek berada tepat di angka enam. Ia secara reflek bergegas ke arah lemari untuk memakai seragam sekolahnya tanpa membersihkan diri terlebih dahulu. Untung saja kacamata yang Si Pemuda apel berikan tidak tertinggal, sehingga tak perlu lagi mengerahkan tenaga ekstra untuk bolak-balik.

Dan mungkin usahanya untuk pergi ke sekolah tepat waktu telah sirna, kala gerbang telah ditutup. Sehingga Renata memutuskan untuk duduk meringkuk seraya menghanyutkan diri dalam lamunan. Sayup ia merasa getaran tanda gerbang dibuka.

Asyik meratapi nasib sembari memandang sepatu belel yang telah ditambal sana sini, hingga ia tidak sadar pantofel mengkilap terhenti tepat dihadapannya. Gadis itu mendongak, ia membenarkan kacamata kotak kebesarannya yang tadi hampir melorot ketika menunduk.

Betapa terkejutnya ia kala secercah harapan sekan menelusup masuk ke telinganya. Simfoni dari cicitan burung yang bersenandung indah terdengar sungguh syahdu, omelan Pak Suripto tak henti-hentinya membuat telinganya mati rasa. Zamrud itu membola, kala mendapati telinganya telah dipasangkan alat bantu dengar.

"Yah, gue rasa lo ga dengerin Suripto karena itu." Senyum penuh kemenangan merekah di wajah mulusnya. Aura arogansi nya membuat mental Renata ciut seketika.

Nampaknya pemuda itu sadar, ia yang semula berjongkok untuk memasangkan alat bantu dengar kini mendudukkan diri di samping Renata.

"Gausah takut sama gue, kalau ga ada gue, lo udah sekarat karena ga jawab pertanyaannya di mapel Bu Jasmintea." Ujarnya congkak seakan dirinya ialah satu sari seribu lebih pahlawan yang telah berkorban demi kedaulatan bangsa.

Renata hanya tersenyum canggung.

Ia tak tahu bagaimana ia harus bereaksi, karena sesungguhnya duduk di samping seseorang bukanlah hal yang familiar baginya.

"Ah," Renata baru sadar sesuatu. Dengan tergesa-gesa ia membuka tasnya, mengacak-acak isi di dalamnya lalu berhenti ketika menemukan tujuan utamanya.

Maleo dapat menganalisa bahwa tas itu telah dipakai kurang lebih seumur gadis itu hidup, buktinya ada pada warna yang telah memudar serta celah yang ditambal menggunakan kain berbeda rona, mempresentasikan kesan compang-camping yang amat teramat nyata.

Renata mengeluarkan sebuah benda dari dalam tasnya, benda itu terlihat jauh lebih menakjubkan, bahkan dibanding tas miliknya.

"Ini, aku kembalikan." Maleo melirik kacamata yang kemarin ia beri pada Renata sekilas.

Maleo tertawa kecil, kendatipun ini tidak lucu, melihat raut Renata yang menyerahkan kacamata dapat membuat sesuatu menggelitiki perutnya.

"Renata...Renata..," nada mengejek tertangkap runggu gadis yang kini sedang dilanda kebingungan.

"Lo bodoh, atau naif sih?" Cerca Maleo membuat Renata menggerling.

Renata meraih tangan besar Maleo, lantas menaruh kacamata itu di sana.

"Makasih atas semuanya, kamu baik."

Ujarnya setelah melipat tangan Maleo, membuatnya memegang erat kacamata. Kejadiannya begitu singkat semenjak Renata melenggang pergi, meninggalkan Maleo yang diam mematung.

Pak Suripto terlihat kebingungan, kumis melintang yang hampir sama panjang layaknya sebuah sikat gigi tersebut bergerak kala ia berbicara.

"Woi, lu mau masuk atau gua tutup?!'' Gertak Pak Suripto seraya memegangi kumis kebanggaannya.

Maleo terkikik geli. Ia mengobservasi tempat semula ia duduk, lalu menangkap tas yang telah kehilangan ronanya milik Renata. Sebuah lonceng seakan berdentang hebat di kepalanya, ide jahil menelusup masuk.

Maleo lantas membawa tubuhnya untuk bergegas mengendarai motor sport hitamnya, melintasi gerbang sekolah seraya membawa tas kepunyaan gadis bermanik hijau yang menakjubkan batin.

...•••...

"RENATA GINANDAR!''

Teriakan Bu Jasmine menggelegar bahkan mungkin terdengar hingga pos satpam tempat Pak Suripto bersemayam. Wanita gembul dengan pipi yang berisi mendekat ke arah Renata seraya menepuk-nepuk tangannya menggunakan penggaris panjang.

Sayup ia mendapati suara bisik-bisik dari siswa kelasnya.

Renata hanya bisa menunduk sembari menggelengkan kepalanya, mengucapkan kata maaf berkali-kali mengundang desahan lelah dari Bu Jasmine.

"Kenapa kamu telat?'' Suara tegas itu menelusup masuk diiringi deru pantofel yang semakin mendekat.

"HOI, BU TI!" Sambar seseorang dengan semangatnya.

Pemuda pantofel itu merangkul bahu Renata akrab, membuat gadis itu bisa merasakan sensasi dipeluk oleh dada bidang seorang pemuda gagah layaknya Gajah Mada.

Ah...Apa yang kamu pikirin, Renata mesum!

"Maleo?" Decak keheranan dari Bu Jasmine mengundang rasa senang yang membuncah dari Maleo.

Tapi ada sesuatu yang janggal, Maleo sekarang jauh lebih periang jika mengatasnamakan kacamata Bu Jasmine.

"Jadi gini Bu, Renata tadi ketinggalan alat bantu denger. Telat deh, Ibu gak mau kan dikacangin? Jadi dia balik ke rumah buat ambil alatnya,"

"Maklum, Renata tuh act of service, jarang-jarang loh Bu ada murid seperti ini." Dalih Maleo yang langsung diberi tatapan penuh selidik dari Bu Jasmine.

Renata yang kebingungan sebab kepalanya dipegang seseorang yang menyuruhnya mengangguk hanya diam menurut.

Bu Jasmine menghela napasnya. "Yaudah, alasan diterima." Pungkas Bu Jasmine, ia seakan telah lelah akan perilaku anak bar-bar yang satu ini.

Sedetik setelahnya, suara meja dipukul keras mengalihkan atensi seluruh siswa, tak terkecuali Maleo pula Renata.

"Bu, dia telat loh, hukum lah minimal, gak adil banget deh!" Hera memprovokasi, para siswa berseru penuh rasa dengki. Maleo menatap gadis bergincu merah pekat itu menggunakan ujung matanya, mengintimidasi.

"Wah, wah Hera," nada meremehkan muncul membuat seluruh insan di kelas yang semula riuh seketika bungkam.

"Nona dari anak pemilik tambang memang manis, ya? Sayang ajasih manner-nya busuk." Sebuah kalimat penuh sarkasme terdengar, menjatuhkan martabat Hera sebagai seorang ratu di Amerta.

"Soalnya, nyela percakapan itu...," Maleo menjeda kalimatnya, secarik seringai mengejek tertangkap indra, ia mengangkat dagunya memberikan kesan congkak yang seketika menyulut api amarah Hera.

"Gak sopan loh." Ia tersenyum karir ketika mengatakannya, yang justru membuat beberapa siswa ketakutan.

Renata dapat menyaksikan Hera yang mati-matian menahan amarah. Terbukti dari otot-otot yang nampak, rahang terkatup rapat, serta gigi yang bergemulutuk. Jangan lupa mengenai semburat merah yang menjalar akibat rasa malu tak terbendung.

Hera kembali mengebrak meja dengan bar-bar. Surai legam mulusnya ikut berterbangan saking kencangnya ia memukul meja. Suasana kelas kembali ricuh seiring banyaknya suara yang dihasilkan dari berbagai belah pihak.

Hera bangkit, kursi tak bersalah itu terjatuh menimbulkan bunyi yang tidak mengenakkan, ia berjalan dari bangku belakang, seakan menikmati sensasi menjadi sorotan kelas karena seluruh siswa beserta Bu Jasmine memandanginya penuh tanya.

Saat ia tepat berada di hadapan Maleo dan Renata, gadis itu mengangkat dagunya angkuh. Ia mendorong bahu Maleo, membuat pemuda tersebut menaikkan sebelah alisnya.

"Apa urusan lo, hah?!!" Nada menyindir tertanam secara implisit didalam kalimat itu.

Hera terkikik sinis. "Hahah, lo mau jadi pahlawan kesiangan, Iya?!!" Hera melototi Maleo seolah kesetanan, sementara Renata kini bersembunyi di balik punggung lebar Maleo.

Hera berdecak. "Sayangnya sih," Hera menjambak surai kusut Renata yang segera ditepis oleh Maleo.

Hera kembali mengadah, ia kini memangku tangan, seakan menantang Maleo.

"Cewek busuk lo ini, ga sepolos itu." Hera menegaskan perkata di dalam kalimatnya.

Bu Jasmine menghela lelah, mata bulan sabitnya menatap satu-satu raut anak didiknya. Ia merasakan panji perang dikibarkan hingga pertempuran benar-benar terjadi.

"Anak-anak dimohon tenang," sela Bu Jasmine menengahi panasnya atmosfer kelas. Ia menatap Velencia Si Ratu Gosip yang segera dikerumuni oleh banyak siswi, layaknya interaksi ratu semut dengan banyaknya semut pekerja.

"Hera memotong pembicaraan memang tidak baik, Maleo mencampuri urusan juga tidak baik, Renata kamu bisa ambil hukumannya nanti sepulang sekolah." Pungkas Bu Jasmine, mengundang hela napas dari Maleo.

"Mal-"

"Tenang bu, saya otw BK." Maleo mengelus rambut kusut Renata, kemudian berlalu meninggalkan perasaan aneh yang tertahan dalam hati sang gadis.

Renata memandangi tas yang tadi sempat Maleo serahkan padanya di sela-sela perbincangan panas. Ia tersenyum tanpa sadar, lantas menapakkan kaki di kelas, duduk di bangku ujung paling belakang, selalu seorang diri, lalu membuka buku pelajarannya.

"Thanks, Maleo."

03. Kacamata

...Happy Reading!...

"Raden Mas Maleo Javares!'' Wanita yang berprofesi sebagai seorang guru itu menjerit kala menemukan seorang pemuda kelas sebelas yang dengan santainya tidur terlentang di atas genting gudang penyimpanan dengan santai, seraya memakan apel hijau.

Ia telah mendengar seberapa bar-bar tingkah anak didiknya itu, dan sebagai seorang guru bimbingan konseling yang baru dilantik sudah sewajarnya ia untuk menegur Maleo.

Namun hal yang membuatnya sulit ialah, sifat bandel anak itu.

Seperti kali ini, ia mendapati Maleo yang tengah terduduk lesu di ruang guru. Tidak seperti biasanya yang akan menanggapi hal ini dengan santai.

"Bu, boleh curhat ga?" Bu Fitri— guru baru itu menatap Maleo seolah meragukan anak dihadapannya.

"Tumben, biasanya kamu nyi nyi nyi." Akhir kata Bu Fitri menirukan gaya Maleo saat diberi wejangan oleh guru-guru BK.

Maleo mengadah, memandang langit-langit ruangan lantas menguap.

"Iya nih Bu,"

"Bu, salah gak sih kalau saya mimpi bas-"

"Maleo?" Sela seorang gadis yang berdiri di kusen pintu, ia membawa buku-buku tebal yang sudah tentu berat, sedikit mengerahkan hati Maleo untuk bangkit dan membantu.

Maleo hendak membantu gadis bermanik zamrud yang ia ketahui bernama Renata. Namun dengan cepat gadis itu sanggah, alasannya classic; Bukunya tidak berat.

"Ini Bu yang ibu minta," Bu Fitri mengangguk menyuruh Renata menaruh tumpukan buku-buku tebal nan berat di atas meja.

"Maaf ya ganggu pertemuan Ibu, soalnya kata Pak Ihsan ibu butuh secepatnya." Cicit Renata, Bu Fitri hanya terkekeh mendengar nada yang cenderung menjurus ke arah gemetar dari muridnya.

Bu Fitri menghentikan kekeh nya. "Mboten nopo-nopo, tidak menganggu Renata." Bu Fitri merogoh saku celananya lantas mengeluarkan sebuah kertas berwarna biru, setelahnya menyodorkan benda itu kepada Renata.

Renata menggoyangkan tangannya selayaknya manusia ketika memberi gesture menolak.

"Engga usah ibu, saya ikhlas kok!" Dalih Renata.

Maleo memutar mata, jemarinya mengambil selembar uang lima puluh ribu itu dengan cepat. Kemudian membungkusnya dalam tangan Renata.

"Makasih ya Bu, saya ikhlas kok," ujar Maleo.

"Anggap aja saya wali nya." Tambah Maleo, kemudian tanpa Renata dapat memproses kejadian, Maleo dengan tidak diikuti aba-aba membawanya keluar ruangan, sebenarnya Maleo hanya tidak ingin Renata berdalih untuk mengembalikan uang tersebut.

Renata menatap uang di genggamannya tak bergeming. Ada sedikit sirat kekhawatiran dimatanya.

Maleo berdecak kesal.

"Anggep aja lo kerja, dan itu gaji lo," Balas Maleo tanpa adanya pertanyaan.

"Tapi Maleo, saya benar-benar -"

"Apa? Lo ngerasa gak pantes?" Sela Maleo, biru kelabu menatap lurus seakan mengoyak zamrud yang dipenuhi binar murni.

"Gue tau Renata, kacamata yang lo pake itu gak nyaman buat lo."

Skakmat. Renata benci merasa lemah, tapi memang itulah penyebabnya.

Kacamata ini ialah milik sang Mama yang juga mempunyai kelainan mata. Meskipun miopia keduanya beda jauh, Renata harus mengenakan kacamata persegi ini karena tak mempunyai dana. Toh, kacamata pemberian Maleo kemarin telah ia kembalikan tadi pagi.

Maleo terkekeh mendapati reaksi sunyi Renata yang menatapnya seperti anak berumur lima tahun.

Maleo yang gemas menoyor kepala Renata. "Tapi lo bisa simpen, gue bisa beliin lo kacamata baru-"

Kalimat Maleo di jeda, pemuda itu mengangkat alisnya. Skenario yang ia duga nampaknya benar-benar bekerja.

"Engga, Maleo. Saya akan beli sendiri." Sanggah Renata.

Maleo mengangkat secarik seringai kemudian mengangguk.

Ia berjalan mendekati Renata yang diam termangu. "Oke." Final Maleo.

Renata mendongak, mengingat perbedaan tinggi diantara keduanya.

"Silahkan, hidup-hidup lo, mata-mata lo, silinder juga lo yang rasain," cerocos Maleo.

"Tapi jangan ngeluh kalau nanti biayanya jauh lebih mahal buat kacamata, dibanding uang makan lo sebulan." Cetus Maleo, lantas berlalu meninggalkan Renata yang menunduk dalam.

Suara pantofel perlahan memudar, gigitan apel masih terdengar menggema. Renata memandangi sepatu lusuhnya, secara bergantian ia mengamati rok pendek lungsuran dari temannya yang mungkin saja tak bisa ia bilang sebagai teman lagi. Setetes air jatuh tertahan di kacamatanya, ia memandangi lurus tembok ruang konsultasi kesiswaan yang sering disebut BK. Renata tak tahu bahwa punggung sempit itu naik turun seiring deru napas yang menggebu. Ia meraih matanya, lantas mengelapnya kasar.

Ia harus tegar. Sebagai seseorang yang telah menderita di rumah itu, dirinya harus bertahan. Renata bukan gadis yang lemah. Setidaknya untuk menahan air mata.

...•••...

Bel berdentang keras menandakan selesainya waktu menuntut ilmu. Muda-mudi bersorak ria, mereka akhirnya terbebas dari pelajaran yang membebani masa muda. Loker-loker yang semula terkunci kini ternganga karena sang pemilik telah membukanya. Sepatu-sepatu yang berada di raknya masing-masing kini telah menghilang, sepatu-sepatu itu melekat di kaki-kaki pemiliknya.

Renata ajaibnya tidak mendapat perundungan fisik hari ini. Meskipun tak dipungkiri masih banyak mata yang memandangnya seakan melecehkan, ia hanya bisa diam menunduk. Toh, tidak ada yang mau barang berteman dengan anak acak-acakan sepertinya.

Bruk!

Tabrakan tak terelakkan kala seorang gadis berlari seraya membawa buku. Renata menunduk semakin larut. Ia lantas berjongkok membantu buku-buku yang berserakan tersebut sembari mengumamkan kata maaf.

Beruntungnya, gadis itu tak memaki dirinya, justru berterimakasih dan menyerukan kata maaf namun Renata langsung melenggang meninggalkan gadis yang tengah terduduk di lantai dingin koridor.

Renata sampai di depan loker bututnya. Bahkan tak perlu kunci untuk membuka loker itu seperti yang lain, karena semenjak ia berada di sini para murid kompak merusak loker punyanya. Entah dengan coretan atau sebagai samsak tinju mereka. Karena Renata-pun tidak bisa marah, yang ia lakukan hanya mengepalkan tangan dan menyembunyikan urat-urat merah di dalam rambut panjang kumelnya.

Renata menghela tatkala tidak mendapat coretan baru di sana. Ia membuka loker yang gagangnya telah lepas dan setengah terbuka itu.

Namun alangkah terkejutnya ia ketika mendapati sebuah kacamata lengkap dengan kain microfiber sebagai pembersihnya.

Secarik kertas berada disamping kotak kacamata tersebut ditindih sebuah cokelat berbentuk hati yang ia tebak tidak akan pernah Renata mampu untuk beli.

Ia mengambil kertas tersebut.

...Dear Renata Ginandar...

...Hallo, kacamata dengan lensa kanan miopia 2 dan lensa kiri astigmatisme 0.5...

...Buat lo ikhlas dari hati gue....

...Oiya, gue penguasa sekolah ini, so lo gausah ganti karena gue jelas-jelas kaya. Beli kacamata ginian doang kecil buat gue....

...Anyway, gue suka mata lo. Kaya warna makanan kesukaan gue....

...Gue suka sama pipi lo yang memerah, dan itu imut menurut gue....

...So gue beliin kacamata dengan kaca bulet biar lo kalo ketawa kelihatan lesungnya. Jangan pake kacamata kegedean lagi, ga cocok....

...Tanda tangan gue kalau lo tiba-tiba ngefans sama gue:...

Renata terkikik geli, mungkin saja yang melihatnya akan berkata bahwa ia gila atau semacamnya. Terserah, ia tak peduli. Karena hatinya berbunga-bunga hanya karena mendapat surat bertanda tangan dari pemuda --yang ia yakini-- sebagai Maleo, Maleo Javares. Tapi sejujurnya ia agak benci mengenai argumen bahwa matanya ini indah.

Bullsh*t, ia tidak suka matanya.

Renata mengambil kacamata dengan lensa bulat tersebut. Benar-benar pas untuknya, seperti ukuran kacamatanya dulu.

"Makasih.." lirihnya.

•••

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!