Di pinggir sebuah hutan yang cukup lebat, di ujung sebuah desa yang cukup ramai penduduknya, berdiri rapuh sebuah rumah kecil yang cuma pantas disebut gubuk yang sudah reok.
Gubuk reok kecil itu letaknya terbilang jauh dari pemukiman penduduk, bahkan sedikit masuk ke dalam hutan. Seolahnya rumah reok kecil itu terkucilkan oleh rumah para penduduk di desa itu.
Jika terjadi apa-apa di rumah reok kecil itu, para penduduk tidak bisa langsung cepat menolong. Itu kalau mereka sudi untuk menolong. Akan tetapi kenyataannya para penduduk sepertinya tidak sudi untuk menolong walau apapun yang terjadi.
Tentu sikap para penduduk itu ada latar belakangnya 'kan?
Lalu, siapakah penghuni gubuk kecil nan reok itu yang para penduduk saja tidak sudi untuk meringankan beban hidup penghuninya?
Gubuk reok kecil itu yang letaknya begitu jauh dari pemukiman penduduk dihuni oleh seorang wanita tak bersuami berumur 35 tahun dan putranya yang masih kecil berumur 6 tahun lebih.
Yin Huang, nama wanita malang berusia 35 tahun itu, bukanlah penduduk asli desa yang bernama Desa Fanrong itu. Dia hanyalah seorang pendatang yang ingin mencari suaka yang aman di tempat tersebut.
Sekitar lima tahun lebih atau hampir enam tahun yang lalu Yin Huang datang ke Desa Fanrong dalam rangka menghindari kejaran orang-orang jahat yang hendak membunuhnya dan putranya yang waktu itu belum genap berusia 1 tahun.
Sebenarnya mayoritas penduduk Desa Fanrong tidak menerima kehadiran Yin Huang dan putranya yang dia beri nama Jiang Wu, apalagi untuk tinggal di desa yang damai itu.
Dengan alasan ketidak jelasan tentang asal usul Yin Huang dan statusnya. Ditambah lagi mereka mencurigai kalau anak yang dibawa wanita malang itu adalah anak jadah, hasil hubungan di luar nikah dengan seorang lelaki yang tidak bertanggung jawab.
Sedangkan Yin Huang, entah kenapa dia tidak membantah secara serius tuduhan para penduduk tersebut. Dia hanya mengatakan kepada Kepala Desa Fanrong kalau Jiang Wu adalah putranya.
Yin Huang datang ke desa itu hanya untuk mencari perlindungan akan keselamatan putranya dari kejaran orang-orang jahat yang hendak membunuh mereka.
Singkat cerita, Kepala Desa Fanrong meluaskan Yin Huang dan putranya tinggal di desa itu. Akan tetapi dengan syarat, wanita itu dan anak lelakinya yang tidak jelas ayahnya siapa tidak boleh tinggal di pemukiman penduduk desa.
Dengan kata lain dia dan anaknya cuma boleh tinggal di pinggir hutan seperti tempat tinggal mereka saat ini.
Juga, para penduduk tidak boleh dan tidak akan ikut campur segala urusan Yin Huang dan kehidupannya, termasuk tidak akan menolongnya dan putranya sama sekali jika terjadi apa-apa dengan mereka berdua.
Sebaliknya, Yin Huang dan putranya tidak boleh sama sekali bergaul dengan para penduduk, apalagi meminta bantuan kepada para penduduk.
Bahkan sekalipun nyawa Yin Huang dan Jiang Wu, putranya terancam bahaya, kepala desa dan para penduduk tidak akan ikut campur.
Keputusan yang amat kejam!
Jelas keputusan Kepala Desa Fanrong tersebut sungguh tidak menguntungkan bagi Yin Huang dan putranya sekaligus amatlah kejam. Tapi Yin Huang tidak banyak membantah. Yang penting dia bisa aman tinggal di situ bersama putranya, meski untuk sementara.
Ya, memang cuma sementara saja Yin Huang, wanita malang itu bisa menghirup napas di pinggiran Desa Fanrong.
Karena pada hari di mana sakitnya yang sudah diderita selama hampir tujuh tahun itu semakin parah, di saat itu pula orang-orang yang telah mengejarnya selama ini berhasil menemukannya dan mengakhiri nyawanya.
Ketika itu hari telah masuk di gerbang sore. Matahari tidak lagi bersinar garang seperti waktu siang, sinarnya sudah lembut menyentuh kulit.
Tampak tiga orang wanita meskipun berwajah cantik namun bertampang judes lagi garang berdiri angkuh di depan gubuk reok nan kecil Yin Huang.
Sedangkan wanita malang tersebut berada dan berdiri mantap di depan rumah kecilnya, di depan ketiga wanita yang jelas hendak membunuhnya.
Di manakah Jiang Wu ketika itu?
Saat itu bocah berusia enam tahunan itu tidak ada di situ. Dia masuk ke dalam hutan atas perintah Yin Huang demi untuk mencari tanaman herbal untuk mengobati ibunya.
Kebetulan dia belum pulang pada sore itu di mana sejak siang tadi dia sudah masuk ke dalam hutan. Sekaligus Yin Huang amat bersyukur putranya belum pulang ketika itu.
★☆★☆
"Sekali lagi aku tanya, di mana kitab perguruan, Kitab Sembilan Bulan kau sembunyikan, Yin Huang?" bentak wanita berambut panjang terurai yang berdiri paling tengah bernada geram dan garang.
"Berapa kali aku katakan kepada kalian kalau aku tidak pernah mengambil Kitab Sembilan Bulan," bantah Yin Huang bernada dibuat mantap dan tegas, di sela-sela sakitnya yang sudah demikian parah. "Apalagi menyembunyikannya seperti yang kalian tuduhkan."
"Lagi pula... kitab itu bukanlah milik Perguruan Pedang Suci," lanjut Yin Huang dengan berani. "Kitab Sembilan Bulan milik seorang yang cuma dititipkan kepada shifu. Adalah aneh jika ternyata belakangan shifu mengaku-aku kalau Kitab Sembilan Bulan adalah milik perguruan...."
"Jaga bicaramu, murid murtad!" bentak wanita yang berdiri sebelah kanan menggeram marah. "Rupanya Zhie Jing sudah begitu jauh meracuni otakmu, sehingga kau sudah berani berkata yang tidak-tidak terhadap shifu."
"Aku tidak mengada-ada," balas Yin Huang bernada ketus campur sinis namun tegas, menunjukkan ucapannya memang benar, "kenyataannya memang begitu. Jadi wajar kitab itu hilang, karena kitab itu bukan milik Perguruan Pedang Suci...."
"Jangan buat kami hilang kesabaran, Yin Huang Pengkhianat," kertak wanita yang berdiri di sebelah kiri bernada dingin. "Cepat katakan, di mana Kitab Sembilan Bulan kau sembunyikan?"
"Apapun tuduhan kalian terhadapku, aku tetap tidak akan mengatakan apa-apa," sahut Yin Huang tetap kukuh dan mantap dengan pendiriannya, "karena aku tidak melakukan apa yang kalian tuduhkan itu."
"Keparat busuk!" maki wanita paling tengah makin menggeram marah.
Sepertinya amarahnya sudah tak bisa dibendung lagi. Begitupun juga bagi kedua rekannya. Karena kejap berikut, tanpa mau berdebat lagi ketiganya serempak menyerang Yin Huang. Bahkan tak tanggung-tanggung mereka langsung mengunakan senjata masing-masing.
Sepertinya mereka ingin segera mengakhiri riwayat wanita malang itu dengan cepat karena tidak mengindahkan apa yang mereka inginkan dari wanita tersebut.
Sementara Yin Huang, apa yang dilakukannya?
Wanita cantik yang ternyata mantan murid Perguruan Pedang Suci itu sebenarnya memiliki ilmu bela diri yang cukup hebat, juga memiliki ilmu tenaga dalam atau energi sakti.
Akan tetapi wanita malang itu saat ini tengah menderita sakit yang sudah parah. Fisiknya tentu saja sudah tidak kuat lagi diajak bertarung, apalagi memanggil tenaga saktinya.
Namun meski demikian Yin Huang tidak pasrah menerima nasib begitu saja. Dia tetap mengadakan perlawanan dengan kemampuan bela diri yang dia miliki, dengan sisa-sisa tenaga yang nyaris terkuras habis akibat derita sakit yang dia alami.
Akan tetapi tentu saja pertarungan yang mengenaskan itu cuma memberi kesempatan bagi Yin Huang bernapas hanya beberapa gebrakan saja. Kehebatan ilmu yang dimiliki oleh ketiga mantan saudara seperguruannya itu membuatnya tidak mampu bertahan lama dalam bertarung.
Sungguh miris....!
Kejap berikut dia sudah tumbang terkapar di atas tanah berdebu di pekarangan depan gubuk reoknya. Beberapa luka sayatan dan babatan pedang tajam tampak menganga lebar di beberapa bagian tubuhnya.
Yang lebih parah luka tusukan pedang lawan yang menusuk dada kirinya hingga tembus ke punggung.
Darah segar mengalir deras membasahi tubuhnya. Ditambah muntahan darah yang melumuri mulutnya yang tidak sanggup menjeritkan kematiannya.
Sementara tiga wanita sadis berhati kejam itu, tanpa menghiraukan nasib nahas Yin Huang, mereka masuk ke dalam rumah kecil itu tanpa permisi. Mengobrak-abrik isi dalamnya, mencari sesuatu yang jelas tidak akan pernah mereka temukan di gubuk reok itu.
Karena sejatinya Yin Huang memang tidak menyembunyikan Kitab Sembilan Bulan di gubuk reoknya itu.
Setelah tidak mendapatkan apa yang mereka cari, lalu gubuk reok itu mereka bakar tanpa belas kasihan. Kemudian mereka tinggalkan tempat di mana Yin Huang dan putranya hidup selama hampir tujuh tahun.
Meninggalkan Yin Huang yang malang yang terkapar menyedihkan di halaman rumahnya. Meninggalkan luka derita bagi bocah tujuh tahunan yang bernama Jiang Wu.
★☆★☆★
Senja sudah tiba, menyapa mayapada. Seolah memberi tanda bagi seluruh penduduk Desa Fanrong kalau sebentar lagi malam akan segera jatuh.
Seorang bocah bertubuh sedikit kurus berlari sekencang yang dia bisa menyeruak hutan yang cukup lebat. Tas belakang yang terbuat dari anyaman rotan terus bergoyang-goyang seakan mengiringi irama gerak sepasang kaki mungilnya yang berlari.
Dari kejauhan sudah tampak olehnya kepulan asap yang sudah tidak terlalu tebal membumbung ke angkasa. Ke arah situlah bocah enam tahunan itu menuju, karena di situ adalah letak rumah kecilnya yang reok.
Siapa lagi bocah berwajah tampan itu kalau bukan Jiang Wu, putranya Yin Huang yang sudah terkapar di depan rumahnya seakan sudah tak nyawa.
Bocah Jiang Wu terus saja berlari tanpa berhenti tanpa kenal lelah. Peluh sudah membasahi wajah imutnya dan membanjiri tubuh kurusnya, dia tidak perduli.
Meski sudah melewati kerumunan pepohonan dan semak belukar larinya pantang pula surut, bahkan semakin kencang berlari. Karena di depannya sudah tampak nyata akan wujud yang dia kejar.
Apalagi yang bocah Jiang Wu ingin cepat-cepat menemuinya kalau bukan rumah kecilnya dan ibu tercintanya.
Akan tetapi sekarang gubuk reok kecil itu tidak lagi berwujud seperti rumah yang selama hampir 6 tahun dia tempati bersama ibunya terkasih. Rumah kecil itu sudah berubah menjadi puing-puing arang yang hitam yang terkapar menyedihkan di atas tanah.
Gubuk reok kecil itu tentu telah dibakar oleh tiga wanita bengis yang datang cuma untuk membunuh ibunya. Hanya menyisakan kepulan asap yang semakin tipis tapi masih membumbung di udara senja.
Menggoreskan kesedihan yang mendalam di hati bocah Jiang Wu.
Tidak lama kemudian Jiang Wu berhenti di pelataran bekas rumahnya. Namun belum juga dia puas meresapi kepedihannya akibat rumahnya terbakar, perhatiannya langsung terbetot oleh sesosok tubuh yang terbujur kaku tak jauh di depan sebelah kirinya.
Tidak butuh waktu lama pikirannya untuk menganalisa tentang siapa pemilik tubuh yang terkapar masih bersimbah darah basah itu. Cuma beberapa helaan napas saja dia sudah dapat mengenal kalau tubuh yang terbujur kaku itu adalah....
"Ibuuu...!"
Jeritan histerisnya yang kecil tapi cukup keras langsung meledak, menghancurkan puing-puing senja yang tadinya tenang. Dengan cepat Jiang Wu menghambur ke ibunya yang terkapar diam.
Begitu sampai dia langsung menjatuhkan dirinya, duduk bersimpuh di samping kanan sang ibu. Melepaskan tasnya begitu saja hingga jatuh ke belakangnya. Lalu memeluk wanita tersebut tak menunggu lama, tanpa takut akan darah.
"Ibuuu...! Apa yang terjadi sama ibu? Huuu huhuu...! Siapa yang melukaimu, ibu...? Huhu huuu...! Katakan, ibu!"
Ratap tangis yang memilukan segera terdengar, keluar dari mulut mungilnya, seolah sebuah alunan sedih yang menyambut datangnya malam. Dilengkapi pula dengan derai air mata yang membanjir yang menyatu dengan peluhnya.
"Bangun, ibu...! Bangun...! Huuu huhuuu...! Jangan tinggalkan Wu'er sendirian, Ibu...! Hu hu huuu....! Wu'er sudah bawakan obat untuk penyakit ibu...."
Beberapa saat lamanya Jiang Wu masih terus menangis pilu meratapi keadaan Yin Huang yang begitu mengenaskan. Jiang Wu sudah cukup paham akan keadaan yang menimpa ibunya. Sehingga membuat tekanan batinnya terguncang hebat akan hal itu.
Tak lama kemudian, terdengar Yin Huang terbatuk sebanyak tiga kali yang begitu lemah dan pelan. Tapi hal itu sudah cukup membuktikan kalau wanita malang itu masih punya nyawa, entah masih berapa lama bertahan.
Mendengar suara batuk ibunya, Jiang Wu buru-buru melepas pelukannya pada wanita muda yang malang itu. Lalu memperhatikan keadaan ibunya yang seperti hendak berkata.
"Wu'er....!" panggil Yin Huang dengan suara bergetar dan yang amat lemah.
"I-iya, Bu, Wu'er ada di samping ibu," sahut Jiang Wu dengan suara bagai tercekat karena pilunya melihat keadaan ibunya. Tapi tangisnya tidak lagi terdengar.
★☆★☆
Perlahan tangan kanan Yin Huang yang lemah terangkat hendak menggapai pipi imut sang putra. Melihat itu buru-buru Jiang Wu menangkap telapak tangan ibunya, lalu menempelkan telapak tangan penuh kasih itu di pipinya.
"Wu'er, kamu jangan menangis....," kata Yin Huang dengan suara semakin lemah dan lirih. "Laki-laki pantang mengeluarkan air mata walau seberat apapun derita yang kamu alami...."
Jiang Wu tidak menanggapi ucapan ibunya. Tapi di dalam hatinya sudah bertekad akan selalu mengingat pesan ibunya yang berharga itu.
"Wu'er..., dengarkan ibu....!" semakin lemah suara Yin Huang. "Ibu... minta maaf.... tidak bisa menemanimu hingga kamu besar...."
"Jangan berkata begitu, ibu.... Ibu akan sembuh...," kata Jiang Wu semakin pilu. "Wu'er sudah bawakan obat yang ibu suruh cari...."
"Ibu tidak kuat lagi.... Tapi... tapi sebelum ibu tiada, kamu harus tahu rahasia besar yang selama ini ibu... sembunyikan... padamu...."
"Rahasia?! Rahasia apa, ibu?" kejut Jiang Wu dengan benak bertanya-tanya di tengah rasa sedihnya.
"Ibu... sebenarnya bukan ibu kandung kamu..., Wu'er," meski semakin lemah Yin Huang tetap mengungkap jati diri putranya yang sebenarnya. "Orang tuamu yang sebenarnya telah membuangmu, lalu ibu memungutmu yang sedang hanyut di sungai. Kemudian ibu merawatmu hingga sekarang...."
"Ibu...!" kejut Jiang Wu bukan main mendengar penuturan Yin Huang yang mengungkap jati dirinya.
"Ibu pasti mengada-ada 'kan?" ucap Jiang Wu selanjutnya dengan masih tidak percaya. "Sudahlah, Bu, tidak usah bicara lagi. Wu'er akan mengobati ibu...."
"Wu'er, dengarkan ibu! Kamu harus hidup lebih lama dan menjadi orang yang hebat!" Yin Huang terus saja bicara meski semakin lemah. "Karena kamu adalah anak istimewa yang terlahir di dunia ini dan memiliki bakat menjadi orang yang hebat...."
"Sedari lahir... kamu sudah memiliki dua elemen energi sakti yang langka, yaitu elemen energi api dan elemen energi es.... Tapi kamu masih harus mengasahnya dengan terus bersemedi seperti yang ibu sudah ajarkan padamu...."
"Ibu, sudahlah...! Jangan bicara lagi!" pinta Jiang Wu di sela rasa sedihnya. "Wu'er akan mengobati ibu...."
"Wu'er, anakku!" Yin Huang terus berkata di sisa-sisa tenaganya seakan tidak menggubris larangan putranya. "Saat kamu sudah menjadi pendekar hebat, kamu harus menjadi orang yang baik dan menolong banyak orang tanpa kenal pamrih...."
"Dan ingat pesan ibu, jangan pernah dendam kepada siapapun, termasuk kepada orang tuamu yang telah membuangmu...."
"Ibu...," ucap Jiang Wu dengan lirih melihat betapa wanita yang dianggapnya ibu selama ini keadaannya semakin memburuk, semakin mengenaskan.
Tak lama kemudian, Yin Huang mengeluarkan sehelai sapu tangan putih yang masih terbilang bersih tapi sudah terkena bercak darah dari balik bajunya yang berlumuran darah.
Kemudian berkata mengungkap benda tersebut dengan suara yang semakin lemah....
"Sa... sapu tangan ini... ibu temukan bersamamu saat ibu menemukanmu.... Mungkin... mungkin dengan sapu tangan ini... kamu bisa menemukan orang tuamu yang sebenarnya...."
"Wu'er, anakku!" kata Yin Huang selanjutnya setelah berhenti untuk mengambil napas. "Meski kamu bukan terlahir dari rahim ibu, kamu tetaplah anakku, anak yang baik hati dan penyabar.... Kamu tetap anak ibu di dunia dan di surga nanti...."
"Wu'er tidak ingin jadi pendekar hebat... Wu'er ingin bersama ibu terus...," air mata bocah Jiang Wu kembali berderai, tangisnya kembali meratap. "Jangan tinggalkan Wu'er, ibu, Wu'er sendiri di dunia ini. Wu'er hanya ingin bersama ibu.... Huuu huu huuuu...."
"Wu'er, kamu anak baik.... Ibu yakin kelak kamu pasti menjadi pendekar hebat...."
"Jaga dirimu baik-baik! Ibu... amat mencitaimu, Wu'er....."
Setelah berkata demikian, dan itu adalah ucapan Yin Huang yang terakhir, tangannya yang memegang sapu tangan dan yang menempel di pipi Jiang Wu seketika terkulai lemah.
Kejap berikut wanita malang itu benar-benar menghembuskan napas terakhirnya alias meninggal. Meninggalkan seorang bocah berumur enam tahun yang kini hidup sebatang kara.
"Ibuuu....!"
★☆★☆★
Pagi itu masih terang tanah Jiang Wu sudah bersiap-siap hengkang dari Desa Fanrong, tempat di mana dia dan mendiang ibunya bernaung selama hampir enam tahun, di ujung yang terjauh di desa tersebut.
Di mana selama itu Kepala Desa Fanrong berserta penduduk Desa Fanrong mengucilkan dia dan ibunya, tidak memperbolehkannya bermain dengan anak-anak penduduk desa.
Bahkan anak-anak penduduk juga seolah enggan bermain dengannya seakan-akan dia itu anak seorang penjahat yang harus dijauhi.
Sungguh, Jiang Wu kecil tidak mengerti jalan pikiran para penduduk dalam memperlakukan dia dan ibunya begitu rupa. Sampai pun saat ibunya terbunuh mereka sama sekali tetap tidak perduli.
Sungguh menyedihkan!
Saat ini Jiang Wu sudah selesai dari melakukan ritual sembahyang di depan pusara wanita yang ternyata bukan ibu kandungnya. Dan ini kali yang kedua dia melakukan sembahyang sekaligus itu sebagai perpisahan dengan sang ibu tercinta.
Meskipun Jiang Wu sudah tahu kalau Yin Huang bukanlah ibu kandungnya, akan tetapi di dalam hati bocah malang itu sudah mematri kalau Bunda Yin Huang adalah ibunya di dunia ini dan selamanya.
Artinya, Jiang Wu tidak mau, atau tepatnya tak ada niat untuk mencari orang tua kandungnya yang telah tega membuangnya, apalagi mencari tahu tentang jati dirinya yang sebenarnya.
Hatinya sudah terlanjur menganggap Yin Huang sebagai orang tua kandungnya. Dan hal itu sudah cukup baginya. Tidak perlu adanya kehadiran orang tua aslinya, tidak di dalam hatinya tidak di dalam hidupnya.
Bagi Jiang Wu kecil, orang tua aslinya sudah lama mati semenjak mereka dengan begitu teganya membuangnya di saat dia masih bayi.
Semalam Jiang Wu yang masih bocah itu harus menguras tenaganya saat mengebumikan ibunya. Meski dengan susah payah akhirnya berhasil dan selesai juga bocah Jiang Wu menguburkan wanita malang itu.
Tidak ada yang membantunya dalam melakukan pekerjaan berat itu bagi bocah seusianya selain semangat membara yang berbalut dengan rasa cinta yang mendalam terhadap ibunya.
Kepala desa dan penduduk desa tetap tidak perduli akan dirinya dan nasibnya.
Beberapa saat dia terpekur menatap pusara ibunya. Terkenang kembali masa-masa selama bersama ibunya. Betapa wanita malang itu sudah mengorbankan hidupnya demi seorang bocah yang bukan darah dagingnya sendiri.
Kejap berikut Jiang Wu mengeluarkan sapu tangan putih yang masih bernoda darah, pemberian Bunda Yin Huang sebelum wanita muda berwajah lembut itu menghembuskan napas terakhirnya.
Timbul keinginan dalam dirinya ingin membakar saja sapu tangan yang hanya membawa luka di hatinya itu. Karena Jiang Wu pikir sapu tangan itu tidak ada artinya untuk dia bawa ke mana-mana.
Semalam Jiang Wu sudah merenungkan dan memutuskan untuk tidak akan mencari tahu tentang kedua orang tuanya yang sebenarnya.
Dia sudah menjadi anak yang terbuang sejak bayi oleh keluarganya entah dengan sebab apa. Jadi, buat apa lagi dia bertekad untuk kembali kepada mereka kalau sudah dibuang.
Lagi pula dia sudah menganggap Bunda Yin Huang sebagai ibu kandungnya sendiri. Dan tidak akan pernah memiliki dan menganggap ibu di dunia ini dan di akhirat kelak selain Bunda Yin Huang yang tersayang.
★☆★☆
Semalam pula Jiang Wu sudah membuka lipatan sapu tangan itu. Di dalamnya ternyata ada sulaman dari benang emas bergambar matahari. Di bawah gambar matahari tergambar sulaman dua buah pedang yang bersilang.
Di atas gambar matahari terukir sulaman sebaris nama, yaitu Pangeran Zhang Jiang Wu. Terus di bawah sulaman dua pedang bersilang terukir sulaman sebaris kata, yaitu Pangeran ke Dua Kerajaan Bai-shan.
Semenjak tahu akan nama sebenarnya, Jiang Wu jadi bertanya-tanya, kenapa Bunda Yin Huang menamainya Jiang Wu saja sejak kecil, tidak menyertakan nama marga Zhang di depan namanya.
Benaknya yang masih berusia bocah belum bisa mencerna secara baik tentang hal tersebut. Dan tentu pula dia tidak sempat lagi bertanya kepada ibunya 'kan?
Akan tetapi yang jelas menurut Jiang Wu tentu saja Yin Huang, ibunya punya maksud tertentu yang baik untuknya di balik tindakan ibunya tidak menyertakan nama marganya beserta namanya.
Jiang Wu harus percaya kalau Bunda Yin Huang pasti telah melakukan yang terbaik untuknya.
Bersamaan dengan itu pula entah kenapa, setelah mengetahui sedikit tentang jati dirinya, bocah berusia enam tahun itu seperti membenci identitas aslinya, membenci nama yang terukir di sapu tangan itu.
Jiang Wu atau lebih lengkapnya Zhang Jiang Wu kuat menduga kalau nama dan identitas yang tertera dalam sapu tangan itu merupakan pemberian dari orang tua aslinya, bukan pemberian dari Bunda Yin Huang.
Itulah yang dia benci, nama Zhang Jiang Wu bukan pemberian Bunda Yin Huang, melainkan pemberian orang tua aslinya.
Kenapa Bunda Yin Huang tidak memberikan nama hasil pilihannya sendiri saja, sehingga dengan itu Jiang Wu bisa berbangga hati? Bukan malah mengikuti nama pemberian orang tua aslinya....
Ah... sudahlah, Zhang Jiang Wu tidak mau lagi memikirkannya lebih jauh. Hal itu akan membuatnya pusing, hati semakin luka dan sakit, yang melahirkan kebencian yang mendalam dan menyedihkan.
Setelah merenung beberapa saat lamanya, lalu Zhang Jiang Wu memejamkan kedua matanya, siap mengalirkan energi apinya melalui telapak tangan yang menggenggam sapu tangan pembawa luka itu, yang nantinya akan membakar benda tersebut.
Hati Zhang Jiang Wu saat ini tengah berduka. Ditambah lagi kebencian dan amarah telah bermain dalam dirinya karena mengetahui kalau orang tua kandungnya telah membuangnya.
Maka energi api yang belum sepenuhnya terkendali di dalam dirinya, langsung mengalir cepat, menjalar naik ke telapak tangan, hingga membuat telapak tangannya itu langsung memerah bagai bara api.
Dan tidak butuh waktu lama, sapu tangan yang ada di dalam genggamannya itu langsung terbakar meleleh dengan cukup cepat. Tak lama kemudian sapu tangan pemberian orang tua kandungnya kini telah lenyap tanpa bekas.
Entah kenapa, sama sekali tidak ada rasa sesal di dalam hati Zhang Jiang Wu saat dia telah membakar sapu tangan itu. Yang berarti bocah sakti itu sudah melenyapkan sebuah tanda atau bukti bahwa dia ternyata keturunan keluarga istana, lebih tepatnya seorang putra Kaisar Zhang.
Alih-alih merasa menyesal, malah Zhang Jiang Wu merasa amat bahagia melenyapkan bukti itu.
Artinya dia tidak perlu pusing-pusing lagi mecari keluarganya, orang tua kandungnya yang dengan amat tega telah membuangnya.
Lalu, setelah mengucapkan permintaan maaf yang sedalam-dalamnya dan kata-kata perpisahan di depan pusara ibunya, Zhang Jiang Wu meninggalkan tempat itu, tempat di mana hampir enam tahun dia tinggal di situ.
Dia tidak mungkin menetap di Desa Fanrong yang membawa kepedihan baginya ini. Di samping para penduduknya tidak menerima keberadaanya, juga tak ada yang bisa dia harapkan di desa ini yang membenci keberadaan dirinya dan ibunya, Bunda Yin Huang.
Ibunya sudah pergi untuk selamanya meninggalkan dirinya yang kini tinggal sebatang kara, apalagi yang dia harapkan jika harus bertahan di tempat menyakitkan ini.
Jalan satu-satunya Zhang Jiang Wu harus meninggalkan desa ini, pergi mengembara mengelilingi dunia ke mana gerak hatinya menuju.
Ya, sebuah keputusan yang tepat yang dia ambil, pergi mengembara mencari peruntungan nasibnya.
★☆★☆★
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!