Suara Hujan dan Awal Sebuah Cerita
Malam ini begitu tenang dan damai, diiringi gemericik hujan serta nyanyian katak yang bersahut-sahutan. Rasanya seperti sedang menikmati konser alam konser katak, lebih tepatnya. Hehehe. Begitulah gambaran suasana malam yang menenangkan jiwa ini.
Tepat pukul 22.00 WIB, aku duduk di meja kerjaku tempat di mana aku biasa mencurahkan isi hati ke dalam tulisan, tentu saja dengan bantuan sebatang pena. Hehehe...
Oh ya, aku belum memperkenalkan diri. Namaku Rian Prasetyo, anak keempat dari lima bersaudara.
Di sini, aku ingin menceritakan kisah cintaku dengan seorang gadis bernama Ranu Nabila Anggraeni. Ia gadis yang sangat cantik dan baik hati meskipun agak sedikit jutek. Tapi justru itulah yang membuatku jatuh cinta pada makhluk cantik bernama Ranu.
---
Pertemuan yang Tak Terduga
Pertemuanku dengan Ranu cukup... unik. Saat itu, aku dipanggil ke kantor kepala sekolah, Pak Prapto, di SMA 10 Bandar Lampung. Saat sedang berjalan menuju ke sana, tiba-tiba aku tertabrak oleh seseorang.
Seorang gadis cantik.
Tak lain dan tak bukan, dialah Ranu. Dari situlah awal konflik kecil kami yang pada akhirnya berujung menjadi sebuah perasaan bernama cinta.
> “Kalau jalan pakai mata dong! Masa badan segede ini masih aja aku tabrak?” katanya dengan wajah kesal.
> “Iya, maaf, Mbak. Soalnya saya buru-buru, mau ketemu Pak Kepala Sekolah.” jawabku, sambil menahan degup jantung yang makin cepat.
> “Iya deh, saya maafin. Tapi lain kali lihat-lihat ya, Mas, jangan asal nyelonong.”
> “Oh ya, saya Rian. Nama Mbak siapa ya? Kok saya baru lihat. Murid baru ya?”
> “Iya, Kak. Saya murid baru, pindahan dari Bogor. Mau ke kantor kepala sekolah juga.”
> “Wah, sama dong. Gimana kalau kita bareng ke sana?”
> “Oke deh.”
Akhirnya kami berjalan bersama menuju kantor kepala sekolah sambil ngobrol kecil. Hehehe...
Ranu memang murid baru pindahan dari Bogor. Ia pindah ke Lampung karena ayahnya, seorang anggota TNI Angkatan Darat, mendapat tugas di sini. Maka seluruh keluarganya pun ikut pindah.
---
Di Kantor Kepala Sekolah
> “Assalamualaikum, Pak Prapto. Bapak memanggil saya?”
> “Iya, Rian. Masuk. Kamu juga, Ranu,” jawab Pak Prapto.
> “Iya, Pak,” sahut kami sambil masuk ke kantor.
> “Silakan duduk, Rian, Ranu.”
> “Iya, Pak. Ngomong-ngomong, ada apa ya Bapak memanggil saya?” tanyaku ingin tahu.
> “Begini, Rian. Ini ada siswi baru, pindahan dari Bogor.” Pak Prapto melirik ke arah Ranu.
> “Iya, Pak. Kami sudah kenalan tadi di jalan.”
> “Bagus. Jadi begini, Bapak mau minta tolong. Karena kamu ketua kelas 2 B, Bapak minta tolong kamu antar Ranu ke kelas ya.”
> “Siap, Pak. Saya memang ketua kelas 2 B.”
> “Nah, kamu langsung saja antar Ranu ke kelas. Dan kamu, Ranu, ikut Rian ya. Dia yang akan membantumu beradaptasi.”
> “Iya, Pak,” jawab Ranu singkat.
> “Kalau begitu, silakan kembali ke kelas. Belajar yang rajin, ya.”
> “Siap, Pak. Permisi,” jawab kami bersamaan.
Kami pun berjalan menuju kelas sambil memulai babak baru dalam kehidupan sekolah... dan tanpa kami sadari, juga dalam kehidupan cinta kami.
Pertemuan Tak Direncanakan
Hari-hari setelah pertemuan itu terasa berbeda.
Ranu resmi menjadi bagian dari kelas 2 B, dan seperti yang diminta oleh Pak Prapto, aku pun bertugas membantunya beradaptasi. Meski awalnya dia terkesan dingin dan cuek, ada sisi hangat dari dirinya yang perlahan-lahan mulai terlihat.
Di kelas, Ranu lebih sering duduk di barisan tengah, tidak terlalu dekat ke depan tapi juga tidak bersembunyi di belakang. Dia tipe murid yang serius selalu memperhatikan guru, mencatat dengan rapi, dan jarang sekali bicara dengan teman-teman lain. Entah kenapa, itu justru membuatku semakin penasaran.
Aku sendiri bukan tipe cowok populer, tapi cukup dikenal karena jabatanku sebagai ketua kelas. Teman-teman sering minta tolong ini itu, dari urusan tugas sampai izin bolos. Tapi sejak Ranu datang, entah mengapa aku merasa ada yang berubah. Setiap masuk kelas, mataku seperti otomatis mencarinya. Aneh.
Suatu hari, saat jam istirahat...
> “Ran... duduk bareng yuk di kantin?” tanyaku sambil menyodorkan senyum terbaik yang ku punya.
Ranu menoleh, ekspresinya datar. Tapi entah kenapa aku bisa lihat dia sedang menimbang.
> “Emang nggak ada yang lain ya?” jawabnya singkat.
> “Wah, jadi sakit hati nih,” godaku.
Dia hanya mendengus, tapi akhirnya berdiri.
> “Ya udah, tapi aku nggak suka makanan pedas.”
> “Sip. Aku juga. Kita cocok nih,” ujarku sambil menahan senyum.
Kami pun berjalan ke kantin bersama. Perjalanan yang biasanya terasa biasa saja, hari itu terasa spesial.
Di tengah keramaian siswa yang berebut tempat duduk dan suara para penjual yang saling berlomba memanggil pembeli, kami duduk di pojokan, menyantap bakso dan es teh manis. Obrolan kami masih ringan tentang pelajaran, guru-guru, dan sedikit tentang Bogor, kota asalnya.
> “Lampung beda banget ya sama Bogor,” katanya sambil menyeruput es tehnya.
> “Iya. Tapi di sini juga nggak kalah asri. Apalagi kalau kamu udah ke Pahawang atau Way Kambas.”
> “Pahawang? Itu pantai ya?”
> “Iya. Kapan-kapan aku ajak deh.”
Dia menoleh. Sekilas matanya tampak terkejut, lalu tertawa kecil.
> “Kamu pede banget ya?”
> “Nggak pede, cuma... punya niat,” jawabku cepat.
Kami sama-sama tertawa. Momen sederhana itu, ternyata jadi salah satu titik awal dari kedekatan kami. Sebuah obrolan ringan, di tengah hiruk pikuk kantin sekolah.
---
Setelah hari itu, hubungan kami perlahan mulai berubah. Kami sering duduk bersebelahan saat pelajaran kosong, saling bertukar cerita, dan kadang-kadang aku memergoki dia tersenyum sendiri saat melihat ke arahku.
Aku tahu, mungkin aku sedang jatuh cinta.
Dan... mungkin, dia juga merasakannya.
"Apa pun rintangan yang menghadang, akan aku lewati.
Karena Ranu adalah sosok yang pantas untuk aku perjuangkan."
— Ranu
---
Ranu adalah gadis cantik berdarah Sunda. Wajahnya lembut, sikapnya santun, dan tutur katanya halus. Meskipun kadang sedikit menjengkelkan, justru itulah yang membuatku menyukainya. Ada sisi misterius dalam dirinya yang tidak mudah ditebak, tapi justru membuatku ingin mengenalnya lebih dalam lagi.
Ayah Ranu adalah seorang tentara aktif di TNI Angkatan Darat. Wajahnya tegas, khas pria Sunda dengan kumis tebal yang menghiasi garis wajahnya. Sekilas terlihat galak, tapi ternyata ia sosok yang ramah dan penuh humor. Aku masih ingat jelas percakapan pertamaku dengannya—dan betapa deg-degannya aku saat itu.
Suatu sore, saat aku sedang mengobrol santai di ruang tamu rumah Ranu, tiba-tiba beliau berkata dengan nada serius, sambil menatapku tajam:
> “Nak, kamu tahu nggak... sebenarnya aku tidak setuju kalau kamu menikah dengan anakku.”
Jantungku seperti berhenti sejenak. Suasana berubah hening.
> “E-eh... memang kenapa, Om?” tanyaku gugup, hampir kehilangan suara.
> “Karena kalian masih sekolah. Mana mungkin aku setuju?”
Ia terdiam sebentar, lalu tertawa terbahak-bahak.
> “Hahaha... becanda, Nak!”
Aku pun tertawa—setengah lega, setengah malu.
> “Ah, Om bisa aja. Saya juga nggak kepikiran ke situ dulu, kok. Masih mau sekolah, kuliah, dan berkarier dulu.”
Ayah Ranu mengangguk, lalu menepuk pundakku. Sejak saat itu, rasa segan berganti menjadi rasa hormat. Ia mungkin galak di luar, tapi hatinya sangat hangat.
Ibu Ranu, seorang guru swasta asal Jawa, tak kalah menawan. Sikapnya lembut, ramah, dan penuh perhatian tak heran Ranu mewarisi banyak sifat baik darinya. Bahkan cara Ranu tersenyum pun, mengingatkanku pada senyum ibunya.
Sebagai anak tunggal, Ranu memang sedikit manja. Tapi bukan manja yang menyebalkan lebih ke arah ingin dimengerti. Selain cantik, ia juga pintar. Nilainya selalu bagus, ia aktif dalam kegiatan sekolah, dan yang paling membuatku terpesona: Ranu pandai mengaji. Suaranya merdu saat bershalawat, seolah membuatku sedang mendengar bidadari dari langit.
Ranu juga punya bakat dalam menulis puisi. Suatu hari, ia memberiku selembar kertas kecil. Di situ, tertulis sebuah puisi yang ia tulis sendiri katanya, untukku:
> "Kamu"
Kamu adalah sajak terindah yang diberikan kepadaku.
Kamu adalah pelangi yang menghiasi ruang semu dalam hatiku.
Kamu adalah tetesan air hujan yang membasahi relung jiwaku.
Kamu adalah perjalanan panjang yang harus ku tempuh tanpa lelah.
Kamu adalah cahaya yang menerangi hari-hariku.
Kamu adalah hembusan angin lembut yang menyentuh tubuhku.
Kamu adalah bintang yang datang di malam hari, sebagai penghias gelap ku.
Dan kamu... adalah belahan jiwaku.
Aku membaca puisi itu berulang-ulang. Kata-katanya sederhana, tapi mengandung makna yang dalam. Bagiku, itu adalah hadiah terindah.
Ranu... gadis itu bukan sekadar teman sekelas, bukan sekadar teman ngobrol saat istirahat.
Dia adalah alasan mengapa aku semangat datang ke sekolah.
Dia adalah sosok yang kutunggu setiap pagi, dan kunanti saat bel pulang belum berbunyi.
Dia adalah sosok yang membuatku merindukan hari-hari, bahkan sebelum hari itu dimulai.
Mungkin belum semua tentang Ranu bisa ku ceritakan. Tapi satu hal yang pasti...
Dia adalah hadiah yang Allah kirimkan untukku.
Dan aku akan melakukan apa pun agar ia bahagia di bumi ini... dan semoga nanti, di akhirat juga.
Pagi itu, Senin pukul 07.00 WIB, aku sudah berdiri di depan gerbang sekolah. Hatiku berdebar tak karuan sejak bangun tidur. Hari ini aku begitu tak sabar ingin bertemu dengan Ranu—gadis cantik yang terus hadir dalam pikiranku sejak pertemuan kami tempo hari. Wajahnya seolah menghantui malam-malam ku. Entah virus apa yang ia sebarkan, tapi jelas sekali—aku jatuh cinta.
"Ya Allah, perasaan apa ini... Kenapa wajah Ranu selalu muncul di benakku? Aku harus bisa mendapatkannya," bisikku dalam hati.
Dari kejauhan, sosok itu akhirnya muncul. Cantik, sederhana, dengan senyum kecil yang entah kenapa selalu sukses membuat jantungku berdetak tidak karuan. Aku menghampirinya.
"Pagi, Ran," sapaku.
"Pagi, Kak Rian," jawabnya ringan.
Oh Tuhan... jantung ini seperti mau copot.
"Gimana kabarnya hari ini?"
"Ya seperti biasa, Kak. Masih tetap bernafas di bumi," candanya.
Aku tertawa kecil, lalu memberanikan diri bertanya, "Ran, boleh nanya nggak?"
"Boleh, tanya apa, Kak?"
"Dulu mama kamu ngidam apa, sih? Kok bisa lahir cewek secantik kamu gini?"
Ranu tertawa lepas. "Ngidam jengkol, Kak."
"Wah, bau dong!" candaku. Kami pun tertawa bersama.
Tak terasa bel masuk berbunyi. "Sudah bel, yuk masuk," ajak ku. Ia mengangguk, dan kami pun melangkah bersama.
---
Sepulang sekolah, aku menunggu Ranu di depan gerbang sambil duduk di atas motorku, Honda C70 yang sudah ku poles jadi motor klasik kesayanganku. Tak lama, Ranu muncul.
"Ranu!" panggilku.
"Hai!" jawabnya ceria, sambil melambaikan tangan.
"Ngapain di sini, Kak?"
"Nungguin kamu."
"Kenapa nungguin aku?"
"Mau ajak pulang bareng. Boleh?"
Ia menatapku, lalu menggoda, "Tapi aku nggak punya ongkos buat bayar Kakak, loh."
"Tenang, Neng Geulis. Hari ini Babang Ojek ada promo spesial: gratis buat kamu."
Ranu tertawa dan mengangguk. "Oke deh, Babang Ojek."
Aku meng engkol motorku, lalu kami pun berangkat. Di tengah perjalanan, aku berhenti di warung makan pinggir jalan.
"Kenapa berhenti, Kak?"
"Takut bidadariku kelaparan," candaku.
"Ih, Kakak bisa aja."
"Setiap pulang sekolah aku memang suka makan di sini. Pemiliknya, Mang Ujang, udah hafal banget sama pesanan aku. Yuk, aku kenalin."
"Mang Ujang!" panggilku.
"Eh, Rian. Tumben bawa cewek. Siapa ini?"
"Ini Ranu, Mang. Ranu, ini Mang Ujang."
"Salam kenal, Mang," ucap Ranu, menjulurkan tangan.
"Nama Mang Ujang Santoso, biasa dipanggil Mang Ujang aja. Mau makan apa, Neng?"
"Sama aja kayak Kak Rian."
"Oke, nasi pecel dan es jeruk manis ya. Tunggu sebentar."
Kami pun duduk. Aku menatap Ranu dengan serius.
"Ran, boleh jujur nggak?"
"Boleh, Kak. Apa?"
"Sejak kejadian di kantor kepala sekolah itu... Kakak nggak bisa berhenti mikirin kamu. Aku selalu kebayang wajahmu. Mungkin... Kakak jatuh cinta."
Ranu terdiam. Matanya menyiratkan rasa malu.
"Ran, kalau Kakak jatuh cinta... boleh nggak Kakak minta kamu jadi pacar Kakak?"
Sebelum ia menjawab, Mang Ujang datang.
"Makanannya datang! Wah, kelihatannya serius banget obrolannya. Ngomongin apa, nih?"
"Ah, Mang kepo aja," balasku.
"Hati-hati, Neng. Si Rian ini banyak utang, loh," canda Mang Ujang.
"Mang jangan buka kartu dong!" jawabku sambil tertawa.
Ranu pun ikut tertawa.
Setelah makan, aku mengantar Ranu pulang. Saat sampai, ia turun dari motor.
"Makasih ya, Rian. Udah nganterin dan traktir makan."
"Sama-sama, Ran. Tapi... gimana soal permintaan Kakak tadi di warung?"
Ia tersenyum menggoda. "Hmm... kira-kira aku kabul lin nggak, ya?"
"Kakak berharapnya sih, kamu kabul lin ."
"Hmm... oke deh, Kak. Aku kabul lin."
Aku loncat kegirangan. "Seriusan, Ran?"
"Serius. Aku juga suka sama Kakak."
"Mulai hari ini kita resmi jadian, ya?"
Ia mengangguk, lalu menyentuh tanganku. "Iya, Kak. Mulai hari ini, kita resmi jadian."
Hari itu adalah hari paling indah dalam hidupku. Ranu, gadis yang membuat jantungku berdetak tak beraturan, kini jadi milikku. Aku berjanji akan menjaganya... selalu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!