NovelToon NovelToon

Dinikahi Berondong Tengil

Bab. 1

"Sarapanku mana Viola?" Arga membuka tudung saji dia meja makan. Pemuda 18 tahun yang memakai seragam sekolah abu-abu dan putih itu menatap Viola sang istri yang tengah sibuk dengan ponselnya.

"kamu bertanya padaku?" Viola menatap sang suami dengan datar. "Dasar tidak sopan. Aku ini lebih tua dari kamu!" tambah Viola kesal.

"CK, aku ini suami Kamu. Apa kamu lupa? kita menikah kemarin!" ketus Arga. Masa iya dia harus berangkat ke sekolah dengan perut keroncongan.

"kita nikah paksa, ok. Jadi kamu jangan sok perhatian atau sok jadi suami yang baik. memang kamu bisa memberikan nafkah untuk aku!" Viola kesal. dia yang tadinya duduk santai di sofa ruang tengah, kini bangun.

"oh, jadi kamu ingin nafkah dari aku? jangan menghina ya, aku bisa kasih kamu nafkah lahir dan batin. Kamu mau bukti sekarang?" Arga meletakkan tas ransel yang tadinya bergelayut di pundaknya ke kursi.

lalu dia melangkahkan kakinya mendekati sang istri. Wanita cantik nan se*ksi yang punya rambut ikal bergelombang sepunggung itu sontak mundur beberapa langkah ke belakang.

"kamu mau apa! Jangan mendekat!" bentak Viola.

"kamu takut, makanya jangan asal bicara. Meskipun aku ini masih sekolah, aku sudah bisa menjalankan tugas sebagai seorang suami." tegas Arga.

"terserah kamu, tapi bagiku kamu ini hanya seorang bocah tengil saja. sudah sana berangkat sekolah, nanti telat di hukum guru kamu tahu rasa." usir Viola.

"masa aku pergi sekolah dengan perut kosong sih. kamu tega banget Viola!"

"Beli di kantin kan juga bisa. nggak usah seperti orang susah. Oh, kamu pasti nggak punya uang kan?" ejek Viola. Dia lantas masuk ke kamar.

Arga menunggu dengan bingung, apa maunya wanita itu. Arga lalu kembali menggelayutkan tasnya pada bahu kanan.

Viola keluar dari kamar lalu memberikan beberapa lembar uang pada Arga. "nih, buat pegangan dan jajan kamu."

"Aku punya uang sendiri. nggak usah repot ngasih aku." tolak Arga kesal. Harga dirinya seakan tercantik oleh Viola.

"Nggak malu Arga, aku tahu kamu butuh uang. kamu nggak kerja kan, dan kamu mau nikah sama aku juga pasti karena uang aku!" sinis Viola.

Dia punya butik cukup besar dan ternama di kota ini. Bahkan dia merancang sendiri beberapa baju yang dia jual. Sejak menikah dengan Arga, Viola mengajak suami kecilnya itu tinggal di rumahnya.

Rumah besar dua lantai yang tidak ada asisten rumah tangga itu adalah hasil kerja keras Viola. Wanita itu tidak ingin punya pembantu karena tidak bisa percaya pada orang lain dengan mudah.

Viola lebih suka memanggil pembantu harian untuk bersih-bersih satu minggu dua kali. untuk soal makan, dia lebih suka membeli makanan yang dia inginkan.

"Cukup Viola. Jaga bicara kamu! mulai sekarang kamu harus bisa menghargai aku sebagai kepala rumah tangga. jangan kamu kira aku ini kere dan hanya ingin numpang hidup sama kamu!" bentak Arga.

Kesabarannya sudah di ambang batas. lantas dia gegas pergi tanpa pamit lagi pada wanita cantik yang hanya melongo bingung itu. Viola hanya tersenyum sinis, lalu dia naik ke lantai atas di mana kamar tidurnya berada.

Dia harus segera ke butik karena hari sudah cukup siang. sampai di atas Viola berganti baju, dress warna peach melekat manis di tubuhnya yang bagus.

setelah mengaplikasikan serangkaian skincare ke wajah cantiknya, Viola gegas pergi ke butik. Dia memakai mobil sedan miliknya yang berwarna merah.

Setelah masuk ke dalam mobil, Viola gegas melajukan mobilnya keluar dari halaman rumahnya, dan menyusuri jalan raya yang mulai padat oleh para pengguna jalan lainnya.

Bab. 2

Pagi itu, Arga baru saja sampai di halaman sekolah. Langit masih berselimut mendung tipis, seolah meniru suasana hati yang dibawanya dari rumah. Ia turun dari motornya, lalu memarkirkannya di pojok parkiran yang biasa ia pilih—dekat pohon flamboyan yang sedang berbunga. Udara pagi menyelusup lewat jaket yang belum sempat ia rapatkan.

Dengan langkah cepat namun tak terlalu bersemangat, Arga berjalan menuju kelas. Namun sebelum sempat mencapai tangga gedung, langkahnya terhenti. Di sudut lorong, berdiri seorang gadis dengan rambut panjang tergerai, bersandar santai sambil memainkan ponsel di tangan.

Celine.

Gadis itu menoleh begitu melihat Arga datang. Senyumnya mengembang—hangat, tulus, dan entah kenapa selalu berhasil mencairkan suasana. Wajahnya cantik, tak berlebihan jika orang-orang menyamakannya dengan model iklan majalah remaja. Hubungan mereka memang belum bisa dibilang pacaran, tapi kedekatan yang terjalin sudah cukup membuat teman-teman sekelas mulai bertanya-tanya.

“Hai, Arga,” sapa Celine ringan. "Kamu baru datang juga."

"iyaa Cel."

"Sarapan dulu yuk di kantin, kita udah lama nggak ngobrol. Kamu pasti belum sarapan kan?"

Arga menghela napas pelan, mencoba menyembunyikan sisa emosi yang masih menggelayut di dadanya sejak pagi. Tanpa menatap langsung ke arah Celine, ia menjawab dengan nada datar, hampir ketus, “Belum.”

Celine sempat terdiam, menyadari ada sesuatu yang berbeda dari nada suara Arga. Tapi alih-alih menyinggungnya, ia hanya tersenyum kecil.

“Masih pagi kok. Yuk, ke kantin dulu. Aku juga belum makan.”

Arga menatapnya sebentar, lalu mengangguk pelan. Tak ada gunanya menolak, dan mungkin, sedikit percakapan dengan Celine bisa menenangkan pikirannya.

Mereka pun berjalan beriringan menuju kantin yang masih sepi. Percakapan ringan mulai mengalir di antara mereka, meski sesekali Arga masih terlihat memikirkan sesuatu.

Tak ada satu pun siswa di sekolah itu yang tahu rahasia besar yang di simpan oleh Arga tentang pernikahannya.

Ya, Arga dan Viola telah menikah. Diam-diam, tanpa pesta, tanpa undangan, tanpa sepengetahuan siapa pun. Hanya mereka dan Tuhan yang tahu ikatan suci yang telah terjalin di balik senyuman dan obrolan ringan setiap hari di sekolah.

**

**

Setibanya di kantin, aroma masakan pagi langsung menyambut mereka. Suara wajan beradu, tawa siswa-siswa, dan denting sendok memenuhi udara, menciptakan keramaian khas sekolah yang mulai hidup.

Arga melangkah ke antrean makanan, matanya tertuju pada papan menu. “Soto, satu,” katanya singkat pada ibu kantin.

Sementara itu, Celine memilih salad buah dan jus jeruk. Ia selalu menjaga apa yang masuk ke tubuhnya. Sebagai seorang model, berat badan ideal bukan sekadar angka—itu modal kerja, dan terkadang, tekanan yang tak pernah benar-benar lepas.

Mereka duduk di sudut kantin, agak jauh dari kerumunan. Arga makan dengan tenang, sesekali meniup kuah panas di sendoknya, sementara Celine menusuk potongan apel dengan garpu plastik.

“Ga,” panggil Celine pelan, menatapnya dari balik rambut yang sebagian jatuh menutupi wajah. “Kita… bisa jalan bareng lagi nggak? Kayak dulu.”

Arga tak langsung menjawab. Hanya diam, matanya menatap kosong ke dalam mangkuk. Lalu, perlahan ia menggeleng.

“Aku nggak tahu, Cel.”

Hanya itu yang keluar dari mulutnya, tapi cukup untuk membuat dada Celine sedikit sesak.

Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela, mencoba menyembunyikan ekspresi kecewanya. Tapi ia terlalu pintar untuk memaksa. Maka ia mengganti topik, suaranya kembali ceria, meski senyumnya terasa sedikit dipaksakan.

“Malam ini… aku mau nyari kado. Temenku di agensi ulang tahun. Temen sesama model. Kamu bisa anterin aku?”

Arga menelan potongan ayam di mulutnya sebelum menjawab. “Aku nggak bisa janji,” katanya pelan. “Harus ke bengkel dulu.”

Celine mengangguk pelan, tidak terkejut. Ia tahu betul bagaimana dunia Arga yang satu itu. Bukan sekadar hobi, tapi dunia yang sudah jadi bagian hidupnya. Hanya saja, ada satu hal yang tak diketahui semua orang, bahkan orang-orang terdekat mereka sekalipun.

Bengkel itu milik Arga. Usahanya sendiri. Cukup besar dan punya nama di kalangan pecinta motor. Tapi pada Viola—teman sekelas sekaligus siswi populer yang diam-diam menyukai Arga—dia selalu bilang bahwa dirinya hanya montir biasa. Entah mengapa, Arga merasa lebih nyaman begitu.

“Gapapa, kalau nggak bisa,” ucap Celine akhirnya, meski hatinya mengharapkan lebih."Tapi aku mohon usahakan ya Ga."

Arga hanya menatap Celine datar, tanpa ekspresi.

Mereka kembali diam. Hanya suara kantin yang terus riuh di sekitar mereka, seolah tak tahu bahwa dua hati sedang menahan banyak hal yang tak bisa terucap.

**

**

Di tempat lain, matahari mulai menebar sinarnya lebih terang saat Viola baru tiba di butiknya. Pintu kaca berbingkai emas muda itu berderit lembut saat ia membukanya. Aroma parfum ruangan dan kain baru menyambut langkahnya, menciptakan nuansa nyaman yang khas.

“Selamat pagi, Kak Viola!” seru Risa, gadis muda dengan senyum cerah yang langsung menyambut dari balik meja kasir.

Viola tersenyum lembut, langkahnya anggun seperti biasa. Ia mengenakan blazer krem dan celana kain berpotongan ramping—gaya yang membuatnya terlihat seperti pemilik butik dari majalah lifestyle.

“Pagi, Risa. Kamu datang pagi lagi, ya? kamu benar-benar rajin." puji Viola tulus.

Risa mengangguk kecil. “Iya, Kak. Biar bisa siap-siap sebelum pelanggan datang.”

Viola tahu Risa bukan sekadar rajin—ia berdedikasi. Dalam beberapa bulan terakhir, penjualan butik mereka meningkat pesat, sebagian besar karena kerja keras gadis itu. Viola pun tak segan memberinya bonus saat omset melewati target bulanan. Ia percaya, menghargai orang yang tulus bekerja adalah investasi jangka panjang.

Viola membuka clutch-nya, memeriksa ponsel sekilas, lalu menatap Risa lagi.

“Eh, kamu udah sarapan belum?”

“Belum, Kak,” jawab Risa sambil tersenyum malu-malu.

Viola meraih dompet dari tasnya dan menyodorkan beberapa lembar uang. “Kalau gitu sekalian, tolong beliin nasi uduk ya. Buat kita berdua.”

Mata Risa langsung berbinar. “Siap, Kak! Mau yang komplit atau biasa?”

“Komplit, pastinya. Jangan lupa sambalnya dua,” jawab Viola dengan senyum kecil.

Risa tertawa pelan sebelum bergegas keluar, meninggalkan Viola yang berjalan ke rak baju terbaru. Jemarinya menyusuri kain satin dan renda-renda yang baru datang pagi itu. Tapi di balik ekspresi tenangnya, hatinya sedang memikirkan seseorang.

Arga.

Pria yang selalu bersikap biasa saja, seolah tak pernah peduli dengan status sosial atau kecantikan luar. Justru itu yang membuat Viola tak bisa berhenti memikirkan dia.

Viola berpikir apa dia bisa menjalani hidup berumah tangga dengan bocah ingusan itu. Apalagi sepertinya dia itu pembangkang, dan sudah di atur.

Viola mendesah kesal, kenapa dia harus terjebak dalam pernikahan yang aneh ini. Dia yang dewasa harus punya suami pria yang lima tahun lebih muda darinya.

Baru satu hari saja kepalanya hampir pecah, lalu bagaimana jika harus bersama seumur hidup. Sepertinya dia akan menyerah di tengah jalan.

Bab. 3

Cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah tirai jendela, menari-nari di atas meja kerja Viola yang penuh dengan kertas sketsa, pensil, dan secangkir kopi yang tinggal setengah. Ia baru saja selesai sarapan, dan kini tenggelam dalam dunia desainnya—menyusun potongan demi potongan imajinasi menjadi rancangan busana yang anggun dan penuh karakter. Matanya tajam menatap kertas, tangannya lincah menggoreskan pensil, seakan dunia luar tak lagi penting.

Di luar ruang kerjanya, Risa—karyawannya yang setia—sibuk melayani pembeli di butik kecil mereka. Viola memang jarang turun tangan langsung, tapi ia selalu memantau. Jika Risa terlihat kewalahan, Viola tak segan meninggalkan mejanya untuk membantu. Namun kali ini, ia benar-benar tenggelam dalam proses kreatifnya.

Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka pelan. Risa melangkah masuk dengan ragu, wajahnya menunjukkan sedikit kecanggungan.

"Maaf, Kak," ucapnya lirih. "Ada Mas Dhani... dia nyari Kak Viola."

Viola langsung menghentikan gerak tangannya. Rahangnya mengeras, dan napasnya tertahan sesaat sebelum ia mengembuskannya dalam-dalam. Sebuah desahan penuh kekesalan meluncur dari bibirnya.

"Astaga... lagi-lagi dia?" gumamnya sambil menyandarkan punggung ke sandaran kursi.

Dhani—nama yang masih memantik bara di dalam hatinya. Mantan kekasih yang tak kunjung bisa menerima kenyataan bahwa kisah mereka telah usai. Dua tahun bersama, lalu semua hancur karena satu kata: pengkhianatan. Dan kini, pria itu masih saja berani datang, seolah luka yang ia tinggalkan belum cukup dalam.

"Sampaikan saja aku sedang sibuk. Aku nggak mau diganggu," ucap Viola dingin tanpa menoleh.

Risa mengangguk cepat, memahami maksud sang bos. Ia segera berbalik dan keluar, menutup pintu pelan.

Viola memejamkan mata sejenak. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, bukan karena rindu, tapi karena amarah yang masih belum sembuh benar. Ia tak ingin melihat wajah itu lagi. Tak ingin mendengar suara yang dulu pernah ia percaya sepenuh hati. Pertemuan itu hanya akan membuka luka yang baru saja mulai mengering.

Risa melangkah cepat kembali ke bagian depan butik, di mana seorang pria berdiri dengan gelisah. Dhani—dengan jas kasual dan ekspresi tak sabar di wajahnya—menoleh segera begitu melihat Risa datang.

"Dia mau ketemu aku?" tanyanya cepat, nada suaranya penuh harap, tapi juga terkesan menuntut.

Risa menelan ludah, berusaha bersikap sopan. "Maaf, Kak Viola sedang sibuk. Sepertinya belum bisa diganggu sekarang."

Dhani mendengus pelan, wajahnya berubah masam. "Sibuk? Dia selalu sibuk. Aku ini bukan orang asing, Risa."

"Mas, aku—"

Belum sempat Risa menyelesaikan kalimatnya, Dhani sudah melangkah cepat melewatinya. Risa terkejut, buru-buru mencoba menghalangi, tapi tubuh kecilnya tak mampu menandingi langkah Dhani yang penuh emosi.

"Tunggu! mas Dhani, jangan—!" serunya, mencoba mengejar, tapi Dhani tak menggubris.

Pintu ruang kerja Viola terbuka keras. Viola, yang masih fokus di balik meja kerjanya, langsung terlonjak kaget.

"Dhani?!" serunya, berdiri refleks. "Apa-apaan ini? Kamu nggak tahu sopan santun, ya?"

Dhani menatapnya dengan sorot mata yang campur aduk—marah, kecewa, dan entah mungkin masih menyimpan rindu yang mengendap di dasar hati. Tapi bagi Viola, semuanya hanya terlihat sebagai bentuk keegoisan belaka.

"Aku cuma mau bicara, Viola. Tapi kamu berlindung di balik alasan 'sibuk'," ucap Dhani, nadanya meninggi.

Viola mengepalkan jemarinya, berusaha menahan emosi. "Dan itu bukan urusan kamu Dhani! Kamu nggak bisa asal masuk ke ruang kerjaku seperti ini. Aku punya batas, dan kamu harus menghormatinya!"

Hening sesaat. Hanya terdengar helaan napas berat mereka berdua.

Risa berdiri canggung di ambang pintu, bingung harus berbuat apa. Suasana di ruangan itu kini terasa panas, seperti dua kutub yang pernah saling tarik menarik, kini bertabrakan dalam perang dingin yang meletup tiba-tiba.

Viola melangkah mundur, berdiri tegak di balik meja kerjanya, menatap Dhani dengan dingin. Aura ketegasan memancar jelas dari sorot matanya.

"Sudah cukup, Dhani. Aku sibuk. Dan satu hal lagi, antara kita… sudah selesai. Tidak ada alasan bagimu untuk terus muncul di hadapanku seperti ini," ucapnya tegas, setiap katanya terucap dengan jelas dan tanpa ragu.

Namun Dhani tidak bergeming. Justru ia melangkah mendekat, pelan namun mantap. Sorot matanya menyiratkan tekad, seolah ingin menembus benteng yang Viola bangun sejak lama. Saat ia mencoba meraih tangan Viola, dengan refleks Viola menepisnya—kasar.

"Jangan sentuh aku!" bentaknya, tajam. "Kau kehilangan hak untuk menyentuhku sejak kau mengkhianatiku, Dhani."

Dhani terdiam sejenak, seolah terpukul oleh ucapannya. Tapi kemudian ia menunduk, menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, suaranya terdengar berat dan penuh penyesalan.

"Aku tahu aku salah, Vi. Tapi aku minta maaf... Aku janji, aku akan berubah. Aku nggak akan pernah lagi nyakitin kamu. Beri aku satu kesempatan. Aku masih cinta kamu… aku ingin kita mulai lagi dari awal."

Beberapa detik sunyi menyergap ruangan. Viola menatapnya—lama. Lalu tiba-tiba, bibirnya tertarik, dan tawa kecil meletup dari tenggorokannya. Bukan tawa bahagia, tapi tawa sinis yang dingin dan penuh luka.

"Kamu pikir ini sinetron, Dhani?" katanya dengan senyum getir. "Setelah kamu hancurkan kepercayaanku, kamu datang bawa kata maaf dan janji kosong? Lucu sekali."

Dhani terdiam, wajahnya mengeras, namun tak ada kata yang bisa ia balas. Yang ada hanya kenyataan—bahwa penyesalannya datang terlalu terlambat.

Dhani menatap Viola dengan pandangan penuh tanda tanya. Kedua alisnya berkerut, bibirnya sedikit terbuka, seolah tak percaya dengan tawa yang baru saja keluar dari mulut perempuan itu.

"Kenapa kamu tertawa?" tanyanya pelan, hampir seperti bisikan. Ada luka dalam suaranya, tapi Viola tak tergerak sedikit pun.

Viola perlahan berdiri, tubuhnya tegak dan anggun. Mata indahnya yang dulu pernah memandang Dhani dengan cinta, kini menatapnya tajam seperti pisau. Dingin. Tegas.

"Aku tertawa," katanya sambil melangkah pelan mendekat, "karena kamu masih saja hidup dalam delusi. Seolah-olah aku ini masih perempuan yang sama... yang bisa kamu bodohi, yang bisa kamu tarik kembali hanya dengan kata maaf."

Dhani menahan napas. Wajahnya memucat.

"Viola, aku sungguh menyesal. Aku tahu aku salah... tapi—"

"Tidak ada tapi, Dhani," potong Viola tajam. "Dengar baik-baik... Aku tidak akan pernah mau kembali padamu. Tidak sekarang, tidak besok, tidak selamanya."

Ia berhenti tepat di hadapan Dhani. Suaranya kini lebih tenang, tapi menyayat.

"Aku sudah menikah."

Dhani terdiam. Matanya membesar, napasnya tercekat. "Apa…?"

"Ya," lanjut Viola. "Aku sudah menikah. Aku bahagia, dan aku hidup tenang. Jadi tolong, berhenti muncul di hadapanku. Berhenti mengganggu hidupku. Kau sudah cukup menyakitiku di masa lalu. Jangan tambah lagi luka yang sudah susah payah aku sembuhkan."

Dhani tampak kehilangan kata. Tubuhnya yang tadi tegap kini sedikit goyah. Matanya berkaca-kaca, tapi Viola sudah berbalik, kembali ke meja kerjanya, seakan keberadaan pria itu tak lebih dari bayangan masa lalu yang sudah ia bakar habis.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!