NovelToon NovelToon

Dendam Salah Arah

Vanesa lelah, Ibu

"Non, Nona, Bangun"

Tampak seorang perempuan paruh baya terlihat mengguncang tubuh perempuan muda di hadapannya dengan pelan.

Raut wajah khawatir terlihat jelas di wajah perempuan tersebut, Dimana perempuan muda di hadapannya tampak begitu pucat, Dia mulai menebak nebak apakah perempuan muda itu pingsan memikirkan hal tersebut membuatnya merasa panik.

Merasa ada pergerakan membuat perempuan muda itu secara perlahan membuka kedua matanya, Terlihat netra indah bewarna biru mulai menatapnya.

"Bi Sum"

Sahutnya pelan dengan suara seraknya ketika menyadari siapa yang membangunkannya.

"Nona Vanesa tidur? Bibi pikir nona pingsan, Maafkan bibi karna membangunkan anda non, Bibi hanya merasa khawatir karna nona terlihat begitu pucat"

Jelas perempuan paruh baya yang di sebut dengan bibi Sum tersebut.

Bukannya marah karna telah di bangunkan, Vanesa memilih mengembangkan senyum manisnya.

"Ahh tidak masalah bibi, Justru terima kasih telah membangunkan aku, Tidak lama lagi Tuan Arlan akan kembali, Bukankah akan buruk jika melihat aku tertidur?"

Vanesa terkekeh ringan mengatakannya, Lantas gadis itu mulai beranjak dari posisinya.

"Non, Apakah nona baik-baik saja? Wajah nona sangat pucat"

Bibi Sum kembali melontarkan pertanyaannya, Dia yakin gadis itu tidak baik baik saja, Berusaha menyembunyikan semua kesakitan nya di balik senyum indahnya

"Aku baik baik saja, Bibi"

Vanesa menyentuh kedua bahu perempuan paruh baya di hadapannya, Menatapnya dengan tatapan hangat, Lantas kembali berkata

"Jangan khawatirkan apapun, Apakah aku perlu bergoyang di depan bibi untuk meyakinkan bibi Sum?"

Canda perempuan muda itu ke arah bi Sum.

Vanesa kembali mengembangkan senyum terbaiknya, Tidak ingin bibi Sum benar-benar mengkhawatirkan dirinya saat ini.

Setidaknya di balik banyaknya penderitaan yang dia alami, Diantara banyaknya orang orang yang membenci dan tidak menyukainya, Bibi Sum begitu menyayanginya, Merawatnya dengan baik selama dia berada di rumah ini.

"Non ini"

Bibi Sum tertawa ringan mendengar candaan perempuan muda di hadapannya.

"Kalau begitu aku akan ke kamarku bibi"

Sahut Vanesa yang di angguki oleh bibi Sum.

Bibi Sum menatap punggung perempuan itu dengan nanar, Gadis itu terlalu banyak menderita dalam hidupnya, Terkadang dia berfikir kenapa perempuan yang sangat baik itu mendapatkan ujian luar biasa di dalam hidupnya.

"Nona semoga kebahagiaan secepatnya menghampiri anda"

Gumam Bibi Sum yang menatap Vanesa yang mulai menghilang dari pandangannya.

...****************...

Vanesa, Gadis itu baru saja masuk kedalam kamarnya, Mengunci pintunya dengan cepat.

"Sttttt"

Perempuan itu meringis ketika merasa punggung bagian bawahnya kembali terasa sakit.

"Ibu"

Gumam perempuan itu pelan, Tiba tiba matanya memanas dimana lelehan bening terasa berkumpul di pelupuk matanya.

"Ibu, Sakittttt"

Perempuan itu kembali bergumam, Dimana dalam satu kedipan lelehan bening itu tumpah tanpa bisa dia tahan lagi.

Tubuh perempuan itu terlihat bergetar, Di iringi isakan tangis dari bibir ranum perempuan itu.

Vanesa membiarkan tubuhnya luruh di lantai yang begitu dingin, Menekuk kedua lututnya lantas membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya

"Ibu, Vanesa lelah"

"Ayah, Apa ayah bisa menjemput Vanesa?"

ucap perempuan itu kembali.

Lelah, Dia benar benar lelah menjalani kehidupannya saat ini. Berbagai macam ujian benar-benar menimpa kehidupannya tanpa ampun.

Di mulai dari ibu dan ayahnya yang meninggal karna sebuah kecelakaan, Saat itu dia masih memiliki kekasih yang selalu mendukungnya dan memberinya semangat. Kekasih yang begitu mencintainya dengan tulus.

Di tengah kesedihan yang menyelimuti gadis itu, Kekasihnya datang menawarkan untuk hidup bersama menaungi hubungan rumah tangga menciptakan kebahagiaan. Lagi-lagi perempuan itu bersyukur, Dia tentu saja menerima pinangan pria itu tanpa ragu.

Namun siapa sangka semuanya berubah setelah pria itu mengucapkan janji suci pernikahan mereka.

Masih teringat dengan jelas ingatannya di malam itu.

"arland, Bisa bantu aku menurunkan resleting gaunku?"

Sahut Vanesa yang sejak tadi merasa kesulitan menurunkan resleting gaunnya.

Bisa dia lihat, Pria itu tidak banyak bereaksi, Dia menatap Vanesa dengan tatapan yang sulit untuk di mengerti.

"Arland?"

Vanesa merasa aneh, Namun saat itu Arland berjalan mendekatinya hingga membuat gadis itu tersenyum hangat

Tangan kokoh Arland bergerak menurunkan resleting di punggung istrinya dengan gerakan perlahan.

"Terima kasih"

Sahut Vanesa yang menatap Arland di pantulan cermin yang ada di hadapannya.

Arland menarik ujung bibirnya, Menciptakan senyum mengerikan yang membuat Vanesa melunturkan senyum miliknya.

"Vanesa, Selamat datang di neraka milikku"

Sahut pria itu di telinganya, Pada awalnya Vanesa benar benar merasa aneh, Tidak mengerti dengan apa yang dikatakan pria di hadapannya.

Vanesa mengangkat wajahnya, Membiarkan tubuhnya bersandar di balik pintu kayu bewarna kecoklatan yang ada di belakangnya.

Yah neraka, Seperti apa yang dikatakan suaminya malam itu, Kehidupan pernikahan yang di bayangannya di penuhi dengan kebahagiaan berubah menjadi pernikahan penuh air mata untuknya.

Siapa yang menyangka jika kekasihnya yang dulunya pria penyayang dan penuh cinta menjadi sosok yang begitu mengerikan.

Acap kali pria itu memukulnya, Entah karna dia berbuat kesalahan atau tidak pun pria itu tetap akan melukai fisiknya.Tendangan, Tamparan, pukulan adalah makanan sehari hari gadis itu, Penyiksaan yang tiada habisnya benar benar menguras habis air matanya.

Kadang dia berfikir apakah pria itu adalah orang yang sama dengan kekasihnya, Dia tidak mengerti apa yang membuat pria itu benar benar berubah menjadi sosok yang membuatnya tidak mengenalinya.

Vanesa menarik panjang nafasnya, Mulai menghapus air matanya dengan punggung tangannya. Perempuan itu memejamkan matanya beberapa waktu, Menetralisir semua rasa sesak di dadanya.

...****************...

"Ahhhhhh faster baby"

"Oh shit, Kau sungguh nikmat"

"Ahhhh"

Suara erangan terdengar memenuhi isi kamar dimana terlihat sepasang kekasih bergumul di atas ranjang dengan begitu panasnya.

Terlihat pria di atas sana memegang kendali, Memacu kecepatannya membuat perempuan di bawahnya mengeluarkan suara indahnya.

Sedangkan di luar kamar tersebut, Vanesa yang hendak turun menyiapkan makan malam untuk Arland seketika menghentikan langkah kakinya.

Tubuh gadis itu seketika mematung ketika suara suara aneh itu terdengar di telinganya. Dia jelas mengenali suara suaminya di dalam sana.

Suaminya? Berci..nta dengan perempuan lain di rumah mereka. Seketika bola mata gadis itu berkaca kaca dengan tangan yang saling meremas antara satu dengan yang lainnya.

"Kenapa Arland? Kenapa kau melakukan ini padaku?"

Gumam gadis itu dengan hatinya yang semakin tersayat menciptakan luka yang semakin melebar dengan sempurna.

Sejujurnya dia tidak mengerti kenapa pria itu berubah tiba tiba, Dia bahkan tidak melakukan kesalahan apapun, Lantas apa yang menyebabkan pria itu memberinya luka tanpa henti.

Vanesa memejamkan matanya rapat rapat rasa sakit di hatinya jelas membuatnya seolah kehilangan akal sehatnya, Membuat gadis itu melangkah tepat di ambang pintu dimana suara de..sa...han itu berasal.

Ceklekk

Secara perlahan dia mendorong pintu yang ada di hadapannya, Dimana kini matanya bisa melihat jelas perbuatan suaminya dengan perempuan lain di atas tempat tidur.

Alasan perubahan Arldan

Secara perlahan dia mendorong pintu yang ada di hadapannya, Dimana kini matanya bisa melihat jelas perbuatan suaminya dengan perempuan lain di atas tempat tidur.

Bayangkan bagaimana perasaan Vanesa menyaksikan itu, Jelas saja sakitnya luar biasa, Seolah ada ribuan pedang menghantam jantungnya sekaligus. Dan dalam hitungan detik air matanya luruh membasahi pipi mulusnya.

Salahkan dirinya marah? Bukankah itu tidak salah? Dia istrinya, Sah secara hukum maupun agama, Alasan tersebut membuatnya mengumpulkan keberaniannya untuk menerobos masuk ke dalam kamar dimana suaminya berada

Sedangkan kedua manusia yang sibuk saling memuaskan antara satu dan yang lainnya seketika menghentikan gerakan mereka ketika menyadari sosok perempuan terlihat menatap mereka di ambang pintu.

Arland mengerutkan keningnya ketika melihat Vanesa di ujung sana, Untuk sesaat tatapan mereka saling bertemu, Pria itu bisa melihat dengan jelas ada kesedihan yang mendalam di balik netra hitam istrinya.

"Pakai bajumu, Nova"

Pada akhirnya Arland membuka suaranya, Beranjak secara perlahan dari atas tubuh perempuan yang di sebut Nova itu.

Nova jelas saja merasa kecewa, Sebab perempuan itu belum mendapatkan pelepasannya.

"But"

"Pakai bajumu sayang, Tunggu aku di apartemen, Aku akan menemui mu setelah ini"

Ucap Arland cepat, Dia berusaha membujuk Nova agar pergi lebih dulu.

Nova pada akhirnya menganggukkan kepalanya, Mulai memungut satu persatu pakaiannya yang berserakan di lantai kemudian memakainya dengan cepat.

"Aku menunggumu, Sayang"

Sahut Nova yang kemudian mengecup bibir pria itu sekilas lantas mulai bergerak keluar dari kamar

Untuk sesaat perempuan itu menghentikan langkah kakinya tepat di hadapan Vanesa, Menatap gadis yang merupakan istri dari pria yang tidur dengannya tadi. Nova tersenyum mengejek ke arah gadis itu, Dia pikir meski gadis itu memegang status sebagai nyonya santoso setidaknya cinta dan kasih sayang Arldan hanya tertuju padanya.

Bukankah itu menguntungkannya, Dia tidak perlu khawatir, Hanya perlu menunggu kapan Arland menceraikan gadis itu, Lalu dirinya bergerak menjadi nyonya santoso. Lantas perempuan itu memilih melanjutkan langkah kakinya.

Alrdan tampak begitu acuh, Seolah tidak menganggap keberadaan Vanesa yang sejak tadi menatap dirinya di ambang pintu. Pria itu mulai mengenakan satu persatu pakaian miliknya

"Kenapa?"

Vanesa melontarkan pertanyaannya, Menatap sosok suaminya di depan sana dengan nanar

Bisa Arldan dengar suara gadis itu tampak bergetar, Namun pria itu memilih tidak peduli, Kembali mengacuhkan Vanesa.

"Kenapa kau melakukan ini padaku, Arland?"

Tanya gadis itu kembali, Air matanya kembali jatuh.

"Apa aku pernah berbuat salah padamu sehingga kau begitu kejam kepadaku?"

"Apa aku pernah membuat kamu kecewa sehingga mengubah mu menjadi sosok yang mengerikan dan tidak ku kenali lagi?"

"Apakah seluruh cintamu padaku benar benar menghilang tanpa sisa setelah kau menyelesaikan ijab kabulmu?"

Vanesa melontarkan terus pertanyaannya, Menatap pria itu yang kini memunggunginya.

Alrdan terlihat mengehentikan gerakan tangannya, Namun tetap tidak membuka mulutnya seolah membiarkan Vanesa terus berbicara dan meluapkan segalanya.

"Kau kejam kepadaku, Memukulku, Menghinaku, bahkan kekejaman yang lainnya kau berikan seolah hadiah dari pernikahan kita"

"Kebahagiaan yang kau janjikan padaku berbalik menjadi penderitaan dan luka luka yang kau toreh kan tanpa henti"

Vanesa terus berbicara dengan tubuh gemetar, Jika di pikir ini pertama kalinya dia berbicara kepada pria itu, Mengungkapkan rasa sakit yang seolah mengoyak tubuhnya.

"Aku masih bisa menerima semua itu, Tapi hari ini kau membawa perempuan lain, Bercinta di dalam kamar ini dimana aku bahkan tidak pernah kau izinkan untuk tidur di kamar ini"

"Kenapa Arldan? Kenapa?"

Vanesa berteriak histeris, Tubuhnya luruh di bawah lantai, Beberapa kali gadis itu terlihat memukul dadanya yang terasa sesak.

Ya Vanesa pikir kenapa harus di kamar pria itu, Mereka bisa di tempat lain bukan, ada banyak kamar di rumah ini, Kenapa harus di kamar suaminya yang bahkan dia tidak di izinkan masuk oleh Arland sama sekali.

Sedangkan Arland, Pria itu tampak mengepalkan tangannya, Rahangnya terlihat mengeras dimana mata pria itu juga tampak memerah.

Pria itu membalikkan tubuhnya, Netra tajam miliknya menatap Vanesa di bawah sana yang tampak histeris.

Lantas pria itu bergerak mendekati Vanessa dengan langkah lebarnya.

Srakkkkk

Tangan kekar pria itu bergerak begitu cepat menarik rambut panjang Vanesa membuat gadis itu tersentak dan mendongakkan kepalanya ke atas secara paksa.

"Arldan sakitttt"

Vanesa meringis, Rasa sakit di kepalanya benar benar luar biasa, Seolah semua rambutnya di cabut secara paksa. Dia mencoba melepaskan cengkram Arland di rambutnya.

"Kau ingin tau kenapa aku membencimu? Heh"

Arldan berkata dengan dingin, Menatap Vanesa dengan tatapan yang begitu mengerikan, Bisa gadis itu lihat dengan jelas ada jutaan kebencian di mata pria itu untuknya.

"Kau tau adikku? Liona?"

"Dia mati karna ayahmu, Ayahmu sialannnnnnnn"

Teriak Arldan dengan penuh kemarahan, Dia menghempaskan tubuh Vanesa membuat tubuh gadis itu menabrak tembok yang ada di sana.

Rasa sakit jelas menghantam gadis itu, Punggungnya semakin sakit dengan rasa yang mulai menjalar di bagian perutnya.

"Adikku yang manis itu, Jika bukan karna ayahmu, Liona telah berumur 17 tahun saat ini, Dia memiliki banyak mimpi yang ingin dia capai"

Arldan kembali berteriak ke arah Vanesa, Matanya memerah menatap gadis di bawah sana dengan kemarahan yang begitu mendalam.

Liona, Adiknya kesayangannya, Satu satunya keluarganya di dunia ini, Dimana ayah dan ibunya telah meninggalkan mereka lebih dulu. Karna itu dia begitu menyayangi adiknya, Tidak pernah sedikitpun Arldan memarahinya, Dia benar benar memberikan seluruh cinta untuk gadis itu.

Namun siapa sangka dalam satu malam adiknya mengalami kecelakaan hingga membuatnya merenggang nyawa, Dan yang seharusnya bertanggung jawab adalah ayah dari istrinya, Vanesa.

Dia berencana membawa kasus adiknya ke ranah hukum namun apa boleh buat, Setelah kecelakaan itu orang tua Vanesa juga mengalami kecelakaan dan meninggal.

Untuk sejenak Arldan merasa bahagia, Bukankah tuhan tidak tidur, Pembunuh adiknya mendapatkan karma yang serupa untuk menjemput ajal mereka.

Namun seiring waktu berlalu dia merasa tidak puas, Dendamnya benar benar tidak pernah surut, Hingga pria itu memutuskan melampiaskan dendamnya pada Vanesa. Menjalin hubungan asmara dengan gadis itu dan menjeratnya dalam sebuah hubungan pernikahan yang membuat gadis itu tidak bisa lepas dari genggamannya.

Bukankah ada darah pembunuh itu mengalir di tubuh Vanesa, Maka dari itu baginya vanesa adalah objek yang tepat untuk melampiaskan dendamnya.

Ketika dia kesal dia menampar gadis itu, Ketika dia marah dia menendang tubuh gadis itu, Vanesa adalah sasaran untuk pelampiasan kemarahannya.

Sedangkan Vanesa, Gadis itu jelas saja tercekat mendengar apa yang dikatakan oleh Arldan.

Benarkah ayahnya seorang pembunuh? Orang yang membunuh adik dari suaminya? Dia benar benar sulit untuk mempercayainya.

"Tidak itu tidak mungkin"

Vanesa menggelengkan kepalanya, Seolah fakta itu benar benar mengguncang dirinya.

Arldan kembali menatap Vanesa dengan kemarahannya.

"Dan melihatmu membuat kenangan menyakitkan itu kembali muncul sialannnnn"

Teriaknya dengan suara menggelegar, Pria itu kembali melayangkan tendangannya ke arah Vanesa.

Bughh

Bughhhh

Vanesa terkejut dia menahan nafasnya saat pria itu kembali menendang tubuhnya hingga membuat gadis itu benar benar tidak berdaya, Bisa bayangkan bagaimana rasa sakit yang di rasakan gadis itu, Dan secara perlahan mata gadis itu mulai terpejam dengan rasa sakit yang seolah ingin membunuhnya.

Sakit

Samar samar dalam tidurnya dia mendengar isak tangis yang terdengar begitu lirih, Hingga Vanesa memaksa untuk membuka matanya secara perlahan.

Dan sosok pertama yang dia lihat ketika bola matanya terbuka adalah bibi Sumi, Bibi Sumi yang merupakan art yang telah bekerja sepuluh tahun di keluarga Santoso.

"Nona akhirnya anda bangun"

Ucap Bibi Sumi ketika melihat gadis di hadapannya akhirnya sadar, Dia bahagia namun air matanya menetes tanpa bisa dia hentikan.

"Bibi jangan menangis, Aku baik baik saja"

Vanesa berusaha tersenyum, Tentu saja itu bohong, Dia tidak baik baik saja, Perutnya semakin sakit begitupun dengan punggungnya, Namun dia tidak ingin membuat wanita tua di sampingnya khawatir.

"Apakah tuan memukul nona lagi?"

Tebak Bibi Sumi dengan penuh kesedihan, Kekerasan yang di alami oleh Vanesa bukan hal yang aneh lagi di rumah ini.

"Dia sedikit kesal, Tapi tidak memukulku dengan keras bi"

Gadis itu kembali berbohong.

Bibi Sum jelas tau itu, Gadis di hadapannya benar benar berusaha menyembunyikan perilaku buruk tuannya.

"Bibi ingin menelfon dokter, Tapi tuan melarang bibi, nona"

Lagi lagi air mata wanita tua itu luruh, Dia menggenggam tangan Vanesa dengan erat.

Kemarin saat dia mendengar kekacauan dia jelas panik, Namun tidak bisa menerobos masuk ke kamar tuannya, Jika dia melakukannya maka tuannya akan semakin marah dan melampiaskannya pada Vanesa. Maka dari itu dia memilih diam dan menunggu pria itu keluar dari kamarnya.

Dan ketika Arldan keluar dan pergi entah kemana, Bibi Sumi berlari masuk kedalam kamar, Betapa syoknya dia melihat kondisi Vanesa yang terbaring tidak berdaya.

Terdapat lebam di tangan gadis itu, Beberapa helaian rambut berceceran di sana. Melihat itu cukup bisa membuatnya menebak apa yang terjadi.

Dia berusaha membangunkan Vanesa berkali kali, Membasahi wajah gadis itu dengan air namun gadis itu tak kunjung membuka bola matanya.

Hal tersebut membuatnya panik bukan kepalang, Dia ingin menghubungi dokter namun Arldan langsung berteriak ke arahnya.

"Bibi Sumi, Jangan pernah mencoba menghubungi dokter, Atau gadis itu akan menerima akibatnya"

Bibi Sumi jelas tidak bisa melakukan apapun, Sebab apa yang dikatakan pria itu jelas bukan hanya ancaman semata.

Pada akhirnya dia memilih membawa tubuh Vanesa kedalam kamar di bantu dengan mang Ujang yang merupakan salah satu pekerja di kediaman santoso.

Vanesa tersenyum miris mendengarnya, Jelas saja pria itu tidak akan peduli bagaimana kondisinya, Lalu bagaimana bisa pria itu bisa mengizinkan untuk memanggil dokter untuknya.

"Bibi jangan menangis aku baik baik saja, Bukankah aku sudah bangun, Tidak apa apa, Bibi"

Vanesa berusaha menahan tangisnya ketika mengatakan itu. Jika saja dia bisa berteriak kepada dunia jika dia tidak baik baik saja.

"Nona, Obat nona masih ada bukan? Atau sudah habis? Biar bibi yang membelinya untuk nona"

Vanesa menggelengkan kepalanya cepat ketika mendengar pertanyaan bibi Sumi

"Obatku masih banyak, Lili baru membelinya kemarin"

Ucap gadis itu.

Dan lagi lagi gadis itu berbohong, Karna jika mengatakan obatnya tinggal sekali makan saja maka bibi Sumi akan membelikannya untuknya

Dia jelas tidak ingin merepotkan wanita tua itu, Obatnya sangat mahal sedangkan bibi Sumi harus mengirim uang untuk ibunya di kampung yang juga sedang sakit.

"Tapi non"

"Bibi, Bisa aku istirahat? Aku cukup lelah bibi"

Potong gadis itu cepat.

Meski tidak rela namun pada akhirnya bibi Sumi menganggukkan kepalanya.

"Baiklah, Panggil bibi jika nona butuh sesuatu"

Sahut wanita tua itu yang di angguki oleh Vanesa.

Secara perlahan bibi Sumi berlalu dari sana, Menutup pintu kamar Vanesa secara perlahan.

Dan kini lelehan bening itu tumpah dari pelupuk matanya, Dia menggenggam perutnya yang terasa sakit.

Lantas gadis itu meraih tas miliknya yang tidak jauh dari posisinya, Membuka kantong kresek berwarna hitam dimana berisi beberapa obat di dalam.

Habis?

Tubuh gadis itu gemetar, Dia tidak sekuat dulu saat ayahnya hidup, Sebab ginjalnya kini hanya 1 untuk bertahan hidup, Di tambah beberapa bulan belakangan ini tubuhnya terasa tidak baik baik saja.

Vanesa memejamkan matanya beberapa waktu, Lantas meraih ponselnya dan mengetik di atas benda pipih tersebut.

"Obat sakit perut yang murah di apotek"

"Berapa harga obat sakit perut di apotek"

"Berapa lama hidup seseorang yang memiliki ginjal 1"

Dan lagi lagi air mata itu jatuh dengan derasnya.

Harga dalam satu obatnya sangat mahal, Sedangkan dia tidak memiliki uang sebanyak itu untuk membelinya sesering mungkin.

Dia hanya mendapatkan uang dari hasil baju rajut yang dia buat dan di titipkan di salah satu penjual yang merupakan teman bibi Sumi di pasar.

Dan dia belum mendapatkan uangnya saat ini, Dia pikir mungkin baju miliknya belum laku hari ini.

Vanesa mengigit bibir bawahnya, Sepertinya dia harus tidur malam ini dengan rasa sakitnya, Sebab dia tidak memiliki uang untuk membeli obatnya.

Secara perlahan gadis itu mulai merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.

"Tuhan aku ingin bahagia"

Pintanya dengan lirih dengan air matanya yang kembali membasahi bantalnya.

****************

Di salah satu club yang ada di jakarta

Suara dentuman musik yang begitu keras terdengar begitu memekakkan telinganya. Beberapa orang terlihat menggerakkan badannya mengikuti irama musik yang ada di sana.

"Brengsekkkkk"

Seorang pria yang ada di sana tampak melempar jas miliknya.

"Yoyoyo kau terlalu sering marah kawan, Bagaimana jika kau cepat tua karna itu"

Salah satu temannya terlihat menggoda ke arahnya

"Kau memukulnya lagi, Arldan"

Temannya yang lain juga membuka mulutnya, Menatap pria tampan itu yang terlihat melonggarkan dasinya.

"Cihh, Itu tidak setara dengan perbuatan ayahnya yang membunuh Liona, Rian"

Sarkasnya yang membuat Rian terdiam.

"Bagaimana jika saat kau memukulnya dan dia meninggal Arldan, Kau bisa menjadi tersangka pembunuhan kepada istrimu sendiri"

Deon tampak terkekeh mengatakannya,, Lantas tangannya meraih sebuah gelas yang berisi alkohol dan mulai menegaknya secara perlahan.

"Kau tidak ingin mencobanya?"

Lanjutnya yang menawarkan minumannya ke arah Arldan.

"Dia harus hidup sehat demi menghargai ginjal orang lain yang di berikan untuknya"

Itu adalah suara Rian.

Arldan tidak menimpalinya, Pria itu hanya menghela nafasnya kasar.

"Jangan terlalu keras padanya Arldan, Yang dikatakan Deon benar, Kau bisa saja membunuhnya"

Sahut Rian yang kembali membuka mulutnya, Menatap Arldan di sampingnya dengan serius.

"Itu bukan kesalahannya, Dia tidak pantas menerima penderitaan sebesar itu darimu"

Lagi Rian yang kini meraih gelas minuman di hadapannya.

"Heh aku tidak yakin jika kalian yang berada di posisiku kalian tidak akan melakukan hal yang sama dengan apa yang aku lakukan saat ini"

Ucapnya yang membuat kedua temannya terdiam. Meski yang dilakukan Arldan adalah salah, Namun mereka juga tau betul bagaimana penderitaan pria itu setelah kematian adiknya.

Hingga pada akhirnya mereka bertiga memilih bungkam dengan pikiran mereka masing masing.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!