NovelToon NovelToon

Nikah Paksa Amrita Blanco

Bab 1 Perkebunan Luhan

Perkebunan Luhan terkenal sangat indah dengan kebun apelnya yang lebat.

Tanah subur yang menjadi lahan perkebunan itu merupakan milik keluarga Blanco yang berada di area tanah hijau luas.

Sayangnya nasib tanah perkebunan Luhan sekarang ini dalam masa sulit penyebabnya adalah keadaan perekonomian keluarga Blanco sedang bermasalah besar untuk mengelolanya.

Tuan Blanco Frederick sang pemilik perkebunan Luhan pada generasi ketiga sedang mengalami krisis ekonomi sulit sehingga kondisi perkebunan miliknya agak terbengkalai.

Pengelolaan perkebunan Luhan membutuhkan dana besar supaya jalannya perkebunan terus berlanjut.

Perkebunan Luhan sangat luas berhektar-hektar dengan area kebun apel yang subur serta sejumlah ratusan orang pemetik yang bekerja disana dan hal itu membutuhkan dana yang tidak sedikit, seperti menggaji para pemetik buah dari kebun memerlukan dana keuangan besar bahkan untuk transportasi pengiriman buah juga membutuhkan uang agar para pengirim buah cepat sampai ke lokasi pemesanan.

Tidak berhenti disitu, Blanco harus menyediakan makanan buat para pekerjanya serta tunjangan-tunjangan sebagai bonus tambahan bagi mereka, jika tidak maka perkebunannya dapat ditutup permanen oleh negara karena bermasalah dengan tingkat level kelayakan pekerja.

Tuan Blanco Frederick duduk termenung di beranda bungalow miliknya dan seorang wanita berparas cantik duduk bersamanya menghadap ke area perkebunan.

"Minumlah dulu, secangkir teh lemon ini agar tubuhmu hangat, sayang !" ucap wanita cantik itu sembari menyodorkan cangkir keramik motif mawar kepada Blanco yang duduk disampingnya.

Blanco hanya tersenyum tipis seraya menoleh sejenak kepada wanita cantik itu lalu memalingkan mukanya ke arah kebun.

"Aku berpikir mungkinkah ada cara untuk menyelamatkan perkebunan yang telah lama berada di tangan kita sebagai penerus generasi ketiga", ucapnya murung.

"Pasti ada cara untuk menyelamatkan tanah perkebunan Luhan, sayangku", sahut wanita itu kemudian meletakkan secangkir teh di meja marmer.

"Demi Tuhan, Pamela !" ucap Blanco sambil menahan nafas. "Aku tidak mungkin melepaskan lahan perkebunan Luhan namun aku tidak dapat mempertahankan tanah ini tetap bersama kita, sayang", sambungnya.

Tampak roman muka Blanco Frederick berubah murung saat dia harus mengatakan hal pahit tentang tanah perkebunan Luhan yang menjadi miliknya sebagai penerus generasi ketiga karena telah gagal mengelolanya lagi.

Tak terasa sudut matanya berair sedih, saat Blanco harus mengingat masalah berat yang menimpa dirinya sebab dana untuk pengelolaan tanah perkebunan Luhan telah turun berkurang lantaran Blanco ditipu oleh rekan bisnisnya yang memaksanya memakai dana tersebut sebagai dana bisnis saham yang ternyata bisnis saham itu fiktif, tidak nyata.

Blanco terpaksa harus kehilangan uangnya yang terlanjur dia investasikan ke dalam bisnis saham fiktif.

Ketika Blanco Frederick hendak menanyakan tentang hasil keuntungan bisnis saham kepada rekannya yang merupakan sahabat baiknya sendiri ternyata sahabatnya itu telah kabur menghilang tanpa jejak ataupun tidak ada kabar berita lagi sehingga Blanco harus kehilangan sejumlah uang miliaran karena hal itu.

Buruknya lagi, uang itu adalah uang untuk pengelolaan tanah perkebunan Luhan.

Bulan ini, Blanco harus menggunakan uang itu untuk dana pembiayaan pemetikan buah apel karena akan dikirim ke tempat agen pemesanan serta toko-toko buah yang menjadi langganan tanah perkebunan Luhan.

Sialnya, uang tersebut raib dibawa kabur oleh sahabat karibnya yang merupakan partner bisnis saham fiktif yang sudah menipu Blanco Frederick.

Blanco terpaksa menunda pemetikan buah apel dari pohonnya serta memberi janji pada pemesan agar mereka menunggu.

Namun para pemesan tidak dapat bersabar lagi, mereka terus menerus menghubungi Blanco Frederick dan menanyakan tentang pesanan buah apel mereka karena harus di kirim kepada pelanggan mereka.

Blanco terdesak akibat permintaan para pemesan buah agar segera mengirimkan pesanan milik mereka secepatnya sebab para pemesan juga dikejar-kejar oleh pelanggan.

Wajah Blanco semakin murung sedangkan pandangannya jauh tertuju pada tanah perkebunan Luhan yang terbentang luas di hadapannya.

"Bagaimana jika kita menjual tanah perkebunan Luhan kepada pengusaha estate, mungkin saja dia mau membelinya, sayangku", ucap Pamela seraya menyentuh tangan suaminya.

Blanco menghela nafas panjang seraya menoleh ke arah Pamela.

"Siapa pengusaha estate itu, kau mengenalnya darimana, Pamela ?" tanya Blanco dengan sorot mata sendu.

"Ada orang yang memberitahukan padaku, dia salah seorang pemetik buah yang bekerja pada kita, dia menyarankan supaya aku pergi ke ibukota untuk mencari pengusaha estate", sahut Pamela dengan suara lembutnya.

"Tapi kita tidak mengenalnya bahkan alamat pengusaha estate itu tinggal di ibukota, kita berdua tidak tahu dimana dia tinggal, Pamela", kata Blanco.

"Pengusaha estate itu sangat terkenal di ibukota bahkan semua mengenalnya siapa dia, kabarnya hanya dengan bertanya saja tentang dia maka semua orang akan memberitahukan dimana dia tinggal, sayang", sahut Pamela.

"Itu mustahil, kita tidak bisa membiarkan orang lain menipu kita lagi, jangan berharap berlebihan tentang dia, Pamela", kata Blanco lalu memalingkan muka kepada lahan kebun Luhan di bawah bungalow mewahnya.

Pamela menggenggam erat-erat tangan Blanco sembari tersenyum.

"Apa salahnya jika kita mencobanya, bukankah lebih baik mengantisipasi masalah sekarang dengan mencoba sesuatu yang mungkin baik untuk kita semua, Blanco sayang", kata Pamela bersabar.

Blanco tertunduk diam namun dia tidak menolak pendapat istrinya, Pamela untuk mencoba saran baik itu.

Kemungkinan saja, mereka akan mendapatkan solusi dari permasalahan yang sedang mereka hadapi saat ini ketika mereka mendatangi pengusaha estate di ibukota nantinya.

Pamela kembali membujuk Blanco agar suaminya itu mau datang ke ibukota, mencari sang pengusaha estate itu disana.

"Mari kita mencobanya, mungkin saja kita akan menemukan sesuatu yang memudahkan kita untuk mengatasi krisis ekonomi ini, sayangku", ucap Pamela.

"Baiklah, kita akan pergi ke ibukota dan menemui sang pengusaha itu, siapa tahu dia mau membantu kita", sahut Blanco mencoba tersenyum meski terpaksa.

Pamela bernafas lega karena Blanco mau mendengarkan sarannya untuk menemui pengusaha estate di ibukota yang kabarnya sangat terkenal.

"Aku akan mempersiapkan keperluan kita selama perjalanan ke ibukota, dan kuharap kita akan menemukan solusi dari masalah kita ini secepatnya", kata Pamela.

"Semoga saja urusan cepat teratasi...", sahut Blanco yang masih memandang jauh ke arah tanah perkebunan Luhan.

"Semoga saja apa yang kita harapkan segera teratasi dan kita dapat memanen buah dari kebun", ucap Pamela.

"Yah, aku berharap sama denganmu, Pamela", sahut Blanco dengan pandangan murung.

"Kita juga tidak bisa menunggu lama untuk panen sebab buah harus segera dipetik dari pohonnya sebelum buah-buah itu membusuk yang menyebabkan kita gagal panen", lanjut Pamela.

Pamela beranjak berdiri dari tempatnya duduk di beranda bungalow lalu melangkah ke arah pintu masuk.

"Akan sangat disayangkan jika hal itu sampai terjadi pada perkebunan meski dana keuangan tidak ada namun setidaknya kita masih dapat menyelamatkan hasil panen dan tidak membiarkan kerugian semakin luas dampaknya pada kita, sayangku", ucap Pamela sambil tersenyum simpul.

Blanco hanya duduk terdiam sembari termenung tanpa bereaksi terhadap ucapan istrinya, Pamela.

Pamela melangkah masuk ke dalam bungalow yang menjadi tempat tinggalnya sehari-hari selama dia dan Blanco berada di tanah perkebunan Luhan.

"Ayo, sayang ! Cepatlah bersiap-siap ! Kita akan berangkat hari ini !" ucap Pamela dari dalam bungalow.

"Ya, baiklah, sayangku...", sahut Blanco sambil tergesa-gesa bangun dari tempatnya duduk dan berjalan masuk ke bungalow miliknya.

Bab 2 Menuju Ibukota

Mobil crossover warna metalik melaju kencang, menembus sinar terik matahari di siang itu.

Perjalanan menuju ibukota terasa cepat sebab sopir melajukan mobil kencang seakan hendak memburu waktu tiba.

Blanco duduk bersandar di dekat kursi sopir dengan raut wajah murung sedangkan Pamela, istrinya duduk di kursi penumpang bersama seorang gadis berparas cantik.

Ada empat orang di dalam mobil crossover menuju ke ibukota.

"Amrita, jangan lupa bersikaplah sopan selagi kita menemui pengusaha estate itu, demi masa depan tanah perkebunan Luhan cobalah mengalah", kata Pamela.

"Ya, ibu...", sahut Amrita.

"Hanya satu-satunya cara kita untuk menyelamatkan perkebunan Luhan, tidak ada jalan lainnya selain kita harus menemui pengusaha estate itu, uang kita sudah berkurang jika kita tidak segera bertindak maka kita akan kehilangan tanah perkebunan", kata Pamela.

"Aku mengerti, ibu", ucap Amrita.

Pamela menghela nafas panjang sedangkan pandangannya murung.

"Seharusnya ayahmu tidak terlalu mempercayai rekan dekatnya dan sekarang semua sudah terlambat karena uang kita dibawa lari olehnya", kata Pamela.

"Siapa dia ?" tanya Amrita.

"Paman Beldiq, dia telah membawa kabur uang yang semestinya akan digunakan buat pengelolaan tanah perkebunan Luhan karena kita akan panen", sahut Pamela.

"Kemana dia ?" tanya Amrita.

"Ayahmu sudah mencarinya kemana-mana akan tetapi tak satupun tempat yang berhasil dia temui akan keberadaan paman Beldiq, dia menghilang bagaikan ditelan bumi", sahut Pamela.

"Dia menipu ayah", kata Amrita.

"Yah, benar...", sahut Pamela sembari mendesah pelan.

"Dan siapa pengusaha estate itu ?" tanya Amrita. "Apa kita mengenalnya ?" sambungnya.

"Kita tidak mengenalnya sama sekali bahkan siapa dia dan siapa namanya pun kami juga belum tahu", sahut Pamela.

"Lalu kenapa kita menemui orang asing yang tidak kita kenali, lebih baik kita menemui saudara daripada orang lain, bukannya tanah perkebunan Luhan adalah tanggung jawab kita semua", ucap Amrita.

Pamela meraih tangan Amrita lalu menepuknya pelan.

"Tanah perkebunan Luhan telah diserahkan kepada ayahmu sebagai penerus generasi ketiga, hal yang tidak mungkin untuk ayahmu lakukan dengan meminta bantuan kepada saudara sebab perkebunan Luhan merupakan tanggung jawab ayahmu", kata Pamela menerangkan.

"Tapi mereka juga menikmati hasil jerih payah ayah selama ini", sahut Amrita.

"Yah, itu benar, hanya saja kita harus bisa menempatkan dimana posisi kita sebagai keluarga, anggaplah kita semestinya tahu diri", kata Pamela.

"Rasanya tidak adil...", sahut Amrita seraya memalingkan muka ke arah jendela mobil yang membawanya ke ibukota.

Terdengar suara dari arah depan mobil, Blanco berkata dari kursi depan.

"Pamela kita sudah sampai di ibukota, kemana kita harus pergi sekarang ?" tanya Blanco.

"Kita berhenti di kedai kue Trifle !" sahut Pamela seraya menunjuk ke depan.

Pamela menengok ke depan dari tempatnya duduk di belakang.

"Katanya toko kue itu berada di dekat alun-alun ibukota, hanya itulah informasinya", lanjutnya lagi.

"Alun-alun ibukota ?!" kata Blanco.

Blanco menoleh ke arah sopir yang sedari tadi sibuk menyetir mobil crossover miliknya.

"Apa kau tahu dimana letak alun-alun itu ?" tanya Blanco.

"Saya tahu tempat itu, maksud saya toko kue Trifle karena setiap panen selalu mengirim pesanan buah kesana", sahut sopir.

"Astaga, rupanya mereka adalah salah satu pelanggan kita !" seru Blanco terkejut.

"Benar, toko kue itu sudah lama menjadi pelanggan kita, mereka selalu memesan buah segar dari tanah perkebunan Luhan selama lima tahun ini bahkan saya sendiri yang mengantar pesanan mereka", ucap sopir.

"Ya, Tuhan ! Aku baru mengetahuinya !" kata Blanco takjub.

Sopir hanya tertawa sembari terus melajukan mobil crossover melewati jalan beraspal menuju alun-alun.

"Pamela, semua menjadi titik terang buat kita, berkat informasi pekerja itu, kita menemukan tempat tujuan di ibukota", kata Blanco.

"Semoga saja akan ada pertolongan bagi kita semua, sayangku !" sahut Pamela sembari tersenyum lega.

"Berdoalah, sayang ! Semoga perjalanan kita kali ini tidak akan sia-sia !" kata Blanco yang mulai terlihat senang.

Mobil crossover terus melaju cepat menuju ke alun-alun ibukota, mencari toko kue trifle yang diinformasikan itu.

Sebuah pemandangan indah langsung menyambut kedatangan mereka berempat di dalam mobil crossover warna metalik ketika mobil menuju alun-alun ibukota.

"Lihat disana !" kata Pamela sembari menunjuk lurus ke arah kaca mobil.

Terpampang sebuah papan bergambar trifle berukuran besar di atas sebuah bangunan klasik.

Hanya ada satu toko trifle di area alun-alun sehingga tidak perlu mencari-cari kemana lagi, toko yang dimaksudkan.

"Rupanya hanya ada satu toko kue yang khusus menjual trifle di sini selain itu tidak ada toko lainnya", kata Blanco.

"Ya, sepertinya begitu", sahut Pamela.

"Kita berhenti di depan toko saja daripada mobil harus memutar arah untuk parkir", kata Blanco seraya turun dari dalam mobil.

"Ya, baiklah, kurasa itu sebuah ide bagus", sahut Pamela lalu turun menyusul Blanco yang sudah berdiri di depan toko.

Pamela segera meminta pada Amrita untuk turun bersama mereka dan gadis cantik itu mematuhi perintah ibunya ikut turun dari dalam mobil.

Ketiganya langsung berjalan ke arah toko kue trifle sesuai informasi yang mereka terima dari salah seorang pekerja kebun Luhan, untuk menemukan keberadaan pengusaha estate maka mereka bisa bertanya pada orang yang ada di toko kue trifle.

Pamela menyapa ramah kepada seorang perempuan yang ada di belakang meja etalase toko kue.

"Permisi...", sapanya ramah sambil melambaikan tangan kepada seorang perempuan di dalam toko kue trifle.

"Ya...", sahut perempuan di toko kue trifle.

"Boleh bertanya sebentar, maaf jika mengganggu waktu anda disini", kata Pamela seraya tersenyum ramah.

"Ya, silahkan !" sahut perempuan di dalam toko kue trifle.

"Mmm..., saya hendak menanyakan perihal pengusaha estate yang katanya terkenal di ibukota ini, dimanakah saya dapat menjumpainya disini ?" tanya Pamela.

"Pengusaha estate ?!" kata perempuan itu agak tertegun.

"Ya, benar, katanya pengusaha estate itu sangat terkenal di ibukota, hanya dengan menanyakannya kepada orang disini maka kami dapat menemukan pengusaha itu", ucap Pamela.

"Jika pengusaha estate yang ada di ibukota ini, memang hanya ada satu orang dan dia memang terkenal tapi dia sangat misterius, tidak suka bertemu orang lain", kata perempuan itu.

"Kalau boleh tahu dimana kami dapat menemukan pengusaha estate itu ?" tanya Pamela.

"Dia tinggal di Asyer Estate, lumayan dekat dari alun-alun sini sekitar dua puluh menit maka sampai disana", sahut perempuan di toko kue memberitahukan lokasi kediaman sang pengusaha itu.

"Asyer Estate ? Dimana itu ?" tanya Pamela.

"Akan ada papan nama yang menyebutkan lokasi rumah sang pengusaha estate", sahut perempuan di toko kue.

"Apa namanya ?" tanya Pamela.

"Ya, Asyer Estate, ada tulisan di papan itu yang terpasang di dekat gerbang utama kediaman pengusaha estate dan dia satu-satunya pengusaha terkenal di ibukota", sahut perempuan di toko kue trifle.

"Terimakasih atas informasinya, kami akan pergi kesana, dan tolong bungkuskan sekotak trifle untukku", kata Pamela seraya menyerahkan lembaran uang kertas kepada perempuan di toko kue.

"Baiklah, aku akan membungkuskan sekotak kue trifle untukmu, nyonya", sahut penjual toko seraya memasukkan lima kue trifle ke dalam kotak kue lalu memberikannya kepada Pamela Blanco untuk dibawa pergi.

Pamela segera berpamitan pergi dari toko kue trifle bersama Blanco dan Amrita kembali ke mobil crossover yang menunggu mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke kediaman sang pengusaha estate di Asyer Estate.

Bab 3 Asyer Estate

Asyer Estate...

Terlihat sebuah papan nama berukuran besar di samping gerbang utama yang menempel pada tembok berwarna putih.

Sebuah kediaman elit dengan dinding-dindingnya yang menjulang tinggi mengelilingi Asyer Estate tampak kokoh seperti benteng.

Mobil crossover metalik milik Blanco bergerak pelan ketika kendaraan itu tiba di depan gerbang Asyer Estate.

Sesaat mobil berhenti tepat di depan gerbang masuk, tidak ada pengawal yang berjaga diluar Asyer Estate, hanya ada tembok yang dirambati oleh tanaman hijau diseluruh dindingnya jika nampak dari luar.

"Apakah kita akan turun untuk menanyakan cara kita masuk ke Asyer Estate ?" tanya Pamela seraya melongok dari kaca mobil.

"Aku juga tidak tahu bagaimana tepatnya kita masuk kesana, tapi sebaiknya kita turun dan bertanya pada orang disekitar sini", sahut Blanco.

Pamela segera menoleh ke arah putrinya yang bernama Amrita lalu berkata padanya.

"Amrita, tolong kau turun dan tanyakan pada orang yang ada disekitar sini, mungkin saja kita akan mendapatkan informasi tentang Asyer Estate ini", ucapnya lembut.

Amrita hanya mengangguk pelan seraya menjawab.

"Baik, ibu, aku akan turun dan menanyakan hal ini", jawabnya kemudian membuka pintu mobil lalu turun

Amrita berjalan menjauh dari mobil metalik yang dia naiki bersama kedua orang tuanya, dia mulai mencari orang disekitar Asyer Estate.

Namun lokasi Asyer Estate sangatlah sepi, hampir jarang ditemukan bangunan rumah lainnya disekitar Asyer Estate karena setiap tempat tinggal dipisahkan oleh area tanah luas mirip lahan perkebunan.

Amrita terlihat kebingungan sebab dia tidak menemukan siapapun juga disekitar area Asyer Estate, dia memutuskan kembali ke mobil untuk memberitahukan masalah ini kepada kedua orang tuanya.

"Sebaiknya aku kembali ke mobil daripada hanya berputar-putar tak jelas diluar sini, lebih baik aku ke mobil", kata Amrita.

Amrita mengedarkan pandangannya sekali lagi ke arah sekitar area Asyer Estate yang sepi, memastikan tak ada satupun orang disana.

Gadis cantik itu memutuskan kembali ke mobil dengan berlari ke arah mobil crossover yang terparkir di dekat gerbang utama Asyer Estate.

Tiba-tiba...

"Tiiin... Tiiin... Tiiiin... !!!"

Terdengar suara bunyi klakson dari arah mobil mewah berwarna cokelat tua yang melintas ke arah Amrita Blanco saat dia berlari cepat.

Amrita tersentak kaget ketika dia melihat sebuah mobil datang ke arahnya dan dia langsung berhenti berlari sembari menyilangkan kedua tangannya ke depan wajahnya.

Ciiiiitttt...

Mobil mewah itu langsung berhenti mendadak, tepat di hadapan Amrita Blanco.

Amrita gemetaran saat dia mengetahui mobil itu berhenti bergerak dan urung menabrak dirinya.

Suasana berubah hening seketika itu juga kemudian Amrita langsung jatuh lemas.

"Amritaaaa... !!!" teriak Pamela dari arah mobil lalu turun seraya berlari cepat ke arah Amrita, putrinya.

Pamela panik saat dia melihat Amrita jatuh lemas serta terbaring di jalan beraspal setelah mobil mewah berhenti tepat di depan Amrita dan nyaris menabrak putrinya itu.

"Amritaaaaa... !!!" teriak Pamela ketakutan.

Pamela membantu Amrita agar terbangun.

"Apa kau tidak apa-apa, Amrita ?" tanya Pamela dengan tangan bergetar.

"Umm..., aku hanya terkejut saja, ibu...", sahut Amrita lalu beranjak duduk.

"Untunglah kau tidak tertabrak mobil itu", kata Pamela seraya memeriksa keadaan Amrita.

"Ya...", sahut Amrita sembari memegangi kepalanya yang terasa pusing akibat kaget oleh datangnya mobil secara tiba-tiba.

"Kau tidak terluka kan, nak", kata Pamela cemas.

"Sepertinya aku tidak terluka, hanya pening, ibu", sahut Amrita.

"Mari kita segera pergi dari sini dan kembali pulang !" kata Pamela.

"Tapi ibu..., kita belum bertemu sang pengusaha estate itu di Asyer Estate, kita tidak mungkin pulang tanpa membawa hasil untuk perkebunan Luhan", sahut Amrita.

"Kita akan cari solusi lainnya untuk permasalahan tanah perkebunan Luhan, dan sekarang lebih baik kita pulang saja, nak", ucap Pamela.

Pamela membantu Amrita untuk berdiri, pada saat mereka sibuk berbicara, terdengar seseorang menyapa dengan suara parau dari arah mobil mewah.

"Apa kau baik-baik saja ?" tanyanya.

Sontak suara parau itu menyentakkan Amrita dan Pamela sehingga mereka teralihkan perhatian mereka kepada orang itu.

"Ya, aku...", ucapan Amrita terhenti saat dia menoleh ke arah orang asing.

Tampak seorang pria dewasa dengan wajah tertutup oleh kain berwarna hitam dan hanya menyisakan kedua mata diantara pelapis kain sedang berdiri tegak di hadapannya.

Penampilan pria asing itu dinilai oleh Amrita tidaklah wajar, terlihat aneh dan agak mengerikan.

"Maaf, mobilku tidak sengaja hampir menabrakmu, dan kau tidak terluka", kata orang asing itu penuh perhatian.

"Ya..., aku baik-baik saja... ?!" sahut Amrita tertegun.

"Jika kau tidak terluka maka aku akan pergi dan semoga harimu menyenangkan, permisi", pamit orang itu.

"Tu-tunggu !" panggil Pamela menahan kepergian pria asing itu.

Pria itu memutar badannya, menghadap ke arah Pamela dan Amrita.

"Ya, ada apa ?" tanyanya.

"Kami mau menanyakan tentang pengusaha estate yang tinggal di Asyer Estate, bagaimana caranya kami dapat menemuinya di kediamannya", sahut Pamela.

Pria asing terdiam sejenak lalu melirik tajam ke arah Amrita yang berdiri gemetaran.

"Aku akan membantumu menemui sang pengusaha estate itu kalau kalian bersedia ikut bersamaku", ucap pria asing.

"Apakah kau mengenalinya ?" tanya Pamela sangat antusias.

"Tidak, kami tidak saling kenal, hanya pernah bertemu di pesta", sahut pria itu.

"Kalau begitu kami berkenan ikut denganmu dan tolonglah pertemukan kami dengan pengusaha estate itu", kata Pamela berharap.

"Boleh, aku akan mengajak kalian menemuinya", sahut pria asing.

"Terimakasih...", kata Pamela.

Pamela meraih tangan pria asing namun pria itu langsung menepis tangan Pamela cepat.

"Maaf..., aku phobia disentuh...", ucap pria itu.

"Oh, maafkan saya, tolong maafkan ketidaktahuan saya ini dan saya harap kau tidak marah karenanya", kata Pamela terkejut kaget.

"Tidak masalah...", sahut pria asing sembari membuka pintu mobilnya.

"Apa kau akan bersedia mengantarkan kami, menemui pengusaha estate itu ?" tanya Pamela.

"Ya, silahkan naik ke mobilku", sahut pria asing sembari masuk ke dalam mobil mewahnya.

"Ta-ttapi aku bersama suamiku dan kami membawa mobil sendiri, bagaimana jika putriku saja yang ikut di mobilmu sedangkan aku akan mengikuti mobilmu bersama suamiku", kata Pamela mencoba menjelaskan.

Pria asing lantas melirik tajam ke arah Amrita yang sedari terdiam membeku.

"Baiklah, biarkan putrimu ikut bersamaku dalam satu mobil dan kau beserta suamimu naik mobil lain", sahut pria asing lalu menutup pintu mobilnya seraya menurunkan atap mobilnya agar Amrita dapat masuk bersamanya ke dalam mobil.

"Ayo, Amrita ! Naiklah bersama dia ! Hanya ini satu-satunya kesempatan kita untuk bertemu dengan pengusaha estate itu, nak !" kata Pamela.

Pamela mendorong tubuh Amrita agar maju ke depan sedangkan dia segera pergi kembali ke mobilnya.

Tampak Amrita ragu-ragu untuk naik bersama pria asing dalam satu mobil, dia melihat dengan sorot mata ngeri.

Amrita bergidik pelan ketika pandangannya beradu lurus dengan pandangan pria asing yang sejak tadi mengawasinya dari dalam mobil mewahnya.

"Apa kau akan diam disana sendirian ?" tanya pria itu.

"Eh, tidak, aku akan naik bersamamu", sahut Amrita panik.

''Kenapa masih diam disana ?" tanya pria asing.

"Ya, ba-baik...", sahut Amrita.

"Cepatlah... Karena waktuku tidak banyak, masih ada urusan pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini, nona !" kata pria itu lalu menghidupkan mesin mobilnya.

Brrrmmm...

Amrita segera berjalan tergesa-gesa, mendekati mobil mewah itu lalu masuk ke dalam mobil dan duduk di samping pria asing yang sedang memegang setir mobil.

Mobil mewah berwarna coklat tua itu lalu bergerak pelan ke arah Asyer Estate, menuju kediaman sang pengusaha estate yang terkenal di ibukota.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!