NovelToon NovelToon

Mengejar Cinta, Suamiku

bab 1

Adzan Maghrib berkumandang, seluruh penghuni pondok pesantren Al-Aziziyah, bergegas menuju ke sebuah masjid yang memang ada di kawasan pondok pesantren besar itu.

Ya, pondok pesantren Al-Aziziyah tergolong pondok pesantren yang sangat besar di kota itu, bahkan luasnya mencapai kira-kira 1600 hektar...

Seorang kyai bernama Al-Ghazali, pemimpin pondok pesantren itu. Sebelumnya pondok pesantren itu kecil, dan belum seluas ini, tapi saat di tangan kyai Al-Ghazali, pondok pesantren itu mengembang pesat, bahkan terkenal  sampai di luar kota juga.

Banyak yang datang dari luar kota untuk mencari ilmu di pondok pesantren itu.

Setelah melakukan kajian malam ini, Gus Fauzan anak pertama dari kyai Al-Ghazali itu langsung menarik dirinya menuju ke ndalem, tempat yang ada di tengah-tengah bangunan itu. Tempat dimana rumah pemilik sang pondok pesantren.

Gus Fauzan yang memang baru dua hari ini pulang dari Kairo, ya, dirinya menempuh pendidikannya di sana. Belajar lebih banyak lagi tentang ilmu agama, dan sampai beberapa tahun kemudian, Gus Fauzan kembali ke Indonesia dan kini dirinya telah begerlar seorang Gus. Dan dirinya lah yang akan meneruskan pondok pesantren milik sang Abi.

"Zan, sini dulu duduk, ada hal yang ingin Abi dan ummi katakan denganmu." Seru sang Abi, memanggil anaknya itu,

Gus Fauzan menurut, duduk di sofa yang saling berhadapan dengan Abi dan umminya.

"Ya, ada apa, ummi, Abi?" Tanya Gus Fauzan, matanya menatap lekat kedua orangtuanya itu.

Sang Abi tersenyum, menghela nafasnya perlahan. "Jadi begini Fauzan, anakku. Abi dan ummi ingin menyampaikan sesuatu,  karena kamu sudah selesai menempuh pendidikan kamu, Abi dan ummi ingin menikahkan kamu dengan anak sahabat Abi."

Deg

"Apa?!" Gus Fauzan yang  bergamis putih dan bersorban putih itu terkejut saat mendengar apa yang baru saja terlontar dari mulut sang Abi.

Kepala Gus Fauzan langsung menggeleng kencang. "Nggak Abi. Fauzan tidak mau" ucap Gus Fauzan, nada suaranya pelan dan tidak membentak. Suatu ajaran yang selalu di terapkan oleh kedua orangtuanya.

"Kenapa tidak mau? Dia gadis yang baik. Dia dari kalangan baik-baik. Walaupun dia tidak mondok di pesantren, tapi Abi sangat mengenal gadis itu." Ucap kyai Al-Ghazali.

Gus Fauzan menghela nafasnya kasar, menautkan jari jemarinya, sungguh dirinya tidak mungkin mengatakan jika sudah memiliki wanita yang di cintai. Pasti Abi dan ummi-nya akan marah besar. Apa lagi saat keduanya tau kalau selama ini bahkan Gus Fauzan sering berkomunikasi.

"Fauzan, jawab nak. Ummi juga sangat mengenal gadis ini. Dia gadis yang sangat baik. Bahkan, beberapa kali ummi datang melihat gadis ini, dia sangat lemah lembut. Berbicaranya saja, Masya Allah, tertata sangat rapi. Pak Ahmad sangat pandai mendidik anak-anaknya." Ucap ummi Sekar.

Gus Fauzan menggelengkan kepalanya. "Maaf, Abi, ummi. Tapi Fauzan tetap tidak bisa."

"Kenapa? Ada suatu hal yang membuatmu tidak mau menerima perjodohan ini?" Tanya kyai Al-Ghazali menatap lekat wajah anaknya.

Gus Fauzan menipiskan bibirnya. "Fauzan sudah jatuh hati pada gadis lain, Abi. Bahkan sudah lama, semenjak Fauzan sekolah SMA dulu."

Kini, giliran ummi dan Abi yang terkejut mendengar itu.

"Astaghfirullah nak, kamu berpacaran dengan gadis itu?" Tanya ummi syok.

Gus Fauzan menggeleng kencang. "Tidak, ummi. Fauzan tidak pacaran, Fauzan hanya memiliki rasa saja. Dan dia juga sama Abi, ummi. Dia sama memiliki perasaan dengan Fauzan. Tapi kami tidak mau pacaran, karena kami tau hal itu dosa besar. Dia juga anak seorang kyai di sebuah pondok pesantren," ucap Fauzan menjelaskan.

"Tapi, Zan. Kami sudah menjodohkan kamu dengan gadis anak sahabat Abi."

"Bi, Fauzan mohon. Fauzan nggak mau menikah dengan jodoh pilihan Abi. Fauzan punya pilihan sendiri." Ucap Fauzan memohon.

Kyai Al-Ghazali menghela nafasnya berat, raut  kecewa jelas terpatri di wajahnya, sungguh biar bagaimanapun, dirinya sudah membuat perjanjian dengan sang sahabat, tidak mungkin kayi Al-Ghazali mengingkarinya.

"Kalau begitu, lamar gadis itu, dan menikahlah kalian, karena perasaan kalian yang saling menyukai akan membuat hal-hal yang tidak di inginkan terjadi." Ucap Abi-nya, membuat Gus Fauzan melotot.

"Tapi, Abi..."

"Tidak ada tapi-tapian, jika dia tidak mau menikah dengan kamu, maka kamu akan tetap Abi jodohkan dengan anak sahabat Abi."

Entah mengapa kyai Al-Ghazali sangat yakin, gadis yang di sukai oleh putranya itu tak akan mau di ajak menikah.

"Abi, Fauzan belum siap menikah, Fauzan juga baru selesai menempuh pendidikan Fauzan. Fauzan juga baru membuka toko buku, belum besar Abi." Ucap Fauzan, dirinya memang baru membuka sebuah toko buku tidak jauh dari pondok pesantren ini. Kecintaannya membaca buku membuat Gus Fauzan membuka toko buku.

"Abi tidak peduli." Kali ini kyai Al-Ghazali berucap tegas. "Ummi juga butuh bantuan untuk mengurus santriwati perempuan. Dan salah satu caranya hanya kamu menikah. Sesuai apa yang Abi katakan, Zan. Jika dia tidak mau, maka kamu harus menikah dengan pilihan Abi." Setelah mengatakan itu kyai Al-Ghazali dan ummi Sekar pergi dari sana, meninggalkan Gus Fauzan yang meremas rambutnya.

*

*

Keesokan harinya...

Gus Fauzan mengirimi pesan Arfira untuk mengajaknya bertemu. Ya, memang keduanya sering berkirim pesan, walaupun Gus Fauzan ada di Kairo, tapi dirinya tetap saling berkomunikasi dengan Arfira.

"Ketemuan di kafe lebih bagus."

"Boleh. Tapi nanti ya, aku masih ada kerjaan sedikit lagi ini" sahut Arfira di seberang telpon. Arfira juga tau kalau pria itu sudah pulang, karena Gus Fauzan yang memberitahunya. 

"Iya. Nanti kamu kasih tau saja kafe yang mana"

"Oke. Aku tutup dulu ya. Assalamualaikum"

"Waalaikum salam"

Gus Fauzan menghela nafasnya kasar, menatap ponsel yang panggilannya sudah mata itu, dan di layarnya sana ada foto Arfira yang tersenyum manis sedang memegang sebuah Al-Qur'an.

"Saya mencintai kamu, Fira. Saya tidak mungkin bisa menikah dengan wanita lain," monolog Gus Fauzan.

Beberapa menit kemudian, sebuah pesan masuk, dan itu jelas tentu dari Arfira. Gus Fauzan membukanya, dan di sana sudah tertera nama kafe yang akan mereka datangi.

Gus Fauzan langsung bergegas menuju ke kafe tersebut.

Gus Fauzan mengedarkan pandangannya saat sudah sampai dan mencari keberadaan Arfira. Dirinya melihat gadis berhijab merah tengah duduk di sebuah kursi yang ada di dekat sebuah jendela besar.

Gus Fauzan langsung memacukan langkahnya menghampiri, menarik kursi yang ada di depan Arfira lalu duduk di sana.

Sesaat keduanya sama-sama diam, menyelami debar jantung yang sama-sama berpacu cepat. Ini pertemuan pertama mereka setelah sekian tahun lamanya mereka tak bertemu, dan perasaan cinta itu masih sama dan utuh. Malah rindu ada di antara keduanya.

Namun, mereka sama-sama menahan rasa rindu yang bergejolak hebat itu.

Gus Fauzan berdekhem, menghilangkan rasa canggung di antara keduanya, lalu dirinya memilih bertanya tentang kabar gadis itu.

Keduanya larut dalam perbincangan singkat itu, dan kini Gus Fauzan langsung mengatakan hal inti dari ajakan pertemuan ini.

"Fir, bagaimana kalau kita menikah?" Ucap Gus Fauzan lembut.

Arfira melotot, tak percaya jika dirinya di lamar hari ini. Dirinya bahagia dan senang luar biasa, namun dirinya tidak bisa menerima lamaran itu.

"Maaf, Fauzan aku belum bisa." Sahut Arfira.

"Kenapa?" Tanya Gus Fauzan syok karena lamarannya di tolak.

"Aku masih mau meraih cita-citaku."

"Fir, kamu masih bisa meneruskan cita-cita kamu. Aku janji, aku bakalan kasih paham sama kedua orang tua aku."

Arfira menggelengkan kepalanya. "Maafkan aku sekali lagi. Aku tidak bisa Fauzan. Mungkin jika kamu meminta aku beberapa tahun lagi, aku siap. Tapi untuk sekarang aku belum siap, karena aku belum ingin berumah tangga."

Arfira tersenyum manis. "Datanglah padaku beberapa tahun lagi. Insyaallah aku siap. Eum, lebih tepatnya lima tahun lagi."

Setelah mengatakan itu, Arfira pamit pergi meninggalkan Gus Fauzan yang tampak frustasi.

"Bagaimana ini? Jika aku tak bisa menikahimu sekarang, Abi dan ummi akan menikahkanku dengan gadis lain." Monolog Gus Fauzan..

*

*

Gus Fauzan kembali ke pondok pesantren dengan perasaan hancur. Dirinya tidak menyangka jika Arfira akan menolak ajakan menikahnya. Padahal Gus Fauzan sudah berharap sekali jika Arfira mau di ajak menikah, dan dirinya akan terbebas dari perjodohan itu.

"Abi, apa tidak bisa menunggu lima tahun lagi?" Gus Fauzan bahkan menghampiri sang abi, dan memohon sekali lagi.

Kyai Al-Ghazali menghela nafasnya berat. "Abi sudah malu dengan sahabat Abi. Abi sendiri yang mengatakan perjodohan itu lebih dulu. Tapi, kamu..." Kyai Al-Ghazali tak bisa berkata-kata rasanya terlalu kecewa dengan anak satu-satunya itu. "Andai ada selain kamu, Abi tidak akan mengharapkan kamu, Zan!" Seru kyai Al-Ghazali.

Gus Fauzan menunduk, sambil memejamkan kedua bola matanya. Sesak, itu pasti ada. Apalagi Gus Fauzan sangat mencintai Arfira.

"Ahmad sakit kanker dan sudah stadium akhir. Dia sudah tidak bisa menahan keinginannya untuk menikahkan putrinya pada seseorang. Dia memang memiliki anak laki-laki yang biasa mewalikannya, tapi Ahmad ingin sendiri yang menikahkan anaknya."

Deg

Gus Fauzan terkejut mendengar perkataan dari sang Abi. Lidahnya keluh tak bisa berkata-kata.

"Fauzan. Andai adik kamu laki-laki sudah Abi suruh dia menikah dengan putrinya Ahmad." Kyai Al-Ghazali menghela nafasnya kasar. Sungguh melihat kondisi sahabatnya seperti itu, dirinya tak tega sama sekali. "Ahmad pernah mengatakan pada Abi, beliau tak setuju sebelumnya dengan perjodohan yang di buat ini, karena bagaimanapun setiap orang memiliki keinginan masing-masing. Mereka mempunyai pilihan. Tapi, Abi terus mendesaknya. Abi yakin, suatu saat nanti anak-anak Abi akan bahagia."

Gus Fauzan melengos, mana mungkin bahagia, saat pernikahan itu pasti di dasari oleh sebuah cinta, namun sang Abi malah menyangkal kenyataan itu.

"Allah maha mengetahui, Allah yang menggenggam takdir hamba-Nya, dia yang tau segalanya, Zan."

Gus Fauzan tidak menjawab, karena dirinya tidak mau melawan sang Abi lagi.

"Semua keputusan ada di tangan kamu, jika kamu masih menganggap aku Abi-mu. Maka, terimalah perjodohan ini."

Deg

bab 2

Dengan kemeja berwarna biru, serta celana bahan yang warna hitam, Gus Fauzan mematut dirinya di depan cermin, bola matanya yang hitam legam menusuk itu menatap dirinya sendiri. Gus Fauzan menghembuskan nafasnya kasar. Dirinya terpaksa menerima perjodohan ini karena tidak memiliki pilihan lain. Sang Abi terus mendesaknya. Kyai Al-Ghazali tak mau di tentang sama sekali. Dirinya tetap ingin menjodohkan anaknya dengan anak sahabatnya itu.

Tidakkah sang Abi memikirkan perasaan Gus  Fauzan, padahal Gus Fauzan sama sekali tidak  memiliki perasaan dengan gadis itu. Karena dirinya sudah mencintai gadis lain.

Rasanya sangat sulit menerima hal ini, namun Gus Fauzan bisa apa? Dirinya tak memiliki kekuasaan penuh untuk menolak sang Abi.

Ting

Ponselnya yang ada di atas nakas berdenting, Gus Fauzan langsung mengambil ponselnya dan melihat siapa yang mengirimkannya pesan.

Arfira

Deg

Jantung Gus Fauzan berdesir hebat melihat nama itu terpampang di ponselnya, lalu buru-buru membuka pesan itu.

Sebuah foto pemandangan alam yang sangat indah. Dan itu di Bali.

|Tiba-tiba aku harus di suruh ke Bali sama klien aku, nggak apa-apa kan? Dan untuk masalah tadi, aku beneran minta maaf. Tapi, tidak akan mengurangi rasa cinta aku sama kamu, Fauzan. Kita sudah sama-sama lama, tapi kita nggak punya hubungan apapun, aku nggak masalah. Toh haram juga berpacaran. Biarlah semuanya mengalir seperti air yang mengalir pada alurnya. Dan tunggu aku sampai lima tahun ke depan ya? Sampai aku sudah puas mencapai cita-citaku, dan saat itu kamu harus datang kepadaku, untuk melamarku|

Gus Fauzan memejamkan matanya dalam, dirinya tak bisa berkata-kata, bingung ingin mengatakan apa pada Arfira.

Apakah dirinya harus mengatakan yang sebenarnya? Dirinya sungguh tidak ingin kehilangan Arfira.

"Fauzan"

Suara panggilan itu membuat Gus Fauzan mengalihkan atensinya. Dirinya langsung menyimpan ponsel miliknya di dalam saku celananya, membalikkan tubuhnya dan berhadapan dengan ummi Sekar.

Ummi Sekar tersenyum, berjalan menghampiri anak laki-lakinya itu lalu menatap Gus Fauzan. "Anak ummi sudah besar. Dan sebentar lagi mau menikah." Ucap ummi Sekar, membuat Gus Fauzan menghela nafasnya kasar.

Ummi Sekar tau apa yang di rasakan oleh anaknya, namun ini sudah menjadi keputusan yang tidak sembarangan mereka ambil. "Fauzan, ummi tau kamu sudah mencintai gadis lain, tapi kamu harus menikah dengan orang lain yang sama sekali tidak kamu cintai."

"Ummi tau, dan tidak bisakah ummi membujuk Abi supaya membatalkan perjodohan ini? Fauzan tidak suka, ummi."

Ummi Sekar menghela nafasnya kasar. Menepuk-nepuk pelan pundak anaknya. "Abi mengambil keputusan ini punya alasan, Zan. Tidak semestinya hanya kepentingan Abi saja."

Gus Fauzan terkekeh tipis. "Ya, karena ingin membuat temannya yang punya penyakit kanker itu senang kan, ummi? Abi mau menyenangkan hati orang lain, tapi tidak dengan menyenangkan hati anaknya sendiri." Gus Fauzan menggeleng kecil, "aku nggak nyangka Abi kayak gini, malah aku di suruh milih yang mana lagi. Abi tau kelemahan aku!" Kata Gus Fauzan dengan hembusan nafas kasar, rasa kecewanya terlalu dalam, namun bagaimana lagi, dirinya tak bisa melawan kedua orang tuanya.

Ummi Sekar menatap sendu anaknya itu. "Nak, kamu taunya hanya sedikit saja tentang perjodohan ini, tapi kamu tidak tau hal yang lain. Dan, jika saja kamu tau, mungkin kamu yang akan bertekad menikahi gadis ini." Ucap ummi Sekar.

Alis Gus Fauzan bertaut mendengar itu. "Ummi, apa maksud ummi? Ummi–"

"Ayo pergi, sudah di tunggu," sela ummi Sekar dan langsung pergi meninggalkan Gus Fauzan yang masih memikirkan apa maksud dari perkataan ummi Sekar tadi. Sungguh dirinya tau kalau ummi Sekar menyimpan suatu hal.

Tapi apa?

*

*

Keluarga kyai Al-Ghazali tiba di kediaman milik Ahmad, kediaman rumah yang tampak sangat mewah tapi nuansa klasik ada di sana. Benar-benar indah, apalagi ada taman bunga yang ada di sepanjang jalanan yang mereka lewati.

Ahmad tersenyum, saat melihat kedatangan tamunya. Wajah pucatnya tampak jelas bahagia. Ahmad baru saja kembali dari rumah sakit, dirinya mendapatkan kabar dari Al-Ghazali tentang perjodohan itu. Dan tak menyangka jika anaknya dan anaknya Al-Ghazali setuju dengan perjodohan itu.

Sempat tak setuju, karena Ahmad tak mau memaksakan sebuah hubungan yang akan menjadi suatu bumerang, tapi dirinya bersyukur kala mendengar sendiri jika anaknya tak mempermasalahkan, terlebih Hanum juga tidak pernah menjalin ataupun berdekatan dengan seorang pemuda manapun.

Ahmad cukup bersyukur, anaknya memang tidak di masukan ke pondok pesantren, tapi sikap dan perilakunya sungguh sangat baik, dan bisa menjaga dirinya di tengah kemelut dunia fana ini.

"Assalamualaikum Ahmad" seru kyai Al-Ghazali menghampiri Ahmada dan langsung memeluk erat sahabatnya itu. Wajahnya tak sepucat saat dirinya lihat di rumah sakit tempo hari yang lalu.

"Waalaikum salam, terimakasih sudah datang."

Al-Ghazali terkekeh, mengurai pelukan itu, lalu merangkul sahabatnya itu. "Kenapa tidak pakai kursi roda? Kamu jangan banyak berjalan dulu."

Ahmada tersenyum. "Saya baik-baik saja, Al. Bahkan saya jauh lebih baik. Mari masuk, kita mengobrol di dalam, istri saya sudah membuat cemilan sederhana."

Al-Ghazali mengangguk, lalu mengajak keluarganya masuk ke dalam rumah besar itu.

Di sana mereka langsung di sambut oleh hidangan yang menggugah selera. Ahmad memang sengaja karena ini hal yang sangat membahagiakan bagi dirinya.

Dirinya sudah mengenal keluarga Al-Ghazali, jadi mereka tak perlu berkenalan lagi. Fokus Ahmad hanya pada Gus Fauzan yang akan menjadi menantunya.

Beberapa pertanyaan keluar dari Ahmad dan Gus Fauzan menjawabnya ala kadarnya, Gus Fauzan juga bersikap sopan pada keluarga  Ahmad, namun pembawaannya yang datar itu jelas terlihat.

"Jadi, kamu pernah menjadi asisten dosen kamu, sewaktu di Kairo?" Tanya Ahmad.

Gus Fauzan mengangguk singkat.

"Wah hebat sekali, kamu pintar sama seperti Abi kamu" kata Ahmad sambil terkekeh.

"Ah kamu bisa saja memujiku, Ahmad. Kamu lebih hebat sampai bisa membangun beberapa perusahaan."

Ahmad menggelengkan kepalanya. "Itu kerja keras semua karyawanku, aku hanya memimpin, mereka yang terkadang sampai lembur." Dan sikap Ahmad ini rendah hati, tidak sombong sama sekali. Bahkan Ahmad orang paling kaya di kota itu, namanya tersohor, namun Ahmad sama sekali tidak pernah mau menampakkan dirinya dan menampakkan jati dirinya, semuanya hanya di wakilkan oleh sang asisten saja.

Dirinya bahkan mengajarkan itu pada kedua anaknya.

"Kamu selalu begitu. Bahkan berprestasi tapi tidak pernah mau menampakkannya. Masya Allah, sungguh rendah hati sekali kamu, Ahmad."

Ahmad tak menjawab hanya tersenyum tipis saja, lalu tiba-tiba dirinya bercelatuk yang akan membuat obrolan tentang memuji dirinya itu tak di bahas lagi.

"Bunda, tolong bawa Hanum kemari" ucap Ahmad.

Istrinya yang bernama Ratna itu mengangguk, lalu segera menuju ke kamar anaknya.

Sampai beberapa menit kemudian, Ratna datang dengan Hanum dan juga Antika– istri dari anak laki-lakinya.

"Itu Hanum anak saya"

Deg

Semuanya menoleh, termasuk Gus Fauzan. Dan sesaat Hanum dan Gus Fauzan saling berpandangan, dan keduanya sama-sama terpaku di tempatnya. Hingga Hanum dan Gus Fauzan tersadar, keduanya melengos ke samping, sambil mengucapkan istighfar.

...

bab 3

Hanum Salsabiela, gadis berusia dua puluh empat tahun, dan baru saja selesai menempuh pendidikannya. Dirinya ingin menjadi seorang desainer terkenal, namun sayang ayahnya meminta Hanum untuk menikah. Dan karena Hanum tak mau membuat kecewa sang ayah, jadilah Hanum terpaksa menerima perjodohan itu.

Hanum bahkan tidak menampilkan wajah sedih, dirinya tidak mau membuat ayahnya kecewa.

Biarkan dirinya mengorbankan cita-cita dan perasaannya, dirinya yakin pilihan sang ayah pasti yang terbaik.

Hanum hanya pasrah dan berserah diri pada sang pencipta, semoga saja takdirnya indah, dan dirinya mendapatkan seorang pria yang menyayanginya.

Hanum juga belum pernah memiliki hubungan apapun dengan pria manapun. Bukannya tak laku dan tidak ada yang suka pada sosok Hanum, tapi Hanum saja yang memang tidak mau memiliki seorang pacar, atau menjalin hubungan dengan siapapun itu.

Sang ayah selalu menegaskan jika haram berpacaran, namun jika Hanum sudah memiliki ketertarikan pada lawan jenis, Hanum boleh mengatakannya, jika keduanya sama-sama saling memiliki perasaan, Ahmad akan menikahkan mereka. Begitu yang ayah Hanum katakan. .

Tapi, sekali lagi, Hanum tidak tertarik dengan pria manapun, bahkan banyak pria yang datang ingin melamar Hanum, namun Hanum menolaknya.

Hanum mematut dirinya di depan cermin, hari ini dirinya akan menerima perjodohan yang di buat oleh sang ayah. Bahkan, dirinya sudah melaksanakan shalat istikharah meminta petunjuk pada Allah, dan hasilnya entah kenapa hati Hanum tetap menerima perjodohan ini.

"Ya Allah, semoga ini menjadi kebahagiaan hamba. Jauhkan hamba dari hal yang buruk, dan jadikan pria yang menjadi suami hamba pria yang mencintaiku apa adanya" ucap Hanum.

"Hanum" suara lembut seseorang mengalihkan atensi Hanum, gadis cantik itu langsung menoleh ke arah belakang, dan di sana Antika kakak iparnya datang sambil tersenyum.

"Wah, adik mbak cantik banget hari ini."

"Emangnya Hanum sebelumnya nggak cantik ya mbak?" Hanum mengerucutkan ujung bibirnya,

Antika tergelak, lalu terkekeh kecil. Tangannya terulur mencubit pipi adik iparnya itu dengan gemas. Walaupun mereka iparan, tapi Hanum sangat dekat dengan Antika. Begitupun sebaliknya, Antika sudah menganggap Hanum seperti keluarganya sendiri.

"Kamu cantik, bahkan setiap hari cantik banget." Sahut Antika.

Hanum tersenyum, lalu berhamburan memeluk tubuh sang kakak. "Mbak, nanti kalau Hanum sudah menikah, mbak jangan lupakan Hanum ya,"

"Hei, seharusnya mbak yang ngomong begitu. Nanti kalau kamu sudah menikah, kamu lupa pula pulang, dan nggak ingat sama mbak lagi."

"His nggak ya, Hanum selalu ingat sama mbak."

"Awas kalau sampai nggak ingat, nanti mbak datang ke pondok pesantren, dan langsung jewer kamu." Kata Antika sambil terkekeh.

Hanum tersenyum, rasanya sangat bahagia bisa memiliki ipar sebaik Antika, dan Antika ini selalu menjadi tempat Hanum berbagi suka dan duka. Kalau Abang Hanum, dirinya tak mungkin curhat dengan sang Abang, karena abangnya sangat sibuk sekali.

"Sudah? Kalau sudah ayo ke bawah. Jangan banyak sekali rama kamu, cuman mau menikah saja banyak drama!" Sentak seseorang yang ada di ambang pintu sana.

Hanum melepaskan pelukan sang kakak, tangannya meremas kebaya yang di kenakan olehnya. Ya, walaupun hanya acara pertunangan saja, namun tetap Hanum di minta untuk mengenakan kebaya oleh Ahmad. Bahkan Hanum juga di rias.

"Bu..."

"Jangan sementang-mentang kamu anak terakhir kamu di manja ya. Kamu harus tau diri juga, kamu itu jangan manja. Contoh kakak kamu yang pekerja keras sampai dia bisa bangun satu perusahaan." Ucap Ratna ketus, bahkan matanya menatap judes Hanum.

"Bu, jangan seperti itu.. Hanum dia juga pekerja keras, dia juga pintar," seru Antika membela Hanum.

Ratna berdecih. "Darimana dia pintar, dia itu taunya hanya menghabiskan harta orang tua saja, apa tau dia cari duit!"

"Bu...."

"Mbak sudah..." Hanum menggelengkan kepalanya, meminta kakaknya itu tidak menjawab perkataan dari ibunya itu lagi.

"Saya harap, setelah ini sampai hari pernikahan kamu, jangan banyak tingkah kamu, apalagi sampai kamu kabur gara-gara kamu tidak menerima pasangan kamu ini. Awas saja kamu. Saar diri kamu, beruntung anaknya kyai Al mau menerima perjodohan ini, kalau tidak, mungkin kamu selamanya tidak akan menikah! Cih siapa yang mau menikah dengan gadis bodoh dan malas seperti kamu!" Ucap Ratna pedas.

Mata Hanum berkaca-kaca, siapa yang tidak sakit hati di katai  seperti demikian oleh ibunya sendiri, salah apa Hanum sampai ibunya sangat membenci dirinya. Sedangkan Antika sudah bersiap marah namun urung saat Hanum kembali menahannya.

"Sudah, mbak"

"Ibu harus di lawan, Num, biar ibu nggak semena-mena lagi. Apalagi sama kamu, mbak lihat ibu selalu bertingkah judes seperti ini." Kata Antika.

Hanum tak menjawabnya, dirinya juga tidak tau kenapa ibunya selalu bersikap demikian pada dirinya. Bahkan, sampai Hanum sebesar ini, ibunya belum pernah memperlakukan dirinya dengan baik. Sangat berbeda sekali saat dengan sang abang.

"Saya dengar ya apa yang kamu bilang?! Kamu mau mempengaruhi Hanum iya?! Dasar wanita tak tau diri, jangan campuri urusan orang lain. Urus saja sana urusan kamu itu, cari cara spaya kamu bisa cepat hamil. Kalau sampai kamu tidak bisa hamil juga, ku suuh Ardi cari perempuan lain." Kata Ratna

Antika menggeram marah, ingin sekali menyumpal mulut ibu mertuanya itu, namun dirinya sungguh tidak punya nyali, yang ada Antika kena omel Ardi nantinya, sebab ibunya itu sangat pandai sekali memutar balikkan fakta. Dan ibu mertuanya memang sedari awal tak menyukai Antika, bahkan dulu pernah membuat Ardi sampai akan menceraikan Antika. Beruntung Ahmad menasehati Ardi, dan membuat pria itu tak jadi menceraikan istrinya.

"Mbak, sudah, jangan." Ucap Hanum pelan. Sungguh dirinya tak mau membuat Antika terkena masalah hanya karena dirinya.

Antika menghela nafasnya kasar, mau tak mau tak menanggapi perkataan Ratna, walaupun dirinya geram sekali.

"Sudah saya tidak mau dengar apapun lagi, cepat, kita harus segera turun ke bawah. Dan ingat, Hanum, jangan sesekali kamu membuat malu kelurga kamu, apalagi saya." Peringat Ratna.

Hanum menganggukkan kepalanya patuh, lalu berjalan keluar dari kamarnya, dengan Antika yang ada di sisi kanannya.

Sedangkan Ratna ada di belakangnya, saat akan turun dari tangga, baru lah Ratna menyentak tangan Hanum, dan berada di sisi kanan anaknya itu.

"Bu.."

"Diam! Kamu pikir saya mau seperti ini? Kamu pikir saya mau pegang tangan kamu? Cckk, saya nggak sudih, tapi ini lebih bagus supaya terlihat baik di depan mereka semuanya. Terlebih ayah kamu." Kata Ratna.

Hanum Salsabiela rasanya ingin menangis saja, tak tau apa sebabnya ibunya yang di sayangi itu sangat membencinya sampai sebesar ini. Padahal Hanum sudah mengusahakan yang terbaik selama ini. Bahkan dirinya mendapatkan peringkat pertama selalu, tapi sang ibu sama sekali tidak pernah menampakkan keunggulannya itu. Ibunya hanya mencacinya saja setiap hari.

Ratna jelas melakukannya saat tak ada Ahmad dan juga Ardi. Kalau ada keduanya, pasti Ratna selalu menjadi ibu yang penuh kasih sayang pada Hanum.

"Kenapa lelet sekali kamu berjalan!" Sentak Ratna.

"Astaghfirullah Bu, Hanum pakai kebaya, ibu tau sendiri roknya dia seperti apa?" Celetuk Antika sambil mengelus dadanya.

"Halah alasan saja. Dasar lamban!"

Tetap saja ini bukan yang pertama hinaan itu di katakan, tapi tetap saja Hanum merasakan sakit hati. Dirinya juga punya perasaan.

Sesampainya di ruangan keluarga, semuanya menyambut kedatangan mereka. Dan Ratna sudah tersenyum manis pada keluarga besar kyai Al-Ghazali. Bahkan Ratna mengelus kepala anaknya yang tertutup hijab itu dengan sayang.

"Wah sepertinya Hanum menjadi anak kesayangan Bu Ratna dan pak Ahmad ya?" Celetuk salah satu saudara kyai Al-Ghazali.

"Oh jelas dong, dia anak kesayangan saya." Sahut Ratna yang membuat Antika rasanya ingin muntah.

Sedangkan Hanum hanya diam, sesekali matanya melirik pada pemuda yang tadi di kenalkan oleh ayahnya yang akan menjadi suaminya kelak.

Sungguh, pemuda yang sangat tampan. Bahkan entah kenapa jantung Hanum berdebar sangat kencang saat baru pertama kali melihatnya.

Apalagi saat tadi keduanya tadi tidak sengaja saling bertatapan.

Hanum sampai menggigit bibirnya dengan kencang, tak mempedulikan sang ibu lagi, tapi atensinya saat ini hanya pada Gus Fauzan.

"Ganteng ya" bisik Antika yang duduk di sebelah Hanum.

Hanum tersenyum malu-malu.

"Cey, cey, yang udah kesemsem sama pandangan pertama." Bisik lagi Antika, dirinya tau kalau adik iparnya itu pasti terpesona pada pemuda yang katanya calon suaminya itu.

"Mbak, ih diem, itu ayah lagi ngomong."

"Biarin, pipi kamu sudah merah itu."

Hanum tak bisa berkata-kata lagi, apa yang di katakan oleh sang kakak benar adanya, pipinya bahkan sudah memerah seperti tomat.

Dirinya bahkan sedari tadi mencuri pandang pada Gus Fauzan.

Sedangkan Gus Fauzan hanya sekali melihat saja, sama sekali tidak kembali melirik pada gadis yang akan menjadi calon istrinya nanti. Gus Fauzan sama sekali tidak peduli, cantik ya dririnya akui jika gadis itu memang sangat cantik, bahkan wajahnya lebih cantik daripada Arfira, namun tetap, hatinya sudah terpaut pada Arfira, dan kecantikan yang di miliki gadis itu tak akan membuat Gus Fauzan sama sekali berpaling.

Gus Fauzan mendesah, berharap pertemuan keluarga ini segera selesai, rasanya terlalu malas berlama-lama di sini,

"Ekhm, bagaimana jika kita langsungkan acaranya saja?" Ucap kyai Al-Ghazali.

Semuanya mengangguk, lalu terdiam mendengarkan apa yang akan di sampaikan oleh kyai Al-Ghazali.

"Jadi begini, hari ini keluarga kami datang kemari ingin melamar Hanum Salsabiela, anak Ahmad, anak saya yang bernama Fauzan Al-khairi bagaimana pak Ahmad? Apakah lamaran anak saya di terima?"

Ahmad menoleh ke arah Hanum, "Hanum? Kamu setuju?"

Hanum menganggukkan kepalanya malu-malu, dan itu di saksikan oleh semua orang termasuk Gus Fauzan.

Gus Fauzan menghela nafasnya kasar, padahal dirinya ingin perempuan yang di jodohkannya itu sama sekali tak mau dengannya, dan malah membatalkan perjodohan ini, tapi ini...

"Anak saya Hanum menerima lamaran anak kamu, Al."

Semuanya mengucapkan syukur, dan hanya Gus Fauzan saja yang diam dan tidak mengatakan apa-apa. Dirinya juga sama sekali tidak bersyukur karena ini bukan kemauannya.

"Alhamdulillah, Masya Allah. Dan saya sudah berencana, Ahmad. Bagaimana jika kita langsungkan saja akadnya? Kita tidak perlu bertunangan lagi, kita langsung menikahkan mereka, bukankah itu lebih baik?"

Deg

"Ha?!"

Hanum terbelalak, begitupun dengan Gus Fauzan yang juga terkejut dengan apa yang di ucapkan oleh kyai Al-Ghazali,

"Abi, apa tidak bisa–" Gus Fauzan langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat saat melihat tatapan datar dari sang Abi. Gus Fauzan mendesah, lalu memalingkan wajahnya sambil memendam perasaan kecewanya.

Rasanya pengen marah, pengen ngamuk dan menolak semua keputusan dari abi-nya, namun apa boleh buat, Gus Fauzan tidak bisa melakukan hal itu.

Jangan menghujat Gus Fauzan, karena nyatanya walaupun dirinya seorang Gus, tapi dirinya punya perasaan, dirinya bisa emosi juga. Dirinya manusia biasa, dan bisa juga marah.

Niat hati Gus Fauzan ingin mengundur pernikahan itu, namun dirinya malah harus terjebak secepat ini. Dirinya harus menikahi gadis yang sama sekali tidak di kenal olehnya itu saat sekarang ini juga.

Sang Abi benar-benar sangat keterlaluan.

"Sepertinya, Fauzan belum siap. Tidak apa-apa, Al. Kita berikan waktu pada mereka. Biarkan mereka bertunangan terlebih dahulu, baru setelah itu kita atur tanggal pernikahannya. Sepertinya mereka terlalu terkejut dengan keputusan tiba-tiba ini, Al." Ucap Ahmad yang melihat rauh wajah calon menantunya.

Al-Ghazali menghela nafasnya kasar, lalu melirik ke arah Gus Fauzan, Gus Fauzan yang di beri kode seperti itu tau arti tatapan dari sang Abi.

"Tidak, Ahmad. Anak saya tidak apa-apa. Dia selalu siap kok. Dia hanya terkejut saja, iyakan Fauzan?" Kyai Al-Ghazali menaap lekat wajah anaknya itu.

Gus Fauzan menghembuskan nafasnya kasar. Terpaksa kepalanya mengangguk. Paahal di dalam hatinya sudah kesal seali dengan keputusan yang di buat oleh abinya secara tiba-tiba seperti ini.

Ahmad tersenyum melihat itu, sungguh dirinya bisa bernafas lega jika seperti ini. Melepaskan anak gadisnya pada anaknya Kya Al-Ghazali, Ahma sangat percaya, jika anaknya akan bahagia, apalagi dirinya tau jika keluarga sahabatnya itu bisa menerima sang anak.

"Jadi, hari ini juga kita akan melangsungkan akad pernikahannya? Kalau masalah resepsinya, kita bisa bicarakan nanti." Kata Kyai Al-Ghazali.

Ahmad menoleh pada Hanum terlebih dahulu, "bagaimana, Hanum? Apa kamu setuju dengan apa yang sudah di putuskan oleh kyai Al-Ghazali? Kalian bisa saling mengenal ebih dekat lagi setelah kalian menikah. HUbungan kalian sudah halal dan tidak akan menimbulkan fitnah." Ucap  Ahmad.

Hanum menghela nafasnya kasar, matanya melirik ke arah sang calon suami lalu kembali menunduk. Dirinya seperti melihat wajah kesal dari calon suaminya itu.

"Maaf ayah, sebaiknya di tanyakan dulu pada mas Fauzan -nya."

Ahmad terkejut. "Fauzan sudah setuju."

"Coba ayah  tanyakan lagi, Hanum ingin mas Fauzan lebih yakin lagi." Ucap Hanum sambil meremas roknya. Sedangkan di sampingnya Bu Ratna sudah mencubit perut Hanum karena telah berbicara seperti ini.

"Fauzan, bagaimana? Apa kamu keberatan?" Tanya Ahmad.

Fauzan menghembuskan nafasnya kasar. "Saya tidak keberatan, pak. Saya tadi hanya terkejut saja, sesuai apa yang di katakan oleh abi saya tadi." Ucap Gus Fauzan.

"Kamu sudah mendengarnya bukan? Jadi sekarang ayah tanya sama kamu, bagaimana menurut kamu Hanum?" Tanya Ahmad.

Hanum menganggukkan kepalanya, "Hanum setuju ayah."

"Alhamdulillah"

"Dan jika Hanum sudah setuju, bagaimana kalau kita siang ini melangsungkan ijab kabulnya?"

"Ya terserah, itu jauh lebih baik."

Gus Fauzan yang mendengar itu langsung melengos, hatinya sungguh geram, berulangkali dirinya mengucapkan istighfar. Dirinya tak menyangka jika pernikahannya akan di laksanakan hari ini juga.

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!