Uhuk! Nada menatap darah yang ada ditangannya, dia merasa bahwa hidupnya akan berakhir di tangan orang yang sangat dia percaya dan cintai.
Suara pintu terbuka dan Nada langsung menatap kedua orang itu, dengan penuh permusuhan.
"Aku berjanji akan membalas semua, perbuatan kalian." Tekadnya, walau dia sendiri tidak yakin terdengar oleh mereka berdua.
"Lakukan saja jika kamu masih hidup," balas sang lelaki dengan senyum sinis.
Rowman, merangkul pinggang gadis yang di kenal oleh Nada. Dia menatap benci pada sepasang pengkhianat tersebut.
"Cih, kalian sama-sama pengkhianat memang cocok." Cibir Nada dengan suara lemah.
"Nada sayang, jangan banyak berbicara." Ujar gadis tersebut, tanpa ampun dia menginjak perut Nada membuat Nada kembali muntah darah.
"Ayo sayang, kita pergi biarkan tubuhnya membusuk di rumah susun kumuh ini." Kata Rowman.
Suara letusan terdengar membuat, Nada langsung memejamkan mata. Rowman, tersenyum sinis tidak ada lagi yang menghalangi dirinya.
"Selamat tinggal, sayang." Ejek Rowman.
"Sudah?"
"Sudah, kita bisa hidup bahagia dengan semua hartanya." Kata Rowman.
Mereka pergi begitu saja, tidak ada yang tahu akan nasib takdir seseorang seperti apa? Di kehidupan yang akan datang.
*****
Dokter bekerja keras untuk menyelamatkan nyawa gadis kecil, dia datang di antar oleh salah satu tetangganya bernama Jayden.
"Selamatkan, Kara." Gumamnya, Jayden terus menatap cemas ke arah dalam.
Tak lama pintu terbuka, Jayden langsung berdiri dan menatap dokter.
"Bagaimana, dok?" tanya Jayden.
"Syukurlah, masa kritisnya sudah berlalu. Kita tinggal menunggu pasien sadar dan kami akan memindahkannya, keruang perawatan tapi setelah dua puluh empat jam." Jelas dokter.
"Ohh, satu lagi. Sebaiknya anda melakukan visum pada pasien, karena kami menemukan luka lebam di sekujur tubuh juga terdapat bekas kekerasan seksual di organ intimnya." Dokter kembali menjelaskan, sebelum berlalu dari hadapan dokter.
Jayden lemas, dia tidak menyangka nasib tragis menghampiri gadis kecil tersebut.
"Baik, dok. Terima kasih," balas Jayden, dia memejamkan mata akan penderitaan Kara.
Jayden menatap ponsel yang masih sepi, sudah dari dua jam yang lalu dia memberitahu Ibunya Kara yang bernama Evelin. Namun, tidak ada balasan sama sekali.
Jayden selalu bertanya, apa dia tidak merasa khawatir pada gadis kecilnya?
"Huh! Lupakan Mbak Eve, aku yakin dia tidak akan datang. Karena kekasihnya yang gila pasti melarangnya," gumam Jayden, Jayden pun terpaksa memberi tahu orang tuanya. Dan mereka berjanji, akan segera datang.
Tak lama suster memindahkan Kara, yang terbaring lemah tangan mungilnya di infus sekarang terlihat jelas. Terdapat banyak luka lebam, juga luka bakar di tangan Kara.
"Kara ya Tuhan." Lirih Jayden.
Jayden mengikuti langkah suster, menuju ruang perawatan kelas dua. Karena dia tidak mungkin memberikan ruangan istimewa untuk Kara.
"Maafkan, Abang. Kara, Abang telat menolong kamu. Harusnya Abang paham saat kamu terlihat tidak baik-baik saja," isak Jayden, untuk pertama kalinya dia menangis.
Suara langkah terdengar, membuat Jayden menoleh. Karena dia benar-benar belum masuk kedalam kamar rawat.
"Jayden." Panggil Sekar.
"Mama." Jayden memeluk Sekar dengan erat, dia menangis tersedu-sedu akan nasib Kara. Gadis kecil, yang sudah dia anggap adik.
"Sudah-sudah, Kara akan baik-baik saja. Jangan khawatir, dia anak yang kuat." Ujar Sekar menangkan sang anak.
Satria menepuk pundak anak lelakinya, mencoba memberikan dukungan.
"Papa, sudah memberitahu Eve. Tapi dia tidak bereaksi sama sekali, bahkan wajahnya terlihat datar sekali." Satria menatap istri dan anaknya.
"Apa terjadi sesuatu dengan, Eve? Aku sangat mengkhawatirkannya." Kata Sekar. "Apa pekerjaannya, baik-baik saja?"
"Baik kata teman Papa, pekerjaannya baik selama menjadi pekerja pabrik. Dia cekatan, dan selalu bergerak dengan cepat melakukan tugas."
Sekar pun mengangguk, Jayden pun menyela obrolan orang tuanya. Dia memberitahu bahwa Kara harus di visum. Karena banyak luka di tubuhnya, dan yang paling parah adalah dia mengalami kekerasan seksual.
"Astaga, Kara." Desis Sekar dengan suara lirih, tak menyangka gadis kecil itu berjuang sendiri.
"Pasti dia ketakutan, memang gila pacarnya si Evelin." Marah Sekar.
"Kita lakukan visum, lalu jebloskan lelaki bajingan itu ke penjara. Biarkan saja Evelin." Sahut Satria, Jayden pun setuju dengan ucapan sang Ayah.
Pintu terbuka, suster mengangguk ke arah keluarga Jayden dan mempersilahkan mereka untuk masuk. Jayden dan kedua orang tuanya masuk kedalam, dia menatap sedih Kara yang masih belum sadar.
"Apa kita, pindahkan Kara keruangan VIP, saja?" tanya Sekar, pasalnya didalam kamar tersebut ada satu orang pasien.
"Tapi biayanya bagaimana, Ma?" tanya Jayden, merasa mereka tak sekaya Ayah dari Kara. "Apa kita minta saja, ke Ayahnya Kara?"
"Papa gak setuju, Jay. Ayahnya Kara pasti akan abai, apalagi jika ada istri keduanya." Ujar Satria, Jayden pun menghela nafas dengan pelan.
Dia menatap sendu gadis kecil, yang dia anggap sebagai adik.
"Ya sudah, tidak apa-apa. Mama akan jaga Kara saat siang selagi kamu sekolah dan Papa bekerja. Lalu kamu dan Papa jaga Kara malam, bagaimana?" tanya Sekar.
"Baiklah aku setuju, Ma." Balas Jayden, Satria pun setuju.
****
Tak terasa sore pun tiba, waktu menunjukan pukul lima sore. Evelin, keluar dari pabrik tempatnya berkerja. Lelah? Tentu saja dia lelah, tapi demi sang anak dan masa depannya. Dia akan melakukan apapun, untuk Kara anak semata wayangnya.
Setibanya di rumah, dia mendapati rumah berantakan dan gelap. Evelin menghidupkan lampu, memutuskan untuk masuk ke kamar. Dia menghembuskan nafas dengan pelan, dia menatap kesal pada kekasihnya yang tidur.
Saat berangkat kerja, kekasihnya itu berjanji akan membereskan rumah. Namun, apa yang dia lihat sekarang? Rumah berantakan, cucian numpuk, piring kotor masih di wastafel.
"Astaga," gumam Evelin.
"Yang, bangun ini sudah sore loh! Kenapa gak beresin, rumah?" tanya Evelin.
"Yang." Evelin mengguncang tubuh kekasihnya, dia bernama Alfa.
"Apaan sih, ganggu aja. Aku cape kamu aja sana yang kerjain," balasnya.
"Cape? Memang kamu habis apa, hah?" bentak Evelin hilang sudah kesabarannya.
"Cari kerja, apa lagi memang. Kamu pikir aku diam saja, apa?" Alfa balas membentak.
"Sudah sana pergi, ganggu aja." Usir Alfa, Evelin menghembuskan nafasnya dengan pelan. Dia memutuskan untuk mencuci piring sambil menyiapkan makan malam, lalu membersihkan rumah dan mencuci. Rumah tersebut adalah pemberian mantan suaminya. Namun, Alfa berlagak dia adalah pemiliknya. Bahkan, Alfa sempat ingin mengadaikan sertifikat rumah.
Beruntung Evelin, langsung mengamankan sertifikat tersebut. Evelin sibuk di dapur, dan Dia belum menyadari bahwa putri kecilnya tidak dirumah.
Bahkan ponselnya tidak hidup, karena kehabisan daya. Jadi dia tidak tahu, bahwa Jayden menghubungi dirinya. Evelin, pun lupa saat Satria memberi kabar bahwa Kara masuk rumah sakit.
Entahlah akhir-akhir ini, dia sering merasa lupa. Mungkin karena terlalu lelah bekerja, begitu pikir Evelin.
Bersambung...
Hai!!! Selamat datang di novel terbaru ku, mohon dukungannya ya! Makasih 🙏
Satu jam kemudian, pekerjaan Evelin sudah selesai. Dia hanya memasak makanan yang simpel, setelah mengerjakan semuanya dia memutuskan untuk mandi karena badannya lengket dan gerah.
Saat akan masuk kedalam kamar, Evelin menyadari rumahnya sunyi. Biasanya sang anak akan berlari ke arahnya dan memeluknya dengan erat.
"Astaga Kara, dimana anak itu?" tanya Evelin.
"Dia main dengan Jayden, sampai sekarang belum pulang. Padahal aku sudah melarangnya," sahut Alfa, dia mendengar pertanyaan Evelin.
"Jayden, anak SMA tetangga kita?"
"Iya, siapa lagi memang? Kara sangat dekat dengannya." Balas Alfa, dia duduk dengan santai di meja makan dan menyendok nasi beserta ayam.
"Itu untuk Kara."
"Halah, dia gak ada kasih aja telur." Katanya dengan enteng. "Oh ya, tolong top up-in koin dong, Yang."
"Kan kemarin sudah, emang udah habis?" tanya Evelin.
"Ya, buat sekali main lah cepat habis. Nanti kalo aku menang kan, uangnya buat kamu juga."
"Tapi..."
"Sudahlah, aku gak mau dengar." Sela Alfa.
Evelin pun masuk kedalam kamar, dia menatap kamarnya juga yang berantakan. Entah sudah berapa kali dia menghela nafas, terpaksa Evelin pun membereskan kamarnya. Namun, saat menyingkap selimut dia mendapati bercak darah.
"Darah? Darah siapa, ini?" gumamnya dia sangat takut, jika terjadi sesuatu pada sang anak.
Dengan cepat dia melepaskan sprei, juga menggantinya dengan yang baru. Dia akan mencuci besok, beruntung besok dia libur.
Di rumah sakit.
Jayden menggenggam tangan kecil Kara, untuk anak seusianya Kara sangatlah kurus bisa dikatakan dia kurang gizi.
"Kara bangunlah, apa kamu gak kangen sama. Abang?" tanya Jayden dengan lirih.
"Aku janji akan menghukum dia, Kara. Tapi kamu bangun ya! Aku mohon," isak Jayden, dia menangis menggenggam tangan Kara.
Tiba-tiba mata itu, mata itu terbuka. Membuat Jayden terkejut.
"Kara." Pekiknya, bahkan pasien di sampingnya ikut menoleh.
"Kenapa, Mas?" tanya keluarga pasien.
"Adikku sudah sadar, dia sudah bangun." Katanya dengan penuh antusias.
"Cepat panggil dokter, Mas."
"Iya! Iya!"
Jayden menekan tombol merah berkali-kali, dan tak lama perawat datang. Jayden mengatakan Kara sadar, perawat yang lain diminta untuk memanggil dokter.
"Kara."
Kara menoleh. Namun, dia merasa bingung dengan situasi ini.
"Kara, siapa Kara? Terus dia siapa? Kenapa aku di rumah sakit? Eh! Aku bukannya udah mati? Astaga, apa jasadku ditemukan?" Nada terus saja membatin, sampai dokter datang dan memeriksa dirinya.
"Hah! Syukurlah, keadaan Nona Kara baik-baik saja. Sebuah keajaiban semuanya membaik, hanya tinggal menyembuhkan luka-lukanya juga traumanya."
"Syukurlah, terima kasih dok." Balas Jayden.
"Sama-sama, kalau gitu saya permisi. Mari," pamit dokter.
Setelah kepergian dokter, Jayden duduk kembali dan menatap Kara yang juga menatapnya dengan masih tatapan bingung.
"Ehh! Tampan juga nih cowok." Nada mengulum senyum, dia ternyata lebih tampan dari pada Rowman.
"Kenapa? Ada yang sakit atau kamu, lapar?" tanya Jayden, Kara menggeleng.
"Engga, aku kena ... Pa, eh! Suaraku kenapa jadi, anak kecil?" pekik Kara dengan panik.
Jayden tertawa.
"Astaga Kara, koma apa membuatmu hilang ingatan? Kamu kan memang masih kecil, usia mu tiga tahun. Mungkin sebentar lagi akan empat tahun," jelas Jayden.
Nada yang ada di tubuh Kara pun syok mendengarnya.
"Astaga, kenapa aku jadi anak kecil?"
Jayden memperhatikan Kara yang sedang melamun, sesekali dia mencebik membuat Jayden gemas dibuatnya.
"Kak," panggil Kara.
"Ya ampun, suaraku lemah sekali."
"Kenapa? Apa yang sakit, hem? Bilang sama Abang."
"Aku ... Aku, haus." Lirih Kara, akhirnya hanya itu yang terucap. Karena Nada masih bingung dengan situasi ini, kenapa jiwanya bisa masuk ke tubuh anak kecil. Bahkan dia masih merasa, sedang duduk termenung di balkon rumah susun itu.
Saat itu dia merasakan cahaya putih menariknya dengan kuat, lalu dia seperti terlempar dengan kuat. Dan ketika sadar, saat pertama kali dia melihat Jayden lalu langit-langit kamar juga aroma obat.
"Ini minum, jangan terlalu banyak berpikir. Kara, kamu masih kecil. Sekarang kamu harus sembuh dulu, oke!" Jayden membantu Kara minum.
"Iyaa." Balas Kara, Jayden benar dia harus memulihkan diri dan mencari tahu kebenarannya.
Setelah minum, Jayden meminta Kara untuk tidur. Kara pun menurut, karena dia sangat lelah dan mengantuk.
****
"Kak ... Kakak," panggil Kara.
Nada mengerjapkan matanya, dia terbangun dan menatap sekeliling masih dirumah sakit. Namun, hawanya berbeda. Rumah sakit tersebut kosong dan sangat dingin.
"Kak." Panggil Kara lagi.
"Ehh! Astaga, kamu Kara? Ja-jadi, tadi hanya mimpi?" tanya melirik ke arah bocah kecil tersebut, dia pun melirik ke arah tubuhnya yang dewasa.
"Engga Kak, kakak ada di tubuh aku. Tapi, kita ada di alam mimpi. Aku cuma mau ketemu sama kakak doang." Kara menatap Nada yang kebingungan.
"Kak, tolong balaskan dendam ku." Pinta gadis kecil yang Nada tahu, bernama Kara Nada Laurencia. Nama yang hampir sama dengannya.
"Hah! bagaimana bisa? gue aja lemah gini." gerutu Nada dengan membalas.
"Mana di tubuh anak kecil lagi, gimana aku bisa balas, dendam?" tanya Nada.
"Kakak pasti tahu bagaimana, caranya? Kakak juga bisa membalas dendam pada mereka yang mengkhianati kakak." Jelas Kara.
Kara menggenggam tangan Nada, matanya menatap Nada dengan sorot permohonan.
"Kak aku mohon," lirih Kara.
"Huh! Baiklah Kara, aku akan membantumu membalas dendam." Putus Nada, dia pun berpikir akan membalas Rowman dan Salsa. Dua orang penghianat perebut semua hartanya.
"Terima kasih, Kak." Kara memeluk Nada dengan erat, tiba-tiba tubuh Kara transparan dan menghilang.
"Kara." Panggil Nada dengan panik.
"Kara."
"Kara."
Nada berlari keluar kamar, dia mencari keberadaan Kara. Namun, tidak ada gadis kecil tersebut. Dia malah mendengar suara samar, memanggil namanya.
****
"Kara bangun, kamu kenapa. Kara?" Jayden berusaha membangunkan Kara, tadi saat hampir terlelap. Kara berteriak histeris, memanggil namanya sendiri.
"Kara."
Kara mengerjapkan matanya, dia menatap Jayden yang menatapnya dengan cemas.
"Kamu kenapa? Mimpi buruk?" tanya Jayden.
"A-aku, takut Abang."
"Aku takut." Lirih Kara, mungkin traumanya kembali. Ini dibawah kuasa kendali Nada.
Jayden membawa Kara kedalam pelukannya.
"Sudah, jangan takut ya! Ada Abang disini, Abang janji akan melindungi kamu. Dari lelaki brengsek itu," ujar Jayden dengan nada benci.
"Ayo tidur lagi, apa perlu Abang. Temani?" tanya Jayden, dan langsung dijawab anggukan oleh Kara.
Jayden pun tidur di sisi Kara, memeluk gadis kecil tersebut dengan penuh kasih sayang.
"Sudah tidur." Titah Jayden.
"Iyaa."
Kara mencoba memejamkan mata. Namun, bukannya terpejam dia memikirkan apa yang terjadi padanya? Kenapa Tuhan, memberikannya kesempatan hidup? Apa memang untuk balas dendam?
Tapi, kenapa harus di tubuh anak kecil? Semua pertanyaan itu, tidak ada jawaban membuat Nada bingung. Namun, usapan lembut membuatnya terlena, Kara pun benar-benar terlelap. Dalam dekapan hangat, yang sudah lama tidak dia rasakan.
bersambung ...
Maaf typo
Di tempat yang berbeda, tepatnya disalah satu panti asuhan. Bunda Kasih, menatap sedih foto Nada. Sudah dua tahun sejak kepergian Nada, untuk selamanya. Pertama kali jasad Nada di temukan oleh tetangga rumah susun tersebut, karena mencium bau busuk dari unit sebelah.
Keadaannya sangat memprihatinkan, walau hampir dua bulan. Namun, kondisi Nada masih bisa dikenali. Seolah dia meminta di kebumikan dengan layak, Bunda Kasih yang mendapati kabar tersebut syok dan jatuh pingsan.
Selama berminggu-minggu, pemilik panti tersebut mengurung diri di kamar.
"Bun." Panggil Embun, salah satu anak panti yang seumuran dengan Nada. Namun, Embun memutuskan untuk mengabdi di panti tempat dia di besarkan.
"Bunda merindukan, Nada. Malang sekali nasibnya, Bunda ..." Isak Bunda Kasih, Embun dengan cepat memeluk sang Ibu.
"Bunda sudah, Nada pasti sedih jika Bunda sedih." Balas Embun, Embun dan Nada sudah seperti adik kakak yang tak terpisahkan.
Saat Nada menemukan keluarga kandungnya, Embun bahagia. Bahkan Nada meminta orang tuanya untuk mengadopsi Embun.
Embun memeluk Bunda Kasih dengan erat, mencoba menyalurkan kehangatan pada wanita yang sudah membesarkannya.
"Sekarang kita makan malam dulu, kasian adik-adik sudah nunggu. Bunda Tari juga," ujar Embun.
Bunda Kasih mengangguk, dan keluar bersama Embun setelah mencuci wajah lebih dulu. Dia menatap anak-anak yang tersenyum ke arah Bunda Kasih, teringat saat Nada kecil tersenyum manis membujuk dirinya. Karena Nada melanggar aturan panti, Bunda Kasih selalu luluh pada Nada.
"Yey! Bunda.." seru anak-anak, saat melihat Bunda Kasih mau keluar kamar.
"Ayo kita makan, maaf buat kalian menunggu lama." Kata Bunda Kasih, Bunda Tari pun ikut tersenyum.
Bersyukur Bunda Kasih mau keluar kamar, dan makan bersama anak-anak dan pengurus panti.
Setelah selesai makan malam, Embun memutuskan membereskan piring kotor dan akan di cuci oleh Mbak Aida.
"Lebih baik kamu istirahat, Bun. Kamu udah lelah kerja seharian, ehh ... Malah bantu-bantu disini." Ujar Mbak Aida.
"Gak papa kok, Mbak. Aku senang ngerjain semuanya," balas Embun, padahal dia juga sedang mengalihkan rasa sedihnya dari Nada sahabat rasa saudara menurutnya.
"Ya sudah, kamu memang keras kepala seperti Nada." Lirih Mbak Aida, dia juga sedih jika mengingat Nada.
Hening, hanya ada suara air mengalir yang menemani mereka. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Embun menatap Mbak Aida, yang menyeka sudut matanya.
"Doakan Nada, Mbak." Lirih Embun, dia memeluk Aida.
"Iyaa, Mbak hanya rindu saja."
"Aku juga rindu, Nada sudah seperti kakak bagiku."
Aida dan Embun, memeluk saling menguatkan. Anak-anak panti yang sudah lebih besar juga merindukan Nada bukan hanya orang dewasa.
****
Tak terasa pagi pun menyapa, Elvina langsung disibukan dengan pekerjaan rumah yang menumpuk. Sesekali, Evelin mencuci seminggu sekali.
Dia menatap pakaian Kara, dia mulai mengkhawatirkan sang anak.
"Kara, dimana ya? Kok, belum pulang!" gumamnya, menatap seprai yang terdapat bercak darah.
Alfa sendiri dia sedang tidur, semalam entah kemana perginya kekasihnya tersebut. Setiap di tanya jawabannya selalu membuat Evelin kesal.
Terdengar suara pedagang sayur yang didepan rumah Evelin, dia pun memutuskan untuk membeli bahan makanan. Saat keluar rumah, sudah ramai ibu-ibu yang membeli sayur sekaligus bergosip.
"Eh! Evelin, kok dirumah? Bukannya Kara dirumah sakit?" tanya salah satu Ibu yang dandanannya menor, sepertinya dia tidur dengan make-up di wajahnya.
"Rumah sakit, kenapa dia?" tanya Evelin cepat.
"Kamu gak tau, Ev. Dia ... Aww! Kok di injak sih." Protes Sari.
"Jangan bilang-bilang yang sesungguhnya," bisik Tina.
"Cepat bilang, Kara kenapa?" tanya Evelin, sementara ibu-ibu yang lain memilih diam tidak mau ikut campur urusan orang.
Toh Evelin sudah diberitahu dan mereka sudah mengingatkan Evelin, bahwa Alfa orang yang buruk. Dia malah memelihara lelaki mokondo tersebut.
"Sudahlah, kamu tanya sama Mama Jayden." Sahut Tina, lalu kembali sibuk memilih sayur.
Tatapan Evelin mengarah pada Sekar yang baru saja bergabung, Sekar pun menyadari tatapan keingintahuan tersebut.
"Mbak aku ..."
"Rumah sakit Kasih Ibu, kamar nomor dua." Potong Sekar, lebih baik Evelin melihat langsung anaknya dari pada dia menjelaskan.
"Tapi kenapa dia, Mbak?"
"Kamu lihat saja sendiri, Ev." Balas Sekar kesal, Evelin menghembuskan nafasnya dengan pelan.
Dia memutuskan tak jadi belanja, dan akan pergi ke rumah sakit dimana Kara berada. Saat Evelin tak ada, Ibu-Ibu riuh kembali bergosip. Menggosipkan Evelin yang kumpul kebo dengan Alfa.
"Geram banget tau gak! Kenapa juga Pak Rt, gak bertindak?" tanya salah satu warga.
"Entahlah, tapi menurut gosip. Waktu itu Pak Rt sudah akan bertindak dan menegur Alfa. Kalian tau apa yang, terjadi?"
"Apa?" seru ibu-ibu dengan serempak.
"Esoknya, anak Pak Rt kecelakaan motor."
Mereka tercengang akan fakta yang baru saja mereka ketahui, mereka tak percaya jika Alfa seperti itu. Sekar yang mendengar pun hanya diam, tidak menanggapi apapun dia memang tahu bahwa Alfa tidak baik.
****
Evelin sudah sampai di rumah sakit tempat Kara di rawat, dia membuka pintu dengan pelan sampai Kara tidak menyadari keberadaannya. Evelin menatap sang anak dengan tatapan sendu, wajahnya pucat sedikit memar di pipi. Entah apa yang terjadi pada anaknya tersebut.
"Kara." Lirih Evelin, dia mendekati Kara yang sedang melamun. Tatapannya kosong, ada luka dan trauma yang mendalam.
Evelin menyesal karena abai dan tidak langsung percaya pada Satria saat itu.
"Kara sayang, ini Mama. Nak," lirih Evelin, dia menggenggam tangan sang anak yang sesungguhnya terasa kurus.
Refleks Nada menjauhkan tangannya dari Evelin, sisi dewasanya terkejut atas kehadiran orang asing. Namun, memori dalam kenangan milik Kara bahwa dia adalah Ibunya.
"Ma-Mama." Isak Kara, Evelin langsung memeluk Kara dengan erat. Entah mengapa, jiwa Nada pun tidak menolak pelukan tersebut.
"Jadi gini, rasanya di peluk oleh seorang Ibu?" ucap Nada dalam hati, dulu saat dia seusia Kara. Nada ada di panti asuhan.
Walau selama ini dia selalu mendapatkan pelukan dari Ibu angkatnya, tapi itu sangat berbeda dengan yang dia rasakan saat ini.
"Mama."
"Kamu kenapa, Kara? Siapa yang menyakitimu? Apa Jayden?" cerca Evelin, dalam hati Nada mendengus kesal.
"Cih, kekasih sialan mu yang membuat Kara begini. Nyonya Evelin!"
"Bukan Ma, tapi ..."
Kara ragu untuk mengatakannya, seolah dia memiliki rencana lain untuk membongkar kebusukan kekasih ibu dari Kara tersebut.
Beruntung Evelin pun tidak memaksa, dia akan bertanya nanti pada Jayden untuk sekarang dia garus fokus. Pada kesembuhan Kara.
"Kamu sudah sarapan, sayang?" tanya Evelin.
"Belum, aku gak mau makan. Ma," jawab Kara.
Evelin terkejut karena bicara Kara begitu lancar. Namun, dia tidak mempermasalahkan itu sebaliknya dia merasa bersyukur.
"Ya sudah kalau begitu, Mama belikan bubur ayam, mau?"
"Mau aku mau," jawab Kara antusias.
"Ya sudah, kamu tunggu ya! Mama beli dulu."
Evelin mengusap rambut Kara, lalu dia menitipkan Kara pada keluarga pasien sebelah. Karena menurut keluarga tersebut, Jayden pergi sekolah dan menitipkan pada perawat.
Kara menatap pintu yang tertutup, rasa antusias tersebut spontan dia rasakan.
"Mungkin ini jiwanya Kara," gumam Nada.
"Kara kamu senang, kan? Kamu tenang saja, Kara. Aku akan balas dendam pada lelaki brengsek itu."
Nada menyeringai, sudah banyak rencana yang dia susun setelah keluar dari rumah sakit. Walau dia juga merasa kasian pada Kara, saat memori lalu hadir.
Bersambung ...
Maaf typo
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!