Bali, Indonesia
Jason tersenyum sinis pada gadis yang duduk didepannya. Seorang gadis yang tidak tahu malu mengemis cinta padanya dengan berderai air mata.
Baik. Siapa yang tidak terpesona dengan pria bernama Jason Alexander? Wajah tampan perpaduan Indonesia dan Amerika latin dengan tubuh berotot dan tinggi tegap sempurna bak Dewa Hermes dalam mitologi Romawi. Tatapan tajam dari mata peraknya seolah mengintimidasi setiap orang yang berhadapan dengannya.
Kesempurnaan fisik yang Jason miliki, tidak serta merta di imbangi dengan kesempurnaan hati dan karakter miliknya. Laki-laki itu seolah memanfaatkan ketampanan yang ia miliki, hanya untuk mempermainkan wanita-wanita yang dengan sukarela memohon padanya hanya untuk sekedar ia tiduri.
Entah sudah berapa gadis yang sudah menjadi korbannya. Laki-laki itu hanya akan bersikap baik diawal pada wanita yang mendekati nya, namun setelah ia mendapatkan keuntungan dari para wanita pemujanya itu, Jason dengan seenaknya menghempaskan mereka begitu saja.
"Pergilah. Sudah tidak ada urusan lagi diantara kita," tegas Jason.
"Jason..."
Hening, tidak ada lagi jawaban dari Jason. Suasana cafe yang sepi menambah keheningan sore itu. Jason mengangkat secangkir macchiato di depannya dan meminumnya perlahan.
"Cih, berhentilah menangis. Bukankah Kau dengan sukarela melempar kan tubuhmu padaku?"
"Jason, aku mohon!"
"Jangan pernah memohon dan menangis di depanku. Karena aku tidak akan pernah terpengaruh dengan tangisan wanita murahan sepertimu."
"Jason, apa kau jauh-jauh datang ke Bali hanya untuk memutuskan hubungan kita? Jangan seperti ini, aku mohon."
"Bukan seperti itu, aku ada pekerjaan di sini." Ucap Jason datar.
"Kau sudah tau bagaimana karakter ku dari awal, jadi kau tahu konsekuensi yang akan kau dapatkan saat berhubungan dengan ku."
Jason berdiri dari tempat duduknya, berjalan keluar meninggalkan gadis yang masih menangisi keputusan nya itu.
Jason mematung sejenak didepan cafe. Hujan pertama di tahun ini turun dengan lebat. Bau tanah yang menyeruak, menyejukkan indra penciuman Jason untuk menikmatinya. Jason membentang kan jaket kulit miliknya, untuk menutupi tubuh dan berlari kerah mobil yang terpakir tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Jason menghirup nafas dalam dan membuangnya secara perlahan. Sungguh hari yang melelahkan baginya, sudah hampir empat bulan, laki-laki itu bertahan di Bali menyelesaikan pekerjaannya yang entah kapan akan selesai.
Hujan turun semakin lebat. Jason melajukan kendaraan miliknya dengan kecepatan lambat, sebab biasanya saat hujan pertama kali jalan akan lebih licin dari biasanya.
Jason memfokuskan pandangannya pada jalan yang agak berkabut karena derasnya hujan sore itu. Jalanan terlihat sepi, tidak ada satupun warga yang beraktifitas dibawah derasnya hujan, kecuali seorang gadis yang berdiri dipinggir jalan, membiarkan butiran hujan membasahi tubuh mungil miliknya.
Jason menghentikan mobil yang ia kendarai, menatap gadis yang nampak menikmati guyuran hujan. "Apa yang dilakukan gadis bodoh itu?" batinnya.
Seperti ada dorongan kuat dalam dirinya, untuk menghampiri gadis itu. Jason mengambil sebuah payung yang ada di dalam mobilnya dan bergegas menghampiri gadis aneh itu.
"Apa kau baik-baik saja, Nona?" Jason mengarahkan payung miliknya, untuk melindungi tubuh gadis itu dari terpaan hujan.
Gadis itu mengangkat dagunya, dan menatap tajam kearah Jason. "Pergilah! jangan pedulikan aku."
Jason menatap lekat gadis itu. Butiran air mata nampak membanjiri wajah pucat miliknya. Gadis yang nampak cantik walau wajahnya sedang menampakan kesedihan, amarah dan putus asa.
"Kau butuh bantuan, Nona? Kau bisa mati kedinginan jika terus seperti ini."
"Apa pedulimu? Siapa kau? Jangan ikut campur dalam urusanku, bahkan keluargaku saja tidak mempedulikan ku lagi."
Jason terdiam sesaat, sekilas dia memahami apa yang sedang dialami gadis yang berdiri didepannya ini. Seorang gadis yang sedang depresi.
"Pakailah ini jaket ini, kau akan lebih baik." Jason melepaskan jaket miliknya, dan memakaikan pada gadis itu.
"Lebih baik? Aku bahkan ingin mati!"
Jason terkejut dengan ucapan gadis itu. Tubuhnya tersentak, seolah tak percaya atas apa yang telah ia dengar. "Apa yang terjadi pada gadis kecil ini, kenapa sampai dia ingin mati." Gumamnya dalam hati.
Jason melangkah lebih dekat menghampiri gadis itu dan meraih tubuh mungil miliknya dalam pelukan nya.
"Dasar bodoh! Kau pikir mereka akan sedih dengan kematian mu? Jika kau membenci mereka, bukan seperti ini caranya. Kematian bukanlah sebuah penyelesaian. Buatlah mereka menyesal telah mengabaikan mu, jangan malah menyerah dan ingin mengakhiri hidup."
Gadis itu menangis dalam pelukan Jason, seolah masih ada seseorang di dunia ini yang mengkhawatirkan dirinya.
"Bolehkah aku ikut denganmu?"
Jason mengerutkan dahinya tajam dan melepaskan pelukannya pada gadis mungil itu.
"Apa maksudmu?"
"Kau bisa membawaku, menyiksaku, bahkan menjual organ tubuhku."
Jason terperangah mendengar ucapan gadis tidak masuk akal ini. Seolah dirinya mengutuk tindakan nya sendiri, yang ikut campur dalam masalah yang dialami gadis yang tak ia kenal ini. Lagi pula ini bukanlah kebiasaan Jason, mempedulikan seorang gadis, apalagi seorang gadis yang tak ia kenal dan sedang depresi dipinggir jalan.
Namun, untuk meninggalkan gadis ini seorang diri dengan keadaan seperti ini juga tak mungkin. Naluri kemanusiaan nya bekerja dengan baik, sehingga seolah tak memberikan nya pilihan selain menolong gadis yang sedang kehilangan harapan untuk hidup.
Jason menarik nafas dalam dan menghembuskan nya secara kasar. Seolah meyakinkan diri atas keputusan yang akan ia ambil.
"Baiklah, masuklah ke mobilku." Jason melemparkan payung yang ia pegang ke sembarang arah, dan mengangkat tubuh gadis yang ada didepannya itu memasuki mobil miliknya.
"Hei, apa yang kau lakukan! cepat turunkan aku!"
"Jangan banyak bicara! Bukankah kau sekarang tawanan ku?"
Gadis itu diam mendengarkan perkataan Jason. Tidak ada lagi kata-kata yang ia ucapkan, sampai mobil yang dikendarai Jason mulai bergerak meninggalkan tempat itu.
Jason sesekali melirik kearah gadis yang sedang duduk disamping nya. Gadis itu hanya diam, sembari air mata yang terus keluar dari kedua sudut mata indahnya.
"Siapa namamu?" tanya Jason memecah keheningan.
"Itu tidak penting!" gadis itu menoleh sebentar kearah Jason, dan mengalihkan pandangannya lagi keluar jendela mobil milik Jason.
"Kau yang memintaku untuk membawamu. Jadi aku harus mengetahui nama orang yang akan tinggal dirumah ku." Jason menepikan mobil miliknya dan mengarahkan pandangannya pada gadis yang masih menatap keluar jendela dengan tatapan kosongnya.
"Jesika, kau bisa memanggilku Jesika."
*
*
*
Visual Cast
Jason Alexander
Jesika Kim
Brian Kim
Mark Andrews
Kristal Kim
Steven Lee
Hei, selamat datang di karya baruku. Mohon bantuan like, Vote sama komennya Yach. Jangan lupa juga tekan tombol favorit.
Untuk lebih detail dengan karya ku lainya, kalian bisa follow Ig aku @idae_movic.
Terima kasih
"Siapa namamu?" tanya Jason memecah keheningan.
"Itu tidak penting!" gadis itu menoleh sebentar kearah Jason, dan mengalihkan pandangannya lagi keluar jendela mobil milik Jason.
"Kau yang memintaku untuk membawamu. Jadi aku harus mengetahui nama orang yang akan tinggal dirumah ku." Jason menepikan mobil miliknya dan mengarahkan pandangannya pada gadis yang masih menatap keluar jendela dengan tatapan kosongnya.
"Jesika, kau bisa memanggilku Jesika."
"Apa kau orang Indonesia?"
"Ya, Ibu ku wanita Indonesia, Ayah ku Korea."
"Marga?"
Jesika menatap jengah ke arah Jason yang terus mengorek masalah pribadinya.
"Itu tidak penting. Aku sudah meninggalkan itu."
"Cih, gadis sembrono. Kau hanya membenci keluarga mu, jadi jangan salahkan nenek moyang mu dengan meninggalkan Marga yang kau miliki."
Jesika hanya diam. Tak ada niat meladeni lagi perkataan Jason, sampai mobil yang dikendarai oleh Jason memasuki sebuah Villa mewah dengan pemandangan hijau dan asri.
"Turunlah!" perintah Jason sembari berjalan keluar mobil meninggalkan Jesika yang masih diam mematung.
***
Jason menyodorkan secangkir coklat hangat kepada Jesika. " Minumlah, ini akan menghangatkan tubuh mu."
Jesika yang sebelumnya hanya duduk bersandar disebuah sofa, beranjak berdiri mendekat kearah Jason.
"Ini racun?" tanya Jesika datar.
Jason mengertutkan dahinya tajam mendengar ucapan gadis aneh itu.
"Apa yang kau pikirkan? Aku ini laki-laki tampan, kaya dan baik hati, jadi kau tidak perlu khawatir."
"Oke, lantas apa yang harus aku lakukan sekarang?"
"Gantilah pakaian mu! Aku akan memasak makan malam untukmu." Jason beranjak meninggalkan Jesika. Namun, baru beberapa langkah gadis itu menarik lengan Jason.
"Apa kau mau jadi kekasih ku?" Jesika menatap mata perak Jason. Namun, masih dengan kalimat datarnya.
Itu bukan pertama kalinya seorang gadis menginginkan Jason sebagai kekasihnya. Tapi kali ini sungguh berbeda, gadis dihadapannya itu berkata demikian dengan wajah penuh dengan keputusasaan.
"Jesika, apa kau gila? Aku ini laki-laki tampan, baik dan juga kaya. Apa kau sadar dengan yang kau ucapkan? Aku tidak tertarik dengan gadis kecil sepertimu."
"Ya! Ya! Aku juga tidak tertarik denganmu, aku hanya bosan dan ingin tau saja bagaimana rasanya memiliki kekasih. Papaku tidak pernah mengizinkan ku dekat dengan laki-laki manapun."
Jason menepuk pucuk kepala Jesika.
"Itu deritamu gadis kecil, jadi jangan jadikan aku kelinci percobaan mu. Mengerti!"
Jason beranjak pergi meninggalkan Jesika. Ada getaran aneh dalam dirinya saat menatap mata hitam nan bulat gadis itu. Getaran yang tidak pernah ia rasakan pada gadis manapun.
"What's happen with me? Bagaimana aku bisa merasakan ini dengan gadis yang tidak jelas itu?"
Jason mengusap wajahnya kasar, mencoba menjernihkan akalnya.
"Ingat Jason, kau itu laki-laki tampan, baik dan juga kaya. Jadi gadis kecil itu bukanlah tipe mu." Jason mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
***
Seoul, Korea 3 bulan yang lalu.
Jesika nampak duduk disebuah taman kampus sembari menikmati sekotak tteokbokki kesukaannya.
"Hai, Jesika. Bolos kuliah lagi?"
Jesika menoleh sekilas, mengalihkan pandangannya dari tteokbokki miliknya.
"Ya." Jawabnya singkat.
"Apa kau tidak bosan? Bodyguard keluarga mu selalu bisa menemukan mu di manapun kau bersembunyi." Steven mendaratkan tubuhnya tepat disamping Jesika.
"Kau yang memberitahu mereka?"
"Tenang saja, aku tidak akan bertindak sejauh itu. Bagaimana kalau hari ini aku menemanimu kabur?" Steven mengedipkan sebelah mata, hingga Jesika terkekeh dibuatnya.
"Dasar sahabat tidak baik! Baiklah ayo kita ke taman hiburan." Jesika menarik lengan sahabatnya dan beranjak pergi meninggalkan taman kampus untuk pergi ke taman hiburan.
Jesika dan Steven adalah sahabat baik sejak sekolah menengah. Steven adalah satu-satunya sahabat dekat Jesika yang tau betul seluk beluk kehidupan Jesika.
Selain Steven, tidak ada yang tahu bahwa gadis cantik itu merupakan anak dari Kim Nam Joon. Seorang pengusaha kaya dari keluarga terpandang di Korea. Sejak kecil Jesika tidak pernah terendus oleh media. Berbeda dengan Brian Kim kakak laki-laki nya.
Ya, Brian memang berbeda. Sejak masih di bangku sekolah menengah, Brian sudah sering menjadi sampul majalah berkat kesuksesan nya dalam dunia bisnis sejak usia muda.
"Kapan kau sadar dari kegiatan bolos ini?" Steven menatap sekilas Jesika yang duduk disamping nya.
"Huh, entahlah."
"Kau tidak akan bisa sukses seperti kakak mu, kalau terus main-main seperti ini."
"Bagaimana denganmu? Bukankah kita sama saja?"
"Jes..." Steven merendahkan suaranya, seolah lelah menasehati sahabatnya itu.
"Aku tidak peduli Steve. Keluargaku kaya, pasti harta mereka tidak akan habis walau aku tidak sukses sekalipun. Lagipula mereka tidak akan pernah setuju bila aku mengambil jalan sesuai keinginan ku."
"Kau akan terus bergantung dengan mereka?"
"Tidak. Aku juga ingin mewujudkan impian ku sendiri. Tapi sayang, itu mungkin tidak akan pernah terwujud. Terkadang aku iri padamu Steve, Papa mu selalu memberi kebebasan untukmu menentukan hidupmu sendiri."
"Keluarga mu hanya ingin kau menjadi salah satu penerus perusahaan nya, Jes. Tidak ada yang salah dengan itu."
"Aku hanya tidak ingin."
"Jes, kau lihat Kak Brian dan juga saudara sepupu mu yang lain. Meraka hidup dengan sukses dan mengurus perusahaan keluarga kalian. Apa kau tidak ingin sukses seperti mereka? Semua orang ingin sukses seperti keluarga mu itu, Jes."
Jesika menatap tajam kearah Steven yang masih fokus dengan kemudinya. Gadis itu sedikit kecewa dengan perkataan sahabatnya itu.
"Cukup, Steve! Aku tidak suka kau ikut membandingkan ku dengan mereka. Jika kau terus seperti ini berteman saja sana dengan Kak Brian dan sepupuku, karena aku tidak akan pernah menjadi seperti mereka!"
"Jes, bukan begitu maksudku. Aku hanya.."
Steven berhenti. Tidak melanjutkan lagi perkataan nya. Laki-laki itu seolah mengerti, jika Jesika sudah tidak ingin mendengarkan perkataannya lagi.
Mobil yang dikendarai Steven dan Jesika akhirnya memasuki area parkir taman hiburan. Sekilas Steven menatap kearah Jesika yang nampak masih kesal dengan dirinya.
Steven tau, apa yang sudah ia katakan itu sedikit keterlaluan. Hubungan Jesika dan keluarganya dari dulu tidaklah baik. Jesika yang dari dulu memiliki nilai dibawah rata-rata selalu bisa naik kelas hanya karena orang tuanya adalah penyumbang dana terbesar disekolah nya. Hal itu membuat Jesika selalu mendapat omelan yang tak henti-hentinya dari Ayahnya.
"Maafkan aku, Jes. Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu."
"Lupakan! Ayo kita naik roller coaster. Aku ingin berteriak sepuasnya."
Dengan penuh semangat Jesika keluar dari mobil Steven.
"Tunggulah disitu, aku akan membeli minum untukmu."
Steven melangkah kan kakinya menuju kedai penjual minuman, namun baru beberapa langkah ia meninggal kan Jesika, tatapan mata Steven bertemu dengan laki-laki tinggi tegap, berjas hitam yang merupakan bodyguard keluarga Jesika. Dengan segera Steven menggambil handphone miliknya dan menghubungi Jesika.
"Jes, cepat sembunyi. Bodyguard Ayahmu ada disini."
Jesika terkejut bukan main mendengar ucapan Steven. Tanpa menjawab perkataan sahabatnya itu, Jesika segera berlari mencari tempat untuk bersembunyi.
"Sial, bagaimana bisa mereka tahu aku disini!"
umpat Jesika.
*
*
*
"Jes, cepat sembunyi. Bodyguard Ayahmu ada disini."
Jesika terkejut bukan main mendengar ucapan Steven. Tanpa menjawab perkataan sahabatnya itu, Jesika segera berlari mencari tempat untuk bersembunyi.
"Sial, bagaimana bisa mereka tahu
aku disini!" umpat Jesika.
Jesika menyapukan pandangannya mencoba mencari tempat untuk bersembunyi. Namun sialnya tidak ada tempat yang aman, sebab ia masi berada di depan pintu masuk taman hiburan. Hingga terbesit ide gila dalam otaknya, setelah melihat laki-laki bule sedang berdiri bersandar tembok sembari memainkan handphone miliknya.
Tidak ada pilihan lain, mungkin ini rencana bodoh. Tapi Jesika harus tetap melakukan nya untuk bisa kabur dari para bodyguard Ayahnya itu. Tanpa pikir panjang lagi, Jesika meraih tubuh laki-laki itu dan mendekapkan tubuh kecilnya pada dada bidang laki-laki berwajah Amerika didepannya.
"Hei, apa kau sudah gila?" tanya laki-laki itu dengan wajah heran.
"Please, tolong aku. Peluk aku seperti ini sebentar saja." Jesika memutar tubuh laki-laki itu untuk menutupi wajahnya dari para bodyguard.
Dahi pria itu berkerut tajam, sorot matanya mencoba memperhatikan wajah gadis yang sedang memeluk sembari menyembunyikan wajah di dada miliknya.
"Kau gila, Nona!"
"Jangan banyak bicara, aku benar-benar butuh pertolongan mu. Aku dalam bahaya sekarang." Jesika semakin mengeratkan pelukannya pada laki-laki itu.
"Baiklah, karena aku memang laki-laki baik dan tampan, aku akan menolong mu kali ini."
Laki-laki itu menghembuskan nafasnya pelan, dan akhirnya membalas pelukan Jesika, sehingga wajah Jesika semakin tenggelam dalam dada bidang laki-laki yang sama sekali tidak ia kenal itu.
Samar-samar Jesika mendengar suara orang berteriak memanggil namanya. Sudah tidak salah lagi, itu pasti bodyguard keluarganya.
Untuk beberapa detik suara itu masih terdengar samar, hingga akhirnya suara itu menjauh dan menghilang.
Jesika melepaskan pelukannya, menatap wajah laki-laki yang berdiri tepat didepan wajahnya. Laki-laki itu sangat tampan, garis rahang tegas, serta mata peraknya yang begitu mempesona. Tatapan mata itu seolah membuat Jesika hanyut bersama gelombang samudra.
"Apa sekarang kau berniat menggoda ku, Nona?"
Jesika tersentak mendengar ucapan laki-laki didepannya. Refleks dia mendorong tubuh laki-laki itu agar menjauh darinya. Namun, sialnya laki-laki itu malah mendekap kembali tubuh Jesika dalam pelukannya. Jesika mencoba melepaskan dekapan laki-laki itu, tapi tenaga yang ia miliki seolah tak sebanding.
"Tolong lepaskan! Jagan mengambil kesempatan dalam kesempitan!"
"Hei, kau yang lebih dulu memelukku, Nona!"
"Tapi bukan berarti kau bisa memeluk ku lagi, tadi aku cuman terdesak. Dasar pria mesum!" Jesika beranjak pergi meninggalkan laki-laki itu.
"Siapa dia Jason?" tanya Vivian kekasih Jason yang sudah datang menghampiri nya.
"Gadis penggoda. Tapi sayangnya bukan tipe ku."
"Tapi pandanganmu tak beralih dari nya!"
"Dia yang menggodaku. Percayalah! Laki-laki tampan dan kaya seperti ku ini sangat setia."
Jason menarik lengan Vivian kekasihnya masuk kedalam taman hiburan.
***
Jesika berjalan mengendap-endap menuju mobil Steven yang ada diparkiran. Jesika mengira bodyguard keluarga nya itu sudah pergi. Ternyata ia salah, tak jauh dari tempat ia berdiri, Samuel sudah berdiri tegap menatapnya.
"Nona Jesika, Tuan Kim sudah menunggu anda."
"Astaga, Samuel! Kenapa kau dengan mudah menemukan ku. Tidak bisakah kau melepaskan ku kali ini saja?" protes Jesika.
"Maafkan saya, Nona. Tuan akan marah besar, kalau tau saya membiarkan anda untuk bolos kuliah lagi."
"Kau tau sendiri, Samuel. Aku sudah tidak tertarik sama sekali untuk melanjutkan kuliah!"
"Tapi, Nona?"
"Sudah lah, aku akan bilang sendiri sama Papa. Jadi kau bisa pergi sekarang, dan jangan pernah memata-matai ku lagi."
"Maafkan saya, Nona."
"Astaga, Samuel!" Kau tau? Kau itu sangat membosankan. Kenapa kau sangat mematuhi perkataan Ayahku. Tapi tidak dengan perkataan ku!"
"Maafkan saya, Nona."
"Ya! Ya! Kau terus saja meminta maaf. Tapi aku sudah bosan dengan permintaan maaf mu itu, Samuel. Kenapa kau selalu tidak membiarkan ku bermain sebentar saja. Bermain itu tidak ada salahnya bukan?"
"Maaf, Nona! Saya hanya menjalankan perintah."
"Terserah! Kau memang juga tak peduli padaku!"
"Bukan begitu, Nona. Maafkan saya."
Jesika tidak mempedulikan lagi perkataan Samuel. Memang selalu seperti ini, Jesika tidak pernah berubah sekalipun. Gadis itu masih tetap saja pembangkang, pemberontak dan ceroboh. Ucapan Ayah dan Ibunya hanya bagai angin yang menyapa kedua daun telinganya.
Jesika mendengus kesal. Ya, gadis itu harus bersiap mendengar ocehan yang tidak ada hentinya dari kedua orang tuanya, terutama Ayahnya, Tuan Kim.
***
Jesika memasuki kamar. Merebahkan tubuh mungilnya disebuah kasur ukuran king size dengan sprei warna pastel. Gadis itu tidak menyadari bahwa ayahnya sudah berdiri tidak jauh dari jendela kamar, dengan kedua tangan yang terlipat didepan dada.
"Bolos lagi?"
Suara yang tiba-tiba membuat Jesika tersentak. Gadis itu dengan segera terbangun dari tempat tidurnya. Jesika sekilas menatap mata milik ayahnya, tetapi kemudian dengan cepat menunduk saat Tuan Kim menatapnya dengan tatapan membunuh dan penuh amarah. Jesika mengambil nafas dalam dan membuangnya perlahan. Gadis itu seolah telah siap untuk menampung semua ocehan yang akan diberikan oleh ayahnya.
"Kabur dengan pria tidak jelas mana lagi?" tanya Tuan Kim masih dengan tatapan membunuhnya.
"Dia bukan laki-laki tidak jelas, Pa. Dia Steven."
"Pria bertato itu lagi?"
"Tato itu hanya seni, Pa. Papa tidak bisa langsung menilainya buruk hanya karena ada tato di lengannya!" bela Jesika.
"Itu sudah buruk di mata, Papa. Orang-orang seperti mereka tidak punya masa depan. Kau ingin seperti mereka, huh? Seniman? Pelukis? Atlet renang? Papa tidak akan pernah mengizinkan itu.
"Tapi, Jesika ingin jadi seorang pelukis atau atlet, Pa!"
"Jes, sudah berulang kali Papa bilang. Papa tidak akan pernah mengizinkan cita-cita tidak jelas mu itu. Apa? Atlet renang? Pelukis? Siapa yang akan membeli lukisan jelek mu itu. Apalagi atlet renang, Papa tidak akan pernah mengizinkan nya."
"Pa, itu karena Jesika belum sepenuhnya mengasah kemampuan, Jesika. Papa sekalipun tidak pernah memberi kesempatan bagiku untuk mengembangkan bakat."
"Bisakah kau menjadi anak gadis yang penurut? Papa sudah bosan dengan sikap arogan mu ini. Tidak kah kau lihat Brian kakakmu? Dia selalu jadi anak penurut dan berprestasi. Tidak sepertimu yang hanya bisa bikin masalah dan mempermalukan keluarga."
"Papa malu punya anak seperti, Jesika? Kalau bisa memilih aku tidak akan pernah mau terlahir dari keluarga ini."
"Apa kau bilang? Dasar gadis keras kepala. Mengapa kau tidak mau sekali saja mengalah dan meminta maaf! Baiklah, kelihatannya Papa sudah cukup bersabar akhir-akhir ini!"
Tuan Kim berjalan meniggalkan kamar Jesika sembari membanting pintu kamar tersebut dengan keras. Sedangkan Jesika yang melihat hal itu hanya bisa membuang nafas kasar sembari mencoba menahan air mata yang sudah mulai mengenang di kedua sudut mata indahnya.
"Maafkan, Jesika, Pa! Jesika hanya putri yang bodoh bagi Papa. Maafkan Jesika yang tidak sepintar Kak Brian. Tapi Jesika mohon, jangan selalu membandingkan-bandingkan Jesika dengan Kak Brian." Batin Jesika
*
*
*
Follow Ig@idae_movic
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!