"Bryan..."
"Apa?"
"Nama gw Bryan, Kakek!!"
"Enak aja loe, ganteng gini di panggil kakek."
"Gak usah sokap, Jen!!"
"Ihh, udah gw bilang jangan panggil gw Jen, Jen, kayak apaan aja."
"Lha, nama loe kan Jennie?"
"Dia bisu kali, By."
"Hush!! Maaf ya, omongan mereka emang ngawur semua..."
"Ok, gw cuman bingung harus nanggepin yang mana."
"Yaelah, disapa Soya baru nyaut, anjirr, gini amat cowok Korea."
"Aishh!! Kan kalian yang bawel, jadi dia bingung."
"Inget gender anjir, loe semua kayak cewek kalo udah ngomong."
"Cihh, gak nyadar diri!!"
"Aw!! Sakit, Jen, sabar napa?"
"Berisik!! Udah bel masuk, kalian masih ngumpul disini?"
"Maaf, Pak..."
***
"Di sini!!"
"Kita ngapain di sini?"
"Loe tau mereka kan, mereka anggota genk Black Swan. Keren kan, mereka?"
"Terus?"
"Ayo gabung sama mereka!!"
"Kenapa harus gabung sama mereka?"
"Biar keren lah, gimana sih?"
"Loe yakin, mereka bukan kriminal?"
"Makanya..."
"Eh, kalian ngapain disini?"
"Loe ngapain disini, June? Dia siapa? Kok gw belum pernah liat?"
"Dia Daffa, salah satu member Black Swan yang lagi kalian mata-matain."
"Eh, nggak kok, kita cuman numpang lewat."
"Tenang aja lagi, Daffa nih salah satu petinggi BS juga."
"Daffa."
"Bryan..."
"Winter."
"Eh? Eh, ok."
***
"Loe harus pergi dari sini!!"
"Apa?"
"Loe harus buru-buru pergi dari sini, sana!!"
"Tapi gimana sama loe?"
"Pergi, Winter!!"
Deg!!
Pria itu membuka matanya, tepukan seseorang dipundaknya membangunkannya dari tidur lelap yang jarang ia dapatkan.
"Hei!!"
Pria itu terdiam, ia baru mengingat sesuatu. Ia langsung berdiri, ia melihat sekelilingnya. Ah, shit, gw ketiduran disini lagi.
"Udah bangun loe?" Tanya pria itu, sinis.
"Bukan urusan loe!!" Ujar pria itu sambil menghempaskan tangan pria yang memegang kemejanya itu, ia pun pergi begitu saja, tanpa menoleh lagi.
"Hei, Winter!!" Teriak pria itu, saat ia mencapai pintu warnet yang cukup penuh itu.
Pria yang dipanggil Winter itu menatap pria itu, kesal. "Kita udah gak berhubungan sejak lama, jadi gw udah gak ada urusannya sama loe." Ujarnya, ia pun melanjutkan langkahnya.
Bugh!!
Tiba-tiba pria itu menarik kemeja Winter, ia memukul wajah pria itu dengan cukup keras.
"Seenaknya banget loe bilang kayak gitu? Heh, gara-gara siapa, seseorang harus mati di antara kita, huh?"
Winter terdiam, ia mengusap pipinya. "Loe pikir, seseorang itu seneng liat loe masih gabung sama mereka? Udah tentu loe tau, mereka dalangnya."
"Loe masih aja nyalahin orang lain, loe yang bunuh dia, tau gak?"
"Loe tau sendiri, gw gak ada alasan apapun buat bunuh dia!!" Ujar pria itu sambil mengambil tasnya yang tadi terjatuh,...
"Loe harus ikut gw, Winter!!" Teriak pria itu, marah. "Loe bebas karna mereka, seenggaknya loe harus tau berterimakasih."
"Gw gak ada waktu buat ladenin loe, gw sibuk."
Tapi sebelum dia beranjak, beberapa orang telah mengepungnya. Pria itu terdiam, ia menghela nafas pelan.
"Aish..."
"Percuma loe lari, karna loe gak akan pernah bisa kabur!!"
Brak!!
Tanpa diduga siapapun, pria ber hoodie itu tiba-tiba menyerobot ke arah beberapa pria yang mengepungnya. Mereka tak sempat berbuat apa-apa hingga beberapa terjatuh karna terjangan pria kurus itu.
"Shit!! kejar, kejar!!"
"Aishh, cape banget, sialan!!"
Pria ber hoodie itu hanya tersenyum sinis, gw gak akan nyerah, maafin gw, By, tapi gw emang pengecut.
"Irene!!"
Teriakan itu membuat seorang gadis mungil yang baru saja keluar dari mobil itu menoleh, beberapa gadis itu menghampirinya.
"Tumben telat banget, pada nyariin loe tau gak?" Ujar seorang gadis tinggi, membuat gadis yang tengah memasukkan kunci mobilnya ke dalam tas itu menghentikan kegiatannya.
"Maaf, Joy, kan loe tau jadwal gw siang." Ujar gadis bernama Irene itu, miris.
"Heh, bego!! Sekarang kan ada rapat, Alzheimer ya loe!!"
"Serem amat loe, Joy!!" Ujar gadis lainnya, membuat Irene membenarkan ucapan temannya itu. "Udahlah, ayo cepetan, sebelum kita dijadiin bahan sindiran." Ujarnya lagi sambil menarik tangan Irene, membuat Irene menurutinya.
"Pelan-pelan, Sel..."
"Pagi, Irene!!"
"Kak Irene, cantik banget hari ini..."
"Rene, loe ada acara gak malam ini?"
"Ehh, kok loe nikung gw?"
Irene hanya memutar matanya sebal, saat beberapa pria menyapanya. Entahlah, menurutnya itu hanya basa-basi yang tak penting untuk didengarkan.
"Maaf ya, bapak-bapak sekalian, Irene lagi sibuk, harus ikut rapat. Bisa tidak beri kami jalan?" Ujar Gisel, galak.
"Atau mau gw lempar?" Ujar Joy sambil meniup kepalan tangannya, begini-begini Joy salah satu atlet taekwondo yang membuat mereka segera menyingkir.
"Gak seru banget sih..."
"Irene banyak yang jaga, pada galak semua, njirr, bikin gw susah dapetin dia..."
"Emangnya Irene mau sama loe?..."
"Capek ya jadi populer?" Tanya Gisel, membuat Irene menatapnya.
"Nggaklah, dia nikmatin kok kayaknya." Ujar Joy sambil mendorong bahu Irene dengan bahunya, membuat Irene menatapnya datar.
"Ya, karna doi bisa deket-deket sama Kak Stuart, uwu..." Ujar Gisel, menggoda gadis yang sedari dulu naksir sepupunya itu.
"Diem ah, ntar ada yang salah paham." Ujar Irene, tersenyum malu. "Kapan rapatnya dimulai?" Ujarnya, mengalihkan pembicaraan.
"Hmm, bentar lagi, palingan pada ngaret."
"Duhh!!" Pelik Irene, saat ia terdorong kedepan karna seseorang menabraknya dari belakang. Gadis itu memegang bahunya yang cukup sakit, ia menatap pria yang baru saja menabraknya melenggang begitu saja meninggalkannya. "Aishh... Hei!!" Teriaknya, kesal. "Loe gak pernah diajarin buat minta maaf ya, kalo nabrak orang?"
Teriakan itu membuat pria berhoodie itu terdiam, lalu menoleh.
Deg!!
Irene menatap kaget pria itu, wajah pria itu penuh lebam dan bibirnya terluka. Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia bisa seperti itu? Apa yang dia lakukan hingga ia seperti itu?
"Itu Axelle, kan?"
"Dia dateng dengan muka kayak gitu lagi, gak kapok kena tegur mulu?"
"Ya, namanya mantan preman..."
Pria itu hanya menatap Irene datar, lalu ia berbalik...
"L-loe baik-baik saja?" Tanya Irene, lagi-lagi berhasil membuat pria itu menghentikan langkahnya. "Loe gak keliatan baik..."
"Irene!!" Bisik Gisel sambil menarik Irene, membuat Irene menoleh ke arahnya.
Pria itu menoleh sedikit, lalu tersenyum sinis. Terlihat sekali teman-teman gadis itu takut padanya, ia pun meneruskan langkahnya tanpa peduli Irene yang kembali menoleh ke arahnya.
"Hei!!"
"Rene, loe gak boleh ngomong sama tuh orang!!" Ujar Joy, dia tampak bergidik takut.
"Kenapa?" Tanya Irene, bingung.
"Loe gak tau rumor soal itu orang?" Ujar Gisel, Irene menggelengkan kepalanya.
"Loe hidup di zaman apa sih?" Ujar Joy, kesal.
"Namanya Axelle Kang, dia maba fakultas loe. Ada rumor gak enak soal dia, entah apa yang dia lakuin sampe-sampe dia bisa masuk kesini."
"Rumor apa?" Tanya Irene, penasaran.
Joy melihat sekelilingnya, ia menaruh tangannya di samping mulutnya guna berbisik. "Ada yang bilang dia terlibat sama kasus pembunuhan, korbannya temen sendiri."
"Loe dapet rumor begitu dari mana?" Ujar Irene, penasaran. "Kalo dia terlibat, dia gak bakalan ada disini, dia pasti ada di penjara."
"Nah, ini rumor kedua, dia anak mafia, makanya dibebasin gitu aja." tambah Gisel, setengah berbisik.
"Gak masuk akal banget..."
"Terserah, rumornya emang nyebar kayak gitu." Ujar Gisel, Joy membenarkan.
"Tapi dia keliatannya baik,..."
"Better loe ngejauh dari dia, karna dia anak yang gak ramah, loe gak akan pernah bisa deket sama dia." Ujar Joy, kali ini Gisel yang mengangguk.
"Ada baiknya begitu, apalagi kalo rumornya banyak yang tau. Loe gak boleh terlibat apapun, Rene, kita udah mau wisuda."
Irene terdiam, ia menatap Axelle yang tampak berjalan sendirian. Irene menghela nafas, ada sedikit rasa khawatir di hatinya. Entahlah, mungkin karna tadi dia melihat wajah pria itu penuh lebam menakutkan.
***
"Dia kayak gitu lagi..."
"Dia gak kapok dipanggil dosen, ya?"
"Cakep sih, tapi kalo mafia mah serem kali..."
Pria itu hanya memutar matanya mendengar beberapa bisikan yang sebenarnya cukup mengganggu itu, lagian apa pentingnya ngomongin orang yang jelas-jelas gak mereka kenal. Pria itu membenarkan earphone yang menempel di telinganya, masa bodoh dengan mereka yang selalu menatapnya penuh curiga itu.
"Woyyy, Axelle!!"
Axelle memutar matanya, saat merasakan rangkulan dari arah belakangnya. "Apaan sih, John?" Ujarnya sambil melepaskan rangkulan pria yang lebih tua beberapa tahun darinya itu.
"Muka loe kenapa lagi tuh?" Tanya John, pria itu sudah terbiasa melihat wajah penuh memar milik pria bernama Axelle itu.
Axelle mengendikkan bahunya, acuh tak acuh.
"Udah diobatin, kan? Ntar kalo ada bekasnya, gw yang diomelin tau!!" Ujar John, kesal. "Lagian loe kebiasaan banget keluyuran malem-malem, mau ngapain coba?" Dumelnya, lagi. "Kalo loe kayak gini terus, gak heran gw kalo loe bisa ketangkep suatu hari nanti..."
"Berisik, tau gak? Sana loe pergi, kan loe udah gak kuliah." Ujar Axelle sambil mendorong pria yang lebih pendek darinya itu, membuat pria itu berdecak kesal.
"Gw itu..."
"Iya, gw tau, loe disuruh bokap buat jagain gw. Tapi gw bukan bocah, John, gw bisa jaga diri gw sendiri. Gw juga belajar bela diri, emang itu buat apaan?"
"Bela diri apaan? Muka sampe bonyok begini, apanya yang bela diri?" Ujar John, kesal.
"Oii!! Sini, sini!!" Ujar seorang gadis mungil yang tengah melambaikan tangannya pada kedua temannya didepan mading, membuat kedua temannya menghampiri gadis itu.
Axelle menoleh kearah gadis yang tadi pagi tak sengaja ia senggol itu, lalu menghela nafas.
"Kenapa loe? Suka sama dia?" Tanya John, kepo. "Wahhh, Axelle udah dewasa ya sekarang..."
"Sok tau, loe ngapain sih disini? Gak usah bikin malu, mending loe pulang!!"
"Namanya Irene, dia kating lho!!" Ujar John, sedikit menggoda Axelle. "Gw tau dia karna dia primadona fakultas Kimia ini, keren kan? Udah pinter, cantik, populer, sayangnya..."
Axelle menatap John, tanpa sadar menunggu lanjutan omongan pria itu.
"... Dia jombs!! Ciee, cieee, Axelle, loe tertarik sama dia kan?" ujar John, heboh.
"Berisik, John!!" Ujar Axelle, wajahnya memerah karna malu, untung dia memakai hoodie hari ini.
"Loe sejak kapan suka sama dia?" Tanya John, tak peduli protesan yang Axelle lemparkan dari tadi.
"Gw gak suka sama dia, gw refleks noleh karna dia berisik." Ujar Axelle, ia bergegas pergi dari sana.
"Loe gak akan bisa boong sama gw, Al. Ayo cepetan bilang, sejak kapan loe merhatiin dia?" Tanya John, menuntut.
"Mana ada begitu..."
"Gw bilangin bokap loe, ya?"
Axelle menatap John jengah, lalu berjalan pergi meninggalkan pria yang menurutnya berisik itu.
"Axelle, woy!! Jujur sama gw dong, Al..."
Axelle hanya melewati ketiga gadis itu dengan acuh, membuat Irene bisa melihatnya. Gadis itu terdiam, lalu menatap Axelle yang tengah dikejar John. Gadis itu akan menyusul Axelle, kalau aja Joy tak menahannya.
"Mau kemana, Rene?"
"Hm, mau ngasih ini, bentaran doang kok..." Ujar Irene sambil memperlihatkan plester kecil, membuat Joy mengarahkan pandangan ke Axelle yang berjalan tak jauh dari mereka, diikuti Gisel.
"Jangan, Irene!!" Ujar Gisel, jengah. "Dia bukan urusan loe, loe gak boleh ada urusan sama dia."
"Tapi gw gemes pengen ngasih ini ke dia, kasian..."
"Loe mau kena pukul sama dia? Dia tuh gak mandang cewek maupun cowok,..."
"Itu cuman rumor, Joy. Anaknya keliatan baik kok, tuh dia juga punya temen..."
"Temennya juga sama aja, Rene, tampangnya berandalan..."
"Tapi dia gak kayak Axelle..."
"Rene, loe kok keras kepala sih? Udah ayo, kita bentar lagi masuk!!" Ujar Gisel sambil menarik tangan Irene, membuat Irene tanpa sengaja membuang plester yang dipegangnya.
"Eh, plesternya..."
"Udah, ayooo..."
Irene baru saja keluar dari ruang rapat sendirian, semua orang sudah pergi karna kegiatan masing-masing. Gadis itu tampak sibuk dengan kertas ditangannya yang merupakan bahan utama rapat tadi, senat emang lagi sibuk akhir-akhir ini.
"Kamu ini kenapa lagi? Kok pada babak belur begini? Nyari masalah lagi kamu?"
Teriakan itu membuat Irene menoleh kearah sumber suara, kebetulan suasana sangat sepi, jadi ia bisa mendengar dengan jelas omelan seorang dosen ke anak didiknya itu.
"Axelle? Kenapa dia?" Gumam Irene, tertarik.
"Sekarang jelaskan sama saya, gimana kamu dapat luka itu? Kamu ribut sama anak sini? Atau anak univ lain, hah?"
Axelle hanya diam, kepalanya tertunduk. Mulutnya seolah enggan menjawab semua pertanyaan dosen itu, membuat dosen itu mendengus.
"Kamu itu murid yang cukup pintar, Axelle, makanya kami menerimamu disini dengan harapan kamu lebih baik. Tapi apa yang saya liat? Kamu datang selalu dengan wajah seperti itu, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Saya jatuh, Pak..."
"Kamu masih aja bilang jatuh, luka kamu itu emang luka orang jatuh?" Ujar dosen itu, geram.
"Maaf, Pak, saya masih ada urusan, bisa gak saya pergi?"
"Kamu ini..."
"Berhenti, Pak!!"
Irene refleks bicara, saat melihat dosen itu akan memukul Axelle dengan tongkat yang dibawanya.
Axelle menoleh ke arahnya, ia memutar matanya kesal.
"Ada masalah apa, Pak? Bisa kan dibicarakan baik-baik, nanti mahasiswa lain bisa dengar."
"Saya lagi nanya, dia kenapa wajahnya seperti itu? Tapi kamu dengar tadi jawabannya apa, dia pantas dipukul..."
"Sa-saya akan bicara padanya, Pak!! Sebaiknya Bapak kembali ke ruangan Bapak, saya yang akan membicarakan ini padanya agar ia mengerti."
"Baiklah, terserah kamu. Tapi sekali lagi saya liat anak ini kemari dengan wajah seperti ini, saya gak akan segan-segan sama dia. Mengerti?"
Irene mengangguk pelan, ia menghela nafas pelan, kala dosen itu pergi.
Axelle menatapnya sekilas, lalu ia berjalan pergi.
"Tunggu, bukannya kita harus bicara?"
"Jangan ganggu gw, gw gak butuh pembelaan loe." Ujar Axelle, dingin.
"Loe gak ada niatan ngomong sama gw? Loe udah nabrak bahu gw tadi, rasanya sakit tau!!" Ujar Irene, kesal.
"Kenapa loe berdiri disana kalo gak mau ditabrak orang? Dan loe masih bisa jalan, kan? Gak ada masalah serius, kenapa juga harus ngomong sama gw?" Ujar Axelle, ia menarik kupluk hoodie-nya untuk menutupi kepalanya.
"Tunggu dulu..."
Plak!!
Axelle menepak tangan Irene yang tadi memegang tangannya, membuat Irene terdiam, tak percaya akan apa yang baru saja ia alami.
"Loe gak ngerti, ya? Gw bilang jangan ganggu gw!!" Ujar Axelle, setengah membentak.
Irene terdiam, tangannya masih saja berada disana. "Ma-maaf..."
"Aishh, kenal juga nggak, loe gak usah sokap sama gw." Ujar Axelle, dingin. Ia pun memasukkan kedua tangannya kedalam saku hoodie itu, lalu berjalan pergi meninggalkan Irene yang menunduk.
Kenapa dia lakuin itu sama gw? Aishh, awas saja, gw gak bakalan mau nyamperin loe lagi, kalo loe ada masalah.
***
"Ah, capek..." Gumam Irene sambil memijat belakang lehernya, ia baru saja selesai mengerjakan tugasnya malam itu. Irene beranjak dari duduknya, lalu berjalan ke dapur. Ia lapar dan berniat membuat ramen, tapi...
Tak ada apapun.
"Hahh, harus keluar nih gw? Pesen aja kali ya, tapi... Keluar ajalah, sekalian nyari angin." Gumamnya, ia pun berjalan mengambil jaket tebalnya, lalu melangkah pergi.
"Langitnya mendung, kenapa gw gak bawa payung ya tadi?" Gerutu Irene, saat ia sampai di lobi. "Aishh, males banget kalo mesti ke atas lagi, gw buru-buru ajalah..."
Irene berjalan sendirian menuju minimarket yang dekat dengan gedung apartemen tempat tinggalnya, ia memasuki minimarket dan mengambil ramen dan beberapa snack dengan cepat.
"Kan hujan, ck, harusnya tadi gw maksain diri aja keatas atau gak perlu keluar, basah deh..."
Irene berdiri di depan pintu minimarket sambil melihat sekelilingnya, berharap ada seseorang yang menolongnya.
Deg!!
Irene terdiam, kala melihat seseorang berlari melewatinya dengan begitu cepat. Irene menatap orang yang sepertinya tak asing itu, ia mengerjapkan matanya.
"Axelle?"
Beberapa orang melewati Irene lagi, mereka sepertinya mengejar Axelle. Jumlah mereka cukup banyak, membuat Irene sedikit khawatir.
Apa urusannya sama gw? Dia digebukin pun gak ada urusannya sama gw, tapi... Dia bikin masalah apa lagi sih? Males banget deh, harus ya lari depan gw?
Irene menatap sekelilingnya yang sepi, ia menghela nafas pelan. Gw harus gimana?!
Pada akhirnya Irene memilih berlari mengejar Axelle yang sudah cukup jauh, ia menaruh tangannya di atas kepalanya, guna melindungi pandangannya.
"Kemana dia? Apa dia baik-baik aja? Dia kenapa sih dikejar? Kayaknya dia bukan type anak yang selalu bikin masalah, terus dia kenapa?"
Irene berjalan semakin jauh menuju gang-gang sempit yang sepi, ia sebenarnya cukup takut, apalagi disini gelap, tak ada penerangan sama sekali.
"Axelle!! Axelle!!" Teriak Irene, ia sungguh takut berada disana. Ia takut gelap, tapi ia tak mungkin meninggalkan Axelle sendirian.
"Axelle!!..."
Bruk!!
"Loe ngapain disini?"
Irene melotot kaget, tapi kemudian ia menarik tangan orang yang ternyata Axelle itu dari mulutnya. "Gw ngikutin loe, tadi loe..."
Axelle kembali menutup mulut gadis itu, saat ia mendengar suara langkah mendekat. Ia merapatkan tubuhnya kearah Irene, matanya menatap kearah jalan masuk tempat itu.
"Perasaan gw atau bukan, tadi kayaknya gw denger suara cewek manggil Axelle deh?"
"Heh!! Mana ada, lagian siapa itu Axelle?"
Axelle melihat mata Irene membulat, ia mungkin kaget karna mereka teryata tak mengenal nama itu.
"Cari balik yuk, Ga!! Ntar kita dimarahin, loe mau diomelin?"
"Yaudah..."
Suara langkah itu terdengar menjauh, membuat Axelle menghela nafas lega. "Aishh, loe nyusahin gw, tau gak?"
Irene terdiam, ia malah menatap Axelle yang begitu dekat dengannya. Matanya mengerjap, membuat Axelle balik menatapnya.
Axelle menyadari posisinya, ia segera menjauh dari tubuh Irene yang tanpa sadar dipeluknya itu. "Ma-maaf..."
Irene hanya diam, ia segera merapikan rambutnya yang cukup berantakan.
"Ayo keluar, sebelum mereka kembali!!" Ujarnya, tangannya menarik lengan Irene, lebih tepatnya menyeret gadis itu. "Cepetan, kenapa sih?" Ujarnya, kesal.
"Iya, sabar!!" Ujar Irene, kesal. Ia mengikuti langkah Axelle yang mengendap-endap keluar dari sana,...
Krak!!
"Eh, itu dia!!"
"Shit!!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!