PLAK
Nicholas terdiam ngga membalas. Dia hanya bisa menunduk. Tubuhnya dan tubuh Mikayla hanya ditutupi oleh selembar selimut.
"Kamu tega sekali, Nicho. Kamu JAAHAAAT!" teriak Mikayla histeris.
*
*
*
Delapan Tahun Kemudian
"Mika, kapan kamu akan ngenalin calon suami kamu?" Mamanya menatap penuh permohonan.
Selalu itu yang beliau tanyakan. Mungkin mamanya sudah jerih mendengar pertanyaan itu dari para sepupu serta kakek neneknya.
"Mika lagi sibuk kerja, Ma, nyari uang. Bukannya kita butuh banyak biaya untuk bayar kredit rumah dan kuliah Samira dan Okta. Belum lagi kalo nenek minta transferan," ngelesnya yang selalu saja dia katakan tiap didesak untuk segera mengenalkan calon suami.
Mamanya hanya bisa menghela nafas panjang.
"Maafkan mama." Sejak suaminya meninggal mendadak karena serangan jantung, putri tertuanya yang baru saja diterima kerja, harus jadi tulang punggung keluarga.
Mikayla tertawa mendengarnya.
"Mama ngga perlu minta maaf. Mika senang melakukannya. Tapi Mika mohon, ma, jangan paksa Mika buat nikah, ya."
Mama tersenyum getir.
"Kenapa sayang? Kamu sudah dua puluh enam tahun. Sudah sangat pantas memikirkan diri kamu sendiri. Samira juga sebentar lagi lulus, dia akan langsung dinas. Biarkan dia yang membiayai kuliah Okta."
CUP
Mikayla mengecup pipi mamanya dengan lembut.
"Belum ketemu jodohnya aja, ma. Mika berangkat kerja dulu, ya, Ma. Nanti telat."
"Iya, hati hati, ya, sayang."
"Iya, ma." Ojek onlinenya sudah menunggu.
Kemewahan hidup yang dulu dia punya saat masih ada papanya, hilang ngga berbekas
Papa mendadak meninggal dunia dan mewariskan banyak hutang. Rumah dan mobil terpaksa dijual untuk melunasi semuanya.
Untung saja dirinya sudah mendapat kepastian diterima bekerja di sebuah perusahaan konsultan asing. Gaji dua digitnya bisa membuat dia menopang kehidupan keluarganya.
Hanya itu alasan yang bisa dia berikan pada mamanya jika ditanyakan kapan punya kekasih, atau kapan mau menikah.
Mikayla ngga mungkin mengatakan alasannya yang sebenarnya kalo dia sudah insecure dengan pernikahan.
Dia sudah tidak virgin. Memangnya masih ada laki laki yang mau?
Kembali dia mengutuk Nicholas, pacarnya yang secara paksa sudah merenggut kehormatannya.
Memang dia juga yang salah, sudah memberikan hati bodohnya pada laki laki itu.
Tapi ada yang Mikayla syukuri, dia tidak hamil setelah kejadian itu, jadi SMAnya masih lancar jaya.
Nicholas sialan itu melakukannya saat satu minggu lagi mereka akan mengikuti ujian kelulusan SMA.
Mikayla tidak pernah bisa memaafkan laki laki itu walau berulangkali Nicholas memohon maaf darinya.
Hatinya telanjur sakit dan terluka. Dia merasa amat bersalah pada kedua orang tuanya.
Setelah ujian kelulusan, Nicholas pindah entah kemana, Mikayla sudah ngga mau tau lagi dimana laki laki itu berada.
Kebetulan juga papanya pindah perusahaan. Mereka juga pindah. Mikayla sengaja tidak bermain sosmed sampai sekarang. Dia pun mengganti nomer ponselnya
Mikayla ingin melupakan semua kisah kelamnya saat SMA. Terutama melupakan Nicholas.
Tapi jejak masa lalu itu ternyata membekas sampai sekarang
Bukannya ngga ada yang mau dengannya. Ada beberapa orang yang kriterianya masuk.dalam daftar idaman para orang tua.
Tapi Mikayla ngga mau ditalak saat malam pertama. Saat suaminya tau dia sudah bekas orang.
Padahal suaminya juga belum tentu juga masih suci dan ting ting. Mereka pasti rata rata sudah pernah melakukannya.
Tapi dasarnya mereka mahluk paling egois..Para laki laki itu pasti menginginkan perempuan yang suci. Dan perempuanlah korban yang selalu tersakiti
Mikayla.ngga butuh laki laki. Dia lebih butuh dan sangat suka dengan uang. Tentu saja uang hasil jerih payahnya sendiri. Bukan dari pemberian laki laki yang akan dipanggil suami.
*
*
*
"Ngelamun, babe?'
Mikayla terkejut mendengar suara cempreng teman satu divisinya.
Alea.
Gara gara ucapan mamanya tadi pagi, dia jadi memikirkan laki laki sia lan yang sudah menghilang selama dua puluh enam tahun dari hidupnya.
"Disuruh cepat nikah lagi, ya," kekeh Alea berderai.
Mikayla menampilkan wajah masamnya.
Mentang mentang sudah punya pacar, batinnya kesal.
Salahnya juga kenapa Alea sekarang mengejeknya begitu. Beberapa hari yang lalu dirinya keceplosan cerita soal keinginan mamanya agar dia segera mencari calon suami.
"Nih, laporanmu salah semua." Mikayla dengan kesal mendorongkan kertas kertas hasil print an yang baru dia periksa ke tangan Alea.
"Masa, sih, salah semua. Parah nih, kalo yang meriksa lagi banyak masalah," kecam Alea ngga terima.
"Bodoh amat," balas Mikayla ngga peduli.
Alea melototkan matanya.
"Salahmu mengganggu macan yang lagi tidur," kekeh Nala membela Mikayla.
Beberapa staf yang ada di sana tertawa melihat perdebatan keduanya. Sudah biasa.
"Makan sianglah, ayo. Udah lapar, nih," ajak Rumi melerai perdebatan yang mungkin akan berlangsung lama.
"Yaa... Oke."
"Laporanku gimana? Beneran salah semua?" Alea masih kesal melihat hasil kerjanya.
"Perbaiki nanti aja. Makan dulu," tukas Rumi menyahut.
"Kalian, sih, enak," sungut Alea kesal sambil memperhatikan hasil kerjanya. Dia memang selalu meminta bantuan Mikayla memeriksanya sebelum disetor ke kepala divisi mereka.
Kembali yang lainnya tergelak gelak tanpa perasaan. Hidup mereka sudah sulit, saat melihat teman menderita begini adalah hiburan.
Untuk berhemat, mereka memilih makan siang di kantin perusahaan.
Rata rata yang kerja bersamanya anak perantauan dan generasi sandwich. Mereka harus mengirimkan separuh lebih tiap gajian buat keluarga.
Padahal hidup di Jakarta serba mahal, Harus pintar pintar mencari tempat makan murah tapi enak.
Gaji mereka yang dua digit jadi ngga berguna karena keperluan di rumah yang sangat besar. Termasuk dirinya.
"Katanya salah satu staf kita akan dipromosikan ke pusar loh," celoteh Alea sambil memotong bulatan baksonya.
"Valid benar ngga infonya?" tanya Nala memastikan.
"Validlah," tegas Alea. Dia mendengar langsung obrolan kepala divisi dan wakilnya di dalam lift saat tugas ini diberikan padanya.
"Semoga aku yang terpilih. Gajinya tiga kali lipat. Baru aku bisa nafas," kekeh Alea melanjutkan ucapannya. Sudah terbayang di dalam kepalanya, sisa gaji yang lebih besar nanti akan dia belanjakan buat apa saja nanti.
"Aku juga berharap kepilih," sambung Rumi.
"Kakakku mau lahiran lagi anak kedua. Heran, deh, malah aku yang diminta menyiapkan dana," sungutnya melanjutkan.
"Itu anak dari suaminya yang dulu?" Mikayla yang tau sedikit cerita tentang keluarga Rumi jadi kepo.
"Iya. Laki laki itu seenaknya pergi dengan selingkuhannya, padahal tau udah nanam be nih sama kakakku," geram Rumi menyahut.
Kakaknya seorang janda anak satu dan sedang menunggu kelahiran anak kedua. Suaminya adalah laki laki yang meninggalkannya demi selingkuhannya. Tanggung jawab buat kedua ponakannya juga ngga ada.
"Semoga cepat dimatikan tuh laki," kutuk Alea gemas. Dalam hati berharap calon suaminya tidak begitu.
Karena itu dia rajin perawatan. Teringat pesan dari seorang artis, kalo wajah dan tubuh adalah aset yang harus paling dijaga kesehatannya.
"Semoga," jawab Mikayla juga geram. Dia semakin takut untuk menikah. Suaminya nanti akan lebih mudah meninggalkannya. Selain sudah ngga virgin, mungkin nanti akan ada alasan alasan lain. Selingkuh misalnya.
"Aku juga berharap begitu. Biarpun ditanggung asuransi, tetap saja aku butuh banyak uang untuk cuci ginjal papa," sambung Nala.
Hening, mereka seolah sedang meratapi nasib.
"Orang orang di luar ngelihat kita keren, bisa kerja di sini dengan gaji dua digit. Mereka ngga tau aja borok yang harus kita tanggung," keluh Rumi.
"Sabar, Rum," ucap Mikayla pelan.
"Mika, kamu ngga berharap dipilih?" Rumi balik nanya. Menurutnya diantara mereka, Mika lah kandidat terkuat.
"Nggak. Kalo di pusat kita pasti bakalan dipressure lagi." Di sini saja dia sudah lembur tiap hari. Untung sabtu minggu libur. Takutnya setelah di pusat, hari sabtu dan minggu malah disuruh ngecek cabang di luar kota.
"Iya, sih. Tapi demi berbutir butir berlian, ngga akan aku tolak," pungkas Nala setelah menghabiskan es jeruknya.
"Aku juga. Buat nambah aksesori nikah," tawa Alea berderai.
Rumi, Nala dan Mikayla juga ikut tergelak.
"Kalian berempat mulai besok ditugaskan ke kantor pusat," titah Bu Siska pada Mikayla, Alea, Rumi, dan Nala.
Ketiga temannya menyambut keputusan ini dengan perasaan senang luar biasa. Sedangkan Mikayla malah terdiam
"Sungguh, Bu Siska? Terimakasih, bu," seru Alea ngga percaya. Ternyata mereka berempat kepilih semua.
"Terimakasih bu," seru Rumi dan Nala berbarengan.
"Mika, kita bakalan sama sama," tukas Nala yang ngga menyadari kebimbangan di wajah Mikayla.
Mikayla hanya tersenyum, tapi dia yakin senyumnya hambar.
Dia akan semakin diprioritaskan keluarga kakek neneknya ini buat diminta transferan
Nyicip gitu istilah mereka, batin Mikayla sebal.
"Perusahaan pusat lagi butuh banyak analis seperti kalian. Kalian mungkin akan bekerja lebih keras dari di sini. Tapi jangan khawatir, gaji yang diberikan tiga kali lipat. Jangan lupa bonusnya," jelas Pak Atma selaku ketua divisi mereka.
"Kalian akan terus dipantau. Jika.melakukan kesalahan, kalian akan dipulangkan ke sini lagi. Tapi kalo kesalahannya ngga fatal," sambung Bu Siska lagi.
Oh, bisa balik ke sini lagi? batin Mikayla senang.
"Tapi buang pikiran itu dari kepala kalian. Jika itu terjadi gaji kalian akan dipotong setengahnya selama setahun," ancam Bu Siska seakan tau isi pikiran Mikayla.
Ngga apa, ngga apa. Buat apa gaji gede tapi buat diporotin banyak orang, bantah Mikayla santai.
"Ngga mungkinlah, Bu. Kita pasti akan kerja sebaik baiknya dan ngga akan mempermalukan perusahaan kita. Janji, Bu Siska, Pak Atma," tukas Alea penuh semangat.
Ngga mungkin dia menyia nyiakan kesempatan ini, batinnya.
"Ya bu Siska, Pak Atma. Kita akan bekerja dengan baik di sana," ucap Nala sungguh sungguh. Hatinya lega bisa memberikan pengobatan terbaik untuk papanya nantinya.
"Saya juga janji, bu," sambung Rumi ngga kalah seriusnya.
Mikayla menoleh ketika dia merasa senggolan cukup keras di lengannya.
Alea menatapnya dengan delikan peringatannya, karena masih diam saja.
"Saya juga, bu," ucapnya terpaksa.
Ya sudahlah, batinnya. Mungkin nanti dia akan minta mamanya merahasiakan dulu agar keluarga besarnya ngga cepat heboh.
"Perusahaan akan buka lowongan sepeninggal kalian. Bisa saja posisi kalian sudah digantikan, walau ibu ngga yakin," keluh Siska. Keempat orang gadis di depannya adalah pegawai pegawai terbaiknya.
Ngga biasanya perusahaan pusat meminta sampai empat orang. Biasanya hanya dua orang saja
"Sudah, tenanglah, Sis. Pasti banyak yang berkualitas bagus melamar kerja nanti," tukas Pak Atma dengan sunggingan lebar di bibirnya.
*
*
*
"Kamu kenapa ngga semangat gitu, sih, Ka?" tanya Alea ketika mereka sudah kembali ke ruangan mereka.
"Kamu beneran ngga mau pindah?" Rumi sampai menggelengkan kepala..Teringat ucapan Mikayla di kantin.
"Memang kerjanya bakal capek. Tapi kita bisa punya lebih banyak uang," tawa Nala berderai.
"Nih, lihat saja. Acc kredit mobilku udah ngga ada masalah. Mobilnya ntar lagi diantar. Besok pagi pagi banget kalian aku jemput," tukas Alea senang.
"Beneran, nih?" Nala sangat senang.
"Iya, dong. Ngga mungkin kita masih naek transportasi umum," sambar Alea cepat yang dibalas dengan tawa berderai Nala dan Rumi.
"Emangnya ngga apa apa jemput tiap pagi?" sela Mikayla dalam tawanya.
"Ngga apa apa, baliknya juga diantar. Asal pert a max lancar."
"Beres kalo cuma itu mah." Rumi yang menjawab. Dia selama ini naek motor, cuma rada sungkan bawa motor ke kantor pusat.
"Mobilnya baru, Lea?" tanya Nala ingin tau. Dia juga berencana beli mobil bekas yang tahunnya masih mudaan saja nanti.
Kantor pusat sudah pasti jauh lebih eksklusif dari pada kantor mereka sekarang. Memang ngga mungkin dia naek ojek online demi menghemat waktu.
Mungkin saja akan berjejer mobil mobil pegawai, karena dengan gaji mereka di sana, beli mobil ngga akan sulit.
"Baru, yang lgcc saja. Ngga terlalu mahal. Kamu mau beli, lewat aku aja, lumayan aku bisa dapat bonus," kekeh Alea mengakhiri omongannya.
"Bukan," tawa Nala menanggapi.
"Mau beli mobil bekas saja. Yang ngga nyampe seratus jeti," lanjutnya.
"Tapi kalo ngga teliti, bisa bisa kamu banyak keluar uang, loh, buat perbaikan," tukas Rumi.
"Asal kamu bawa orang yang ngerti mobil aja. Jadi ngga terlalu ketipulah," sahut Mikayla.
"Mobil bekas ngga semuanya jelek, kok. Ada juga yang bagus," lanjut Mikayla lagi.
"Sesuai bajet," kekeh Nala. Niatnya juga biar gampang bawa papanya ke rumah sakit kalo haris cuci darah.
"Tapi sebelum bisa beli, aku nebeng mobil baru kamu, ya, Le." Nala berucap di tengah derai tawanya.
"Lah, tadi, kan, udah aku tawarkan." Tawa mereka kembali meledak.
*
*
*
"Sudah pulang?" tanya mamanya ketika melihat putri tertuanya memasuki rumahnya saat hari masih awal petang.
Biasanya putrinya pulang jam delapanan malam.
"Iya, ma." Mikayla mengambil tempat duduk di samping mamanya.
"Ada apa?' Mamanya sudah tau kebiasaan Mikayla kalo mau ngomong serius.
"Ma, mulai besok, Mika kerja di perusahaan lain."
"Kamu pindah?" Mamanya membetulkan letak duduknya.
Mikayla tersenyum sambil menggenggam tangan mamanya.
"Aku ditarik ke kantor pusat, Pa. Gajinya gede banget, tapi mama rahasiain, ya, sama yang lain."
Mamanya tertawa.
"Ya, ngapain juga kita harus cerita, kan?"
Mikayla juga tertawa.
"Aku mau kredit mobil baru, ma, bulan depan. Biar kita punya mobil kayak dulu."
Sepasang mata mamanya memanas.
"Ya, sayang."
"Samira dan Okta belum pulang, ma?" Mikayla mengalihkan pembicaraan yang membuat mamanya sedih.
"Samira tadi sudah pulang, tapi pergi dengan temannya. Kalo Okta lagi maen sama temannya."
"Oh iya, mam."
"Makan dulu sama mama. Mama sudah masak. Jarang jarang bisa makan sama kamu kalo ngga hari Sabtu atau Minggu."
"Iya, ma." Mikayla menyandarkan kepalanya di lengan mamanya. Inilah yang membuatnya enggan pindah ke perusahaan pusat. Dia takut tidak ada waktu santai bersama mamanya.
*
*
*
Di belahan bumi yang lain.
"Nicho...! Kamu JAAHAAAT!"
Laki laki muda itu terhentak dari tempat tidurnya, membuatnya terjaga.
Punggung bajunya dibasahi keringat yang sangat banyak.
Acc di kamarnya sama sekali tidak terasa dingin.
Nafasnya masih terengah.
Dia langsung menegukkan air mineral yang ada di meja yang berada ngga jauh dari sisi ranjangnya.
Kemudian dia membuka laci meja itu. Meraih kotak kecil berselimutkan kain beludru merah yang ada di sana.
Dia menghela nafas sebelum membukanya.
Sebuah testpack tanpa garis garis merah.
Teringat lagi dialog yang mereka ucapkan pada waktu itu.
"Oke, kalo kamu mau kita putus, aku terima. Tapi aku minta kamu tes dulu agar aku tau apa yang harus aku lakukan nanti."
Gadis berseragam putih abu abu itu terkejut melihat benda keramat yang dia berikan.
"Aku dapetinnya susah. Jangan sia siakan. Cuma beli satu aja."
Kekasih atau mantannya itu menatapnya horor, tapi dia ngga peduli.
"Makanya aku hadang kamu pagi pagi gini. Kata mbak di apotek, harus di tes pagi pagi."
"Di tes?"
"Iya, kamu pipis dulu. Taruh alat itu di pipis kamu. Tunggu bentar. Kalo muncul garis warna merah, kamu hamil. Kalo nggak, kamu aman."
Mata indah di depannya membulat marah.
"Aman? Kamu mau lari dari tanggung jawab?"
Dia yang juga berseragam putih abu abu menatap gadis itu dengan tatapan menyeringai.
"Bukannya kamu yang nolak. Pagi itu, kan, aku udah bilang mau tanggung jawab."
"Jangan ingat ingat lagi!"
Suara gadis itu agak berteriak. Mungkin antara malu dan marah karena aku sudah melihatnya tanpa sehelai benang pun pada malam itu.
Nicholas menyimpan lagi testpack keramat itu di dalam kotak yang berselimutkan kain beludru merah.
Kenapa aku memimpikan dia lagi, gerutunya dalam hati.
Nggak lama kemudian ponselnya bergetar.
"Mami?" gumamnya ketika tau siapa yang melakukan video call.
"Ada apa, mam?"
"Papi, Nic.....! Papi....!" suara mami terdengar melengking dengan air mata yang bercucuran. Di dekat maminya ada kakek dan neneknya yang juga tampak cemas dan khawatir.
Nicholas menatap latar tempat maminya menelpon.
Ruang ICU!
DEG
"Papi sakit apa, mam?" Nicholas jadi ikutan panik.
Biasanya papinya segar bugar. Kenapa bisa di ICU?
"Papi terkena stroke."
Nicholas ternganga.
"Kok, bisa, mam?"
"Ada korupsi di perusahaan kita. Mungkin karena itu papi terkena stroke. Tapi papi sudah menghired empat akuntan baru untuk menganalisa semua kerugiannya."
"Siapa yang korupsi, mam?"
"Pak Rama, wakil direktur keuangan. Sekarang orangnya sudah dipenjara."
"Ya, mam." Nicholas masih mengingat wajah salah satu staf direksi kepercayaan papinya.
Kenapa? Masih kurang gaji yang diberikan papinya? Nicholas hanya bisa menggeleng gelengkan kepalanya.
Dia tau kalo papinya sangat royal dengan staf dan karyawannya. Ini adalah korupsi pertama yang mungkin baru ketahuan.
"Nicho, besok kamu pulang, ya, nak. Handle perusahaan papi. Jangan sampai bangkrut."
"Mami...., aku punya perusahaan di sini. Lagi pula perusahaan papi ngga bakalan bangkrut, mam. Yakin, deh, mam."
"Jadi kamu ngga mau pulang?!" suara mami mulai melengking lagi.
"Pulang, mam. Besok pagi Nicho akan pulang."
Terdengar dengusan kesal maminya.
"Pokoknya kamu harus gantiin posisi papimu sampai papimu sembuh. Ngga ada bantahan!"
"Iya, mami sayang. Iyaa....." Nicholas menepuk keras jidatnya.
Mati gua, batinnya.
Setelahnya maminya memutuskan sambungan telponnya, Nicholas menghembuskan nafas panjang.
Akhirnya dia ngga bisa berkelit lagi untuk menerima posisi papinya yang selalu dia tolak
Papinya mendadak sakit. Ngga mungkin dia abaikan.
Tengah malam begini Nicholas harus sangat sibuk. Kalo maminya sudah ngasih ultimatum begitu, dia ngga akan bisa berbuat apa apa selain menurut.
Sekarang juga saatnya dia harus rajin berdo'a agar papinya cepat sembuh.
Dia menimang lagi kotak beludru merah yang berisi testpack keramat itu.
Pantasan aku mimpi tentang kamu.
*
*
*
"Kenapa kamu harus pulang? Di sini karirmu sudah sangat bagus," rengek Liza mencoba mengubah pendirian tunangannya.
"Papiku sakit, Liz. Kamu, kan, tau, aku anak tunggal."
"Tapi perusahaanmu di sini bagaimana? Ini perusahaan yang kamu dirikan sendiri, kan, tanpa campur tangan orang tuamu," rengek Liza lagi.
"Aku mendirikannya bersama Ben, Liz, kalo kamu lupa." Nicholas, laki laki itu terus saja merapikan penampilannya di depan cermin.
"Ya, ya, aku tau," kesal Liza.
"Kamu ngga bawa koper?"
"Untuk apa?" Toh, pakaiannya juga banyak di sana. Bahkan yang masih bersegel.
"Semuanya akan kamu tinggalkan?" Liza menatap tak percaya.
Tunangannya serius akan meninggalkan semua pakaian bermerek, koleksi jam tangan mahal dan sepatu sepatunya di sini?
"Aku sesekali pasti akan kembali ke sini juga, kan?" Nicholas memeriksa tas kecilnya.
Semua dokumennya sudah lengkap. Dia ngga akan tersangkut di imigrasi.
Liza memberikan tatapan nanarnya pada Nicholas yang ngga bisa dia kendalikan.
"Kamu ngga mau ikut pulang? Calon mertuamu sakit." Nicholas menatap tunangannya yang masih membeku.
"Aku masih punya show malam ini, juga beberapa show di waktu dekat ini. Sampaikan salamku pada tante, semoga om cepat sembuh. Mungkin aku akan menyusul setelah semuanya selesai." Dia seorang desainer yang sudah cukup punya nama.di belahan negara Eropa. Susah payah dia membangun karirnya.
Ngga mungkin dia akan membuang semua kesuksesannya dengan begitu mudah.
"Kamu bisa berkarir di negara kita."
Liza menggelengkan kepala.
"Nggak, Nic. Setelah kita menikah, pun, aku akan tetap tinggal di sini. Kita punya karir yang cemerlang di sini. Kamu mau, kan?" bujuknya dengan mata puppiesnya.
Nicholas mengalihkan tatapnya ke arah cermin, memastikan tampilannya sudah sempurna atau belum.
"Kita lihat saja nanti," ucapnya cuek.
"Nic, kita sudah sepakat," rengek Liza seolah menagih janji Nicholas.
"Terpaksa aku batalkan."
"NICHOLAS!" seru Liza gemas dan kesal.
Laki laki tampan itu tersenyum miring.
"Kamu ngga takut aku selingkuh?!" cecarnya lagi.
"Kamu mau selingkuh dengan siapa?"
"Dengan siapa saja. Banyak yang menyukaiku."
Nicholas hanya tertawa menanggapinya. Dia tampak santai sama sekali ngga terancam dengan rengekan Liza.
"Bagaimana kalo aku selingkuh dengan Ben?" tantang Liza makin gemas dengan ketakpedulian Nicholas.
Mereka bertunangan karena permintaan kedua orang tua mereka yang memiliki hubungan bisnis.
Nicholas sama sekali ngga menolak, Liza bersyukur karena dia amat sangat senang bisa bertunangan dan akan menikahi laki laki tampan dan sukses seperti Nicholas.
"Yakin Ben mau sama kamu?" ejek Nicholas dalam derai tawanya. Terkesan meremehkan.
"Tentu saja. Mana ada yang bisa menolakku. Kamu aja mau," sengit Liza mulai emosi.
"Ya, ya, terserah kamu, honey. Aku pergi dulu."
Nicholas meraih wajah itu dan membenamkan bibirnya di sana.
Liza membalasnya dengan ngga kalah panasnya. Nafasnya sampai terengah
"Bernafas, Liza," ejeknya lagi sambil menjauhkan bibirnya.
"Kamu ciuman aja belum pintar, tapi udah niat mau selingkuh." Tawa Nicholas masih berderai saat melangkah meninggalkan Liza yang masih mengatur jalan nafasnya.
"NICHOLAAASSS!" teriak Liza kesal karena laki laki itu sudah jauh meninggalkannya.
Liza berjalan cepat menyusul Nicholas dengan dada yang bergemuruh menahan marah.
Laki laki itu ternyata sudah membuka pintu apartemennya dan ada Ben di sana.
"Sekarang, bos?"
"Ya."
"Ngga ada kopernya?"
"Aku udah bilang, Ben. Tapi dia ngga mau bawa apa apa selain tas kecilnya itu," lapor Liza masih dengan sisa marahnya.
"Sudahlah," ucap Nicholas sambil melangkah keluar. Dia malas berdebat.
Tadi pagi maminya sudah menghubunginya dan kata beliau, keadaan papinya mulai membaik.
"Perusahaan bagaimana, Nic?" tanya Ben menjejeri langkah Nicholas.
"Kan, ada kamu."
"Aku ngga sepintar kamu."
PUK
Ben menoleh saat merasakan tepukan di bahunya.
"Kita mendirikan perusahaan ini bersama. Aku ngga pernah membatasi gerakmu selama ini. Karena itu perusahaan ini semakin berkembang."
Ben menatap punggung Nicholas yang sudah berada di depannya.
"Thank's, Nic."
Nicholas mengangguk sambil melambaikan tangannya.
"Tapi hari ini kamu harus jadi supir, ya. Antar aku ke bandara."
"Siap, Pak Bos." Agak bergegas Ben menyusul Nicho.
Setia banget, sih, lo dengan Nicho, geram Liza membatin sambil menghentakkan kaki kesal sebelum mengejar keduanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!