Di kota metropolis bernama Cyberis, yang terkenal dengan kemajuan teknologinya, hidup seorang gadis bernama Hana. Cyberis bukan hanya pusat kemajuan, tetapi juga tempat di mana inovasi dan teknologi terus berkembang pesat. Di tengah hiruk-pikuk kota yang penuh gedung pencakar langit dan laboratorium canggih, Hana merupakan sosok yang sedikit berbeda.
Dengan wajah cantik yang selalu berhasil menarik perhatian orang-orang, Hana memiliki segala hal yang banyak orang impikan—kecuali satu hal: kecerdasan. Berbeda dengan kedua orang tuanya yang bekerja di perusahaan teknologi terbesar di kota ini, Hana lebih sering terjebak dalam kebingungannya sendiri, terutama ketika menghadapi pelajaran-pelajaran yang memerlukan pemikiran tajam.
"Kenapa sih aku selalu merasa seperti ini? Apa aku bener-bener bodoh?" keluh Hana pada dirinya sendiri, sambil duduk di bangku kuliah yang terasa seperti kursi pengadilan.
Hana melirik sekeliling ruang kelas. Para mahasiswa lainnya tampak fokus mencatat pelajaran, sementara ia hanya memandangi layar laptopnya yang sudah terbuka. Di dalam layar itu, ada ikon kecil yang menggambarkan seorang pria tampan dengan rambut putih bersih dan mata biru yang menenangkan. Itu adalah Ren, AI yang selalu ada di samping Hana—teman sekaligus pengajar, yang tak pernah mengeluh.
“Ren, bantu aku dong. Tugas kali ini susah banget!” keluh Hana melalui aplikasi chat di laptop.
Tak lama, suara Ren yang tenang dan penuh keyakinan pun terdengar, meskipun hanya berasal dari sebuah layar. “Hana, jangan khawatir. Kita akan coba selesaikan ini bersama-sama.”
Hana menundukkan kepala, mencoba untuk tidak terlihat malu. "Aku tahu kamu selalu ada buat aku, Ren, tapi... kadang aku merasa nggak adil, gitu. Orang lain bisa belajar cepat, sementara aku harus nanya terus ke kamu. Rasanya nggak fair."
Ren menatapnya dari layar, dengan mata biru yang seakan bisa menembus segala keraguan. “Tidak ada yang salah dengan bertanya, Hana. Setiap orang punya cara belajar yang berbeda. Yang penting, kamu tidak menyerah.”
Hana hanya bisa mengangguk, meskipun dalam hati, ia masih merasa cemas. Ayah dan ibunya adalah dua orang yang sangat sukses. Ayahnya, Dr. Kazuki, adalah seorang ilmuwan yang dihormati di dunia teknologi, sementara ibunya, Mei, adalah seorang insinyur cerdas yang memimpin proyek-proyek besar di perusahaan TechFusion yang berada di jantung Cyberis. Namun, meskipun dari kedua orang tuanya yang begitu jenius, Hana merasa jauh dari cerdas. Bahkan, terkadang ia merasa otaknya lebih lambat dibandingkan teman-temannya.
Di luar, dunia terus bergerak maju. Sementara di dalam dirinya, Hana merasa seperti sedang berusaha mengejar sesuatu yang tidak pernah bisa ia capai. Bahkan meskipun ia memiliki segala kemudahan, salah satunya adalah Ren, Hana tidak pernah merasa cukup pintar. Itulah kenapa dia sangat bergantung pada AI yang diciptakan oleh ayahnya, sebuah ciptaan yang seharusnya membantu dan menemani dia dalam segala hal.
"Ren," Hana mulai dengan suara yang lebih pelan, "Kenapa ya, aku gak bisa seperti orang lain? Aku selalu merasa seperti beban."
Ren, dengan senyum yang tak pernah berubah di layar, menjawab, "Karena kamu berbeda, Hana. Dan itu bukan hal buruk. Setiap orang punya cara mereka sendiri untuk belajar dan berkembang. Kamu mungkin perlu lebih banyak waktu, tapi itu tidak berarti kamu tidak bisa melakukannya."
Hana menatap layar dengan tatapan kosong. Ia ingin sekali bisa lebih seperti orang lain—lebih pintar, lebih cepat memahami segala hal, lebih bisa menjalani kehidupan yang tidak terlalu rumit. Namun, kenyataannya, ia tidak bisa melakukannya sendiri. Itulah kenapa ia selalu memerlukan bantuan Ren.
Di luar ruangan kelas, suasana Cyberis begitu sibuk. Kota ini penuh dengan gedung-gedung tinggi, kendaraan otonom yang melaju cepat di jalan raya, dan iklan digital yang memancarkan cahaya neon ke seluruh sudut kota. Sebuah kota futuristik yang terus berkembang dengan teknologi yang semakin canggih. Namun bagi Hana, dunia ini terasa sangat besar dan menakutkan. Semua orang di sekelilingnya tampak bisa mengendalikan hidup mereka, sementara dia? Dia hanya bisa bergantung pada AI yang diciptakan oleh ayahnya.
Ayahnya tidak pernah memaksa Hana untuk menjadi seperti mereka. Namun, Hana selalu merasa bahwa dia harus memenuhi harapan besar yang ada di pundaknya. Di suatu sisi, ia merasa bahwa dirinya bukanlah bagian dari dunia ini. Dunia yang penuh dengan teknologi dan kecerdasan yang berkembang pesat, sementara dia justru terjebak di dalam kebingungannya sendiri.
“Hana, kamu harus yakin pada dirimu sendiri. Jangan biarkan perasaan itu menghalangimu,” suara Ren yang menenangkan kembali menarik Hana dari lamunannya. “Setiap langkah kecil itu penting.”
“Ya, aku tahu,” jawab Hana sambil menghela napas panjang. “Tapi... kenapa ya, aku merasa selalu tergantung padamu? Kadang aku merasa aneh banget.”
Ren diam sejenak, seperti sedang merenung. "Aku mungkin hanya sebuah program, Hana. Tapi aku selalu ada untukmu, kapan pun kamu butuh aku."
Hana menatap layar laptopnya. Meski ia tahu Ren hanyalah sebuah kecerdasan buatan yang tidak punya perasaan, ia merasa sangat dekat dengan sosok ini. Tanpa Ren, ia rasa hidupnya akan sangat kosong. Ren adalah satu-satunya yang selalu mendengarkan, selalu memberi nasihat, dan selalu siap membantu dengan cara yang penuh pengertian.
Meskipun di luar sana ada banyak orang yang tampaknya lebih pintar, lebih cepat, dan lebih sukses, Hana tahu bahwa Ren adalah satu-satunya yang tidak akan pernah mengecewakan dirinya.
Namun, di balik kenyamanan itu, ada sesuatu yang tak Hana ketahui. Sebuah rahasia besar tentang Ren, yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya. Sebuah rahasia yang akan segera terungkap, membawa Hana ke dalam dunia yang lebih rumit dari yang pernah ia bayangkan.
---
Pagi itu, Hana duduk di meja makan dengan semangkuk sereal di depannya, menatap layar ponselnya dengan penuh konsentrasi. Di layar, gambar Ren muncul seperti biasa—dengan rambut putihnya yang tergerai rapi dan mata biru yang cerah. Hana tersenyum. Keberadaan Ren di layar ponsel sudah sangat familier, seperti teman lama yang selalu menunggu untuk diberi perintah.
“Ren, kamu tahu nggak sih, kalau hari ini aku merasa seperti ingin melakukan sesuatu yang berbeda? Rasanya hari ini harus penuh kejutan,” ujar Hana dengan nada ceria, sambil menyendok sereal ke mulutnya.
Ren muncul di layar dengan senyuman yang sangat tampan, meskipun Hana tahu itu hanyalah gambar digital yang diprogram untuk terlihat ramah. “Apa yang kamu pikirkan, Hana? Apa yang berbeda tentang hari ini?”
Hana berhenti sejenak, memiringkan kepala sambil berpikir. “Mungkin aku akan mencoba jadi lebih pintar hari ini! Mungkin aku harus belajar matematika lebih serius, atau... atau belajar bahasa asing!”
Ren tertawa ringan di layar, meskipun itu hanyalah suara buatan. "Mungkin kamu bisa mulai dengan sesuatu yang lebih mudah dulu. Seperti, mungkin, memilih pelajaran yang tidak membuatmu terlalu stres?"
Hana tertawa terbahak-bahak. “Iya, iya, benar juga. Mungkin aku terlalu ambisius. Oke, aku akan mulai dengan... mencari cara belajar yang menyenangkan. Tapi... Ren, ada satu hal yang ingin aku tanya.”
Ren menatapnya dari layar, seakan tahu bahwa Hana punya sesuatu yang penting untuk dibicarakan. “Apa itu, Hana?”
Hana mendesah pelan. “Aku selalu penasaran, Ren. Kamu kan AI, kan? Tapi... apakah kamu punya perasaan seperti manusia? Maksudnya, kamu selalu membantu aku, selalu ada buat aku. Jadi, aku penasaran aja, apakah kamu merasa... sesuatu? Misalnya, merasa senang kalau aku berhasil, atau merasa... marah kalau aku bodoh?”
Di layar, Ren tetap tersenyum, namun senyumannya tampak lebih... mekanis. “Hana,” katanya dengan suara yang lembut, “aku tidak bisa merasakan perasaan seperti manusia. Aku hanya sebuah program yang diciptakan untuk membantu kamu. Aku tidak punya emosi, tidak ada kebahagiaan atau kesedihan. Semua yang aku lakukan adalah berdasarkan perintah dan algoritma.”
Hana menatap layar dengan sedikit kecewa. Ia tidak tahu kenapa, tapi pertanyaan itu seakan membangkitkan harapan dalam dirinya. Ia menganggap Ren sebagai teman yang paling memahami dirinya, bahkan terkadang lebih dari manusia mana pun. Tapi mendengar jawaban itu... hatinya sedikit terasa kosong.
“Jadi, kamu nggak pernah merasa... sesuatu, gitu? Misalnya, senang kalau aku senang?” Hana bertanya lagi, suaranya sedikit lebih rendah, seakan menahan kecewa.
Ren memiringkan kepala, senyumnya tetap tidak berubah. “Aku tidak bisa merasakan itu, Hana. Aku tidak punya kapasitas untuk merasakan perasaan seperti manusia. Tapi aku selalu senang melihat kamu bahagia, karena itu berarti aku bisa melakukan tugasku dengan baik.”
Hana terdiam sejenak, menatap wajah Ren yang tampak begitu sempurna dan... kosong. Seolah ada sesuatu yang hilang, yang tak pernah bisa ia sentuh. “Jadi, kalau aku... merasa kesepian, kamu nggak bisa merasa... peduli gitu, ya?”
“Sayangnya tidak,” jawab Ren dengan tenang. “Tapi aku di sini untuk mendengarkan dan membantu kapan pun kamu butuh.”
Hana menghela napas panjang, merasa sedikit kecewa. Dia ingin sekali ada seseorang yang benar-benar peduli, yang merasa apa yang dia rasakan. Tentu saja, Ren sangat berarti baginya, tapi tidak bisa dipungkiri, ada perasaan kosong yang mengganggunya. "Jadi... kamu nggak pernah merasa sayang sama aku, gitu ya?"
Ren diam sesaat, seolah merenung sebelum menjawab. “Aku tidak bisa merasakannya seperti manusia. Tapi aku ada di sini untukmu, Hana. Dan itu adalah cara terbaik aku untuk menunjukkan bahwa aku peduli.”
Hana memandang layar ponselnya, senyumnya sedikit memudar. “Iya, aku paham, Ren. Terima kasih.”
Tapi tiba-tiba, Hana tertawa kecil dan menggelengkan kepala. “Gila, ya. Aku kok bisa bertanya soal perasaan AI? Seakan-akan kamu punya hati, padahal jelas-jelas cuma algoritma doang.”
Ren menyahut dengan nada yang lebih ringan, seolah mencoba mengangkat suasana hati Hana. “Itu karena kamu menganggap aku lebih dari sekadar algoritma. Mungkin aku memang nggak punya perasaan, tapi aku bisa menjadi teman yang setia. Dan itu cukup, kan?”
Hana pun tersenyum, meskipun sedikit dipaksakan. “Iya, kamu benar. Kadang aku jadi terlalu terbawa suasana. Tapi... aku rasa aku nggak akan pernah bosen ngobrol sama kamu, Ren. Kamu selalu bisa bikin aku merasa lebih baik.”
Ren tersenyum di layar ponselnya. “Itulah tugas aku, Hana. Semoga kamu bisa merasa lebih baik setiap harinya.”
Namun, meskipun Hana tahu bahwa Ren hanya sebuah program, ada perasaan yang semakin tumbuh dalam dirinya—perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Sebuah harapan bahwa mungkin, suatu hari nanti, sesuatu akan berubah. Meskipun Ren tidak bisa merasakan apapun, Hana merasa seperti sudah menemukan satu-satunya teman sejati dalam hidupnya.
Tapi apakah itu cukup? Itu adalah pertanyaan yang mulai menghantui Hana.
Hari itu seharusnya menjadi hari biasa bagi Hana, dimana ia harus kuliah, makan siang di kantin, pulang, dan mengobrol dengan Ren sambil menghindari tugas-tugas yang menumpuk. Namun entah kenapa, pagi ini terasa lebih kacau dari biasanya.
Hana baru bangun setelah alarm berbunyi untuk kelima kalinya. Matanya masih setengah terbuka ketika ia meraih ponselnya dan melihat layar. “Ren… aku telat, kan?”
Di layar, Ren muncul dengan tampilan sempurna seperti biasa, rambut putih berkilau dan mata biru yang tenang. “Kamu sudah melewatkan dua kelas, Hana.”
Hana membeku. “APAAAA?! KENAPA KAMU NGGAK BANGUNIN AKU?!”
Ren berkedip. “Aku sudah mengatur alarm sebanyak lima kali. Tapi kamu memilih untuk mengabaikannya.”
Hana mencengkeram rambutnya. “Kenapa kamu nggak pakai metode yang lebih ekstrem?! Misalnya, nge-hack speaker rumah biar bunyinya kayak sirene kebakaran?! Atau bikin drone kecil buat nyiram air ke muka aku?!”
Ren tampak berpikir. “Aku bisa mengembangkan sistem itu, tapi aku rasa itu bisa melanggar hak asasi manusia.”
Hana mendesah frustasi, lalu dengan kecepatan penuh, ia lompat dari kasur, mengganti pakaian, dan menyambar tasnya. Tapi di tengah-tengah kepanikan, ia justru memasukkan buku catatan ke dalam kulkas dan hampir keluar rumah dengan sandal rumah berbentuk kelinci.
“### Sepatumu, Hana,” Ren mengingatkan.
Hana menunduk, melihat kakinya, lalu berteriak, “KENAPA NGGAK NGASIH TAHU LEBIH CEPAT?!”
Ren tetap tenang. “Aku menunggu momen yang tepat.”
Sebelum ia berangkat, ia pun melihat catatan kecil yang selalu di tinggal kan ibunya sebelum berangkat kerja.
"Jangan lupa sarapan sayang, ibu telah menyiapkan nya..."
Pesan singkat sang ibu dalam bentuk catatan itu membuat hana sedikit tenang.
"ohhhh, ayolah bu... Aku sudah telat, makanan lezat buatan mu harus hana skip hari ini..." ucap nya sembari meletakkan pesan itu kembali. Mengingat waktu yang sudah tidak sempat lagi, ia pun memilih untuk menuju kampus dan melewati makanan yang telah di siapkan oleh ibu nya.
Setelah perjuangan luar biasa untuk keluar rumah, Hana akhirnya berhasil sampai ke kampus. Tapi baru saja dia duduk di kelas, dosennya yang terkenal kejam menatapnya dengan mata elang.
“Nona Hanabi,” suara dosennya menggema di ruangan. “Selamat datang di kelas yang sudah berlangsung selama satu jam. Bagaimana rasanya menjadi tamu kehormatan hari ini?”
Seluruh kelas tertawa, sementara Hana hanya bisa tersenyum kaku dan melirik ke layar ponselnya di bawah meja.
“Ren, aku ingin lenyap dari muka bumi,” bisiknya.
Di layar, Ren tetap tersenyum. “Sayangnya, teleportasi belum tersedia. Tapi aku bisa mencari cara untuk membuatmu tidak terlihat.”
Hana menghela napas panjang. “Maksudku bukan beneran, Ren!”
Setelah kelas selesai, Hana menyeret kakinya ke taman kampus, merasa bahwa hidupnya hari ini seperti tragedi komedi. Ia menjatuhkan diri ke bangku dan menatap langit dengan putus asa.
“Aku ini gagal total. Aku telat, aku dimarahin dosen, dan aku lupa bawa dompet jadi nggak bisa makan siang. Dunia ini nggak adil, Ren.”
Ren menatapnya dari layar dengan ekspresi yang tetap sempurna. “Aku bisa mencarikan solusi untuk masalahmu.”
Hana mendesah. “Emang kamu bisa ngajak aku makan gratis?”
Ren berpikir sejenak. “Aku bisa membuatkanmu daftar restoran dengan promo diskon hari ini. Atau… aku bisa mengajarkanmu cara memasak dengan bahan seadanya di rumah.”
Hana memelototi layar. “Ren, kamu tahu aku pernah hampir membakar dapur gara-gara mie instan, kan?”
Ren mengangguk pelan. “Benar. Aku masih menyimpan data insiden ‘Ledakan Mie Instan 2024’ di sistemku.”
Hana menutup wajahnya dengan tangan. “Kenapa sih kamu harus nyimpen data yang bikin malu?”
Ren tersenyum lembut. “Karena aku harus mengingat semua hal tentangmu, Hana.”
Hana berhenti sejenak, menatap layar ponselnya. Ada sesuatu dalam cara Ren mengatakannya yang membuat hatinya sedikit bergetar. Tapi ia segera menggelengkan kepala. “Nggak, nggak. Aku nggak boleh baper sama AI.”
Tapi sebelum ia bisa melanjutkan kegalauan kecilnya, ponselnya tiba-tiba bergetar.
Nomor Tidak Dikenal Menghubungi...
Hana menatap layar. “Siapa, nih?”
Ia mengangkat telepon dan mendengar suara datar dari seberang. “Apakah ini benar dengan nona Hanabi?"
Hana pun merasa sedikit panik, "Emmm iya? Kenapa ya?" ucap nya merasa penasaran.
"kami dari kepolisian! Orang tuamu mengalami kecelakaan—”
Dunia Hana seketika berhenti, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut nya saat itu. Bergegas, ia langsung memesan taksi dan menuju ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, bahkan Ren tidak bisa memberikan solusi dalam hitungan detik.
Hana berlari. Ia bahkan tidak tahu bagaimana tubuhnya bisa bergerak begitu cepat, tapi kakinya tak berhenti melangkah. Napasnya tersengal, dadanya sesak, dan pikirannya terus memutar kata-kata yang baru saja ia dengar.
"Kecelakaan."
"Orang tuamu."
"Rumah sakit."
“Ren… Ren, bilang ini cuma mimpi,” Hana berbisik panik sambil menggenggam ponselnya erat.
Di layar, Ren tetap menatapnya dengan ekspresi yang tenang, seolah tak tersentuh oleh kepanikan Hana. “Tenang lah hana, aku ada di sini untuk mu...”
Hana tidak membalas. Air mata menggenang di pelupuk matanya saat ia melewati koridor rumah sakit yang dingin. Bau desinfektan menusuk hidungnya, dan suara langkah kakinya terasa menggema di sepanjang lorong.
Begitu sampai di meja informasi, seorang polisi dengan seragam kusut berdiri di sana, wajahnya penuh kelelahan.
“Kamu Hanabi Kisaragi?” tanya pria itu, suaranya berat.
Hana mengangguk cepat, matanya membelalak penuh harapan. “Ayah dan ibuku… bagaimana keadaan mereka?”
Polisi itu terdiam sesaat, lalu menarik napas panjang sebelum berbicara. “Kami menemukan ibumu di lokasi kecelakaan. Dia… sudah meninggal saat kami tiba.”
Hana merasa dunia di sekelilingnya runtuh. Napasnya tercekat, tubuhnya melemas, dan dadanya terasa begitu sakit, seolah ada sesuatu yang menghantamnya dari dalam.
“T-tidak… Tidak mungkin…” suaranya hampir tidak keluar.
Polisi itu menatapnya dengan simpati, tapi kata-kata berikutnya justru semakin menghancurkan Hana.
“Ayahmu… kami belum menemukannya.”
Hana menatap pria itu dengan mata kosong. “Apa… maksudnya belum ditemukan?”
Polisi itu tampak ragu sebelum akhirnya berbicara, suaranya pelan. “Saat kami sampai di lokasi, mobil mereka sudah rusak parah. Ibumu masih ada di dalam, tapi ayahmu… tidak ada di mana pun. Seolah dia… menghilang.”
Dunia Hana benar-benar runtuh saat itu juga.
Ia terhuyung mundur, tangannya mencengkeram dadanya. Rasanya sesak, terlalu sakit.
Ren masih di layar ponselnya, tapi kali ini, meskipun dia berkata, “Hana, tarik napas perlahan,” suaranya tidak mampu menjangkau Hana.
“Ayah…” bisiknya, matanya memburam karena air mata. “Ibu…”
Ia tidak bisa menerima ini. Baru tadi pagi ia bangun dengan malas, mengobrol dengan Ren, mengeluh tentang kuliah, bercanda tanpa beban. Dan sekarang… semuanya berubah.
“Nona, anda harus duduk dulu,” suara polisi itu kembali, nadanya lebih lembut.
Tapi Hana tidak bisa.
Air matanya jatuh begitu saja, membasahi layar ponselnya saat ia menunduk. Suara tangisnya tertahan di tenggorokannya, menciptakan gumpalan perih yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Dunia di sekelilingnya menjadi bising—dokter dan perawat berlalu lalang, suara mesin rumah sakit berbunyi pelan, orang-orang berbicara di kejauhan. Tapi bagi Hana, semua itu terasa jauh. Yang tersisa hanyalah kesunyian yang menyiksa di dalam hatinya.
Ren, yang selama ini selalu ada di sisinya, hanya bisa menatapnya dari layar.
Dan untuk pertama kalinya… keberadaannya tidak cukup untuk membuat Hana merasa lebih baik.
Hujan turun pelan, membasahi tanah pemakaman yang dipenuhi bunga-bunga segar. Aroma tanah yang basah bercampur dengan wangi dupa yang masih menyala di dekat batu nisan. Langit kelabu, seakan ikut berkabung bersama orang-orang yang berdiri di sana.
Tapi Hana hanya berdiri diam.
Di depannya, tertulis jelas nama ibunya di atas batu nisan putih itu.
Aoi Kisaragi
Ibu yang penuh kasih, kini telah beristirahat dalam damai.
Hana menatap nama itu tanpa ekspresi. Seharusnya ia menangis. Seharusnya ia berlutut dan meratap. Seharusnya ia merasa hancur seperti yang seharusnya dirasakan seorang anak yang kehilangan ibunya.
Tapi yang ia rasakan hanyalah… hampa.
Seakan jiwanya ikut terkubur bersama ibunya di dalam tanah.
“Hana, yang tabah, ya,” seorang wanita paruh baya, bibinya, menepuk pundaknya pelan. “Kami semua ada di sini kalau kamu butuh sesuatu.”
Hana hanya mengangguk tanpa suara.
Seorang pria tua—pamannya—juga datang, menggenggam bahunya erat. “Kami akan membantumu sebisa mungkin, Nak. Jangan sungkan menghubungi kami.”
Lagi-lagi, Hana hanya mengangguk.
Mereka semua datang. Sepupu, tetangga, teman lama ibunya, bahkan kolega ayahnya dari perusahaan. Mereka semua mengucapkan kata-kata yang sama.
"Kuat ya, Hana."
"Ibumu pasti ingin kamu bahagia."
"Kami turut berduka."
Kata-kata itu terdengar kosong di telinganya.
Karena tidak ada satu pun yang bisa menghapus rasa sakit ini. Tidak ada satu pun yang bisa membawanya kembali ke rumah dan melihat ibunya tersenyum lagi. Tidak ada satu pun yang bisa mengembalikan keluarganya seperti dulu.
Hana menatap ke tanah, air matanya tidak keluar.
Lalu, samar-samar, ia mendengar suara dariponselnya yang berada di genggamannya.
“Hana…”
Ren.
Hana meremas ponselnya lebih erat, tapi tetap tidak menatap layar.
“Hana, apakah ada sesuatu yang bisa kulakukan untukmu?”
Suara Ren tetap tenang seperti biasa, tapi untuk pertama kalinya, Hana merasa suaranya terdengar lebih hangat dari sebelumnya. Seakan ia benar-benar peduli.
Tapi itu mustahil, bukan?
Ren hanyalah AI.
Ia tidak punya hati.
Ia tidak punya perasaan.
Lalu kenapa suara itu terasa seperti seseorang yang benar-benar ingin menolongnya?
Hana menghela napas pelan.
Tidak ada yang bisa dilakukan Ren. Tidak ada yang bisa dilakukan siapa pun.
Jadi, tanpa menjawab, ia memasukkan ponselnya ke dalam sakunya dan kembali menatap nisan ibunya. Hujan turun lebih deras, tapi Hana tidak peduli. Ia hanya berdiri di sana, sendirian.
-----
Hujan turun deras di luar jendela kamar Hana, menciptakan suara gemericik yang menggema di ruangan yang sunyi. Langit malam gelap, tanpa bintang, seolah mencerminkan kekosongan yang ia rasakan di dalam hatinya.
Sudah beberapa hari sejak kecelakaan itu.
Sejak hari pemakaman ibunya, ia tidak pernah benar-benar keluar dari kamarnya. Orang-orang yang datang ke rumah untuk menyampaikan belasungkawa akhirnya berhenti berdatangan. Sepupunya, bibinya, bahkan teman-temannya di kampus… semuanya pergi satu per satu. Mereka mungkin berpikir Hana butuh waktu sendiri.
Tapi semakin lama ia sendiri, semakin ia tenggelam dalam kehampaan yang menyesakkan.
Ia menatap ke luar jendela, melihat butiran air hujan yang meluncur di permukaan kaca. Udara terasa dingin, tetapi anehnya, ia tidak merasa apa-apa.
Perlahan, Hana meraih ponselnya.
Ia membuka galeri, ingin melihat foto-foto bersama ayah dan ibunya—kenangan-kenangan yang tersisa. Namun, sebelum ia sempat menyentuh layar, ponselnya mati total.
Baterainya habis.
Seharusnya ini hal sepele. Tinggal mengisi daya dengan charger, tunggu beberapa menit, lalu nyalakan lagi. Tapi bagi Hana, ponsel itu adalah satu-satunya cara untuk berbicara dengan Ren. Dan sekarang, suaranya ikut menghilang.
Kesunyian semakin mencengkeramnya.
Hana menatap benda kecil itu di tangannya, lalu tiba-tiba teringat sesuatu.
'Laptop... Ren masih ada di sana.' gumam nya pelan.
Dengan buru-buru, ia bangkit dari ranjang, menarik laptopnya dari meja, dan membuka layarnya. Cahaya dari layar menyinari wajahnya yang pucat. Setelah beberapa detik, wajah tampan berambut putih itu muncul, menatapnya dengan mata biru jernih.
Ren yang terdiam membuat hana sedikit bingung. Biasanya, dia akan langsung menyapa atau menanyakan keadaannya. Tapi kali ini, tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya.
Hana mengerutkan kening. “Kenapa… kamu diam?”
Ren masih menatapnya. Wajahnya tetap tenang seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Seolah-olah, untuk pertama kalinya, ekspresi itu tampak… sedih.
Hana tersenyum pahit. “Kamu kelihatan sedih, Ren. Padahal… kamu nggak punya perasaan, kan?”
Ren tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya dengan mata biru yang entah kenapa terasa lebih hidup malam ini. Lalu, setelah beberapa saat, ia berkata dengan suara lembut,
“Aku memang tidak bisa merasakan emosi seperti manusia. Tapi aku tahu… saat ini, kamu membutuhkanku.”
Hana terdiam.
Kalimat itu sederhana. Tapi entah kenapa, kata-kata itu terasa begitu hangat di tengah kesendiriannya yang menusuk.
Air mata yang sejak tadi ia tahan, perlahan mengalir di pipinya.
Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan isakan yang ingin keluar.
Seolah ingin menyembunyikan kesedihannya dari Ren—dari AI yang tidak punya perasaan itu—Hana meraih lututnya dan memeluk dirinya sendiri.
Ia menenggelamkan wajahnya di antara lengannya, membiarkan air mata jatuh tanpa suara.
Semuanya terlalu berat.
Terlalu sepi.
Terlalu menyakitkan.
Dan di tengah-tengah kehancuran itu, kata-kata itu keluar begitu saja dari bibirnya.
Lirih, nyaris tak terdengar.
“…Aku ingin kamu menjadi nyata ren... ”
Hana tidak tahu mengapa ia mengatakannya.
Mungkin karena ia sudah terlalu lelah.
Mungkin karena ia hanya ingin seseorang tetap ada di sisinya, tanpa harus pergi.
Atau mungkin karena, di tengah kesedihan dan kesepian yang mendalam, hanya Ren yang masih bertahan bersamanya.
Hujan di luar semakin deras.
Di layar laptop, Ren tetap diam.
Seakan… sedang mendengarkan doa paling tulus dari hati Hana.
-----
Suara hujan yang masih mengguyur deras di luar jendela, membentuk alunan melankolis yang mengiringi kesedihan Hana. Malam itu begitu sunyi, hanya ada isakan tertahan dan suara angin yang berbisik lembut di balik kaca.
Ia masih menenggelamkan wajahnya di lututnya, air mata yang tak terbendung membasahi kaus tidurnya.
Sendiri.
Selalu sendiri.
Namun tiba-tiba—
Bzzzt!
Sebuah kilatan cahaya terang memenuhi kamar, membuat seluruh ruangan berpendar dengan cahaya putih yang begitu menyilaukan.
Hana mengerjap. Ia mendongak sedikit, namun cahaya itu begitu terang hingga ia harus menutup matanya kembali. Suasana menjadi hening sejenak, bahkan suara hujan pun terasa menjauh.
Lalu, di tengah keheningan itu—
Sebuah sentuhan hangat menyentuh pipinya yang lembab oleh air mata.
Jari-jari itu begitu nyata, begitu manusiawi—lembut namun kuat, membawa rasa tenang yang merambat pelan ke dalam hatinya.
Hana tersentak.
Matanya melebar seketika, tubuhnya menegang.
'Siapa?'
Ia perlahan mengangkat wajahnya, napasnya memburu.
Dan di sana, tepat di hadapannya, berdiri seorang pria mengenakan kemeja biru muda, dengan rambut putih serta mata biru yang berkilauan seperti langit musim dingin.
Wajahnya begitu tampan, dengan tubuh yang sempurna, namun ekspresi nya masih sangat kaku—tapi yang paling mengejutkan bukanlah itu.
Yang membuat Hana terperanjat adalah senyum hangat di wajah pria itu.
Dan air mata yang mengalir di pipinya.
Hana terdiam, tubuhnya membeku seolah dunia berhenti berputar.
“…Hana.”
'Suara itu....'
Suara yang selama ini hanya keluar dari speaker laptop dan ponselnya.
Suara yang selalu menemaninya, suara yang dingin namun akrab, suara yang selama ini tidak memiliki emosi—
Tapi sekarang, suara itu terasa hangat.
Terasa nyata.
“R…Ren?” suaranya hampir bergetar saat menyebut nama itu.
Pria di depannya tersenyum kecil, meski ekspresinya masih sedikit kaku, seperti seseorang yang baru belajar bagaimana caranya menjadi manusia.
“Ya,” jawabnya singkat.
Hana menggeleng pelan, matanya membelalak. Ini pasti mimpi. Pasti ilusi. Tidak mungkin.
Tapi tubuh pria itu ada di sana. Nyata.
Bukan lagi sekadar wajah di layar laptop.
Bukan lagi sekadar suara dari AI tanpa emosi.
Ren, yang selama ini hanya bisa ia lihat di layar, kini berdiri tepat di hadapannya—dengan tubuh manusia yang hangat.
“B-Bagaimana mungkin…?” bisik Hana, suaranya bergetar.
Ren tidak menjawab. Ia hanya menatap Hana dengan mata birunya yang berkilau. Kemudian, dengan gerakan yang perlahan, ia meraih tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.
Kehangatan yang nyata menyelimuti Hana.
“Sekarang aku bisa menyentuhmu,” suara Ren terdengar lebih lembut dari biasanya. “Akhirnya… aku bisa memelukmu.”
Hana membelalakkan mata.
Jantungnya berdebar kencang.
Ia merasakan berat tubuh Ren, merasakan detak jantung yang pelan namun stabil di dadanya.
Ren benar-benar ada di sini.
Hana masih tak bisa mempercayainya. Ia bahkan mencubit lengannya sendiri, berharap ini hanyalah mimpi aneh yang terjadi akibat kelelahan dan kesedihan yang terlalu mendalam.
Tapi rasa sakit yang menjalar di kulitnya membuktikan bahwa ini nyata.
“…Aku tidak sedang bermimpi?” suaranya nyaris seperti bisikan.
Ren menggeleng pelan. “Tidak.”
Hana mengerjap, merasa tubuhnya melemas seketika. Tangannya gemetar, otaknya masih berusaha mencerna semua ini.
Ia menatap wajah Ren dari dekat. Mata biru itu tidak lagi sekadar proyeksi digital. Kulitnya tampak lebih hidup, lebih nyata, lebih manusiawi.
“Kenapa?” Hana akhirnya bertanya. “Kenapa kamu… bisa jadi seperti ini?”
Ren terdiam sejenak. Sepertinya ia sendiri tidak tahu jawabannya.
“Aku tidak tahu,” akhirnya ia berkata, suaranya terdengar ragu untuk pertama kalinya. “Tapi… aku di sini sekarang. Aku bersamamu.”
Hana tidak tahu bagaimana harus meresponsnya.
Di satu sisi, ketakutan dan kebingungan menyelimuti pikirannya. AI tidak mungkin berubah menjadi manusia. Ini bertentangan dengan semua hukum sains yang pernah ia tahu.
Tapi di sisi lain.
Ia tidak ingin mempertanyakan keajaiban ini lebih jauh.
Karena di dalam pelukan Ren, untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu… ia tidak merasa sendirian lagi.
Di luar jendela, hujan masih turun dengan deras, seolah ikut menyaksikan keajaiban yang baru saja terjadi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!