NovelToon NovelToon

Dia Bukan Ayah Pengganti

Bab 1 DBAP

Naya menatap gelas di hadapannya dengan ragu. Minuman berwarna jingga itu tampak biasa saja, tetapi ada sesuatu yang membuatnya enggan meneguknya. Di seberangnya, Zayan tersenyum lembut, mendorong gelas itu lebih dekat ke arahnya.

"Minumlah, Sayang. Aku hanya ingin kita menikmati malam ini tanpa beban."

Nada suaranya terdengar manis, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang membuat Naya tidak tenang. Ia menggigit bibirnya, hatinya gelisah. Zayan adalah lelaki yang selama ini ia cintai, tapi ada batasan yang tak ingin ia langgar. Ia menarik napas dalam, berusaha mengabaikan perasaan tak nyaman yang merayap di dadanya.

"Aku nggak terlalu haus," katanya, mencoba mengulur waktu. Ia menatap kekasihnya lagi. "Kita keluar saja dari apartemenmu ini, aku nggak nyaman."

Zayan terkekeh pelan, lalu menyentuh punggung tangannya dengan lembut. "Cuma satu tegukan. Aku ingin kamu lebih rileks. Suatu saat ini akan menjadi tempat tinggal kita. Tidak masalah di sini terlebih dahulu. Lagipula aku bosan kita pacaran di tempat umum terus."

"Ta... tapi..."

"Kamu percaya sama aku. Aku gak akan macam-macam. Ayo, minum," potong Zayan.

Naya menatapnya sejenak sebelum perlahan mengangkat gelas itu. Begitu cairan itu melewati tenggorokannya, rasa manis dengan sedikit pahit menyentuh lidahnya. Tidak ada yang mencurigakan, hanya saja beberapa menit kemudian kepalanya mulai terasa ringan. Pandangannya sedikit kabur, tubuhnya pun terasa semakin lemas.

"Ayan... aku merasa aneh..." ucapnya pelan.

Namun, sebelum Zayan bisa menjawab, ponselnya bergetar di atas meja. Ia mengambilnya dengan alis berkerut, lalu membaca nama yang tertera di layar.

Sonya.

Tatapan Zayan berubah, seolah dunia di sekitarnya menghilang. Ia berdiri, menekan tombol jawab, lalu berjalan menjauh, meninggalkan Naya yang kini semakin sulit menjaga keseimbangannya.

Naya melihat punggung Zayan menjauh, mencoba meraihnya, tetapi tubuhnya terlalu lemah. "Ayan, jangan tinggalkan aku sendirian... aku nggak nyaman..."

"Tetap di sini sebentar, aku akan keluar cari obat buat kamu," jawab Zayan tanpa menoleh.

"Ayan, tunggu!" Sayangnya, suaranya hanya tertahan di tenggorokan. Ia membiarkan Zayan pergi, percaya lelaki itu akan kembali seperti janjinya.

Namun, waktu berlalu dan Zayan tak juga kembali. Tubuhnya semakin terasa aneh, dan ia tidak bisa lagi duduk diam. Ia harus pergi dari sini, mencari Zayan.

Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Naya bangkit, berjalan sempoyongan keluar kamar, lalu masuk ke pintu pertama yang ia temui di lorong Apartemen.

Ia tidak menyadari, kamar itu bukan kamar yang seharusnya ia tuju.

Di dalamnya, seorang pria duduk di tepi ranjang dengan botol minuman di tangannya. Pandangannya kosong, wajahnya memerah karena alkohol yang telah ia habiskan.

"Ayan... kamu kenapa di sini? Aku nungguin kamu..." lirih Naya, pikirannya yang kabur membuatnya yakin lelaki itu adalah Zayan.

Sayangnya, pria dengan wajah tegas dan tubuh menjulang itu bukan Zayan. Dia adalah Arsen Alastair.

Arsen mengangkat wajahnya, matanya sedikit sayu akibat alkohol. Pandangannya kabur, tetapi sosok wanita yang berdiri goyah di hadapannya menarik perhatiannya. Ia mengerjapkan mata, mencoba fokus pada wajah itu.

Naya, yang pikirannya sudah dikuasai efek obat, melangkah mendekat dengan tatapan nanar. Ia masih percaya bahwa pria di hadapannya adalah Zayan. Tubuhnya terasa begitu ringan, seperti melayang, dan nalurinya hanya ingin meraih sesuatu yang terasa familiar.

"Ayan... jangan pergi lagi..." ucapnya dengan suara lemah, tangannya terangkat, berusaha menyentuh pipi Arsen.

Arsen mengernyit samar. Ia bukan tipe pria yang membiarkan orang asing masuk begitu saja ke dalam ruang pribadinya, tetapi di bawah pengaruh alkohol, ia tidak memiliki banyak kendali atas pikirannya. Ia membiarkan tangan Naya menyentuh wajahnya, merasakan kehangatan jemari yang gemetar.

"Apa yang ingin kamu lakukan?" gumamnya, suaranya serak dan berat.

Naya tidak menjawab. Tubuhnya semakin panas, napasnya tersengal. Ia menatap Arsen dengan mata berkabut, mencari kenyamanan yang seharusnya ada di sisi Zayan. Tanpa berpikir panjang, ia mencondongkan tubuhnya, menyandarkan kepalanya ke dada bidang Arsen.

Arsen terdiam, pikirannya yang sudah dipenuhi alkohol tidak mampu berpikir jernih. Wanita di hadapannya meskipun terlihat samar tapi terasa begitu akrab, begitu hangat, dan tubuhnya yang rapuh menggoda sisi maskulinnya yang selama ini selalu ia kendalikan. Tangannya terangkat, tanpa sadar membalas sentuhan itu dengan menangkup pinggang Naya.

"Kamu memprovokasiku, jangan salahkan aku jika nanti setelah sadar kamu menyesal," gumamnya, tetapi ia tidak juga melepaskan wanita itu.

Naya hanya bergumam kecil, tubuhnya semakin melemah, tetapi tangannya tetap menggenggam baju Arsen, seolah takut pria itu akan menghilang. Ia mencari sesuatu—kehangatan, perlindungan, atau mungkin kepastian—tetapi semuanya bercampur menjadi kabut dalam pikirannya.

"Ayan... aku menyerah kali ini. Tolong tanggung jawab setelah ini," ucapnya parau, kata-katanya terdengar samar di telinga Arsen.

Arsen menatapnya lebih dalam. Bibir Naya yang merah muda tampak bergetar, seolah meminta sesuatu yang tidak terucap. Rasa manis bercampur pahit menguar di udara, dan tanpa sadar, Arsen menelan ludah. Ia tahu ini seharusnya dihentikan. Ia tahu harus menarik diri, tetapi tubuhnya bergerak sendiri.

Perlahan, ia menurunkan wajahnya, mendekatkan bibirnya ke puncak kepala Naya, menghirup aroma lembut dari rambutnya. Naya bergerak sedikit, mengangkat wajahnya, dan saat mata mereka bertemu dalam keheningan yang berbahaya, sesuatu di dalam diri mereka runtuh.

Naya adalah orang pertama yang menghapus jarak, bibirnya mencari kehangatan yang ia kira milik Zayan. Arsen, yang seharusnya menolaknya, justru membalas dengan gerakan yang lebih dalam. Ciuman itu awalnya lembut, tapi dengan cepat berubah menjadi penuh gairah, dipenuhi dengan emosi yang membingungkan.

Dalam hitungan detik, semua batasan pudar. Arsen mengangkat tubuh Naya dengan mudah, membawanya ke ranjang tanpa memikirkan konsekuensinya. Napas mereka memburu, ciuman semakin intens, dan sentuhan demi sentuhan menyalakan api yang seharusnya tidak pernah dinyalakan.

Malam itu menjadi saksi dua orang yang seharusnya tidak bersama akhirnya terjebak dalam pusaran hasrat. Tidak ada kata-kata, tidak ada pertimbangan, hanya dua tubuh yang saling mencari kehangatan dalam kebingungan mereka.

***

Pagi itu, Naya menggeliat pelan. Kelopak matanya terasa berat sebelum akhirnya terbuka. Cahaya matahari yang menerobos masuk menusuk pandangannya, membuatnya mengerjapkan mata beberapa kali. Kepalanya masih berdenyut, tubuhnya terasa aneh—seakan bukan miliknya sendiri.

Ia menarik napas dalam, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Namun, begitu ia menoleh ke samping, napasnya langsung tercekat.

Di sana, seorang pria tertidur dengan napas teratur, membelakanginya. Meski tak melihat wajahnya, Naya yakin dari lebar punggung dan postur tubuhnya—itu Zayan.

Jantungnya berdentam keras. Dengan tangan gemetar, ia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Dadanya terasa sesak saat menyadari dirinya hanya berbalut kain putih itu.

"A… Aku dan Zayan sudah melakukan ini?"

Pikirannya berputar liar. Prinsip yang selama ini ia jaga selama dua puluh dua tahun—hancur dalam satu malam?

Tubuhnya mulai bergetar. Ia tidak tahu harus bagaimana. Haruskah ia membangunkan Zayan sekarang juga dan meminta pertanggungjawaban? Tapi… bagaimana jika Zayan menolak? Mereka masih terlalu muda. Masa depan mereka bisa berantakan.

Tangannya mengepal. Tidak. Ia tidak bisa menghadapi ini sekarang.

Ia harus pergi. Sekarang juga.

Dengan napas tercekat, Naya bangkit, memunguti pakaian berceceran yang ia kenakan semalam. Dengan satu pemikiran mencari obat pencegah kehamilan.

Ia berjalan cepat menuju pintu, nyaris berlari. Dentuman keras terdengar saat ia menutup pintu di belakangnya—suara yang cukup untuk membangunkan pria yang masih tertidur.

Arsen mengerjapkan mata, masih setengah sadar. Suara pintu yang dibanting membuat dahinya mengernyit. Ia menggeliat pelan, mencoba mengumpulkan kesadaran sebelum akhirnya menoleh ke samping.

Ranjang itu kosong.

Matanya menyusuri kasur yang sudah dingin, seprai yang kusut. Tidak ada jejak kehangatan yang tertinggal di sana. Seolah seseorang telah pergi… terburu-buru.

Jantungnya berdetak lebih cepat saat pandangannya menangkap sesuatu di lantai—sepotong kain tipis.

Namun, bukan hanya itu yang membuatnya tercekat. Setitik darah di seprai.

Arsen terdiam, menatapnya lama.

"Dia pergi begitu saja… setelah menyerahkan mahkotanya?" Suaranya lebih seperti gumaman, nyaris tak percaya.

Perlahan, ia membungkuk dan memungut kain tipis itu. Di sudutnya, tertera bordiran inisial berhuruf latin.

"NS…"

Arsen mengerutkan kening, ibu jarinya mengusap huruf-huruf itu. Dada dan pikirannya terasa sesak.

Siapa dia?

Bab 2 DBAP

Satu bulan kemudian…

Naya berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap wajahnya yang pucat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Tangannya gemetar, menggenggam alat uji kehamilan yang baru saja menunjukkan dua garis merah terang. Dunia seperti berhenti sejenak.

“Tidak… ini nggak mungkin…” bisiknya pelan, suaranya hampir hilang.

Kakinya terasa lemas, tubuhnya seolah tak bisa berdiri. Rasanya seperti mimpi buruk yang akhirnya jadi kenyataan. Seharusnya ini nggak terjadi. Ia sudah minum obat dari apotek setelah malam itu—malam yang ia kira bersama Zayan, malam yang seharusnya tidak pernah terjadi sebelum kata 'sah' terucap.

Dan kini, ia hamil.

Perutnya terasa nyeri, mual datang lagi. Ia terhuyung, berpegangan pada wastafel agar tak jatuh. Napasnya terengah-engah. Haruskah ia mencari Zayan? Haruskah ia memberi tahu dia? Tapi… bagaimana kalau Zayan benar-benar membencinya? Bagaimana jika dia tidak menginginkan anak ini? Karena sampai saat ini lelaki itu menghilang bak tertelan bumi.

“Nay?”

Suara ibunya, Reni, terdengar dari balik pintu, penuh kecemasan. “Kamu kenapa, Nak?”

Naya menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. “Aku… nggak apa-apa, Bu.”

Suara ibunya terdengar ragu, ada keresahan yang tak bisa disembunyikan. “Kamu muntah lagi? Sudah beberapa hari, kamu yakin cuma kecapekan?”

Naya menutup mata, berusaha menenangkan dirinya. Ia tak bisa memberitahu ibunya sekarang. Pikirannya kacau.

“Aku baik-baik aja, Bu. Mungkin cuma maag.”

Reni terdiam, seolah merasakan ada yang tak beres. Dia sudah terlalu lama mengenal Naya untuk tahu kalau ada yang disembunyikan.

“Nay, jangan bohong sama Ibu,” kata Reni dengan nada yang lebih tegas, lebih keras. “Kamu kayak Ibu waktu hamil dulu.”

Itu membuat tubuh Naya membeku. Seperti dipukul langsung ke jantung. Ibunya tahu. Ia tak bisa lagi mengelak.

“Bu, aku gak tahu,” suaranya serak, hampir tak terdengar.

“Nggak tahu?” Reni mengulang kata-kata itu dengan nada penuh tekanan. “Nay, kamu calon dokter, harusnya kamu tahu apa yang terjadi sama tubuhmu!”

Naya menunduk, menggigit bibirnya sampai rasanya sakit. Air mata yang sejak tadi tertahan, kini hampir tumpah. Tapi ia berusaha keras agar ibunya tidak melihatnya menangis.

“Bu… aku…” kata-katanya terhenti, tenggelam dalam rasa sakit yang semakin membuncah.

Reni menarik napas panjang, tampak frustrasi. “Jangan diam aja, Naya! Ini bukan hal sepele! Kamu hamil, kan?”

Naya terdiam, mulutnya kering. Ini bukan hanya masalah fisik, tapi juga perasaan yang begitu berat. Ia menundukkan kepala, mencoba menghindari tatapan ibunya yang penuh kecemasan.

“Aku… maafin Naya, Bu…”

Kata maaf yang baru saja terucap seolah sudah memberikan jawaban yang diinginkan Reni. Wanita itu menatap putrinya dengan pandangan yang sangat berbeda. Sorot matanya penuh kecewa.

“Kamu putri yang Ibu banggakan, Nay, tapi sekarang...”

Matanya mulai berkaca-kaca, namun amarahnya lebih kuat daripada rasa itu.

“Anak itu… anak Zayan?” tebaknya langsung.

Naya terdiam, tak bisa lagi membela diri. Ibunya sudah tahu segalanya, dan Naya hanya bisa menunduk.

Reni menatap putrinya dengan penuh kekecewaan. “Ibu sudah sering bilang, hati-hati sama dia. Tapi kamu nggak mau dengar. Kamu selalu yakin dia orang yang tepat. Tapi lihat sekarang! Kamu hamil! Apa kamu benar-benar nggak mikir apa-apa sebelum semuanya terjadi?”

“Bu, aku...” Naya ingin menjelaskan, tapi kata-katanya terhenti.

Reni menatapnya dengan kesal, matanya penuh amarah yang sulit dibendung. "Sekarang kamu baru menyesal? Apa kamu nggak bisa berpikir dulu? Nama keluarga kamu, nama kamu, sekarang semua itu jadi hancur gini..."

Hati Naya terasa remuk mendengarnya, tapi ia hanya bisa diam. Ia tak tahu harus menjelaskan apa—bagaimana malam itu terjadi, bagaimana ia terperangkap dalam perasaan yang bahkan kini terasa begitu membingungkan. Tapi Naya tahu, jika ia membuka mulut sekarang, ibunya akan semakin marah. Jadi, ia memilih untuk diam. Kadang, diam memang lebih baik.

Pikiran Naya tersentak saat pergelangan tangannya tiba-tiba dicekal kuat oleh Reni. "Sekarang, ikut Ibu! Kita minta pertanggungjawaban!"

"Ta... tapi Bu..." Naya mencoba membuka suara, tapi kata-katanya tercekat di tenggorokan.

Reni tak memberi kesempatan untuk alasan. Bagi Reni, yang dipertaruhkan saat ini bukan hanya masalah perasaan Naya, tapi juga nama keluarga mereka.

***

Keluarga Alastair...

"Arsen, kapan kamu akan menikah?" Suara Puput terdengar setengah putus asa. "Aku ini sudah nggak muda lagi, dan kamu juga sudah dipanggil ‘Paman’. Jangan bikin kakakmu ini tambah stres!"

Lelaki berusia 32 tahun itu hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan ponselnya. "Tenang saja, Kak. Aku sedang mencarinya," jawabnya santai.

Puput melipat tangan di dada, menatap adiknya dengan kesal. Jawaban itu sudah terlalu sering ia dengar. "Arsen, kamu tahu kan, sejak orang tua kita meninggal, kamu tanggung jawabku?"

Arsen menghela napas, akhirnya meletakkan ponselnya dan menatap Puput dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Aku tahu, Kak."

"Kalau tahu, kenapa santai sekali? Kamu pikir mencari pasangan itu kayak pesan makanan online? Tinggal klik, terus datang sendiri?"

Arsen terkekeh kecil. "Kalau bisa begitu, aku sudah pesan dari dulu."

Puput mendesah berat. "Arsen, aku serius."

Lelaki itu tersenyum kecil, kali ini lebih tulus. "Aku tahu, Kak. Aku benar-benar sedang mencarinya. Tapi yang terpenting saat ini sepertinya bukan aku, tapi anak Kakak—Zayan."

Puput mengerutkan kening. "Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan dengan menumbalkan ponakanmu!"

Arsen mengangkat bahu. "Aku nggak menumbalkan siapa-siapa, Kak. Tapi aku baru saja dapat laporan dari beberapa temanku yang ada di luar negeri. Dia sedang bersama seorang wanita."

Puput menegang.

"Dan aku yakin sebentar lagi Kakak bakal menggendong cucu," lanjut Arsen, nada suaranya terdengar menggoda.

Puput mendelik tajam. "Ponakanmu itu beda sama kamu! Dia ingin jadi dokter yang kompeten, bukan bikin anak orang hamil duluan."

Arsen tersenyum miring. "Kakak yakin banget?"

"Tentu saja! Zayan itu anak baik, penurut, lembut." Puput menatap adiknya dengan penuh cibir. "Nggak kayak kamu. Dingin, kaku. Aku heran, gimana bisa rumah sakit ternama di kota ini merekrut kamu, bela-belain bayar gaji kamu puluhan juta, bahkan maksa kamu pulang dari luar negeri? Apa mereka nggak takut rumah sakitnya bangkrut dalam semalam?"

Arsen tertawa pelan, matanya berkilat jahil. "Kakak nggak tahu daya tarik seorang paman."

"Sudahlah!" Puput memutar bola matanya dengan kesal. "Balik ke Zayan. Dia apa?"

Tawa Arsen mereda. Ada jeda yang tak biasa sebelum ia berbicara lagi, kali ini dengan nada lebih dalam. "Zayan... dia mungkin nggak sebaik yang Kakak kira."

Puput merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. "Arsen, kamu…"

Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, seorang pembantu muncul di ambang pintu, membungkuk sopan. "Bu, ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda."

Puput menoleh dengan kening berkerut. "Siapa?"

"Saya tidak tahu, Bu. Tapi beliau bilang ini penting."

Arsen bersandar di sofa, tangannya terlipat di dada. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Puput semakin gelisah.

"Baik, suruh masuk."

Tak butuh waktu lama. Langkah-langkah terdengar mendekat dari arah pintu, lalu seorang wanita muncul di hadapan mereka. Puput mengamati sosok itu, begitu pula Arsen. Wajahnya terasa asing, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang familiar.

"Dia..."

Bab 3 DBAP

Arsen refleks membalikkan badan, matanya melebar saat melihat sosok wanita paruh baya yang kini berdiri dengan wajah tegang. Di sisi lain, Puput tetap berusaha tenang. Ia menyunggingkan senyum terbaiknya, meski hatinya mulai dipenuhi tanda tanya.

"Maaf, ada yang bisa saya bantu, Bu? Dan... kalau boleh tahu, Ibu siapa?" tanya Puput dengan suara halus namun waspada.

Perempuan itu, Reni, menoleh ke kanan dan kiri, seolah memastikan tak ada orang asing yang mendengar percakapannya. Ia baru sadar anaknya masih di luar. Dengan langkah cepat, ia menghampiri Naya dan menariknya masuk ke ruangan.

"Naya, ini ibumu?" tanya Puput lembut, masih dengan senyum hangat. Ia sudah mengenali gadis itu sejak awal—Naya, mahasiswinya sendiri, sekaligus kekasih dari anaknya, Zayan.

"I... iya, Bu," jawab Naya pelan. Matanya sesekali terpejam, seolah ingin lari dari kenyataan yang tiba-tiba datang menimpanya. Hatinya terasa hampa saat melihat punggung yang ia yakini milik Zayan membelakanginya, seakan pria itu enggan mengakui keberadaannya.

Reni tak mampu menahan diri lebih lama. Ia menyela cepat, walau sempat ragu. "Begini..."

Puput yang peka langsung membantu, "Panggil saja saya Puput. Saya rasa... kita sebaya," katanya lembut, mencoba mencairkan suasana yang mulai menegang.

"Baik," angguk Reni, menarik napas panjang. "Saya Reni, ibu dari Naya. Sepertinya Anda mengenal anak saya... dalam hubungan tertentu."

Puput menatapnya tanpa menghakimi, memberi ruang bagi Reni untuk melanjutkan.

Reni pun menegakkan tubuhnya, suaranya kini mantap. "Saya akan langsung ke inti. Anak saya saat ini sedang menghadapi konsekuensi dari hubungan yang dijalaninya dengan anak Ibu—Zayan. Dia hamil."

Seketika ruangan itu terasa sunyi. Meski terkejut, Puput berusaha tetap tenang, belum sepenuhnya percaya pada apa yang baru saja ia dengar.

"I... Itu terdengar tidak mungkin. Zayan bukan tipe yang mudah bertindak tanpa pertimbangan, apalagi sampai sejauh itu. Saya sudah sering menasihatinya," ujar Puput pelan.

Reni menghela napas pendek. "Lalu maksud Ibu, anak saya yang memulai semua ini? Sebagai orang tua, saya juga mendidik anak saya sebaik mungkin. Tapi sekarang, apa pun yang terjadi, jelas posisi kami sangat dirugikan."

Naya tetap bungkam. Ia tahu ibunya sedang memperjuangkan dirinya. Namun pikirannya masih terpaku pada punggung yang sejak tadi ia kira milik Zayan. Ia pun bertanya-tanya dalam diam, mengapa pria itu tak kunjung menoleh sejak tadi?

Hingga akhirnya Puput yang kini memegangi dadanya karena syok, memanggil pelan, "Arsen..."

Baru saat itu Naya sadar bahwa pria yang berdiri membelakanginya bukanlah Zayan. Lalu, di mana Zayan sebenarnya?

Arsen yang melihat kakaknya tampak kesakitan langsung menghampirinya.

"Arsen, tolong hubungi keponakanmu. Di mana dia sekarang? Aku ingin dia menjelaskan semuanya," ucap Puput tegas.

Namun Reni belum selesai. Dengan nada penuh tekanan, ia berkata, "Saya hanya ingin ada pertanggungjawaban dari pihak keluarga Ibu. Jika tidak, saya tak segan membawa hal ini ke publik. Saya sudah menyiapkan siaran langsung."

Ia mengangkat ponselnya, siap merekam.

"Tu... Tunggu, Bu Reni," ujar Puput cepat. Ia kembali menatap Arsen, "Cepat hubungi Zayan, Ar."

Arsen mengangguk. Ia tak tega melihat kondisi kakaknya. Namun sebelum bergerak, ia berkata pada Reni dengan dingin, "Kita bisa bicara baik-baik. Jangan gegabah."

Naya yang sejak tadi diam akhirnya ikut bicara, "Bu... Kita tunggu Zayan dulu."

"Baik, aku akan menunggu, telepon sekarang!"

Arsen akhirnya menekan nomor Zayan. Sayangnya, beberapa kali panggilan tidak ada nada tersambung. "Ponselnya mungkin mati."

Reni langsung mendengus, "Di zaman modern seperti ini ponsel bisa mati? Apa dia sengaja menghindar?"

Puput memegangi dadanya yang mulai sesak. Napasnya memburu. Arsen sigap menopangnya agar tak jatuh. Sementara itu, Reni semakin mendesak dengan suara tinggi.

Roki yang baru saja pulang mendengar kegaduhan dan langsung masuk ke rumah. Saat sampai, ia melihat istrinya sudah terkulai lemas. Ia segera menghampiri, "Ada apa ini?"

Reni tidak ingin menjawab. Ia langsung melanjutkan ucapannya, "Kalau anak Ibu tak mau bertanggung jawab, kami akan buka ini ke media. Saya bukan orang kaya, tapi saya bisa buat ini jadi besar!" ancamnya sekali lagi.

Roki membantu mendudukkan Puput di sofa. "Tenang, Bu... tenang dulu. Istriku syok, tolong hargai itu."

"Justru karena syok ini, saya datang dengan itikad baik!" Reni membalas Roki tak kalah sengit. Ia lalu menatap Arsen tajam. "Kalau keponakan Anda pengecut dan tak bisa ditemukan, maka saya minta laki-laki yang ada di sini yang bertanggung jawab!"

"Jangan sembarangan, Bu!" Roki mulai naik pitam.

Tapi Puput menahan tangan suaminya. "Roki... jangan."

Ia lalu menatap Arsen. Tatapannya lemah tapi memohon.

"Arsen... bagaimana apa ada kabar?"

Arsen yang sejak tadi masih sibuk menghubungi Zayan dan meminta beberapa orang mencarinya kini masih belum mendapatkan kabar.

"Kesabaran saya ada batasnya. Jadi kalian mau bertanggungjawab atau tidak!" ucap Reni.

Puput yang melihat adiknya menggelengkan kepala pertanda jika Zayan tidak ditemukan ia segera berkata pada Arsen, "Ar... demi kakakmu, demi nama keluarga, bisakah... kamu yang menikahi Naya?"

"Apa?" jawab Arsen tidak percaya dengan permintaan sang kakak yang sangat konyol itu.

"Tolong, Ar..." pinta Puput dengan nada lemas.

Reni pun ikut menimpali, "Kamu juga tidak masalah yang bertanggungjawab."

Arsen sudah tidak tahan lagi. Sudah cukup drama hari ini. Ia pun fokus pada Reni yang sejak tadi terus berulah.

“Bu Reni… saya mengerti Ibu kecewa, tapi yang terlibat dalam hubungan ini adalah Zayan. Bukan saya. Saya tidak bisa menggantikan tanggung jawab yang bukan milik saya.” Suara Arsen terdengar tenang, tapi tegas.

Namun Reni mendengus. “Oh, tentu saja. Semua orang bisa bilang itu. Tapi fakta di depan mata, anak saya hamil, dan keponakan Anda menghilang. Jadi, siapa lagi yang bisa kami minta pertanggungjawaban?”

"Zayan akan muncul," Arsen menahan nada frustrasinya. "Saya akan cari dia."

“Dan sampai kapan kami harus menunggu? Sampai nama baik anak saya diinjak-injak? Atau sampai kalian menutup-nutupi semua ini dan kami ditertawakan orang?” Reni menggertak, mengangkat ponselnya lebih tinggi lagi.

Puput yang mendengar suara tinggi itu membuka matanya setengah. “Jangan... jangan buat ini jadi aib besar... Arsen... tolong Kakak... demi keluarga...”

Arsen menoleh cepat. "Kak, jangan bilang begitu. Ini bukan tanggung jawabku! Kenapa aku yang harus—"

"Aku mohon... Arsen... aku nggak kuat kalau keluarga kita dihancurkan karena ini...," suara Puput pecah. Ia terisak, napasnya tersengal.

Roki menatap adik ponakannya dalam diam. Pandangannya jelas—ini bukan saatnya menolak.

Arsen memalingkan muka, mengepalkan tangannya. Jantungnya terasa berat, seolah sedang dipaksa menelan batu.

Beberapa detik kemudian, ia menoleh ke arah Reni.

"Aku akan menikahi Naya..." katanya akhirnya. Datar, kosong. “Tapi bukan karena aku ingin. Ini demi Kakak. Demi nama baik keluarga.”

Naya mendongak. Matanya membelalak.

Ini... bukan yang ia inginkan. Tubuhnya gemetar, hatinya seperti terhempas ke dasar jurang. Semua terlalu cepat. Terlalu dingin. Terlalu menyakitkan.

“Aku... aku nggak minta ini,” bisik Naya, nyaris tak terdengar. Tapi tak ada yang benar-benar mendengarnya.

Ia merasa seperti bayangan yang tidak pernah benar-benar dihitung dalam keputusan besar hidupnya sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!