"Kalau kamu nggak datang sekarang juga, maka aku benar-benar akan lompat ke dalam jurang!"
Nana berdiri dipinggir jurang sambil menangis tersedu-sedu. Pada handphone yang menempel di telinganya, ia dapat mendengar suara sang suami yang begitu dingin dari seberang sana.
"Kalau kamu mau lompat, ya lompat aja! Kenapa harus laporan sama aku? Bukannya, ini sudah ke sekian kalinya, kamu mengancam aku kayak gini? Sudah berapa kali kamu mengancam akan bunuh diri, Na? Tapi, sampai sekarang, kamu nggak mati-mati juga, kan? Kamu masih hidup sehat sampai detik ini, kan?" sahut sang suami dari seberang sana.
Nadanya terdengar begitu kesal. Ia seolah muak dengan semua drama yang diciptakan oleh sang istri selama ini.
Degh!
Jantung Nana terasa sangat sakit saat mendengar jawaban sang suami. Setelah empat tahun usia pernikahan, ternyata Edward masih belum bisa mencintai Nana.
"Jadi, kamu beneran nggak akan peduli meski aku beneran mati, Edward?" lirih Nana dengan perasaan sakit yang luar biasa.
"Ya, aku nggak peduli dan nggak akan pernah mau peduli! Sana, mati! Itu pun, kalau kamu benar-benar berani!" tantang Edward.
"Jangan ngomong kayak gitu, Ed! Kalau Nana beneran nekat, bagaimana?"
Degh!
Nana reflek memejamkan matanya. Suara lembut perempuan itu sangat Nana kenali.
Itu suara Silva. Mantan kekasih Edward yang kini telah kembali setelah Edward berhasil menanjaki tangga kesuksesan berkat bantuan keluarga Nana.
Padahal, dulu Silva memilih pergi dan menikah dengan pria lain karena tak ingin hidup menderita bersama dengan Edward yang kala itu sedang mengalami krisis keuangan dan perusahaan keluarganya yang terancam bangkrut akibat kematian sang Ayah.
Di momen yang sama, ketika Edward sedang terpuruk akibat masalah yang bertubi-tubi, Nana datang menawarkan bantuan finansial dengan syarat lelaki itu harus menikah dengannya.
Pernikahan pun akhirnya terjadi. Siapa sangka, selama empat tahun pernikahan, hanya Nana yang mencintai secara menggebu-gebu tetapi Edward justru tidak.
"Gundik kamu juga ikut mendengar percakapan kita, Ed?" tanya Nana sembari menahan rasa sakit yang begitu pedih dibagian dadanya.
Ternyata, Edward dan Silva sudah sedekat itu. Bahkan, percakapan pribadi antara Nana dan Edward saja, perempuan itu berhak mendengarkan.
Berbeda, dengan Nana yang malah selalu dimaki jika ingin kepo dengan orang yang sedang menelepon Edward.
"Jaga cara bicaramu, Na! Silva bukan gundik. Dia perempuan baik-baik!" bela Edward kepada mantan kekasihnya.
Nana pun mengangguk-anggukkan kepalanya meski Edward tak dapat melihat.
"Baiklah! Selamat tinggal, Edward! Semoga kalian hidup bahagia!"
Klik!
Panggilan pun dimatikan secara sepihak. Nana langsung menjatuhkan diri ke dalam jurang tanpa pikir panjang.
Dia sudah sangat lelah dalam mengejar cinta Edward. Andai boleh memilih, Nana ingin sekali kembali ke empat tahun yang lalu dan mengubah semuanya.
Dia bersumpah, tak akan pernah jatuh cinta pada Edward lagi andai Tuhan mengabulkan permintaannya. Sayangnya, Nana juga tahu jika keajaiban seperti itu mustahil ada di dunia ini.
"Jika ada kehidupan selanjutnya, aku nggak akan pernah mau jatuh cinta sama laki-laki kayak kamu lagi, Ed!" lirih Nana dalam hati.
"Aku menyesal! Aku menyesali empat tahunku yang terbuang sia-sia."
*
Ditempat lain, tepatnya disebuah tempat perkemahan yang berjarak sekitar dua ratus meter dari tempat Nana melompat ke dalam jurang, ada sepasang pria dan wanita yang sedang duduk berdampingan dengan begitu mesra.
Ekspresi wajah sang pria terlihat kesal sekali. Sementara, si wanita terlihat berusaha menenangkan.
"Dasar perempuan merepotkan! Selalu aja ngasih ancaman yang sama! Apa dia pikir, aku terlalu gampang buat ditipu?" gerutu Edward marah.
"Kalau Nana beneran nekat, bagaimana, Ed?" lirih Silva dengan tampang yang berpura-pura mencemaskan keadaan Nana.
Padahal, andai Nana benar-benar nekat bunuh diri, maka Silva adalah orang pertama yang akan bersuka cita merayakan kematian perempuan itu.
"Itu nggak akan pernah terjadi, Silva. Nana itu penakut. Dia cuma mau menggertak aja. Nggak sungguh-sungguh," sahut Edward menenangkan.
"Ada apa lagi, Ed?" tanya Samuel, salah satu teman dekat Edward.
"Nana mengikuti aku dan Silva sampai kemari. Dan, dia mengancam akan lompat ke dalam jurang kalau aku nggak mau ikut pulang sama dia," jawab Edward.
"Wow! Si Nana memang psikopat sejati, ya! Bisa-bisanya, dia selalu menguntit kamu kemanapun kamu pergi," cibir Samuel sambil tertawa mengejek. "Kalau aku jadi kamu, perempuan psiko seperti Nana akan aku buang jauh-jauh. Toh, Silva juga sudah kembali, kan? Apalagi, yang kamu tunggu untuk menceraikan Nana, Ed?"
Edward hanya tersenyum tipis. Alkohol yang ada didepan mata, segera ia tenggak hingga habis.
Perkara menceraikan Nana tidaklah semudah itu. Ada harga besar yang harus Edward bayar jika dia berani melakukan hal tersebut.
"Jangan menghasut Edward yang enggak-enggak, Sam!" sahut Silva. "Dia dan Nana sudah menikah. Dan, ikatan pernikahan nggak bisa semudah itu untuk diputuskan. Lagipula, Edward pasti juga sangat mencintai Nana. Iya kan, Ed?"
"Cinta?" Edward berdecih sinis. "Mana mungkin aku bisa jatuh cinta sama perempuan kayak dia, Silva? Nana itu manja, cengeng dan nggak bisa apa-apa. Dia berbeda jauh dibanding kamu. Yang bisa dia lakukan cuma merengek, menangis dan mengancam. Bikin aku tambah muak aja tiap hari."
Mendengar penilaian Edward tentang Nana, Silva langsung tersenyum puas. Ya, beginilah seharusnya. Edward memang harus mengunggulkan dirinya dibanding Nana.
"Ed! Gawat!" teriak Andro, salah satu teman Edward yang lain.
Dia datang dengan napas tersengal-sengal.
"Ada apa, Andro?" tanya Edward keheranan.
"Nana!" jawab Andro.
"Nana? Ada apa dengan Nana? Apa dia bikin ulah lagi? Huh! Malu-maluin aja!"
"Bukan," geleng Andro. "Nana... Nana jatuh ke dalam jurang."
"Apa?" pekik Edward yang langsung berdiri dengan ekspresi terkejut.
Suasana mendadak hening. Dalam sepersekian detik, Edward berusaha mencerna kata-kata Andro dengan teliti.
"Nana, beneran lompat, Ed?" tanya Samuel terdengar ragu.
Edward tak menjawab. Mendadak, dia merasa lidahnya tiba-tiba berubah kelu.
Hati yang berubah
"Ed, kamu nggak mau temani Nana?" tanya Samuel saat melihat tubuh Nana yang kini sedang dimasukkan ke dalam ambulance oleh tim medis.
Tatapan Edward bertemu sesaat dengan tatapan Nana yang masih memiliki sedikit kesadaran. Namun, dengan cepat Edward mengalihkan pandangannya. Enggan, bersitatap dengan mata yang entah kenapa terlihat sangat tak berdaya hari ini.
"Nggak. Sudah ada tim medis yang mendampingi. Aku temani dia, juga buat apa? Nggak ada gunanya juga, kan? Aku mau naik mobil sama Silva saja. Kasihan, kalau Silva harus pulang sendirian."
Tes!
Air mata Nana menetes saat mendengar jawaban suaminya. Disaat Nana sedang sekarat pun, Edward masih mementingkan cinta pertamanya, Silva.
Bahkan, Nana masih dapat melihat meski samar bagaimana Silva memeluk lengan suaminya dengan begitu mesra. Dan, ajaibnya, Edward tidak marah sama sekali dengan tindakan perempuan dengan citra anggun dan lemah lembut itu.
"Jangan pegang-pegang, Na! Kamu bikin malu. Ini tempat ramai," ucap Edward suatu hari saat Nana berusaha memegang lengannya disebuah pesta ulang tahun salah satu rekan kerja Edward.
Itu bukan pertama kalinya. Itu adalah penolakan yang ke sekian kali dari Edward saat Nana berusaha untuk menyentuhnya.
Nana pikir, Edward memang tipe pria yang tak suka disentuh ditengah keramaian. Tapi, ternyata Nana salah menduga. Edward hanya tak mau disentuh oleh Nana.
*
Dua bulan kemudian...
Mata Nana yang sudah lama terpejam akhirnya terbuka kembali. Pemandangan yang pertama kali Nana lihat adalah sosok sahabat baiknya, Rossa yang sedang duduk disamping ranjang pasien sambil memainkan ponsel.
"Na? Kamu sudah bangun?" tanya Rossa dengan suara serak saat menyadari pergerakan tangan Nana.
"Rossa?" lirih Nana memanggil.
"Huwaa.... Akhirnya, kamu bangun juga, Na!" pekik Rossa bahagia sambil menangis sesenggukan.
Selama dua bulan ini, Rossa tak pernah absen mengunjungi Nana di rumah sakit. Ia selalu membacakan novel-novel kesukaan Nana. Memperdengarkan musik-musik favorit Nana, dan juga menceritakan kisah persahabatan mereka sejak dari kecil hingga lulus sekolah menengah atas.
Disaat orang-orang tak perduli sama sekali dengan nasib Nana, hanya Rossa yang selalu setia berada disamping Nana sampai akhirnya Nana berhasil membuka matanya kembali.
"Ros, aku kenapa? Kenapa aku ada di rumah sakit?" tanya Nana kebingungan.
"Dua bulan lalu kamu jatuh ke jurang, Na. Dan, sekarang kamu lagi di rumah sakit. Kamu sudah koma selama dua bulan," jawab Rossa.
"Oh, ya?" Nana seperti tidak percaya. Tentang kejadian dua bulan yang lalu, dia sama sekali tak bisa mengingat apa-apa.
"Iya," angguk Rossa. "Syukurlah, kamu sudah bangun, sekarang. Aku pikir, aku nggak akan pernah bisa ketemu kamu lagi, Na."
Air mata yang dikeluarkan Rossa terlihat sangat tulus. Membuat Nana jadi percaya bahwa apa yang disampaikan Rossa mungkin memang benar adanya.
Dia terjatuh dari jurang kemudian koma selama dua bulan. Sayangnya, ingatan tentang kejadian hari itu, belum juga terbayang dalam ingatan Nana.
"Papaku dimana, Ros?" tanya Nana tiba-tiba.
Deghh!
Ekspresi wajah Rossa mendadak kaku. Dia menatap Nana dengan tatapan aneh.
"Na, apa kamu lupa?" Rossa malah balik bertanya.
"Lupa soal apa?"
"Kamu dan Papamu, sudah empat tahun nggak pernah saling bertukar kabar."
Gantian, kini Nana yang tampak terkejut. Empat tahun?
Beberapa detik selanjutnya, Nana malah tertawa.
"Kamu jangan nge-prank aku deh, Ros! Jelas-jelas, saat ulang tahunku yang ke delapan belas kemarin, Papa masih hadir. Aku kecelakaan, pas selesai acara ulang tahunku itu, kan? Pas kita naik gunung sama teman-teman setelah acara perpisahan di sekolah?"
Buk!
Ponsel digenggaman Rossa tiba-tiba jatuh dan menghantam lantai dengan keras.
"Na? Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Rossa dengan tatapan yang semakin aneh.
"Iya. Aku baik-baik aja. Justru, kamu yang aneh. Kenapa dandanan kamu mendadak jadi kayak gini? Bukannya, Kakak kamu melarang kamu pakai pakaian super pendek kayak gini sebelum berusia 22 tahun?"
Rossa kembali menangis. Dengan histeris, dia berteriak memanggil dokter.
*
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh tim dokter, akhirnya Nana divonis menderita amnesia disosiatif.
Ingatannya terhenti di hari ke lima setelah ulang tahunnya yang ke-18 tahun diadakan. Sementara, ingatan empat tahun belakangan ini, menjadi hal yang benar-benar dilupakan.
"Apa yang terjadi antara aku dan Papa selama empat tahun belakangan, Ros? Bisa kamu jelaskan?" tanya Nana meminta penjelasan.
Semuanya terasa ganjil. Tidak mungkin, hubungan antara Ayah dan anak yang sangat erat di masa lalu bisa terputus begitu saja tanpa penyebab yang luar biasa besar.
"Kamu..."
"Nana, kamu sudah bangun?"
Kepala Nana sontak menoleh ke sumber suara. Seorang lelaki yang cukup familiar di ingatan Nana masuk ke dalam ruangan itu bersama dengan seorang perempuan yang sama sekali tak bisa Nana kenali.
"Bagaimana perasaan kamu, Na?" tanya Silva yang langsung menghampiri Nana tanpa melepaskan genggaman tangannya dari tangan Edward.
"Kamu siapa?" tanya Nana. "Apa kita saling kenal?"
"Ini aku, Silva. Masa' kamu lupa?"
"Aku nggak ingat," jawab Nana ketus.
"Masa' sih, kamu nggak ingat?" tanya Silva lagi sambil berusaha memegang bahu Nana.
"Jangan pegang-pegang!" tegas Nana sambil menghempas tangan Silva dengan kasar.
"Aduh, sakit!" ringis Silva sambil memegang tangannya.
Jelas sekali, kalau dia hanya berpura-pura.
"Nana! Kamu ini apa-apaan, sih? Kenapa harus kasar gitu sama Silva? Silva ini sudah baik mengkhawatirkan kamu. Tapi, tingkah kamu justru kasar kayak gini!"
"Jangan marah, Ed! Mungkin, Nana masih kesal sama kejadian waktu itu. Andai bukan karena aku, dia nggak mungkin nekat bunuh diri dengan cara melompat ke dalam jurang. Untung saja, dia masih bisa selamat."
"Maksudnya?" tanya Nana tak mengerti.
"Maafkan aku waktu itu, Na! Tapi, saat itu aku benar-benar butuh Edward. Cuma Edward yang bisa aku percaya untuk menemani aku naik gunung," lanjut Silva dengan wajah memelasnya.
"Sudahlah, kamu nggak usah minta maaf sama dia, Silva! Dia celaka karena salahnya sendiri. Nggak ada kaitannya sama sekali dengan kamu."
"Tapi, Ed...."
"Kalau dia sampai berani menyalahkan kamu, maka aku yang akan marahi dia! Kamu tenang saja!"
Edward mengusap lembut puncak kepala Silva dengan penuh kasih sayang. Dan, entah kenapa, Nana merasa dadanya mendadak terasa sakit.
"Aku kenapa?" gumam Nana dalam hati.
"Ekhem!" Rossa berdehem dengan keras. Dia sudah tak tahan dengan kelakuan dua manusia tak tahu diri itu.
"Apa kalian harus mempertontonkan tingkah menjijikkan kalian didepan kami?" tanya Rossa dengan pertanyaan yang begitu nyelekit.
Wajah Edward langsung berubah kaku. Dia tak suka dengan tuduhan yang dilayangkan Rossa terhadap dirinya dan Silva.
"Jaga bicara kamu, Rossa! Siapa yang kamu sebut menjijikkan, hah?" teriak Edward keberatan.
"Jelas, kalian berdua lah!" jawab Rossa. "Kamu Edward!" Dia menunjuk wajah Edward tanpa sopan santun. "Jelas-jelas, istri kamu baru sadar dari koma. Tapi, kamu dengan tidak tahu malunya, malah membawa selingkuhan kamu ke hadapan istri sah kamu! Apa kamu masih punya hati, hah?"
"Siapa yang selingkuh, hah? Jangan asal menuduh, Rossa!" sahut Edward tak terima.
"Masih menyangkal juga? Perlu aku keluarkan semua bukti-bukti perselingkuhan kalian?" tantang Rossa marah.
Edward masih ingin menjawab. Namun, suara teriakan Nana membuatnya jadi urung melakukan hal tersebut.
"Berhenti bertengkar!" teriak Nana keras. "Rossa, siapa yang kamu sebut sebagai istrinya Tuan Edward?"
"Kamu, Na," jawab Rossa. "Apa kamu benar-benar lupa kalau dulu kamu sampai rela meninggalkan Papa kamu hanya demi menikah dengan lelaki ini?"
Degh!
Wajah Nana mendadak pias. Tidak mungkin. Semua ini mustahil terjadi.
"Sandiwara macam apa lagi, ini?" celetuk Edward sambil tertawa mengejek. "Sekarang, drama apa lagi yang tengah kamu mainkan, Na? Apa sekarang kamu sedang menggunakan trik lupa ingatan untuk mendapatkan aku? Heh, itu nggak mungkin. Sampai kapan pun, aku nggak akan pernah sudi jatuh cinta sama perempuan murahan kayak kamu!"
Perempuan murahan? Dua kata itu sukses menyulut amarah didalam hati Nana.
Tanpa berpikir dua kali, Nana langsung menampar pipi Edward dengan sangat keras.
"Kamu!" geram Edward tak terima.
"Jangan pernah berani menghinaku, Tuan Edward! Kalau tidak, Anda akan tahu akibatnya!"
Apa-apaan ini? Kenapa tatapan mata Nana tiba-tiba menjadi berbeda?
Itu bukan tatapan yang Edward kenali selama empat tahun ini.
Hati yang berubah
"Hentikan akting kamu, Na! Kamu pikir, aku akan luluh dengan cara kamu yang seperti ini? Huh! Nggak akan pernah!"
Nana memejamkan matanya. Sejak tadi, dia sama sekali tidak mengerti apa-apa dengan semua tudingan yang Edward layangkan kepadanya.
"Kamu nggak percaya kalau Nana hilang ingatan?" tanya Rossa sambil menatap Edward dalam-dalam.
"Ya, aku nggak percaya! Asal kamu tahu, Rossa! Sahabat kamu ini, sudah berkali-kali melakukan banyak trik murahan hanya demi mendapatkan aku. Dia bahkan berkali-kali menawarkan tubuhnya padaku layaknya seorang jalang tapi nggak pernah aku gubris!"
"Cukup!!" bentak Nana. Telinganya sudah sangat panas. Dia tak sanggup mendengar lebih banyak hinaan lagi dari mulut lelaki yang katanya adalah suami Nana sendiri.
"Lebih baik, Tuan Edward pergi dari sini!" usirnya.
Edward tertegun sejenak. Sekali lagi, Nana sangat mengejutkan dirinya.
"Kamu berani mengusirku?" tanya Edward sambil tertawa sumbang.
"Kenapa aku harus takut? Memangnya, Tuan Edward siapa? Apa status keluarga Tuan Edward lebih tinggi dibanding status keluarga Howarts?"
Dan, Edward seketika terdiam. Kata-kata Nana sukses melukai harga dirinya.
Ya, dia akui bahwa status keluarganya tak akan pernah bisa setara dengan status keluarga Howarts yang begitu tinggi dan berjaya. Namun, bukankah Edward kini telah menjadi bagian dari keluarga itu juga?
Ya, walaupun harus Edward akui bahwa sampai detik ini, Tuan James Howarts masih belum mengakui dirinya sebagai seorang menantu.
"Awas kamu, Na! Aku harap, kamu nggak akan pernah menyesali perbuatan kamu hari ini!" geram Edward sambil keluar ruangan dengan langkah terburu-buru.
"Ed, tunggu aku!" teriak Silva yang berusaha mengejar langkah Edward dengan cepat.
Hening beberapa saat ketika dua manusia itu menghilang dari ruangan itu. Nana masih terdiam dengan banyak pertanyaan yang berputar dikepalanya.
Kenapa dia bisa menikah dengan Edward? Kenapa Edward terlihat sangat membencinya? Dan, kenapa Edward menuduhnya sedang bersandiwara?
"Rossa! Tolong ceritakan kejadian penting yang sudah terlewat olehku selama empat tahun belakangan ini!" pinta Nana kepada sang sahabat.
Dan, mengalirlah cerita tentang pernikahan Nana dan Edward dari mulut Rossa secara langsung.
*
Empat tahun yang lalu...
"Arggh!! Kenapa kepalaku pusing sekali?" keluh Nana yang berusaha bangkit sambil memegangi kepalanya.
Penglihatannya perlahan mulai terang. Dan, betapa terkejutnya dia saat menyadari bahwa dirinya sedang berada dibawah selimut yang sama dengan seorang pria yang baru semalam ia ajak berkenalan.
Edward Huston.
"Akhhhhh!" teriak Nana.
Edward yang masih tertidur pun akhirnya bangun karena suara teriakan Nana yang begitu keras.
"Kamu?" geram Edward kaget.
"Apa yang sudah Tuan lakukan kepada saya?" tanya Nana panik.
Ia mengangkat selimut tinggi-tinggi untuk menutupi bagian depan tubuhnya yang terekspos tanpa sehelai benang pun.
"Bukannya, justru kamu yang sudah melakukan sesuatu kepada saya?" balas Edward.
"Apa yang sudah saya lakukan?"
"Kamu yang merayu saya duluan, Rihanna!" kata Edward.
Nana seketika terdiam. Kejadian semalam berusaha ia ingat.
Ya, memang benar jika dirinya sempat merayu Edward tadi malam. Tapi, itu hanya bagian dari permainan kecil yang Nana lakukan bersama dengan teman-temannya.
Setelah itu, Nana ingat saat permainan selesai, seseorang tiba-tiba datang dan menawarinya sebotol minuman dingin.
Karena sangat haus, Nana menerima minuman itu tanpa curiga sedikitpun. Dan, setelah meminum minuman itu, Nana jadi lupa dengan yang selanjutnya terjadi.
"Kamu nggak ingat!?" tanya Edward lagi. "Kamu yang mendatangi saya kemari, Rihanna! Kamu juga yang memaksa saya untuk tidur sama kamu!"
Degh!
Jelas, Nana sangat syok setelah mendengar pengakuan dari Edward. Jadi, semua karena ulahnya sendiri?
"Nggak mungkin," geleng Rihanna syok.
Edward mendengkus kasar. Sigap, pria itu mengenakan seluruh pakaiannya kembali dengan rapi.
"Kenakan pakaian kamu!" titah Edward sembari melemparkan pakaian Nana keatas pangkuan gadis muda itu.
"Dan, anggap saja kalau semua ini nggak pernah terjadi!" lanjut Edward yang langsung berlalu meninggalkan Nana begitu saja.
Dua bulan pun berlalu. Ketika Nana masih berusaha untuk melupakan kejadian hari itu, dia justru menemui sebuah kenyataan bahwa dirinya sedang hamil.
Dengan segenap kecemasan dan ketakutan yang ada, Nana akhirnya memberanikan diri untuk mendatangi Edward.
Sayangnya, pria itu malah menolak untuk bertanggung jawab. Dia malah meminta Nana untuk melakukan aborsi.
"Gugurkan bayi itu! Saya nggak ada waktu untuk mengurusi hal sepele semacam ini di masa depan! Perusahaan saya sedang terancam bangkrut! Itu jauh lebih penting dibanding keberadaan janin yang nggak pernah saya inginkan!"
"Aku bisa bantu kamu untuk membangkitkan perusahaan kamu kembali," sahut Nana dengan keberanian yang tersisa.
Mendengar itu, Edward langsung tertawa mencemooh. Memangnya, seorang gadis yang baru saja lulus sekolah menengah atas, bisa apa?
"Jangan bicara sembarangan, Rihanna! Memangnya, kamu siapa, hah? Berapa banyak uang yang kamu miliki sehingga dengan percaya dirinya kamu mengatakan bisa membantu saya?"
"Aku memang nggak punya banyak uang. Tapi, Papaku punya," jawab Nana.
Edward mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia berpikir, bahwa Nana hanya sedang membuang-buang waktunya.
"3,5 triliun. Apa kamu bisa memberi saya sebanyak itu? Kalau iya, saya bersedia menikah dengan kamu!"
Nana mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Baiklah! Besok, aku akan kabari kamu."
Saat itu, Edward tidak menganggap serius ucapan Nana. Apalagi, setelah tiga hari berlalu, Nana masih belum datang juga untuk menemuinya lagi.
Namun, di hari keempat, Edward dikejutkan dengan kedatangan James Howarts, seorang pengusaha nomor satu di kotanya.
Pria itu datang dengan membawa uang sejumlah 3,5 triliun sebagai bentuk pinjaman dan juga selembar kertas perjanjian yang hanya Edward dan James saja yang tahu apa isinya.
"Tepati janjimu! Kamu harus menikahi putriku!" pesan James sebelum pergi dari perusahaan Edward hari itu.
Dan, pernikahan pun akhirnya dilaksanakan. Edward baru tahu bahwa Nana telah mengambil langkah yang sangat besar demi bisa bersama dirinya.
Tanpa sepengatahuan Edward, Nana bersedia meninggalkan keluarga Howarts sebagai syarat dari sang Ayah jika tetap bersikeras menikah dengan Edward.
Jadi, sejak mereka menikah hingga sekarang, Nana sudah tak pernah berhubungan lagi dengan sang Ayah yang memang sangat menentang pernikahan putrinya.
Alasannya cukup jelas. James tak mau memiliki menantu yang berbeda level.
Penderitaan Nana pun dimulai dari sini. Memang benar, jika Edward sangat royal kepadanya. Jejeran perhiasan, pakaian, tas, bahkan sepatu mewah, benar-benar memenuhi seluruh isi lemarinya.
Namun, Edward tak pernah memperlakukan Nana layaknya seorang istri. Edward selalu menganggap Nana sebagai benalu yang selalu menempel kepadanya.
Hingga akhirnya, Nana keguguran akibat tekanan mental yang selalu Edward berikan.
Perusahaan Edward akhirnya kembali berjaya ditahun kedua mereka menikah. Dan, disaat itu pulalah, Silva yang dulu pergi kini malah kembali.
"Tolong kembalikan Edward kepadaku, Nana! Sejak awal, kami memang ditakdirkan untuk bersama," pinta Silva suatu hari kepada Nana.
Namun, Nana menolak permintaan perempuan licik itu. Dan, fitnah-fitnah Silva yang semakin membuat Edward membenci Nana perlahan mulai ditebar sedikit demi sedikit hingga Nana hampir gila karena tak bisa mempertahankan suaminya disisinya.
Ia hanya istri diatas kertas. Nana hanya dianggap sebagai istri pajangan.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!