NovelToon NovelToon

Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Bab 1 Anak Baron, Herald

Wilayah Edgna, yang merupakan salah satu wilayah terbesar di benua Varnia, terhampar luas bagaikan permadani hijau yang tak berujung. Dataran rendah di bagian timur wilayah ini menjulur hingga ke lautan lepas, tempat ombak berbisik lirih di antara angin sepoi-sepoi.

Tempat ini menjadi rumah bagi seratus juta jiwa, sebuah negeri yang damai dan terkenal akan keasriannya. Rerumputan tumbuh subur, berayun lembut ditiup angin yang membawa aroma tanah basah. Hewan-hewan berkeliaran bebas, merajut harmoni di antara padang rumput dan hutan lebat. Edgna, memang, adalah surga dunia, di mana keindahan bersemayam di setiap sudutnya.

Sekarang, mari beralih ke perbatasan wilayah utara Edgna, tepatnya di sebuah desa bernama Amber—di sinilah kisah ini dimulai.

Desa Amber adalah permata kecil yang tersembunyi di balik bentangan padang rumput dan hutan lebat. Desa yang terletak di pinggiran ini memancarkan ketenangan yang tak tergoyahkan.

Dari kejauhan, terlihat puluhan rumah yang tersebar, mulai dari yang sederhana hingga bertingkat, berdiri rapi membentuk harmoni alami.

Jalan berbatu membentang di antara bangunan-bangunan itu, menjadi saksi bisu kehidupan yang berjalan penuh ketenangan. Anak-anak berlarian riang di jalanan, tertawa lepas, sementara beberapa prajurit melakukan patroli, berjalan dengan langkah mantap dan penuh kewaspadaan.

Di tengah desa yang tenang ini, berdiri sebuah mansion tua yang memancarkan aura yang berbeda. Dindingnya yang rapuh dan arsitekturnya yang sedikit terlupakan masih mempertahankan jejak kejayaan masa lalu. Bangunan itu tetap kokoh berdiri di atas tanah, menantang waktu dan kehancuran. Ini adalah kediaman Baron Demios, seorang bangsawan kecil yang memimpin wilayah utara Edgna.

Namun, di hari ini, ketenangan di mansion itu ternoda oleh gejolak emosi yang membara.

"Apa?! Kalian sudah menemukan Herald?!" suara pria itu menggema di dalam ruangan, dipenuhi dengan kemarahan yang memuncak. Pria tersebut berdiri tegap, tubuhnya kekar, tinggi menjulang melebihi para prajurit yang berdiri di hadapannya. Rambut merahnya berkilauan di bawah cahaya, menambah kesan garang pada wajahnya yang penuh amarah.

Salah satu prajurit yang berdiri di hadapannya segera menjawab dengan suara yang tegas namun tetap penuh hormat. "Iya, Tuan. Kami telah menemukan Herald. Saat ini, beberapa prajurit lain sedang mengejarnya."

Baron Demios berbalik tajam, matanya menyipit penuh ketegangan. "Tangkap dia secepatnya! Bawa dia ke ruang kerjaku. Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun jika dia berhasil lolos. Hari ini, dia harus kembali."

"Baik!" Kedua prajurit itu serempak memberikan penghormatan dan segera berbalik, meninggalkan ruangan untuk menjalankan perintah.

Di dalam ruangan itu, Baron Demios tetap berdiri, wajahnya mengeras, rahangnya mengatup erat, dan tinjunya mengepal. Napasnya terengah dalam ketidaksabaran.

"Lihat saja kau, Herald... Setelah ini, kau akan mendapat pelajaran yang pantas."

---

Di luar mansion, di desa Amber...

Seorang pemuda berambut abu-abu acak-acakan berlari di atas genteng-genteng rumah warga. Bola matanya yang berwarna senada dengan rambutnya berkilauan penuh semangat, sementara sebuah keranjang makanan tergantung di tangannya, penuh dengan makanan yang siap diserahkan. Sesekali, dia melompat dari genteng ke genteng dengan gesit, meninggalkan jejak langkah yang hanya bisa diikuti oleh beberapa prajurit yang mengejarnya.

"Tuan Herald, jangan lari!" teriak salah satu prajurit yang terengah-engah.

"Tuan Herald, kembalilah! Tuan Demios dan Nona Asdella mencarimu!" seru prajurit lainnya.

Namun, Herald—ya, itulah orang yang sedang mereka kejar—hanya melontarkan senyum nakal sambil terus melompat. "Hehehe, kejarlah kalau kalian bisa," gumamnya, sambil melesat lebih cepat lagi.

Di bawah, para warga desa melihat dengan tatapan bosan. Kejar-kejaran ini sudah menjadi pemandangan biasa bagi mereka. Percakapan mereka terdengar samar di antara tawa dan langkah Herald yang semakin jauh.

"Hei, kamu lihat itu? Itu kan Herald, anak dari Baron Demios yang menghilang selama tiga hari. Sekarang dia sudah kembali."

"Sepertinya dia akan mendapat masalah besar dari ayahnya lagi..."

"Iya, dia memang tak pernah jera," jawab yang lainnya.

"Ah, ini kan sudah sering terjadi. Aku bahkan tidak kaget lagi. Ayo, kita lanjutkan pekerjaan kita."

---

Beberapa saat berlalu, Herald yang masih melarikan diri akhirnya mencapai bagian akhir perumahan. Tidak ada lagi genteng yang bisa dia pijak. Dengan sigap, dia melompat turun ke tanah dan melesat pergi, meninggalkan para prajurit yang mengejarnya. Tak lama kemudian, prajurit-prajurit itu muncul dan terus berusaha mengejar.

"Jangan lariii!"

"Tuan Herald, berhenti!!"

Tapi Herald tetap tidak mendengarkan. Dia terus berlari, memasuki gang-gang sempit yang berkelok di antara rumah-rumah, mencoba menghindari kejaran para prajurit. Setelah beberapa saat, dia akhirnya mencapai ujung gang yang terhubung ke jalan raya. Namun, baru saja dia hendak melangkah keluar, dia bertemu dengan prajurit lain.

"Tuan Herald!" Prajurit itu terkejut melihatnya.

"Kau...?!"

Herald terkejut, namun tidak ada pilihan lain selain berlari. Dia berbalik dan berlari ke celah lain, berusaha kabur lagi.

Kejaran mereka terus berlanjut, dan Herald akhirnya tiba di sebuah tempat di mana penjual bunga menjual berbagai jenis bunga yang tertata rapi. Tidak peduli dengan bunga-bunga yang ada, Herald terus berlari melewati tempat tersebut. Hal itu memicu kemarahan dari si penjaga bunga.

"Oi, jangan lari-lari di sini! Semua bungaku bisa hancur karena ulahmu!" teriak penjaga bunga itu.

Tapi saat dia melihat siapa yang sedang berlari, ekspresinya berubah terkejut. "T-tuan Herald?!"

Herald tidak peduli, dan tetap berlari, meski wajah si penjaga bunga tampak ketakutan. Setiap langkah Herald semakin mendekat pada dinding tinggi yang mengepungnya. Dalam sekejap, dia mendapati dirinya terjebak di jalan buntu.

"Ternyata di sini jalan buntu," gumamnya frustrasi, sambil menatap ke belakang. Para prajurit sudah mengepungnya, tak ada jalan untuk melarikan diri.

"Tuan Herald, tolong menyerah saja dan kembalilah ke mansion. Ayah dan ibu Anda sudah menunggu," ujar salah seorang prajurit dengan suara penuh harapan.

Namun Herald tidak mau mendengarkan. "Tidak, aku tidak akan kembali. Aku masih ingin bebas," jawabnya tegas.

Pria itu menghela napas dan memberi aba-aba pada prajurit lainnya, "Jika begitu, kami akan menggunakan kekerasan."

Para prajurit bersiap untuk menangkap Herald dengan paksa. Herald yang terpojok mengalihkan pandangannya ke celah di sisi kiri dinding, tempat dia bisa memanjat dan melarikan diri. Di sekitar tempat itu tumbuh bunga Dandelion yang terhampar indah.

[Jika aku bisa melompat ke sana, mungkin aku bisa lolos,] pikir Herald.

Dia melompat dengan cepat, namun tiba-tiba kakinya terpleset. "Eh?" Herald terkejut, dan tanpa bisa menahan tubuhnya, dia terjatuh ke tanah dengan keras.

"Bukk!!"

Herald jatuh, menghantam beberapa pot bunga yang pecah berantakan. Keranjang makanannya terjatuh, isinya berserakan. Tanpa peduli dengan rasa sakit di tubuhnya, Herald menatap langit biru, di mana bunga Dandelion terbang perlahan, membawanya pada pemandangan yang menenangkan.

Mata Herald berbinar-binar. Bunga-bunga Dandelion yang melayang di udara membuatnya tertegun sejenak. Sebuah pemandangan yang sederhana, namun indah, menyapu semua rasa sakit yang ia rasakan.

Namun, saat itu juga, para prajurit sudah mengepungnya, dan mereka mulai bertanya-tanya tentang kondisinya setelah terjatuh. Namun Herald tidak peduli. Matanya tetap terpaku pada bunga-bunga Dandelion yang melayang, tidak sadar jika satu bunga jatuh tepat di wajahnya, diikuti oleh beberapa tangkai lainnya.

Bab 2 Hukuman dari Sang Ayah

Herald kini berdiri di tengah ruang besar mansion, dikelilingi oleh beberapa prajurit yang menjaga dirinya dengan tatapan serius. Pakaian yang ia kenakan tampak kotor dan acak-acakan, penuh dengan lumpur dan sisa-sisa bunga Dandelion yang menempel di rambutnya. Penampilannya yang berantakan itu membuatnya tampak lebih seperti seorang gelandangan daripada anak seorang bangsawan.

Di hadapannya, duduk dua orang yang tak asing baginya. Seorang pria dengan wajah penuh kekuatan dan kemarahan, serta seorang wanita yang mengenakan gaun coklat semata kaki, dengan rambut pirang panjang tergerai sampai pinggang. Wanita itu menatap Herald dengan kedua mata yang lebar, penuh kekhawatiran.

"Herald, syukurlah... akhirnya kamu kembali juga," suara wanita itu lembut, penuh kasih sayang. Ia melangkah maju, berusaha mendekati anaknya. "Ibu sangat mengkhawatirkanmu. Kemana saja kamu selama ini?"

Herald memalingkan wajahnya ke samping, menutupi rasa malunya saat mendengar pertanyaan itu. "Hmph! Ibu tidak usah khawatir sebegitunya. Aku sudah dewasa. Jadi kemanapun aku pergi, itu adalah keputusanku."

Wanita itu, yang tentu saja adalah ibu Herald, Asdella Enhart, terlihat menghela napas panjang, namun ia tak berani menekan lebih lanjut. Namun, tak lama setelah itu, pria yang duduk di kursi, yang sebelumnya diam saja, kini berdiri dengan gerakan cepat dan menghempaskan kedua tangannya ke atas meja.

Bam!

Suara hentakan keras itu membuat seluruh ruangan terdiam seketika. Herald sedikit terkejut, menoleh sekilas ke arah pria itu.

"Herald," suara pria itu berat, penuh amarah yang tertahan. "Apa kamu tahu masalah yang sudah kamu buat? Kamu menghilang begitu saja, membuat banyak orang khawatir. Hampir setiap hari para prajurit pergi ke hutan hanya untuk mencari kamu. Lihat seberapa repotnya kami hanya karena kelakuanmu! Bahkan ibumu selalu khawatir, dan kamu malah merasa tidak bersalah sama sekali!"

"Dan juga, Ayah mendapat laporan kalau kamu membuat keributan di tempat penjualan bunga. Untung saja kamu hanya merusak bunga-bunga liar. Tapi tetap saja, kami harus mengganti pot-pot yang hancur," tambahnya, dengan tatapan tajam.

Pria itu adalah Demios Enhart, ayah Herald, yang kini memandang anaknya dengan wajah yang dipenuhi kekesalan.

Herald membalas perkataan ayahnya itu dengan acuh tak acuh, "Seharusnya kalian tidak perlu mengkhawatirkan diriku. Aku ingin pergi kemana pun, itu terserah aku. Dan soal keributan di tempat bunga itu, itu semua salah prajurit yang mengejarku. Kalau saja mereka tidak mengejarku, mana mungkin kejadian seperti itu terjadi."

Ucapan Herald justru membuat ayahnya semakin kesal. "Kamu ini... dasar keras kepala! Ingat, kamu adalah satu-satunya pewaris yang akan menggantikan ayah suatu hari nanti. Jadi jaga sikapmu dan mulailah belajar. Tata krama dan perilakumu harus diperbaiki!"

Herald mendengus kesal. "Hah, menyebalkan," gumamnya sambil membuang muka.

Demios kembali duduk di kursinya, berusaha menenangkan diri. Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang. "Sekarang, lebih baik kamu bersihkan dirimu dulu. Baru nanti kita akan tentukan hukuman yang pas untukmu."

"Bersihkan diriku?" Herald memandang tubuhnya dengan bingung, baru menyadari betapa kotor dirinya. Ia terdiam sejenak, menyadari betapa berantakan penampilannya saat itu.

***

Herald adalah anak dari Demios, seorang Barron yang memimpin desa ini. Sebagai anak tunggal, ia menjadi satu-satunya penerus keluarga Enhart. Sejak dulu, Herald dikenal sebagai anak nakal, dan sepertinya sifatnya tidak pernah berubah. Baru-baru ini, dia menghilang selama tiga hari, yang membuat seluruh desa cemas. Tak hanya itu, ia baru kembali setelah dikejar oleh rombongan prajurit yang dikirim oleh ayahnya.

Pada usia 16 tahun, Herald tengah berada dalam masa pubertas. Sifatnya yang labil dan lugunya membuatnya sering bertindak gegabah. Ia ingin merasakan kebebasan masa muda seutuhnya, meski itu berarti melanggar aturan dan larangan yang ada.

Akibatnya, Herald sering terjebak dalam masalah. Baik ayah maupun ibunya, keduanya sering memberinya nasihat, namun keras kepala Herald selalu mengabaikan peringatan mereka. Bahkan, akibat kelakuannya, ia sering harus menghadapi hukuman.

**

Beberapa menit setelah kejadian tadi, Herald kini sudah berada di dalam kamarnya. Beberapa prajurit menjaga di luar pintu, memastikan agar dia tidak kabur lagi. Dengan langkah malas, Herald menuju kamar mandi. Ia melepas pakaian yang kotor dan berantakan, kemudian tangannya menyentuh sebuah tangkai Dandelion yang masih menempel di baju. Ia menatap bunga itu lama, membolak-balikannya di tangan. Sekilas, wajah Herald mengeras, mengenang kejadian saat dirinya terjatuh dan bunga-bunga Dandelion yang terbang ke udara.

[Bunga seindah ini... ternyata bunga liar?] pikir Herald.

Pikirannya melayang pada ucapan ayahnya yang sempat menyebutkan bunga Dandelion sebagai tanaman liar yang rusak akibat kelakuannya. Padahal menurut Herald, bunga itu begitu indah dan layak untuk dipuji, meski ia termasuk bunga liar.

Setelah itu, Herald berjalan menuju jendela yang ada di samping kanannya. Ia membukanya, membiarkan angin sepoi-sepoi masuk ke dalam kamar. Rambutnya terangkat sedikit, tertiup angin. Herald memandang bunga Dandelion yang masih ada di tangannya, lalu melemparkannya keluar dari jendela. Bunga itu terbang melayang, tertiup angin hingga akhirnya hilang dari pandangannya.

Melihat bunga itu mengingatkannya pada dirinya sendiri, yang pernah pergi dari rumah ini. Bedanya, bunga itu tidak akan pernah kembali lagi, sementara dirinya kini kembali lagi ke sini.

Herald menatap sejenak ke luar jendela, lalu menutupnya perlahan. Dengan langkah malas, ia bergegas untuk mandi, mencoba membersihkan dirinya dari kekacauan yang ia buat.

Setelah cukup lama berada di kamar mandi, Herald kini sudah bersih. Ia segera mengenakan pakaian barunya dan bergegas menuju ruangan ayahnya. Begitu sampai di sana, ia siap untuk menerima hukuman yang telah dijanjikan. Sesuai dengan yang telah dibicarakan sebelumnya, hukuman bagi Herald adalah berlatih pedang sepanjang hari. Ia sudah menghilang selama beberapa hari, melewatkan rutinitas latihannya, dan ini adalah cara ayahnya untuk mengembalikannya ke jalur yang benar.

Walau terdengar mudah, kenyataannya tidak demikian. Herald harus mengayunkan pedangnya tanpa henti sepanjang hari, bersama pelatih dan beberapa prajurit. Latihan ini berlanjut hingga matahari terbenam tanpa ada waktu istirahat. Pada malam hari, setelah semuanya selesai, Herald hanya bisa terbaring lemas di kamarnya, merasa tak berdaya. Ia harus beristirahat, memulihkan tenaga, dan memikirkan hukuman yang akan datang di hari berikutnya.

Hukuman itu berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Setiap hari, seluruh kekuatan Herald diuji. Di satu sisi, kemampuan berpedangnya meningkat, namun di sisi lain, kelelahan yang luar biasa membuatnya hampir tak mampu bergerak. Tempat ini rasanya seperti neraka baginya.

Dan akhirnya, hari ketiga tiba...

Herald sudah sangat lelah. Pedangnya terasa begitu berat, dan setiap ayunan membutuhkan waktu beberapa detik. Pelatih yang melihat kondisinya merasa kasihan dan mencoba membujuknya untuk beristirahat.

"Herald, lebih baik kita beristirahat sebentar. Kamu sudah sangat kelelahan..." ujar pelatih dengan nada khawatir.

Namun, Herald tetap bertahan. "Tidak, kita lanjutkan saja sampai selesai," jawabnya dengan tegas meskipun napasnya mulai tersengal.

Pelatih itu hanya bisa terdiam, tidak membalas kata-kata Herald. Latihan pun berlanjut.

Saat mereka berlatih, tiba-tiba ayah Herald muncul di tempat itu sambil membawa sebuah gulungan pesan.

"Herald, berhenti!" ucapnya dengan suara lantang, membuat Herald dan pelatih segera menghentikan latihan mereka.

Mereka menatap ke arah ayah Herald yang berdiri tegak di depan mereka.

"Herald, ikut ayah ke ruangan. Ada yang ingin ayah bicarakan," perintah Demios, lalu berbalik dan berjalan pergi.

Herald terdiam, matanya mengikuti ayahnya pergi. Dalam pikirannya, muncul pertanyaan-pertanyaan yang berputar.

Kenapa ayah memanggilku ke ruangan?

[Jangan-jangan, dia akan menambah hukumanku... Ah bakalan merepotkan sekali ini.]

Keringat dingin mulai bercampur dengan keringat latihan yang masih menempel di tubuhnya. Ia berpikir sejenak, jika alasan ayah memanggilnya adalah untuk memberi hukuman tambahan, maka ada kemungkinan besar ia akan semakin menderita.

[Kurasa aku harus melarikan diri lagi.]

Hanya satu jalan keluar yang ia pikirkan—melarikan diri. Jika tidak, mungkin hukumannya akan semakin parah. Dengan cepat, Herald mulai melangkah menjauh dari arah ruangan ayahnya, berniat untuk kabur.

Namun, baru beberapa langkah ia bergerak, sebuah tangan tiba-tiba memegang pundaknya. Tanpa ia duga, pelatihnya sudah berada di sampingnya.

"Herald, kamu mau kemana?" tanya pelatihnya dengan nada lembut namun penuh pengertian.

Herald perlahan menoleh, wajahnya terlihat gugup. "A-anu..." ia mencoba memberikan alasan, namun belum sempat ia melanjutkan, pelatih sudah memotong kata-katanya.

"Jangan bilang kalau kamu berniat melarikan diri lagi?" tanya pelatih dengan tegas.

Keringat dingin semakin bercucuran. Herald tahu pelatihnya sudah menyadari niatnya. Ia menepuk dahinya, menyerah pada kenyataan.

"Sudah kuduga," gumamnya. "Huf... lebih baik kalau aku yang mengantarmu ke ruangan ayah."

Herald hanya bisa menghela napas panjang. Tak ada jalan untuk melarikan diri kali ini. Dengan terpaksa, ia mengikuti pelatihnya menuju ruangan ayah, siap untuk menerima hukuman yang belum diketahui apa bentuknya.

Bab 3 Bekerja Sebagai Pengawal Pribadi

Sekali lagi, Herald berada di dalam ruang kerja ayahnya. Kali ini, ia merasa cemas karena belum tahu hukuman apa yang akan ia terima. Ia menduga, seperti biasanya, mungkin ayahnya hanya akan memberinya peringatan untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya yang nakal. Namun, ada kemungkinan besar hukuman baru juga menantinya.

Di ruangan itu, Herald hanya terdiam, mematung tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sembari memandangi ayahnya yang sibuk dengan beberapa helai kertas yang berserakan di atas meja. Waktu berjalan begitu lama tanpa percakapan, dan Herald pun merasa penasaran.

Apa yang sedang ayah tulis di kertas-kertas itu?

Dengan hati-hati, Herald mencoba untuk menjinjit kakinya dan mengangkat kepalanya agar bisa melihat lebih dekat ke tulisan-tulisan di kertas tersebut. Namun, baru saja ia mencoba untuk mengintip, ayahnya menyadari perbuatannya. Dengan tatapan tajam, Demios menyebutkan nama anaknya dengan lantang.

"Herald."

"E-!" Herald terkejut dan langsung berdiri tegak.

Ayahnya memandangnya sejenak sebelum merapikan kertas-kertas di meja. Lalu, dengan suara yang lebih tegas, ia berbicara.

"Jadi, Herald, alasan ayah memanggilmu ke sini adalah untuk membicarakan sesuatu."

[Dibicarakan?]

Herald merasa sedikit lega. Sepertinya ini bukan terkait hukuman, tapi ada sesuatu yang lebih penting yang ingin dibicarakan oleh ayahnya. Pikirannya pun mulai bertanya-tanya tentang apa yang akan mereka bahas, hingga ia hampir tidak menyadari ayahnya yang sedang menunggu tanggapannya.

"Herald, apakah kamu mendengar apa yang ayah katakan?" tanya Demios dengan nada lebih berat.

"I-iya!" jawab Herald cepat, mencoba mengerahkan perhatian penuh.

Ayahnya kemudian melanjutkan penjelasannya.

"Ayah baru saja menerima pesan dari teman ayah, seorang Duke di kota Elestial. Namanya Astalfo Enhart. Dia membutuhkan seseorang yang bisa bekerja sebagai pengawal pribadi putrinya, karena beberapa waktu lalu ibunya meninggal dunia..."

Herald mendengar itu, dan seketika ingatan masa lalu muncul. [Ah, Tuan Astalfo… aku ingat, waktu itu dia pernah datang bersama dengan ibunya ke sini.]

Dari apa yang ia dengar, ayahnya mendapat pesan dari seorang Duke. Herald merasa aneh, bagaimana bisa seorang Barron seperti ayahnya berhubungan dengan Duke yang memiliki kedudukan tinggi seperti Astalfo? Namun, hubungan mereka memang sangat khusus.

Dulu, ayahnya pernah menjadi prajurit di keluarga Enhart, bahkan menjadi pengawal pribadi Astalfo ketika masih muda. Waktu berlalu, hubungan mereka semakin erat. Astalfo akhirnya menjadi penerus keluarga Enhart dan memberikan anugerah kepada ayah Herald untuk menjadi Barron di desa ini, yang mengubah hidup Herald menjadi bangsawan.

"Jadi..." Ayahnya melanjutkan, "Ayah berencana untuk mengirimmu ke sana dan bekerja sebagai pengawal pribadi untuk anaknya."

Herald terdiam mendengar perkataan ayahnya. Pengawal pribadi? ia berpikir, merasa tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Dengan cepat, Herald membuka mulutnya untuk bertanya.

"A-apa yang ayah katakan? Menjadi pengawal pribadi?" Suaranya terdengar bingung.

"Iya, itu benar," jawab Demios tegas. "Tuan Astalfo sedang mencari seseorang yang dapat dipercaya untuk menjaga putrinya, dan dia meminta salah satu dari keluarga kita untuk pergi ke sana. Ayah rasa kamu adalah orang yang tepat, karena kamu adalah anak pertama ayah."

Herald masih terkejut dengan permintaan itu. Ia tidak mau pergi ke sana. Ia tahu betul jika ia harus pergi, kebebasannya akan terkekang oleh aturan bangsawan yang begitu ketat dan melelahkan.

"Ayah, aku tidak mau pergi ke sana!" serunya, menolak keras keputusan tersebut.

Urat di kening Demios mulai menegang, tanda bahwa ia tidak senang mendengar penolakan tersebut. "Herald, jangan menolaknya. Ini adalah rekomendasi langsung dari Tuan Astalfo untuk kita. Kamu harus menerima ini, mau tidak mau."

"T-tapi... aku masih muda. Aku tidak mau menghabiskan masa mudaku hanya untuk menjadi pengawal pribadi. Aku tidak ingin hidupku terkungkung oleh aturan-aturan para bangsawan."

Herald terus mencoba menolak. Ia merasa masa mudanya akan hancur jika harus tinggal di rumah Duke dan menjalani kehidupan yang terikat aturan. Tapi, ayahnya tampaknya tidak memahami perasaannya. Demios berdiri dari kursinya dan mendekat ke Herald.

"Justru ini adalah hal yang tepat," katanya dengan nada lebih serius. "Kamu adalah pewaris keluarga ini. Jika kamu pergi ke sana dan menjadi pengawal pribadi, kamu akan mendapatkan banyak pengalaman. Kamu akan belajar tentang tatanan kerajaan, tata krama bangsawan, dan cara hidup yang benar. Itu semua akan sangat berguna di masa depan."

Herald mencoba berpikir, mendengar penjelasan ayahnya. Memang benar, jika ia pergi ke sana, ia akan mendapatkan banyak pelajaran dan pengalaman berharga. Ia akan belajar tentang cara bertata krama sebagai bangsawan, berinteraksi dengan para pejabat tinggi, dan memahami kehidupan dunia yang lebih luas.

Namun, meskipun begitu, Herald tetap merasa bahwa ia tidak ingin pergi. Kehidupan yang terlalu teratur dan penuh aturan bukanlah yang ia inginkan. Ia ingin merasakan kebebasan, melakukan apa yang ia inginkan tanpa harus takut akan pembatasan yang ada.

Tiba-tiba, ayahnya memegang kedua bahunya dengan erat, membuat Herald terkejut.

"Dengar, Herald. Kamu harus pergi ke sana. Mau tidak mau, kamu harus pergi. Ini adalah kesempatan yang besar bagi kita. Kita mendapatkan kepercayaan dari Tuan Astalfo. Ini adalah sebuah kebanggaan. Tolong wakili keluarga kita dengan baik di sana."

Dengan itu, Demios melepaskan pegangan tangannya dan kembali berjalan menuju meja kerjanya, meninggalkan Herald yang terdiam di tempat.

Tak lama kemudian, ayahnya kembali berbicara. "Selain itu, ini juga bisa menjadi pelajaran buatmu, bagaimana rasanya menjadi seorang prajurit yang harus menjaga tuannya. Kamu yang selama ini selalu merepotkan para prajurit di sini, mencari-cari masalah. Ku harap setelah semua ini, kamu akan sadar dan menjadi pribadi yang lebih baik. Sekarang, kembalilah ke kamarmu dan persiapkan dirimu. Dua hari lagi kita akan berangkat ke kota Elestial."

"B-baik," jawab Herald pelan, menundukkan kepalanya.

Herald berjalan keluar dari ruangan itu dengan langkah berat, perasaannya kacau. Sesampainya di luar, pelatihnya, Charlie, sudah menunggunya. Melihat ekspresi Herald yang murung, Charlie tidak bisa bertanya lebih lanjut. Sebagai gantinya, ia memulai percakapan dengan hati-hati.

"Tuan Herald, ada apa? Kenapa tuan terlihat begitu murung? Apakah Tuan Demios memberikan hukuman tambahan kepada Anda?"

Herald hanya menggelengkan kepala. "Tidak, tidak ada hukuman tambahan, tapi..." Ia berhenti sejenak, merasa ada banyak hal yang ingin dikatakan, namun tidak ingin mengeluarkannya. "Ah, sudahlah. Aku mau ke kamar dulu."

Tanpa menunggu jawaban, Herald melangkah cepat menuju kamarnya. Charlie hanya bisa bingung, merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar terjadi di balik pembicaraan mereka. Namun, ia tahu bahwa itu adalah urusan pribadi mereka, dan ia tidak ingin mencampuri. Dengan harapan, ia hanya bisa berdoa agar semuanya berjalan dengan baik bagi Herald.

"Semoga tuan Herald baik-baik saja," gumam Charlie pelan.

***

Di kamar, Herald yang baru saja tiba di sana langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Rasa lelah akibat latihan panjang seharian seakan memenuhi seluruh tubuhnya, namun bukan itu yang paling mengganggunya. Pembicaraan dengan ayahnya barusan yang terus terngiang di kepalanya.

"Kenapa malah aku yang harus pergi..."

Herald merenung dalam-dalam. Mengapa harus dirinya yang dipilih untuk pergi ke kota Elestial? Bukankah ini urusan ayahnya? Ayahnya yang memiliki hubungan langsung dengan Duke Astalfo, bukan dia. Mungkin ini semua karena status keluarganya sekarang, status bangsawan yang seakan membuatnya terikat pada kewajiban yang tak bisa dihindari.

Dia terus memikirkan hal itu sambil menutup matanya, berharap bisa menenangkan pikirannya. Namun, saat matanya terpejam, sebuah ide tak terduga muncul di kepalanya. Dalam sekejap, Herald mengangkat kepalanya dari kasur, ekspresinya berubah kaku, seolah-olah menyadari sesuatu yang baru. Tanpa bisa menahan diri, dia bergumam pelan.

"Eh, tunggu dulu... kenapa aku tidak kabur saja yah?"

Herald mengulang pikirannya dalam hati, seakan menemukan secercah harapan dalam kepalanya. Jika dia melarikan diri lagi, dia bisa menghindari semuanya—tidak perlu pergi ke kota Elestial, tidak perlu terperangkap dalam kehidupan yang penuh aturan dan kewajiban. Dia bisa bebas lagi, menjalani hidupnya dengan cara yang dia inginkan. Namun, apakah itu benar-benar solusi? Pertanyaan itu terus berputar di pikirannya, membuatnya semakin bingung.

Dia menatap pintu kamarnya, seolah-olah pintu itu adalah jalan keluar dari semua permasalahan yang kini membebani pikirannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!