NovelToon NovelToon

Arjuna : A Divine Power, A Fallen Hero

Dewa Yang Sombong

Di Gunung Meru yang megah, dunia para dewa, terhampar sebuah alam yang tak terjangkau oleh manusia biasa. Gunung ini, yang dihuni oleh para dewa dan makhluk suci, adalah pusat kekuatan dan keseimbangan semesta. Puncaknya menggapai awan, dengan pemandangan yang memukau, dan kota-kota yang tersusun indah, berkilau seperti emas, dipenuhi dengan taman-taman surgawi, dan istana-istana yang penuh kemegahan.

Para dewa, dengan segala kekuatan dan kebijaksanaan mereka, bertanggung jawab atas keseimbangan alam semesta. Mereka adalah makhluk abadi yang memiliki kemampuan luar biasa, masing-masing dengan tugas dan peran tertentu. Setiap dewa berkuasa atas aspek berbeda dari dunia, seperti kehidupan, kematian, alam, dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya. Mereka bukan hanya penjaga semesta, tetapi juga pengatur takdir bagi makhluk yang hidup di dunia bawah mereka.

Namun, meskipun mereka adalah sosok yang dihormati dan dihargai, mereka juga memiliki kelemahan dan godaan. Keangkuhan dan kesombongan adalah sisi gelap yang bisa merusak bahkan dewa yang paling mulia. Ini adalah awal dari cerita Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa, yang merasa bahwa kekuatan dan keturunannya membuatnya lebih unggul dari siapa pun, bahkan para dewa lainnya.

Dewa Arka Dewa, yang memiliki kekuatan untuk mengatur alam semesta dan menjaga keseimbangan kosmik, adalah pemimpin yang bijaksana. Meskipun demikian, ia tidak dapat menghindari tantangan terbesar yang datang dari putranya, Arjuna. Arjuna, yang dilahirkan dengan darah dewa, memiliki potensi luar biasa—tapi juga disertai dengan kesombongan yang mengakar dalam dirinya.

Dewi Laksmi, ibu Arjuna, adalah dewi kemakmuran dan kesejahteraan. Ia adalah sosok yang lembut dan penuh kasih, yang selalu berusaha mengarahkan Arjuna ke jalan yang benar. Namun, ia tahu bahwa kekuatan sejati tidak hanya terletak pada darah dan keturunan, tetapi pada kemampuan untuk mengendalikan diri dan bertindak dengan bijaksana.

Di atas Gunung Meru, para dewa sering berkumpul untuk berdiskusi tentang takdir semesta, ancaman yang mungkin muncul, dan perubahan yang harus dilakukan untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Kehidupan mereka di sana terlihat sempurna, namun di balik kemewahan itu, ada ketegangan yang mulai berkembang, terutama ketika Arjuna, dengan segala kekuatan dan egonya, merasa tidak puas dengan posisi yang dimilikinya.

Arjuna sering menantang para dewa lainnya, mempertanyakan kekuatan mereka, dan merasa bahwa ia layak lebih dari yang diberikan kepadanya. Setiap kemenangan yang ia raih, ia anggap sebagai pembuktian bahwa dia adalah yang terbaik di antara mereka. Namun, sedikit yang tahu bahwa ketidakpuasan dalam dirinya perlahan menggerogoti, memisahkan Arjuna dari kebijaksanaan dan tujuan sejatinya.

Di tengah kebijaksanaan para dewa yang teruji oleh waktu, Arjuna hanyalah seorang pemuda yang masih mencari jati diri. Tetapi pencariannya akan membawa Arjuna pada perjalanan yang jauh lebih besar, sebuah perjalanan yang akan mengubah dirinya selamanya.

Arjuna berdiri di balkon istana megah di puncak Gunung Meru, menatap ke bawah, ke lembah yang jauh di bawahnya. Sebuah pandangan yang mengesankan, namun tidak cukup untuk menyentuh hatinya yang penuh dengan kesombongan. Sebagai putra dari Dewa Arka Dewa, penguasa alam semesta, Arjuna merasa bahwa ia lebih dari sekadar dewa muda. Ia merasa dirinya sudah berada di puncak, lebih kuat, lebih pintar, dan lebih berhak dibandingkan siapa pun.

"Apakah kalian semua benar-benar menganggap diri kalian lebih besar dariku?" Arjuna sering berkata dengan nada merendahkan kepada para dewa yang lebih tua. "Aku adalah anak dari Dewa Arka Dewa, dengan darah yang lebih murni daripada siapa pun di antara kalian. Kekuatan ini harusnya menjadi hakku untuk mengatur dunia ini."

Sering kali, para dewa lainnya hanya diam, melihat dengan prihatin pada sikap Arjuna yang angkuh. Dewi Laksmi, ibunya, selalu berusaha memberikan nasihat bijak, namun kata-katanya sering kali jatuh ke telinga yang tuli. “Arjuna, kekuatan yang sejati datang dari dalam, bukan hanya dari kekuatan fisik atau keturunan. Ingatlah bahwa bahkan dewa yang bijaksana pun pernah terjatuh karena kesombongan.”

Namun, Arjuna tidak pernah mendengarkan. Ia meremehkan para dewa yang lebih tua, menganggap mereka lemah atau tidak cukup layak. Ia menantang mereka untuk berlomba dalam berbagai hal, dari kekuatan fisik hingga kebijaksanaan. Setiap kali ia menang, ia merasa semakin unggul. Dan setiap kali ia kalah, ia hanya menyalahkan keadaan atau menganggapnya sebagai ketidakberuntungan semata.

Suatu hari, di sebuah pertemuan besar antara para dewa, Arjuna dengan keras kepala mengemukakan pendapatnya di hadapan Dewa Wisnu dan Dewa Brahma, dua dewa terbesar setelah Dewa Arka Dewa.

“Kenapa kalian harus terus memerintah dan menjaga keseimbangan semesta? Aku bisa melakukannya lebih baik!” ujar Arjuna dengan penuh keyakinan. "Aku memiliki kekuatan yang lebih besar dari kalian semua. Tak ada yang bisa mengalahkanku!"

Para dewa yang hadir hanya saling memandang dengan tatapan penuh keprihatinan. Bahkan Dewa Wisnu, yang dikenal bijaksana dan penuh kasih, tidak bisa menahan senyum tipis di bibirnya. "Arjuna, kekuatan bukanlah segalanya. Kekuatan yang sejati terletak pada kemampuan untuk memahami, mengalahkan ego, dan menjaga keseimbangan dalam diri."

Namun, Arjuna tidak peduli. Baginya, segala sesuatu dapat ditaklukkan dengan kekuatan. Ia percaya bahwa ia sudah berada di jalur yang benar, bahwa ia adalah yang paling kuat, dan hanya hal itu yang penting.

Namun, jauh di dalam hatinya, ia mulai merasa ada yang kosong. Meskipun ia menang dalam banyak pertarungan dan tantangan, ia merasa tidak puas. Keinginan untuk lebih besar, lebih kuat, dan lebih dihormati terus menggerogoti dirinya.

Dewa Arka Dewa, yang menyaksikan perilaku putranya dengan mata yang tajam, mulai melihat bahwa kebanggaan Arjuna bisa menjadi bencana, bukan hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi seluruh semesta. Dewa Arka Dewa mengetahui bahwa jika Arjuna terus mempertahankan sifat sombongnya, ia akan menjadi ancaman, bukan hanya bagi dirinya sendiri, tetapi bagi keseimbangan alam semesta.

Dan inilah saatnya bagi Arjuna untuk belajar pelajaran terbesar dalam hidupnya. Tanpa peringatan, Dewa Arka Dewa memanggil putranya ke sebuah ruang pribadi yang tersembunyi di dalam istana. Di sana, Arjuna dipanggil untuk menghadap ayahnya, yang wajahnya penuh dengan ketegasan.

“Anakku,” kata Dewa Arka Dewa, dengan suara yang dalam dan penuh wibawa. “Kau telah melampaui batas. Kesombonganmu merusak segala sesuatu yang telah kami bangun di Gunung Meru. Kau lupa bahwa kekuatan tanpa kebijaksanaan adalah bencana.”

Arjuna tidak mengerti. “Tapi aku sudah cukup kuat, ayah. Aku sudah membuktikan kemampuanku. Aku pantas menjadi lebih dari ini!”

Dengan ketegasan yang tidak bisa dibantah, Dewa Arka Dewa menatap putranya. “Kekuatanmu tidak akan berarti apa-apa jika kau tidak dapat mengendalikan dirimu. Kau akan dibuang dari sini, dari dunia kami, ke dunia manusia, di mana kau akan belajar tentang kelemahanmu yang sebenarnya. Tanpa kekuatanmu, tanpa kedudukanmu sebagai dewa, hanya ada dirimu yang asli.”

“Tidak!” Arjuna berseru, merasa terhina dan marah. “Aku tidak akan terima diperlakukan seperti ini!”

Namun, Dewa Arka Dewa tidak berubah. “Ini adalah keputusan terakhirku. Hanya dengan belajar tentang kekurangan dan kerendahan hati, kau akan mengerti apa itu kekuatan sejati.”

Dan dengan keputusan itu, Arjuna, dewa muda yang sombong, diasingkan ke dunia manusia tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa pengaruh dewa yang biasa ada padanya. Sebuah pelajaran berat yang tak dapat dihindari—sebuah perjalanan yang harus ditempuh untuk menemukan arti sejati dari kekuatan, kebijaksanaan, dan takdirnya.

Sang Dewa Turun Di Jakarta

Gunung Meru bergemuruh, langit yang tadinya cerah kini diliputi awan pekat yang berputar, seolah merespons amarah Dewa Arka Dewa. Para dewa dan penghuni istana menunduk dalam ketakutan, merasakan tekanan ilahi yang memenuhi ruang singgasana.

Di tengah aula megah itu, Arjuna berdiri tegak, matanya penuh dengan kesombongan dan keangkuhan. Ia tidak merasa takut, tidak merasa bersalah. Baginya, ini hanyalah ujian lain yang akan membuktikan bahwa ia memang layak disebut sebagai yang terkuat.

“Ayah tidak perlu melakukan ini,” suara Arjuna penuh kepercayaan diri. “Aku adalah yang terbaik di antara semua dewa. Mengapa aku harus tunduk pada mereka yang lebih lemah dariku?”

Hening. Tidak ada satu pun yang berani berbicara. Bahkan para dewa agung hanya bisa menundukkan kepala.

Dewa Arka Dewa menatap putranya dengan sorot mata penuh kekecewaan. “Kekuatan tanpa kebijaksanaan adalah kehancuran, Arjuna,” suaranya berat dan berwibawa. “Kau menolak untuk belajar. Kau menolak untuk memahami bahwa seorang dewa bukanlah sekadar makhluk terkuat, tetapi juga pemimpin dan pelindung.”

Arjuna mendengus. “Lalu mengapa kita harus peduli? Yang lemah harus tunduk pada yang kuat. Bukankah itu hukum alam?”

Seketika, suara petir menggema. Dewa Arka Dewa berdiri dari singgasana emasnya, matanya kini bersinar dengan cahaya kosmik. Namun, di balik ketegasan itu, ada kepedihan yang ia sembunyikan.

“Kesombonganmu telah membutakanmu, Arjuna. Kau bukan hanya mengabaikan tugasmu sebagai dewa, tetapi juga melupakan tanggung jawabmu sebagai putra seorang raja.”

Arjuna terdiam sejenak, namun ia tidak menunjukkan rasa gentar. “Lalu apa yang akan kau lakukan, Ayah? Mengurungku? Mendidikku dengan cara lama? Aku sudah terlalu kuat untuk dihukum.”

Dewa Arka Dewa menghela napas, bukan karena ragu, tetapi karena kesedihan. “Tidak, Arjuna. Aku akan mengambil kekuatanmu.”

Arjuna tersentak. Mulutnya terbuka, seolah ingin tertawa, namun di balik cemoohnya, ada kegelisahan yang mulai muncul. “Kau tidak bisa melakukan itu.”

“Aku bisa,” jawab Dewa Arka Dewa dengan tenang. “Dan aku akan melakukannya.”

Sebelum Arjuna bisa bereaksi, kilatan cahaya keemasan melesat dari tangan ayahnya, menyelimuti tubuhnya. Ia merasakan kekuatannya, kecepatan, ketahanan, dan energinya—semuanya dicabut darinya dalam hitungan detik. Tubuhnya melemas, dadanya naik turun dengan napas tersengal. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa... lemah.

“Cukup!”

Suara lembut namun penuh ketegasan bergema di aula istana. Dewi Laksmi, ibu Arjuna, melangkah ke tengah ruangan. Jubah putihnya berkibar, matanya memancarkan kasih sayang yang dalam.

“Suamiku,” suaranya bergetar, “aku memohon... berilah dia kesempatan kedua.”

Dewa Arka Dewa tidak menjawab segera. Tatapannya tetap pada Arjuna, yang kini berlutut lemah di hadapan mereka.

“Ia masih anak kita,” lanjut Dewi Laksmi. “Aku tahu ia keras kepala, aku tahu ia sombong, tetapi apakah tidak ada jalan lain? Tidak bisakah kita membimbingnya dengan cara yang lebih lembut?”

Sejenak, suasana menjadi hening. Para dewa menahan napas, menunggu keputusan Sang Raja Langit.

Akhirnya, Dewa Arka Dewa menggelengkan kepalanya. “Aku telah memberi Arjuna banyak kesempatan, Laksmi. Ia tidak belajar. Ia tidak mendengar.”

Dewi Laksmi melangkah mendekat, menggenggam tangan suaminya. “Ia masih muda, ia masih bisa berubah.”

Namun, Dewa Arka Dewa tetap pada keputusannya. “Ia harus belajar dengan cara yang lebih keras.”

Dewi Laksmi menggigit bibirnya, menahan air mata. Ia tahu suaminya bukanlah dewa yang kejam, tetapi keputusan ini begitu menyakitkan.

Dewa Arka Dewa kembali menatap putranya. “Kau akan turun ke dunia manusia, Arjuna. Tanpa kekuatan, tanpa kemewahan, tanpa kebanggaan. Kau akan hidup sebagai salah satu dari mereka, merasakan penderitaan mereka, memahami arti menjadi lemah.”

Arjuna menatap ayahnya dengan mata penuh kemarahan. “Kau tidak bisa melakukan ini!”

Tapi sudah terlambat. Dengan satu ayunan tangan, tubuh Arjuna diterbangkan ke langit, melesat meninggalkan Gunung Meru.

Dewi Laksmi menatap putranya yang menghilang dalam cahaya, sebelum akhirnya ia menunduk. Air mata yang ia tahan akhirnya jatuh.

Dewa Arka Dewa berdiri diam, matanya tertuju pada tempat terakhir Arjuna terlihat. Suaranya lirih, hampir tak terdengar.

“Semoga kau menemukan jalanmu, putraku...”

Langit malam Jakarta tahun 2026 berpendar dengan cahaya lampu kota. Gedung pencakar langit berdiri megah, sementara jalanan dipenuhi kendaraan yang terus melaju tanpa henti. Di antara kebisingan klakson dan kerumunan manusia, sebuah cahaya keemasan tiba-tiba membelah langit, melesat dengan kecepatan luar biasa.

Tubuh Arjuna terlempar dari dimensi surgawi, jatuh menembus awan sebelum akhirnya menghantam sebuah jalanan sepi di pusat kota. Debu dan serpihan aspal beterbangan akibat benturan keras.

Arjuna terbaring di atas aspal yang panas, tubuhnya terasa berat, tidak seperti sebelumnya. Ia mencoba bangkit, tapi rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya. Tangannya menyentuh dada, merasakan detak jantung yang aneh—lemah, seperti manusia biasa.

“Apa... yang terjadi?” gumamnya, matanya masih buram mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan asing ini.

Ia masih mengenakan pakaian kebesarannya sebagai pangeran dewa—jubah emas dengan ukiran motif awan dan angin, gelang serta sabuk dari batu permata yang menyala samar. Namun, semua itu kini hanya sekadar pakaian, tanpa kekuatan ilahi yang menyertainya.

Langkah kaki terdengar mendekat. Seorang pria berjaket kulit dengan wajah penuh curiga berhenti beberapa meter darinya. “Gila... Gue ngeliat lu jatuh dari langit, bro.”

Seorang wanita muda dengan hoodie hitam ikut mendekat, wajahnya bercampur antara terkejut dan ketakutan. “Dia pakai cosplay atau beneran alien?”

Arjuna menatap mereka dengan tatapan tajam, mencoba menegakkan punggungnya. “Kalian... siapa?”

Pria itu melipat tangan. “Harusnya gue yang nanya. Lu siapa? Kenapa tiba-tiba muncul dari langit kayak meteor?”

Arjuna mencoba berdiri, tapi lututnya gemetar. Ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya—kelemahan.

Seketika, sirene polisi terdengar mendekat. Beberapa petugas berlari ke arah mereka, senter-senter dinyalakan ke wajah Arjuna.

“Berhenti di tempat! Angkat tangan!”

Arjuna menatap mereka dengan penuh kebingungan. Dalam pikirannya, tidak ada satu pun dari manusia ini yang layak memberi perintah kepadanya. Tapi tubuhnya... tubuhnya tidak lagi merespons seperti dulu.

Salah satu polisi berbisik ke rekannya, “Pakaian aneh, bisa jadi orang ini dari sekte atau kelompok ekstremis.”

Tanpa berpikir panjang, salah satu polisi mendekat dan meraih bahu Arjuna, berniat menahannya.

“Lepaskan tanganmu dari tubuhku, manusia lemah!” seru Arjuna.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Polisi itu dengan mudah mendorongnya hingga ia tersungkur ke tanah.

Arjuna terdiam. Ia menatap tangannya sendiri, mencoba merasakan kekuatan yang seharusnya mengalir di tubuhnya. Tapi tidak ada apa-apa. Tidak ada tenaga super, tidak ada kecepatan luar biasa, tidak ada aura ilahi.

Ia kini benar-benar manusia biasa.

Sebelum ia bisa berbuat sesuatu, polisi lain memborgol kedua tangannya. Dingin logam menyentuh kulitnya, sensasi yang belum pernah ia alami sebelumnya.

“Bawa dia ke kantor,” perintah salah satu petugas. “Kita cari tahu siapa dia.”

Arjuna, sang pangeran dewa, sang pejuang terkuat di Gunung Meru, kini tak lebih dari seorang pria asing yang terjebak di dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa status, dan tanpa tujuan.

Di selamatkan Oleh Manusia

Arjuna merasakan besi borgol yang mengikat pergelangan tangannya. Dingin dan kasar, seperti belenggu yang menghina martabatnya sebagai seorang dewa. Namun, jika kekuatannya telah lenyap, bukan berarti ia telah kehilangan segalanya.

Dua polisi berusaha menggiringnya menuju mobil patroli, tapi gerakan mereka terlalu lambat bagi insting bertarungnya. Begitu tangan polisi pertama menyentuh bahunya, Arjuna bertindak.

Dengan satu putaran tubuh, ia memanfaatkan momentum untuk melingkarkan kakinya ke belakang lutut polisi itu dan menjatuhkannya ke tanah. Polisi kedua mencoba meraih senjata, tapi Arjuna sudah lebih dulu bergerak. Dengan tangan masih diborgol, ia menghantam dagu polisi itu dengan siku, membuatnya terhuyung ke belakang.

Ketiga polisi lainnya segera bereaksi, mengacungkan pentungan ke arahnya.

"Berhenti bergerak!" bentak salah satu dari mereka.

Arjuna menatap mereka dengan tatapan tajam. Dalam pikirannya, mereka ini hanyalah manusia biasa—tapi mereka bersenjata, dan dirinya kini rentan.

Salah satu polisi melayangkan serangan dengan pentungan, tapi Arjuna menunduk, menghindari pukulan itu dengan kecepatan naluriah. Dengan gerakan cepat, ia berputar dan menendang lutut lawannya, membuatnya jatuh tersungkur.

Dua polisi tersisa mencoba menyerang bersamaan. Salah satu menargetkan rusuknya, sementara yang lain berusaha memukul kepalanya. Arjuna melompat ke belakang, lalu menggunakan kakinya untuk melompat ke dinding terdekat dan melancarkan tendangan ganda ke arah mereka.

Brak!

Kedua polisi itu jatuh terguling, mengerang kesakitan. Namun, borgol di tangannya tetap menjadi penghalang utama. Arjuna mendengus frustrasi, merasakan ketidakberdayaan yang belum pernah ia alami sebelumnya.

Tiba-tiba, suara klakson keras terdengar di belakangnya.

"Bro, lu mau mati di sini atau kabur?"

Arjuna menoleh dan melihat pria berjaket kulit dan wanita berhoodie hitam yang tadi sempat mendekatinya. Mereka berada di atas motor, si pria sudah menyalakan mesinnya, sementara si wanita melirik gelisah ke arah polisi yang mulai bangkit kembali.

"Ayo, sebelum lebih banyak polisi datang!" kata si wanita.

Arjuna menatap mereka penuh curiga. Mengapa mereka membantunya? Apa kepentingan mereka?

Polisi yang terjatuh mulai merangkak bangkit, sementara sirene lain terdengar semakin dekat. Arjuna sadar ia tidak punya banyak pilihan.

Menggeram kesal, ia berlari dan melompat ke atas motor tanpa pikir panjang.

"Gas!"

Si pria memutar gas penuh, dan motor melesat membelah jalanan Jakarta yang mulai dipenuhi suara sirene.

Di balik wajahnya yang tanpa ekspresi, Arjuna merasa sesuatu yang baru—bukan hanya kehilangan kekuatan, tapi kini ia harus bergantung pada manusia biasa untuk bertahan hidup.

Angin malam Jakarta menampar wajah Arjuna saat motor melaju membelah jalanan yang masih ramai. Lampu-lampu kota berpendar seperti bintang-bintang kecil, tetapi baginya, semua ini hanyalah bayangan suram dari keagungan Gunung Meru yang kini telah kehilangan dirinya.

Pria yang mengendarai motor tetap fokus pada jalan, sementara wanita yang duduk di belakangnya menoleh ke arah Arjuna yang duduk di jok tengah.

"Gila, lu tadi ngelawan polisi kayak jagoan aja," kata wanita itu sambil tertawa kecil, meski jelas masih tegang. "Siapa sih lu sebenarnya?"

Arjuna meliriknya sekilas dengan tatapan penuh harga diri.

"Aku adalah Arjuna, putra Dewa Arka Dewa, pewaris kekuatan ilahi."

Kedua orang di depannya terdiam sesaat sebelum pria yang mengendarai motor tertawa terbahak.

"Hahaha, seriusan? Lu dewa?"

Wanita di belakangnya ikut mendengus. "Oke, kita berhasil nyelamatin orang gila. Ini makin seru aja."

Arjuna menggeram kesal. "Beraninya kalian meragukan keturunanku! Aku tidak perlu membuktikan apapun kepada manusia sepertimu!"

Si pria menggeleng. "Denger, gue nggak peduli siapa lu. Yang gue peduli sekarang adalah kita harus cari tempat buat sembunyi. Polisi pasti udah nyebarin info tentang lu di mana-mana."

Arjuna menyeringai. "Biarkan mereka mencariku. Tidak ada manusia fana yang bisa menyentuhku."

Wanita itu melirik borgol di tangannya. "Iya, jelas banget tadi lu nggak tersentuh sampai harus gue tolong, ya?"

Arjuna terdiam, rahangnya mengeras. Ia benci mengakuinya, tapi wanita ini benar. Tanpa kekuatannya, ia hanyalah manusia biasa yang harus lari dari ancaman yang seharusnya bisa ia hancurkan dengan satu jentikan jari.

Pria itu mempercepat laju motor, lalu berbelok masuk ke gang sempit yang gelap. Mereka berhenti di depan sebuah pintu besi dengan beberapa coretan graffiti.

"Kita sampai," kata si pria. "Masuk, sebelum ada yang lihat."

Arjuna melompat turun dengan angkuh, menatap tempat kumuh itu dengan jijik. "Kalian mau membawaku ke gubuk kotor ini?"

Si wanita menyeringai. "Kalo nggak suka, silakan balik ke jalan dan lihat apa polisi bakal nyambut lu dengan tangan terbuka."

Arjuna menatapnya tajam, tapi akhirnya mendengus dan melangkah masuk ke dalam.

Bagi seorang putra dewa, ini adalah penghinaan. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia menyadari sesuatu yang lebih mengerikan dari sekadar diasingkan—ia benar-benar sendirian, di dunia yang tidak mengenalnya, tanpa kuasa yang bisa membuatnya dihormati.

Dan ia membenci itu.

Ruangan tempat mereka masuk sempit, dengan cahaya redup dari lampu neon berkedip di sudut langit-langit. Bau asap rokok dan minyak mesin bercampur di udara, sementara beberapa kasur tipis dan tumpukan barang terlihat di sudut ruangan.

Arjuna memandang sekeliling dengan ekspresi penuh penghinaan. "Ini tempat tinggal kalian? Bahkan istal kuda di Gunung Meru lebih layak dari ini."

Si pria yang membawanya ke sini mengangkat bahu sambil menyalakan sebatang rokok. "Kalo lu mau tidur di hotel, silakan aja. Tapi lu nggak punya duit, nggak punya KTP, dan sekarang jadi buronan polisi."

Wanita itu duduk di kursi reyot dan menyilangkan tangan. "Oke, sekarang kita ngomong serius. Lu siapa?"

Arjuna mendengus, lalu dengan angkuh mengibaskan rambutnya yang panjang dan berkilau seperti sutra. "Aku Arjuna, putra Arka Dewa, keturunan langsung dari Gunung Meru. Aku bukan sekadar dewa—aku adalah dewa yang paling tampan, paling dikagumi, dan paling kuat."

Ruangan itu hening selama beberapa detik.

Lalu pria itu tertawa terbahak-bahak. "Hahaha! Gila! Jadi kita barusan nolongin orang gila?"

Wanita itu ikut terkikik, menatap Arjuna dengan ekspresi penuh skeptisisme. "Ya ampun, ini lebih parah dari yang gue kira."

Arjuna menggeram kesal. "Beraninya kalian meragukan keturunanku! Aku adalah pewaris tahta Gunung Meru!"

Si pria menyeringai. "Oke, kalo lu beneran dewa, coba tunjukin kekuatan lu."

Arjuna mengepalkan tinjunya. "Aku tidak perlu membuktikan apa pun kepada manusia seperti kalian."

Wanita itu terkekeh. "Iya, iya. Soalnya emang nggak ada yang bisa lu buktiin, kan?"

Arjuna merasakan panas di dadanya. Sepanjang hidupnya, ia selalu dihormati, dipuja, dan dikagumi. Tak pernah ada yang meragukan keilahiannya—dan sekarang, dua manusia biasa justru menertawakannya.

"Aku tidak berbohong!" bentaknya. "Aku ini dewa!"

Si pria mengangkat tangan. "Oke, oke, kita percaya. Lu dewa, gua naga, dan dia putri duyung."

Wanita itu tergelak. "Sial, kalau lu dewa, kenapa bisa kena tangkap polisi?"

Arjuna terdiam, rahangnya mengeras. Ia benci mengakuinya, tapi mereka benar. Tanpa kekuatannya, ia hanyalah manusia biasa—dan di dunia ini, tak ada yang peduli siapa dirinya.

Si pria menepuk bahu Arjuna dengan tawa kecil. "Denger, tampan. Entah lu gila atau cuma kena amnesia, tapi satu hal yang pasti—di dunia ini, nggak ada yang gratis. Mau bertahan hidup? Lu harus belajar hidup kayak manusia biasa."

Arjuna mengepalkan tangannya. Ia masih merasa superior, tapi sesuatu dalam kata-kata mereka menusuk ke dalam dirinya.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia sadar bahwa tanpa kekuatan, tanpa statusnya sebagai dewa, ia bukan siapa-siapa di dunia manusia.

Dan itu adalah kenyataan yang sulit ia terima.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!