Hujan turun deras malam itu, menutupi suara langkah terburu-buru di gang sempit yang hanya diterangi lampu jalan yang berkedip lemah. Aroma tanah basah bercampur dengan bau anyir darah yang mengalir di antara celah-celah batu. Seorang pria berjas hitam, dengan luka tembak di perutnya, berusaha mempertahankan kesadarannya. Nafasnya terengah-engah, matanya dipenuhi bayangan kematian yang siap menyergapnya kapan saja.
Rafael Moretti tahu bahwa ia sedang sekarat. Orang-orangnya sudah tidak terlihat lagi, entah tewas atau melarikan diri setelah baku tembak di dermaga. Musuhnya lebih banyak, lebih siap. Ia terjebak dalam pengkhianatan yang bahkan tak sempat ia duga. Dan kini, di tengah malam yang menggigil, tubuhnya semakin melemah. Namun, entah bagaimana, insting bertahannya tetap hidup. Ia terus menyeret kakinya, mencari perlindungan terakhir.
Di seberang jalan, cahaya lampu kecil dari sebuah klinik tetap menyala, seakan menjadi satu-satunya mercusuar di tengah lautan kegelapan. Rafael menggertakkan giginya, menahan sakit, lalu dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia menyeret tubuhnya ke sana. Pintu kayu putih berderit ketika ia meraihnya dengan tangan gemetar, lalu—
Braak!
Tubuhnya terjatuh, darah segar mengotori lantai marmer putih.
---
Dr. Liana Prameswari hampir menutup klinik malam itu. Tangannya yang lelah baru saja melepas sarung tangan medis ketika suara benturan keras terdengar dari ruang depan. Ia berbalik, jantungnya berdetak kencang. Dengan langkah hati-hati, ia berjalan menuju sumber suara, hanya untuk menemukan seorang pria tergeletak di lantai, darah mengalir dari perutnya, membentuk genangan merah yang mengerikan.
Sejenak, ketakutan membekukan tubuhnya. Tapi nalurinya sebagai dokter mengambil alih. Tanpa berpikir panjang, ia berlari menghampiri pria itu, berlutut di sampingnya, dan memeriksa denyut nadinya. Lemah. Namun masih ada harapan.
"Bertahanlah!" katanya sambil menekan luka pria itu.
Pria itu membuka matanya, tatapannya tajam meski dipenuhi penderitaan. Ia mencoba berbicara, tetapi hanya darah yang keluar dari bibirnya. Liana dengan cepat berlari mengambil peralatan medis, tangannya gemetar saat merobek kemeja pria itu untuk melihat seberapa parah lukanya.
"Siapa yang melakukan ini padamu?" tanyanya, meski ia tidak mengharapkan jawaban.
Rafael tidak menjawab. Namun, tangannya yang berlumuran darah tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangan Liana, membuatnya terkejut.
"Jangan panggil polisi…" suara Rafael serak, hampir tidak terdengar. "Tolong… selamatkan aku."
Liana menatap pria itu dengan waspada. Siapa dia? Mengapa ia tidak ingin polisi terlibat? Jantungnya berdegup lebih cepat. Nalarnya berkata bahwa pria ini bisa jadi seseorang yang berbahaya. Tapi di saat yang sama, sebagai dokter, ia tidak bisa membiarkan seseorang mati begitu saja di hadapannya.
Dengan napas berat, ia mengambil keputusan.
"Aku akan membantumu. Tapi setelah ini, kau harus pergi."
Tanpa menunggu jawaban, ia mulai bekerja, mengabaikan ketakutan yang berbisik di benaknya. Namun, Liana tidak tahu bahwa keputusan malam itu akan mengubah seluruh hidupnya. Bahwa pria yang baru saja ia selamatkan bukanlah orang biasa. Bahwa ia telah menarik dirinya sendiri ke dalam lingkaran gelap yang tidak bisa ia hindari.
Dan bahwa, dalam waktu dekat, peluru dan darah akan menjadi bagian dari dunianya.
---
Di luar, di balik bayangan gedung, sepasang mata memperhatikan kejadian itu. Senyum licik terbentuk di wajahnya.
"Akhirnya, aku menemukan keberadaan mu, Rafael." ujar pria tanpa nama tersebut yang segera meninggalkan tempat itu untuk mengabarkan keberadaan Rafael kepada bos nya.
Liana bekerja secepat mungkin. Tangannya yang cekatan menjahit luka di perut Rafael, sementara napas pria itu tersengal di antara erangan tertahan. Kemeja hitamnya sudah ia potong, meninggalkan dada berotot yang dipenuhi luka lama—bekas sayatan, lebam samar, dan luka tembak lain yang sudah sembuh. Seberapa sering pria ini harus bertarung untuk bertahan hidup?
Tetapi Liana tidak punya waktu untuk bertanya. Ia hanya fokus pada pekerjaannya, meskipun di sudut pikirannya, ada kegelisahan yang tak bisa ia abaikan.
Tiba-tiba, di tengah kesunyian yang hanya diisi suara hujan yang mulai reda, telinganya menangkap sesuatu—derap kaki. Banyak. Cepat. Makin mendekat.
Jantungnya seolah berhenti berdetak.
Ia menoleh ke Rafael, yang tampaknya juga menyadarinya. Mata gelap pria itu menegang, rahangnya mengeras. Dengan sisa tenaga, Rafael meraih lengannya, mencengkeramnya erat.
"Dengar baik-baik," suaranya lemah, tapi penuh ketegasan. "Kau harus pergi dari sini. Sekarang."
Liana menelan ludah. "Aku tidak bisa meninggalkanmu dalam kondisi begini! Kau—"
"Liana," Rafael menariknya lebih dekat, dan untuk pertama kalinya, ia mengucapkan namanya setelah melihat Bros nama yang digunakan oleh Liana di bajunya. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuat nyali Liana menciut. "Mereka akan membunuh siapa pun yang ada di sini. Jika kau tetap tinggal, kau akan mati. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi."
Dada Liana naik turun, pikirannya berpacu dengan cepat. Sejak awal ia tahu pria ini membawa bahaya, tapi ia tak pernah membayangkan bakal terlibat sejauh ini.
Suara langkah semakin keras. Beberapa bayangan bergerak di luar jendela klinik. Cahaya lampu jalan memantulkan kilatan logam di tangan mereka. Senjata.
Liana membeku.
Rafael berusaha duduk, tetapi luka di perutnya membuatnya meringis. "Pergilah," desaknya sekali lagi. "Gunakan pintu belakang. Jangan buat suara sekecil apa pun."
Liana menggigit bibirnya. Logikanya berkata ia harus pergi, tetapi nuraninya menolak meninggalkan pria yang baru saja ia selamatkan. Ia meraih peralatan medisnya, ingin melakukan sesuatu, tapi Rafael mencengkeram tangannya lagi. Kali ini lebih kuat.
"Jangan keras kepala. Aku tidak akan mati secepat itu," katanya dengan nada sinis, meski keringat dingin membasahi dahinya. "Aku sudah terlalu sering melewati hal seperti ini. Tapi kau? Kau tidak seharusnya ada di sini."
Liana terdiam. Napasnya berat.
Suara pintu depan didobrak.
Jantungnya melompat ke tenggorokan.
Tatapan Rafael menggelap. Ia mendorong Liana ke arah pintu belakang dengan kasar. "Pergi! Sekarang!"
Liana terhuyung, tetapi ia tidak membantah lagi. Dengan napas tertahan, ia melangkah mundur, lalu berlari ke arah belakang klinik. Tangannya gemetar saat ia meraih gagang pintu, lalu membukanya perlahan.
Di belakangnya, ia bisa mendengar suara berat seseorang melangkah masuk. Lalu suara lain—senjata dikokang. Liana menoleh sebentar, melihat bayangan seorang pria bertubuh besar berdiri di ambang pintu kliniknya.
"Temukan dia," suara dingin itu memerintah.
Liana menggigit bibirnya, lalu menghilang ke dalam kegelapan.
Di dalam klinik, Rafael bersandar pada meja, menatap orang-orang yang masuk dengan ekspresi tenang, meskipun tubuhnya dipenuhi luka dan peluh.
Pria yang memimpin kelompok itu melangkah maju. Wajahnya tertutup bayangan, tetapi suara dan sikapnya menunjukkan bahwa ia bukan orang biasa.
"Kau benar-benar keras kepala, Moretti," katanya sambil tersenyum miring. "Kau seharusnya mati di dermaga tadi."
Rafael mendengus, meski rasa sakit menyiksa tubuhnya. "Maaf mengecewakanmu," katanya dingin.
Pria itu melangkah lebih dekat, menatap luka Rafael dengan tatapan puas. "Katakan di mana dokter itu. Aku tahu ada seseorang yang menyelamatkanmu."
Rafael tidak menunjukkan ekspresi. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."
Pria itu tertawa pelan. Lalu dalam satu gerakan cepat, ia mengangkat pistolnya dan mengarahkannya langsung ke kepala Rafael.
"Kalau begitu, aku harus membuatmu bicara."
Rafael hanya tersenyum samar, meskipun kegelapan sudah mulai merayapi penglihatannya.
Di luar, di tempat persembunyiannya, Liana menggigit bibirnya hingga berdarah.
Ia tak bisa meninggalkannya.
Tapi apa yang bisa ia lakukan?
Tangannya meremas kain jas putihnya. Napasnya putus-putus.
Jika ia kembali, ia mungkin akan mati.
Tapi jika ia tetap diam di sini...
Rafael akan mati.
Liana mengepalkan tangannya. Lalu, sebelum pikirannya bisa menghentikannya, ia mulai bergerak.
Ke arah klinik.
Ke arah bahaya.
Dengan cepat, Liana melangkah menyusuri sisi klinik menuju jendela depan, yang setengah terbuka. Ia membekap napasnya, berusaha mendengarkan percakapan di dalam. Suara pria yang memimpin kelompok itu, begitu familiar dan menakutkan, terdengar jelas. Ia bisa mendengar nada suara pria itu yang penuh keyakinan, menggema di dalam klinik.
"Dia tahu sesuatu," ujar pria itu. "Dan jika dia tidak mau mengatakannya, kita harus memaksanya."
Liana menggigit bibir, perlahan mendekat, bersembunyi di balik tirai. Matanya menyipit, mencoba melihat ke dalam.
Di sudut ruangan, Rafael terlihat terbaring lemah. Darah segar mengalir dari luka tembaknya, dan tubuhnya gemetar. Matanya terpejam, namun wajahnya tampak berusaha keras menahan rasa sakit. Di depan Rafael, seorang pria bertubuh besar, dengan wajah tertutup bayangan, berdiri menghadapnya, pistol di tangan.
"Berikan aku jawaban, Moretti," suara pria itu mengintimidasi.
Rafael tidak menjawab. Matanya tetap terpejam, dan bibirnya hanya terkatup rapat, meskipun keringat dingin membasahi dahi dan tubuhnya. Liana merasa hatinya nyaris berhenti berdetak. Jika ia tidak segera bergerak, Rafael tidak akan bisa bertahan lebih lama.
Dengan gerakan cepat, Liana meraih tas medis yang tergeletak di dekat pintu belakang dan memeriksa isinya. Ada beberapa alat yang bisa digunakan untuk mengecohkan mereka. Namun, ia butuh lebih dari sekadar peralatan medis—ia butuh otaknya untuk menyelamatkan mereka berdua.
Liana menatap sekeliling, menemukan botol alkohol yang ada di meja. Dalam sekejap, ia mendapat ide. Ia menyusuri ruang belakang dan menemukan beberapa kotak kosong yang bisa ia gunakan untuk suara. Kemudian, ia meraih tumpukan kain kasa, menggulungnya, dan menekannya dengan kuat di dalam kotak.
Setelah menyiapkan semuanya, ia mengambil botol alkohol dan menusukkan ujung kain kasa ke dalamnya, membasahi seluruh permukaan kain. Suara derap langkah kaki terdengar semakin dekat. Mereka semakin dekat ke pintu depan. Liana mengintip lewat celah jendela, memastikan posisi para pria itu.
Dengan ketelitian yang luar biasa, ia menyusun rencananya. Tanpa ragu, ia mendorong kotak-kotak tersebut dengan cepat, menyebabkan beberapa dari mereka jatuh berisik. Suara keras dari kotak yang jatuh itu memecah kesunyian malam.
"Ada apa itu?" salah satu pria yang sedang mengawasi Rafael bertanya, terkejut.
Liana tidak menunggu lebih lama. Ia cepat menyulut ujung kain kasa yang telah dibasahi alkohol dengan korek api kecil. Api yang menyala menyebar dengan cepat, menghasilkan asap tebal yang memenuhi ruangan dengan bau hangus. Beberapa pria di luar berteriak dan panik, mengira ada sesuatu yang terbakar di dalam.
"Api! Ada kebakaran!" salah satu dari mereka berteriak.
Liana memanfaatkan kebingungannya itu. Dengan gerakan cepat, ia menyusup ke dalam dan menuju tempat Rafael. Ia meraih bahu Rafael dan mengguncangnya pelan. "Rafael, kita harus pergi sekarang!" bisiknya dengan nada panik.
Rafael mengerjap, matanya yang lelah terbuka perlahan. Ia tampak bingung sejenak, kemudian melihat Liana di sampingnya. Senyum kecil muncul di wajahnya yang pucat. "Kau kembali?" tanyanya, suara serak.
"Kita tidak punya waktu untuk bicara. Mereka hampir menemukan kita," jawab Liana dengan cepat, menariknya berdiri meski Rafael tampak kesulitan. Namun, ia berhasil menyandarkan tubuhnya ke tubuh Liana.
Liana menggenggam tangan Rafael dengan erat, memastikan dia tidak jatuh. "Ikuti aku, Rafael. Kita keluar lewat pintu belakang."
Namun, saat mereka berjalan menuju pintu belakang, mereka mendengar suara langkah kaki berat. Salah satu dari pria tersebut berdiri di depan pintu, memperhatikan asap yang keluar dari jendela.
"Ada yang tidak beres!" teriak pria itu.
Liana menahan napas. Mereka tidak punya waktu lagi.
"Tunggu di sini!" teriak pria itu kepada yang lain, sebelum ia mulai bergerak menuju pintu belakang.
Liana dan Rafael hanya bisa menatap pintu yang semakin mendekat. Mereka hanya punya satu kesempatan untuk melarikan diri.
Tiba-tiba, terdengar suara tembakan—satu tembakan yang memecah keheningan malam.
Rafael terhuyung, dan Liana merasakan darah segar mengalir di lengannya. "Liana!" suara Rafael hampir tenggelam dalam rasa sakitnya.
Mata Liana terbelalak. "Tidak!"
Di depan mereka, pria besar itu berdiri dengan pistol terarah ke arah mereka. Tembakan itu membuat dunia Liana seakan berhenti berputar. Namun, ada sesuatu yang lebih buruk lagi.
Di belakang pria itu, ada bayangan lain yang lebih gelap. Bayangan yang membawa maut.
"Lari, Liana!" teriak Rafael, namun tubuhnya sudah terjatuh lemah.
Liana tak punya pilihan. Ia harus bertindak cepat.
Namun, ketika ia hendak berlari, sebuah suara berat terdengar di telinganya—"Kau tidak bisa lari dariku."
Dan semua menjadi gelap.
Tepat ketika semuanya tampak hilang, suara seseorang terdengar, dan Liana merasa dunia berputar kembali...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!