Di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta, seorang wanita berjuang keras untuk melahirkan seorang bayi.
Dengan di bantu oleh dokter spesialis kandungan dan dua perawat yang bertugas di malam ini.
"Lagi Bu, ayo Bu," ucap dokter yang membantu persalinan wanita itu.
Wanita itu terus berjuang hingga suara lengkingan tangisan bayi pun terdengar. Namun seketika dokter terdiam saat melihat bayi yang berjenis kelamin perempuan itu yang ternyata terlahir cacat.
"Kenapa Dok?" tanya wanita itu.
"Maaf Bu, bayinya terlahir cacat dan tidak memiliki tangan," jawab dokter dengan nada sendu.
Wanita itu dan suami terdiam. Anak yang selama ini mereka harapkan ternyata tidak sesuai harapan mereka.
"Tidak! Tidak mungkin Dok! Tidak mungkin!" Dengan nada lantang wanita itu berteriak. Tidak perduli walau dirinya baru saja sehabis melahirkan.
"Pa, apa yang harus kita lakukan? Aku malu Pa, aku malu memiliki anak cacat seperti itu," ucap wanita lirih.
"Bu Sekar, tapi ini anak kandung ibu, anak ini tidak bersalah," ujar dokter.
"Biarkan dokter merawatnya terlebih dahulu, nanti baru kita pikirkan solusinya," kata Ridwan.
Sekar mengangguk, lalu menghapus air matanya dengan cepat. Ridwan memanggil pelayan di rumahnya dan meminta sopir pribadi untuk menjemputnya.
Kosim sang sopir pribadi pun bergegas pulang untuk menjemput istrinya atas permintaan majikannya.
Sementara Sekar sudah di pindahkan ke ruang perawatan dan di ikuti oleh suaminya yang bernama Ridwan itu.
"Pa, aku tidak ingin melihat anak itu," kata Sekar.
"Iya Ma, tidak apa-apa, aku sudah memanggil Sari untuk datang kemari," ujar Ridwan.
Satu jam kemudian, Kosim dan Sari pun datang ke rumah sakit. Mereka langsung di minta datang ke ruang perawatan.
"Ada apa Tuan memanggil saya?" tanya Sari.
"Duduklah," pinta Ridwan. Sari dan Kosim pun duduk.
"Ini ada uang 100 juta, pergilah sejauh mungkin dari sini," kata Ridwan sambil menyerahkan bayi dan cek senilai 100 juta.
Sari dan Kosim saling pandang, lalu Ridwan pun mengatakan jika mereka tidak menginginkan anak ini.
"Tapi kenapa Tuan, Nyonya? Bukankah Anda sangat menginginkan anak?" tanya Sari.
"Pergilah, bawa anak itu sejauh mungkin. Dan jangan sampai bertemu lagi denganku," jawab Sekar yang enggan memandang anak itu.
"Pak, bagaimana?" tanya Sari kepada suaminya.
"Kita pergi," jawab Kosim.
Sari mengangguk mengiyakan. Dia tidak habis pikir, kenapa anak yang tidak berdosa harus di sia-siakan?
"Ini gaji kalian," ucap Ridwan menyerahkan amplop berisi uang kepada Kosim dan Sari. Keduanya pun mengambil amplop tersebut.
Kosim terpaksa kembali ke rumah majikannya untuk mengemasi barang-barangnya. Mereka akan kembali ke kampung halamannya di Surabaya.
Kosim dan Sari sudah menikah selama 6 tahun, namun mereka tidak di karuniai seorang anak. Sari sangat senang di minta untuk merawat bayi majikannya.
Namun Sari juga sedih karena anak ini tidak di inginkan oleh orang tua kandungnya. Hanya karena terlahir cacat, sehingga harus di sia-siakan.
"Apa dosa mu Nak, kamu bayi yang tidak tahu apa-apa. Tapi ibu janji, ibu akan merawat mu seperti anak kandung ibu sendiri," ucap Sari sambil menciumi pipi bayi yang sedang tertidur itu.
Air matanya tidak dapat di bendung lagi, hingga pipi bayi itu basah oleh air mata Sari. Tidak berapa lama, Kosim sudah kembali ke rumah sakit.
Mereka kembali pamit dan menyerahkan kunci mobil kepada Ridwan. Malam itu juga Sari dan Kosim pergi dari situ. Mereka akan menginap di penginapan untuk satu malam.
Dan besok setelah mencairkan uang, mereka akan kembali ke Surabaya dengan kereta api.
Sementara Sekar masih menangis sambil memeluk suaminya. Dia sama sekali tidak melihat wajah bayinya yang baru saja di lahirkan.
"Kenapa harus seperti ini Pa?" tanya Sekar.
"Aku juga tidak tahu Ma," jawab Ridwan.
Karena kelelahan, Sekar akhirnya pun tertidur. Ridwan dengan telaten menjaga istrinya yang sedang tidur.
Keesokan harinya ...
Ridwan dan Sekar mendengar ada bayi yang juga baru lahir. Namun ibu yang melahirkan bayi itu meninggal dunia.
Sedangkan ayah dari bayi itu tidak ingin bertanggung jawab. Jadi Ridwan dan Sekar sepakat untuk mengadopsi bayi itu.
"Ibu dan bapak yakin ingin mengadopsi bayi itu?" tanya dokter.
"Yakin Dok," jawab Ridwan.
"Baiklah, silakan tandatangan di sini. Kami akan mengurus prosedur nya," ujar dokter.
Tanpa berpikir panjang, Ridwan dan Sekar langsung menandatangani surat tersebut. Sebenarnya dokter sedikit kecewa dengan sikap mereka.
Kenapa? Karena anak sendiri malah di berikan ke orang lain. Dan anak orang lain malah di adopsi.
Biar bagaimanapun, anak tetaplah anak. Walau cacat sekalipun, harus di terima dengan ikhlas.
Tapi berbeda dengan Ridwan dan Sekar, mereka malah malu memiliki anak yang cacat fisiknya.
Padahal bukan keinginan anak itu sendiri terlahir cacat. Dia juga tidak minta untuk di lahirkan seperti itu.
Sementara Sari dan Kosim yang sudah mencairkan cek, mereka pun segera ke stasiun kereta.
Sari selalu memandangi bayi merah yang tidak berdosa itu. Sekali lagi air matanya menetes karena tidak kuat.
"Sudahlah, mungkin ini cara Allah memberi kita anak. Kita akan merawatnya sama-sama, kita akan buka toko sembako dengan uang pemberian Tuan Ridwan," kata Kosim menenangkan istrinya.
Mereka masih menunggu kereta yang akan berangkat setengah jam lagi. Kosim sudah membeli air dan makanan untuk mereka makan dan minum di dalam kereta selama perjalanan.
Kebetulan hari pun sudah menjelang siang, mereka tidak sempat makan karena takut ketinggalan kereta.
Kosim mengajak Sari untuk naik ke kereta. Bayi itu mulai menangis, mungkin karena lapar.
Beruntung Kosim membeli susu formula untuk bayi yang baru lahir. Jadi mereka bisa memberikan bayinya susu.
"Kasihan sekali ya Pak? Aku jadi pengen nangis terus saat melihat wajah polosnya," ujar Sari.
Kosim mengambil alih bayi itu dari tangan istrinya. Ia melihat bayi itu sangat cantik, tapi sayang terlahir cacat sehingga tidak di inginkan oleh orang tua kandungnya.
"Bapak akan rawat kamu dengan baik, Nak. Bapak dan ibu janji akan memberikan kasih sayang yang tulus untukmu," ujar Kosim.
Kereta pun mulai berangkat, Sari dan Kosim resmi meninggalkan Jakarta. Dan mereka tidak akan kembali dalam waktu yang lama.
Mereka sudah bertekad untuk hidup di desa kelahiran mereka. Mereka akan buka usaha kecil-kecilan dengan uang yang mereka ada.
Dan juga gaji mereka selama bekerja di rumah majikannya, semuanya mereka simpan untuk bekal di hari tua.
Walau pun sudah lama menikah, kehidupan rumah tangganya tetap rukun meski pun tidak di berikan keturunan.
Pada tahun-tahun pertama, keduanya sering berobat dengan harapan bisa di berikan momongan.
Namun Tuhan berkata lain, mereka tidak di karuniai anak, dari awal menikah hingga pernikahan mereka sampai sekarang.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Mencoba membuat cerita seperti ini, semoga kalian mau membacanya. Jangan di bully ya readers.
Cerita ini hanyalah fiktif (khayalan) tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun.
Sari dan Kosim sudah tiba di kampung halamannya. Sudah beberapa tahun mereka tidak kembali, sekarang mereka kembali.
Para warga heran melihat Sari menggendong seorang bayi. Karena yang mereka tahu, Sari itu tidak bisa memiliki anak.
"Anak siapa itu Sar?" tanya Diah.
"Anak kami Di," jawab Sari dengan senyum manisnya.
"Oalah, akhirnya kalian punya anak juga, selamat ya?"
"Terima kasih Di."
Diah adalah tetangga sekaligus sahabat Sari waktu mudanya. Namun setelah menikah, Diah malah berubah yang tadinya baik sekarang jadi julid.
Jadi persahabatan mereka menjadi renggang. Namun Sari tetap bersikap biasa saja kepada Diah. Seolah tidak terjadi apa-apa, karena sari tidak ingin mencari masalah.
Sari dan Kosim masuk ke dalam rumah mereka yang sudah lama tidak di tempati. Bagaimana tidak? Mereka hanya pulang setahun kadang dua tahun sekali.
Rumah mereka pun berdebu karena tidak di bersihkan. Kosim meminta istrinya untuk membawa bayinya keluar dulu, karena ia ingin membersihkan rumah.
"Bu, sebaiknya Seruni di bawa keluar dulu, takutnya debu dan kotoran akan menempel padanya," kata Kosim.
"Seruni?" Sari berpikir sejenak, lalu mengerti dan mengangguk.
"Jadi bapak memberikan nama ini Seruni?"
"Bagaimana? Apa ibu tidak suka?"
"Suka kok Pak, suka banget."
Kosim kembali menutup pintu rumah setelah Sari keluar. Kosim mulai membersihkan rumah tersebut yang terlihat begitu kotor.
Satu jam kemudian, semuanya sudah bersih dan Sari pun kembali masuk. Mereka merasa lega karena sudah tiba di rumah dengan selamat.
Kosim dan Sari bertekad untuk memutuskan kontak dengan majikannya, jadi mereka berinisiatif untuk mengganti nomor telepon. Dan nomor yang lama akan mereka buang.
Dan soal Seruni, mereka akan membuat akte kelahiran dan kartu keluarga baru. Karena mereka akan memasukkan Seruni ke kartu keluarga mereka.
Seruni terbangun lalu merengek. Kosim dengan sigap memasak air untuk membuat susu. Kosim menduga jika Seruni kelaparan.
"Pak, sebaliknya secepatnya kita urus akte kelahiran Seruni," kata Sari.
"Iya Bu, setelah ini aku akan ke rumah pak kades untuk mengurusnya," ujar Kosim.
Kosim membuatkan susu untuk bayinya, sementara Sari menyiapkan air untuk Seruni mandi.
Setelah itu Kosim langsung ke rumah pak kades untuk mengurus semuanya. Menurutnya lebih cepat lebih baik.
Sementara Seruni kembali tertidur setelah mandi dan minum susu. Sari berjalan di sekitar rumahnya untuk melihat-lihat.
"Ehem, sudah lama menikah, baru sekarang memiliki anak. Bagaimana nantinya?"
Sari menoleh ke arah suara. Ia kenal betul dengan suara itu. Bagaimana tidak? Dari sekolah dasar sampai dewasa mereka berteman. Tentu saja Sari kenal dengan suaranya.
Yang tidak Sari ketahui adalah, sifat sesungguhnya dari Diah sahabatnya itu. Karena sewaktu mereka berteman tidak seperti itu.
Tapi setelah punya suami seorang PNS, sikapnya berubah. Apalagi waktu itu Sari hidupnya kurang beruntung.
Karena Kosim hanya seorang pengangguran dan hidup mereka juga pas-pasan. Diah selalu saja mengejek mereka karena selalu kekurangan dan tidak memiliki anak.
Hingga keduanya memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Nasib baik menyebelahi mereka. Karena mereka di terima bekerja di sebuah mewah milik pengusaha.
"Eh Diah, ku pikir siapa?" ujar Sari.
Diah mencebikkan bibirnya, sambil bersidakap dada Diah menghampiri Sari. Sari yang memang tidak suka keributan pun hanya tersenyum.
"Masuk yuk, anakku sedang tidur, kalau di tinggal lama di luar takutnya dia terbangun," kata Sari mengalihkan topik pembicaraan.
"Tidak perlu, lagi pula aku tidak lama," jawabnya sambil memperlihatkan jari, pergelangan tangan dan lehernya.
Lagi-lagi Sari tersenyum. "Huh, kok aku baru tahu jika Diah suka pamer," batin Sari.
Kemudian tanpa bicara lagi, Sari segara masuk ke dalam rumah. Diah yang merasa di abaikan pun pulang.
Di jalan pulang, Diah berpapasan dengan Kosim yang baru pulang dari rumahnya pak kades.
Setelah melaporkan bayinya dan mengurus akte kelahiran dan kartu keluarga, Kosim pun segera pulang.
Selebihnya biar pak kades yang mengurusnya dan Kosim hanya tinggal menunggu sampai akte kelahiran itu siap.
"Sombong banget sih, mentang-mentang baru pulang dari Jakarta," cibir Diah.
Kosim tidak mengerti dan hanya mengerutkan keningnya. Bertemu di jalan, tiba-tiba mengatakan sombong. Bagaimana orang tidak bingung?
Kosim hanya menunduk sedikit sebagai sapaan pada Diah. Kemudian ia berlalu karena malas meladeni wanita itu.
"Assalamualaikum," sapa Kosim saat tiba di rumahnya.
"Waalaikumsalam, sudah pulang Pak? Bagaimana?" tanya Sari.
"Alhamdulillah lancar Bu, kata pak kades dalam tiga hari siap," jawab Kosim.
"Alhamdulillah," ucap Sari.
...****************...
Hari-hari berlalu, Kosim sudah mulai membuka toko sembako di samping rumahnya.
Kosim juga membeli motor dan di modifikasi untuk mengangkut barang. Dengan demikian, ia bisa dengan mudah mengangkut barang belanjaannya.
Untuk beberapa hari ini, usahanya sudah mulai lancar. Setiap hari pendapatan mereka juga lumayan.
Kosim dan Sari sangat bersyukur, mereka menganggap jika Seruni membawa berkah kepada mereka.
Kosim dan Sari begitu menyayangi Seruni. Para warga belum mengetahui jika Seruni terlahir cacat. Karena Seruni selalu di bedong.
"Pak, Alhamdulillah ya. Baru beberapa hari buka sudah ada saja pembelinya," kata Sari.
"Iya Bu, semua ini rezeki anak kita," ujar Kosim.
Kosim memandang wajah Seruni yang lebih mirip dengan Sekar. Padahal masih bayi, tapi tingkat kemiripan nya 90 persen.
"Apa yang ada di dalam pikiran Tuan Ridwan dan nyonya Sekar? Sehingga anak kandung mereka sendiri tidak di inginkan," ujar Kosim sambil memandang wajah polos Seruni.
"Entahlah Pak, mungkin karena mereka kecewa. Anak yang mereka nanti-nantikan ternyata tidak sesuai harapan," ucap Sari.
Kosim tertawa kecil, Kosim yakin Allah sudah punya rencana untuknya dan istrinya. Jika tidak ada kejadian seperti ini, mungkin mereka tidak akan memiliki anak.
Walau pun bukan anak kandung, akan tetapi mereka akan anggap sebagai anak kandung. Mereka sudah sepakat untuk merahasiakan semua ini.
"Sudah malam, bawa Seruni istirahat. Aku mau tutup toko dulu," kata Kosim.
Sari pun membawa Seruni masuk. Mereka akan istirahat karena hari sudah malam. Dan pembeli pun sepertinya sudah tidak ada lagi.
Sari membaringkan tubuhnya di samping Seruni yang sedang tertidur. Dari sejak lahir, suara tangis Seruni jarang terdengar.
Jika lapar, paling cuma merengek. Waktu baru datang saja Seruni yang menangis kencang.
Awalnya Sari khawatir jika bayinya memiliki kelainan. Tapi Sari merasa lega saat mendengar suara tangisannya Seruni.
"Tidurlah sayang, ibu akan selalu ada untukmu, merawat mu, menjagamu dengan tulus. Walau pun orang tua kandung mu tidak menyayangi mu, tapi masih ada ibu dan bapak yang sayang kepadamu," gumam Sari.
Kemudian Sari perlahan memejamkan matanya. Kosim melihat istrinya yang sudah terpejam pun membetulkan selimut untuk istrinya.
Delapan belas tahun kemudian ...
Seruni berlari kecil setelah turun dari motor. Sementara Kosim membawa piala dan piagam serta amplop yang belum di bukanya.
"Ibu, ibu!" pekiknya.
Sari yang sedang melayani pembeli di tokonya pun tersenyum. Anak yang selama ini dia rawat sudah tumbuh besar dan menjadi gadis cantik.
Meski pun tidak memiliki sepasang tangan, namun tidak menyulitkan Seruni untuk melakukan sesuatu.
Bahkan sejak usia tiga tahun, bakatnya sudah terlihat dan sering mencoret-coret menggunakan kakinya.
Dan hasilnya, di luar dugaan. Coretan tersebut walau pun asal-asalan, tapi terlihat cantik saat di pandang.
Mulai dari situ, Kosim dan Sari selalu mengasah bakat anaknya itu. Hingga sekarang, seruni menjadi seorang pelukis dan beberapa kali memenangkan lomba melukis.
Walau pun sering di hina dan di ejek cacat, namun Seruni hanya menanggapinya dengan senyum. Dia tidak ingin melawan walau di ejek.
Teringat pesan sang ibu, tidak semua ejekan dan makian di balas dengan cara yang sama. Lalu apa bedanya kita jika balas dengan cara yang sama? Begitulah pesan Sari kepada Seruni.
"Ibu." Seruni tersenyum bangga karena lagi dan dia mendapatkan juara satu dalam lomba melukis.
Kosim hanya tersenyum, melihat prestasi putrinya. Kosim lah yang selalu mendampingi putrinya setiap ada perlombaan.
"Menang lagi?" tanya Sari lalu memeluk putrinya dan mencium pipi kiri dan kanan. Semakin besar putrinya, semakin mirip dengan mantan majikannya, yaitu Sekar.
"Biar aku layani mereka, ibu masuk saja dulu," kata Kosim.
"Iya Pak," ujar Sari.
Sari mengajak Seruni untuk masuk ke dalam rumah. Dan membiarkan Kosim melayani pembeli di tokonya.
"Eh Mas, anak mu yang cacat itu ternyata berguna juga ya?" tanya salah satu wanita yang juga biasa julid.
Kosim tersenyum. "Ya, begitulah. Allah memberikan kelebihan di balik kekurangannya," jawab Kosim santai sambil menghitung belanjan wanita itu.
"Sst, tidak boleh ngomong begitu, kita yang memiliki anggota tubuh lengkap saja masih kalah hebat dari si Seruni," ucap wanita satunya.
"Memang benar, 'kan? Dia itu memang cacat, mau di bawa kemana pun tetap cacat," ujar wanita julid itu.
Wanita itu sama-sama julid dengan Diah, jika keduanya bertemu, ada saja yang mereka omongin tentang orang lain.
Kosim hanya menggeleng, ia malas meladeni orang seperti itu. Yang penting ia dan keluarganya tidak menggangu kehidupan orang lain.
Setelah selesai mereka berbelanja, Kosim segera menutup warungnya. Karena ada sesuatu yang ingin ia omongin dengan istrinya.
Sementara Sari membuka amplop yang tadi di serahkan Kosim kepadanya. Sari tersenyum melihat isi amplop tersebut berupa uang tunai sebesar 5 juta rupiah.
Ya, juara 1 memenangkan uang tunai 5 juta rupiah, tropi dan piagam penghargaan. Juara 2 hadiahnya 3 juta rupiah tropi dan piagam penghargaan. Juara 3 hadiahnya 2 juta rupiah tropi dan piagam penghargaan.
"Ini hasil lukisannya," kata Kosim menyerahkan gulungan kertas kepada Sari.
"Nak, bapak ingin bicara dulu dengan ibu," kata Kosim pada Seruni.
Seruni yang mengerti pun segera pergi menjauh, jika bapaknya sudah berkata seperti itu, berarti percakapan mereka tidak boleh di dengar oleh Seruni.
"Ada apa Pak? Sepertinya penting sekali?" tanya Sari.
"Bu, bapak bingung mau bilang apa? Tapi jika tidak di bilang ...." Kosim menjeda ucapannya. "Ah, bagaimana ya?" imbuhnya.
"Katakan saja Pak," ujar Sari.
Kosim akhirnya mengatakan, jika yang memenangkan lomba melukis kali ini, maka akan ikut lomba melukis di Jakarta. Itu sebabnya Kosim bingung hendak mengatakannya.
Dan juga lomba tersebut di selenggarakan oleh Sekar mantan majikannya. Sekar mengadakan lomba tersebut untuk mencari bakat dari seluruh wilayah di Indonesia.
"Jadi bagaimana Pak? Jika kita tolak, Seruni pasti akan kecewa," ujar Sari.
"Begini saja Bu, kita akan ikut Seruni untuk mengikuti lomba tersebut. Dan ini juga untuk menunjang karirnya di masa depan. Kita sebagai orang tua harus mendukung karirnya. Apa pun nanti hasilnya, kita serahkan kepada Allah SWT," kata Kosim.
Sari mengangguk, ia juga pasrah jika sekiranya Seruni bertemu orang tua kandungnya. Namun sampai saat ini, Kosim dan Sari tidak menceritakan siapa orang tua kandungnya?
Mengingat Ridwan dan Sekar yang tidak menginginkan Seruni, bahkan untuk melihatnya saja pun tidak mau.
"Tapi, apa kabar ya nyonya dan tuan sekarang?" tanya Sari.
Kosim menggeleng pertanda tidak tahu. Sejak mereka meninggalkan Jakarta, mereka tidak pernah lagi berhubungan. Mereka benar-benar putus kontak.
"Apa Seruni tahu tentang lomba itu?" tanya Sari lagi.
"Tahu Bu, tapi dia juga tidak bisa buat keputusan tanpa izin dari kita," jawab Kosim.
"Kita dukung sajalah Pak, siapa tahu ini adalah awal kesuksesan karirnya," ujar Sari. Kosim pun mengangguk.
Kemudian Kosim pun menghubungi ketua penyelenggara lomba dan mengatakan jika Seruni mau ikut lomba melukis tersebut.
"Baik, baik Pak Kosim. Akan segera kami urus keberangkatan bapak sekeluarga ke Jakarta. Kami sangat mengharapkan putri bapak ikut berpartisipasi dalam lomba ini. Walau pun, maaf, anggota tubuhnya tidak lengkap, namun bakat melukis nya sangat luar biasa," ungkap pria itu.
"Terima kasih Pak penyelenggaraan, kami sangat tersanjung. Oh ya, sudah dulu ya Pak, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Kemudian Kosim memutuskan sambungan teleponnya. Ia pun memanggil Seruni untuk masuk ke dalam rumah.
"Nak, Bapak dan ibu sudah berbincang dan sepakat untuk mengizinkan mu ikut lomba melukis di Jakarta," kata Kosim.
"Beneran Pak? Terima kasih bapak, ibu aku mencintai kalian," ungkap Seruni dengan gembira.
Namun Sari malah menangis, Seruni pun menempelkan tubuhnya ke Sari, Sari pun segera memeluknya.
"Ini air mata bahagia," ucap Sari sambil memeluk Seruni.
"Bapak dan ibu sangat bangga padamu, semoga kamu akan menjadi anak yang sukses ke depannya," imbuh Sari.
Seruni mengangguk. "Doa ibu adalah doa yang terbaik." tutur Seruni.
Sari semakin menangis mendengar penuturan Seruni. Yang dia khawatirkan, bagaimana jika Seruni tahu kalau mereka sebenarnya bukan orang tua kandungnya?
Sari takut Seruni akan meninggalkannya bila tahu kenyataan yang selama belasan tahun mereka sembunyikan.
Kosim perlahan menghapus air matanya, ia juga takut akan kehilangan putri yang selama ini di rawatnya dengan penuh kasih sayang.
Tapi mereka juga harus ikhlas dan menyerahkan semuanya kepada takdir. Biarlah Allah yang menentukan segalanya.
"Ibu siapkan makan malam dulu," kata Sari.
"Aku bantu Bu," ujar Seruni. Sari pun mengangguk.
Sementara Kosim menimba air dari sumur untuk mereka mandi. Seruni mencuci kakinya terlebih dahulu sebelum memulai sesuatu.
Kemudian Seruni duduk di kursi khusus untuknya dan meja khusus untuk mempermudah dirinya melakukan pekerjaan.
Dengan kaki kirinya dia memegang pisau. Dan dengan kaki kanannya menahan sayur untuk di potong.
Sari dan Kosim sudah terbiasa, jadi mereka tidak mempermasalahkan semuanya. Lagi pula, hanya kaki yang bisa di gunakan oleh Seruni untuk melakukan sesuatu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!