Assalamualaikum...
Alhamdulillah Buna yang sakit kurang lebih dua bulan masih diberi kesempatan untuk bersama kalian lagi 😭 jujur kemarin itu Buna sudah tidak ada harapan untuk hidup lebih lama. Namun, ada suami di sampingku yang menguatkan, menyemangati dan merawatku dengan tulus. Inilah yang memberi aku kekuatan hingga bangkit berjuang untuk sembuh ❤
Selama ini Buna menemani kalian pasti banyak salah, mohon maaf lahir dan batin semoga Allah menghapus semua kesalahan yang Buna sengaja maun tidak. 🙏🙏🙏
Sekarang Buna kembali membawa sebuah cerita, semoga kalian suka dan betah hingga akhir dan retensi aman.
...Selamat membaca...
***************
Di salah satu rumah bilik bambu, suami istri telah bahagia. Bayi perempuan mungil yang mereka beri nama Larasati telah lahir ke dunia.
"Anak kita mirip aku ya" ucap Widodo yang telah menimang bayi tersebut sembari menciumi berkali-kali.
"Larasati kan anak kita Mas, kalau nggak mirip Mas Wid, pasti mirip aku" jawab Sri yang masih tidak berdaya di tempat tidur, karena baru melahirkan tiga jam yang lalu dengan bantuan bidan.
"Hehehe... benar juga istriku..." Widodo menoel hidung mancung istrinya yang bernama Sri Qonita.
Sri tersenyum kecil, wajahnya merona merah menyempurnakan kecantikannya. Namun, senyum itu hanya sebentar kala ingat beban hidupnya yang ia jalani. "Mas" ujar Sri, tiba-tiba sedih ketika ingat bidan yang hingga kini belum mereka bayar.
"Ada apa? Kok kamu sedih?" Widodo segera menidurkan Laras di sebelah istri tercinta sebelum mendekati Sri. Ia usap dahi Sri hingga rambut kemudian mengecupnya lembut.
"Aku tidak punya pegangan uang sama sekali Mas, lalu uang dari mana untuk membayar bidan?" Sri benar-benar bingung dan buntu.
Sementara Widodo pun hanya bisa diam, sesekali menyugar rambutnya ke belakang. Ia pun sama sekali tidak punya pegangan uang. Widodo yang bekerja serabutan itu sebenarnya sudah mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk biaya persalinan, tapi begitu terkumpul untuk berobat ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan.
"Sebentar Sri" Widodo meninggalkan kamar, dengan penuh harapan ia mendatangi kediaman kakak kandungnya yang tidak jauh dari rumah itu.
"Tolong Mas Yono, aku pinjam 300 ribu untuk bayar bidan" ujar Widodo memelas.
"Kamu ini bagaimana Wid? Mau melahirkan kok tidak persiapan." Yono geleng-geleng kepala.
"Sebenarnya sudah Mas, kan seminggu yang lalu untuk berobat Ibu" Widodo menjelaskan.
"Ya sudah, aku pinjami, tapi hanya aku kasih batas waktu seminggu" Yono mengatakan jika uang tersebut untuk bayar spp anak-anak.
"Saya janji Mas" Widodo sumringah. Setelah mendapatkan apa yang ia butuhkan pria itu segera datang ke rumah bidan.
Seminggu kemudian.
"Aku pusing Sri" adu Widodo. Ia mengatakan minggu ini tidak banyak yang menyuruh bekerja. Yono nagih hutang terus, padahal hasil jasa orang-orang hanya cukup untuk membeli beras.
"Terus bagaimana Mas" Sri sendiri hanya bisa menarik napas panjang.
"Oh iya Sri, aku tadi bertemu Yetno"
"Yetno yang bekerja di Jakarta itu, lalu apa katanya?" Sri sedikit mencecar.
"Katanya tempat dia kerja ada lowongan kerja proyek Sri, aku ikut kerja ya"
"Terus, kamu mau ninggalin aku yang baru 10 hari melahirkan Mas" Sri nampak tidak rela melepas kepergian Widodo.
"Sayang... hanya dengan cara ini supaya aku bisa membayar hutang, membantu pengobatan Ibu dan juga demi kamu dan anak kita" Sebisa mungkin Widodo menjelaskan.
Tidak ada pilihan bagi Sri selain mengangguk. Widodo pun akhirnya pergi meninggalkan Sri dengan Laras.
Semenjak saat itu Sri mengurus Larasati seorang diri, makan hanya ada nasi walapun sedang menyusui. Tidak jarang tetangga kanan kiri Sri memberi sayur untuk teman nasi. Beras peninggalan suaminya harus ia irit-irit menunggu kiriman dari Widodo seperti yang ia janjikan.
Namun, jangankan kirim uang, kabar dari Widodo pun tidak pernah Sri dengar padahal sudah pergi selama 2 bulan. "Apa yang harus aku lakukan ya Allah..." Sri benar-benar stres dibuatnya. Tetapi terus mengeluh pun tidak ada yang ia dapat.
"Aku harus lakukan sesuatu" Sri bangun dari kursi butut berjalan ke kamar, memandangi Larasati yang masih pulas kemudian ke rumah sebelah.
"Sri, kok tumben? Masuk-masuk" ujar tetangga sebelah Sri kaget akan kedatangan Sri yang tidak biasa.
"Emm... saya di sini saja Mbak, kalau boleh saya ingin merepotkan Mbak"
"Ada apa Sri?"
"Begini Mbak, sudah dua bulan Mas Wid belum juga pulang. Kakak ipar seolah tidak mengerti terus saja menagih hutang. Kalau boleh saya mau pinjam modal 100 ribu saja" Sri mengatakan niatnya untuk menjual gorengan besok pagi.
"Jualan? Mana mungkin Sri, kalau kamu jualan lalu bagaimana dengan Laras?" Tetangga Sri menatap Sri sendu.
"Saya bisa atasi Mbak" Sri sudah memikirkan matang-matang. Tetangga Sri pun memberi pinjaman 100 ribu.
Keesokan harinya tepatnya jam 6 pagi. "Gorengan... Gorengan..." Sri pun mulai menjual gorengan sambil menggendong Laras. Ibu muda itu berjalan kaki. Sungguh berat perjuangannya tapi semua ini ia lakukan demi Larasati.
Hari terus berganti, sebenarnya keuntungan gorengan yang ia jual hanya sedikit, tetapi untuk makan berdua tidak merasa kelaparan. Walaupun tak jarang hanya makan sisa gorengan bila tak habis. Namun, yang membuatnya memutar otak, bagaimana mencukupi kebutuhan Larasati. Belum lagi harus menyicil hutang yang Widodo tinggalkan. Inilah yang membuat Sri kadang menyerah.
5 tahun kemudian.
"Hai Larasati" sapa pembeli gorengan kepada Laras yang kini tumbuh semakin cantik diumur 5 tahun.
"Hai Tan" Larasati salim tangan remaja itu.
"Gorengannya 20, campur ya Mbak Sri"
"Oh, baik-baik" Sri bersemangat memasukkan gorengan ke dalam kertas yang sudah Sri siapkan.
"Mbak Sri nggak ada niatan untuk bekerja di Jakarta gitu?" Tanya pelanggan tidak tega melihat Sri setiap hari harus berjalan kaki membawa Laras serta.
"Ibu muda berbuntut seperti aku ini siapa yang mau menerima bekerja Mbak" Sri sadar ia hanya lulus SMP. Sebenernya Sri ingin lanjut sekolah hingga SMA ketika remaja, tapi ibu kandungnya pun meninggal.
"Kalau misalnya kerja sebagai art gitu mau Mbak? Kalau Mbak Sri mau, aku tadi baca di Internet ada keluarga yang sedang butuh art cepat" Pelanggan mengotak atik hape miliknya lalu menunjukkan kepada Sri.
"Aku sih mau saja, tapi kan aku harus bawa Laras, memang ada majikan yang mau menerima" Sri mengusap rambut Laras lembut.
"Sekarang aku tanya ya" remaja itu rupanya bertanya-tanya kepada pemasang iklan apakah diperbolehkan jika bekerja sambil membawa anak.
"Mbak Sri, pemasang iklan ini membolehkan bekerja membawa anak" wanita itu pun mencacat alamat lengkap.
"Kalau gitu saya mau deh" Sri bersemangat, entah mengapa hati Sri tertarik untuk bekerja di tempat itu.
Keesokan paginya.
"Kita mau ke Jakarta Bunda?" Tanya Larasati ketika mereka sudah siap berangkat.
"Iya, tapi di tempat kerja nanti, Laras tidak boleh seenaknya seperti di rumah sayang. Laras harus ikut peraturan di rumah itu, dan tidak boleh tertarik benda apapun karena itu bukan milik kita" nasehat Sri panjang lebar.
"Tentu saja Bunda..." pungkas Laras. Dengan jasa ojek, Sri berangkat ke terminal. Dengan bus kota ia membulatkan tekat berangkat ke Jakarta.
************
"Mama mah, dari kemarin sarapan nya telur ceplok terus" Protes anak perempuan umur 4 tahun yang sudah menggunakan seragam tk.
"Mama hanya bisa masak ini sayang... tapi hari ini art pengganti bibi sedang dalam perjalanan kok" jawab sang mama.
"Memang bibi ke mana Ma?" Tanya sang suami yang sedang asik sarapan tanpa mempersoalkan lauk yang ia makan.
"Dia sudah tidak diperbolehkan bekerja lagi sama anak-anak nya Mas. Oh iya Mas, tapi pembantu baru kita ini bekerja sambil membawa anak katanya, menurut Mas bagaimana?" Ia sampai lupa membicarakan ini dengan suami.
"Menurut Papa sih, yang penting pekerjaan rapi, tidak ada salahnya membawa anak" jawab suami.
Teng tong teng tong.
"Bentar sayang... Mama buka pintu dulu"
...~Bersambung~...
"Pagi ini Maura bapak yang antar ya" titah Sally ķepada supir yang baru saja menekan bel. Sally pagi ini akan menunggu art yang belum juga datang.
"Baik Nyonya" jawab supir yang biasa mengantar Sally dan Maura ke manapun mama dan anak itu pergi termasuk ke sekolah tk.
Sally pun akhirnya kembali ke meja makan, kemudian memberi pengertian pada putrinya agar berangkat sekolah bersama pak Waluyo.
"Nggak mau, memang Mama mau kemana sih" tolak Naura dengan wajah cemberut.
"Mama kan sudah katakan sejak tadi, mau menunggu art sayang..."
"Naura, kamu kan sudah besar sudah waktunya mandiri." sang papa akhirnya menyela pembicaraan.
"Iya, Iya..." Naura pun akhirnya berangkat walaupun sambil menggerutu.
"Ara jangan terlalu dimanja Ma" sang papa menatap Sally ada kekhawatiran di sana, kemudian memijit kepalanya. Semakin hari putrinya itu semakin susah diatur.
"Perasaan selama ini aku juga tidak menuruti saja apa yang anak kita mau Pa" Sally pun sebenarnya pusing dengan putrinya itu.
"Aku tidak menyalahkan kamu sayang..." sang papa pun mengatakan jika mereka masih harus banyak belajar, bagaimana mendidik anak yang benar. "Kalau gitu aku berangkat" lanjutnya, sembari cek arloji di tangan. Setelah mencium dahi Sally kemudian berangkat.
"Hati-hati Mas" Sally mengantar sampai halaman.
"Terima kasih sayang..." sang suami melambaikan tangan ketika mobil ke luar dari pagar.
Sally hendak menutup pagar, tapi di waktu yang bersamaan ojek mengantar Sri pun berhenti.
"Selamat pagi Nyonya" ucap Sri sopan, ketika ojek sudah pergi. Wajahnya nampak lelah dan capek karena di bus semalaman.
"Selamat pagi, kamu yang mau bekerja di rumah saya?" Sally mendekati Sri.
"Benar Nyonya, nama saya Sri. Tapi maaf, karena saya bekerja membawa anak" Sri mengusap kepala Laras yang nampak capek dan mengantuk.
Perhatian Sally tertuju kepada anak perempuan itu. "Kenapa wajah anak ini mirip dengan Mas Widodo? Batin Sally menatap lekat wajah Laras.
"Laras, salim Nyonya sayang..." titah Sri.
"Nama saya Laras Nyonya" Laras pun salim tangan Sally, hingga Sally sadar dari keterpanaan tentang wajah Laras.
"Panggil saja saya Tante" Sally pun mengajak Laras dan juga Sri masuk ke dalam.
"Alhamdulillah... ternyata calon majikan aku baik banget" batin Sri yang mengangkat dua tas pakaian besar nampak berat. Sri menatap kagum rumah mewah lantai dua itu saat perjalanan mengikuti Sally yang nampak ngobrol dengan Laras entah apa yang Sally tanyakan kepada anak itu.
Membersihkan rumah sebesar ini hanya sendirian tentu saja sangat lelah, tapi Sri harus kuat.
"Ini kamar kalian, jika kamu masih lelah ingin istirahat dulu tidak apa-apa" Sally mengerti karena Sri baru tiba dari jawa.
"Tidak apa-apa Nyonya, istirahatnya nanti siang saja" jujur Sri, karena sudah terbiasa setiap hari kelelahan.
Setelah memberi tahu tugas yang harus dikerjakan Sri di rumah ini, Sally pun menyusul Ara ke sekolah seperti yang ia janjikan.
"Laras... sebaiknya kamu mandi terus bobo sayang..." Sri membuka tas milik Laras memindahkan pakaian ke dalam lemari yang sudah disediakan.
"Iya Bun, tapi bunda juga capek, apa bunda tidak bobo juga" Laras merangkul pundak bundanya.
"Sudah... jangan pikirkan bunda" Sri menuntun Laras ke kamar mandi dapur membiarkan putrinya itu mandi.
Setelah mandi dan berpakaian, Laras mencoba untuk tidur. Namun, perutnya keroncongan minta diisi, bocah itu pun bangun mencari Sri.
"Bunda..."
"Iya sayang... kok belum bobo" Sri menatap putrinya yang tengah memegangi perut segera tanggap. "Kamu pasti lapar" Sri terpaksa lancang ambil secentong nasi di penanak. Karena Sri tidak mendapat perintah untuk sarapan. Ia membuka penutup meja makan, tatapan matanya tertuju pada telur ceplok yang sudah dimakan separuh. Sri terpaksa ambil telur tersebut menumpangkan ke atas nasi.
"Sekarang Laras makan, terus bobo" Sri memberikan piring.
"Alhamdulillah... lauknya telur ceplok Bun" Laras berbinar-binar. Selama ini ia jarang sekali makan telur selain tempe dan tahu.
"Iya, sekarang Laras duduk di sini" Sri memberikan kursi plastik kecil. Ia memandangi anaknya yang sedang makan dengan lahap, tiba-tiba air matanya menetes.
Tidak mau dilihat oleh Laras, Sri kembali ke tempat pencucian baju di sebelah kamar mandi. Ia mulai menggiling cucian di mesin cuci. Menunggu bersih, Sri ambil sapu, pel, dan perlengkapan bersih-bersih hingga jam 11 pagi terdengar derung mobil bersamaan dengan klakson berbunyi.
Sri segera membuka pagar kemudian menutup kembali setelah mobil Sally yang di kendarai supir masuk halaman.
Sally mengikuti Ara yang sudah berlari masuk lebih dulu. "Siapa kamu?" Tanya Maura ketus ketika tiba di ruang tamu ada anak yang tidak dia kenal.
"Saya..." Laras menunduk sedih karena selama ini belum pernah ada orang yang membentaknya.
Tatapan Ara tertuju kepada boneka miliknya yang di pegang Laras. Tanpa bicara dulu Ara menarik boneka tersebut. "Lancang kamu, berani-beraninya pegang boneka saya"
"Ara... Ini Laras anak bi Sri, di rumah ini kamu jadi ada teman sayang" Sally melihat drama tersebut segera menengahi.
"Ara nggak mau punya teman anak pembantu" pungkasnya lalu pergi ke kamar. Sally mengusap kepala Laras sebagai ucapan minta maaf kemudian mengejar Ara ke kamar.
"Sayang..." Sri kaget sekali ketika mendapati putrinya sedang sedih lalu mengantarkan ke kamar.
"Kenapa anak Tante Sally galak sama aku Bun" Laras meneteskan air mata, ia ingat teman-teman di kampung selalu main bersama tidak ada yang galak.
"Sebenarnya bukan galak sayang, karena dia belum mengenal putri bunda yang baik hati ini, makannya Non Ara judes. Nanti kalau kalian sudah saling kenal, pasti menjadi teman" Sri sebisa mungkin membuat hati putrinya tidak sedih. Setelah Laras tenang, Sri ke dapur hendak menyiapkan makan siang.
"Sri..." Sally baru muncul dari kamar.
"Saya Nyonya"
"Kamu bisa membuat sayur asam?" Tanya Sally, ia ingin makan siang di kantor bersama suami sesuai janjinya pada Ara.
"Tentu bisa Nyonya" Sri mendengarkan perintah Sally apa yang harus dia masak siang ini. Setelah tahu sat set memasak.
"Sri, Laras pasti sedih gara-gara Ara" Sally kasihan pada Laras, baru pertama kali di rumah ini sudah sedih.
"Tadi memang iya Nyonya, tapi setelah saya beri pengertian sekarang sudah tenang"
"Usia Laras sudah 5 tahun, kenapa kamu tidak sekolahkan tk" Sally ingin tahu, sembari memandangi Sri memasak dengan cekatan.
"Saya tidak punya biaya Nyonya, tapi saya selalu mengajari Laras hingga sudah bisa baca tulis dan juga baca IQRO untuk persiapan masuk SD" jujur Sri memang demikian.
"Kamu hebat Sri" Sally tidak menyangka jika usia Sri yang baru 24 tahun itu rupanya ibu muda yang hebat.
Sayur asam, ikan gurami goreng, dan sambal pun sudah matang, Sally menata ke dalam rantang.
"Sebaiknya kamu ajak Laras makan Sri, terus istirahat" Sally kasian Sri yang belum istirahat sejak pagi.
"Baik Nyonya" Sri senang, majikannya perhatian sekali. Ia mengikuti Sally yang akan berangkat ke kantor bersama Ara diantar pak Waluyo.
Selesai menutup pagar dan mengunci pintu, Sri kembali ke dapur. Jujur Sri memang lapar, karena hanya makan nasi kotak yang disediakan bus malam. Setelah memanggil Laras mereka makan di meja dapur.
"Waah... lauknya ikan Bun" Laras menatap banyak menu di atas meja.
"Iya, sekarang kita makan" pungkas Sri, menyuruh Laras berdoa lalu makan.
"Kalau makan sayur asam gini jadi inget Mas Widodo, sayur asam ini makanan kesukaannya. Huh, untuk apa lagi aku memikirkan pria yang sudah melupakan anak istrinya itu" batin Sri bergemuruh. Namun, ia segera mengubur kembali ingatanya tentang Widodo karena tidak mau selera makanya terganggu.
****************
"Kenapa sayur asam ini seperti masakan Sri?" Hati Widodo bertanya-tanya, karena sayur asam buatan Sri paling enak sedesanya.
"Pa, kok makanya berhenti, masakan art kita yang baru tidak enak?" Sally menangkap perubahan sikap Widodo mencurigakan.
"Oh enak kok" Widodo gelagapan.
...~Bersambung~...
Widodo segera melanjutkan makan ketika lamunannya pada masa lalu kepergok Sally. "Ayo kalian juga makan" ujarnya, mengalihkan.
"Iya Mas" Sally pun makan menggunakan tangan karena ikan dan sambal memang cocok dimakan seperti itu.
"Ara kok tidak makan?" Sally menatap makanan Ara di piring tidak disentuh.
"Nggak mau, sayur sampah gitu suruh dimakan" Ara sebal melihat sayur asam tersebut ia anggap sayur sampah. "Terus ini apa? Ikan goreng. Sejak kapan Ara doyan ikan Ma" Ara tambah sewot.
"Ara, sebaiknya kamu belajar makan apa saja yang tersedia, jangan pilih-pilih makanan" Widodo menasehati.
"Benar kata Papa sayang... coba dulu dimakan" Sally menyuapi Ara.
"Nggak mau, Ara mau ayam goreng" Ara mengunci mulutnya rapat-rapat.
"Tidak ada ayam goreng, tidak mau makan ya sudah, Ma" Widodo tidak mau Sally selalu menuruti kata Ara.
"Papa nakal" Ara meninggalkan mama papanya membanting bokongnya ke sofa.
Saat ini mereka makan di atas karpet ingin santai tetapi justru kacau karena ulah putrinya. Namun demikian, Sally tersenyum melihat suaminya makan dengan lahap. "Sayur asamnya enak ya, Mas?" Tanyanya tersenyum lalu ambil untuknya dalam mangkuk.
"Enak banget Ma" Widodo menjawab tanpa berpaling dari makanan. Mereka makan berdua tanpa Ara, tapi tetap menyisihkan untuk anak itu. Jika sudah kepentok lapar pasti nanti akan makan juga.
"Kalau gitu aku pulang ya Pa" Sally membenahi rantang setelah beristirahat beberapa saat.
"Untuk apa terburu-buru sayang... lihat, Ara tidur tuh" Widodo menoleh anaknya yang sudah pulas di sofa.
"Ya Allah... kasihan Pa" Sally berdiri lalu mengganjal kepala putrinya dengan bantal sofa.
*****************
"Bunda pasti capek, aku pijat ya" kata Laras ketika selesai shalat dzuhur mereka beristirahat di kamar bersama Sri. Tangan kecil itu mulai memijat betis Sri walaupun tidak disuruh anak itu sangat pengertian.
"Sayang... kamu juga capek, sebaiknya tidur saja" ucap Sri kasihan pada Laras. Ia tarik tubuh putrinya itu hingga tidur di sebelahnya.
"Laras kan tadi sudah tidur dua jam Bun" Laras memang sudah tidur dari jam 9 sampai jam 11 pagi.
"Sekarang bunda ingin ngobrol sama kamu" Sri tidur posisi miring memeluk putrinya itu. "Laras... jika Non Ara judes sama kamu lagi, lebih baik kamu menghindar sayang" nasehat Sri, perlakuan Ara tadi pagi rupanya mengganggu pikiran Sri. Ia tidak ingin jika perlakuan kasar Ara berdampak pada psikologis Laras.
"Iya Bun"
"Anak pintar, Laras harus bisa bersabar dulu sampai bunda mendapat uang untuk modal jualan sembako kecil-kecilan, bisa beli seragam untuk Laras masuk SD, terus kita pulang ke kampung" papar Sri panjang lebar. Ia khawatir jika Laras tidak betah, karena jika pindah kerja belum tentu diterima alasan membawa anak.
"Iya Bun, bagi Laras apapun yang terjadi akan tetap senang, yang penting bersama Bunda" pungkas Laras, karena sang bunda segera merangkul tubuhnya.
Anak dan ibu itupun akhirnya tidur siang. Tepat jam dua siang Sri bangun kemudian strika pakaian.
"Ada yang bisa Laras bantu nggak Bun" Laras menyusul bundanya ke ruang setrika.
"Tidak usah sayang" Sri menasehati putrinya jika Laras belum waktunya bekerja.
"Kalau gitu, aku belajar saja ya, Bun" Laras duduk di lantai dan melancarkan membaca.
"Anak Bunda memang hebat" Sri tersenyum menatap putrinya itu belajar tanpa disuruh.
Tanpa kenal lelah Sri strika baju satu persatu hingga selesai, tidak terasa sudah tiba waktu ashar. Seperti biasa, anak dan ibu itu shalat berjama'ah.
Jika Laras lanjut mandi, Sri ke dapur hendak menyiapkan makan malam. Sesuai yang diperintahkan Sally siang tadi, ia menggoreng ayam, sup ayam, tidak ketinggalan sambal.
Hingga masakan matang, Sri segera merapikan dapur kemudian mandi dan ganti pakaian. Adzan magrib berkumandang, Sri segera mengajak putrinya shalat.
Tin tiin tiiin...
Suara klakson pun berbunyi ketika Sri baru saja selesai magrib. "Tolong, mukena bunda dilipat sekalian sayang..." titahnya kepada Laras karena ia segera berlari membuka pintu depan setelah mendapat jawaban dari Laras.
Sri membuka pintu, rupanya Sally yang sedang menuntun Ara sudah menunggu di depan pintu. Begitu pintu terbuka segera masuk lanjut ke kamar sepertinya mereka ingin segera mandi.
Sri berjalan cepat membuka pagar, membiarkan mobil mewah itu masuk ke halaman. Sri menatap sepatu pria berwarna hitam turun dari mobil tidak lama kemudian muncul wajah pria berdasi menutup pintu.
Pria itu menoleh ke arah Sri yang masih berdiri berpegangan pagar. Dada Sri tiba-tiba sesak ketika pria itu adalah suaminya yang selama 5 tahun ini dia tunggu-tunggu. Namun, ia masih menahan diri untuk tidak berkata-kata khawatir salah orang.
"Sri, kamu" lirih Widodo.
Seketika Sri yakin jika pria itu memang suaminya. Dengan langkah berat ia mendekati Widodo yang masih terpaku di pinggir pintu mobil.
"Jadi gini kelakuan kamu Mas? Kamu tega meninggalkan Laras yang masih bayi merah, tapi begitu berhasil menggait wanita kaya lantas lupa dengan asal usul kamu?" Sri berlinang air mata.
"Sri, semua ini tidak seperti yang kamu pikirkan" Widodo hendak menyentuh Sri.
Plak
Tamparan keras Sri layangkan ke pipi Widodo. "Jangan sentuh saya karena secara agama kita bukan suami istri lagi" sinis Sri.
Widodo terkejut menatap wanita yang dulu selalu tersenyum, lembut ketika bertutur kata terutama kepada suami, tapi semua itu telah hilang hanya tinggal kenangan. Kini wajah Sri hanya ada kekecewaan dan kebencian. "Sri, aku akan jelaskan semuanya"
"Tidak perlu kamu jelaskan, karena dunia pun tahu, kamu ternyata pria yang tidak punya belas kasihan. Anak sendiri kamu biarkan kelaparan" Sri memegangi dadanya yang kian sakit mengingat penderitaan putrinya.
"Sri, kamu salah" Widodo lagi-lagi hendak menyentuh pipi Sri tapi wanita itu menjauh.
"Jangan sentuh saya, apa kamu tidak mendengar?" Sri melotot tajam. "Begitu silaunya kamu dengan harta hingga lupa menghitung batas berapa lama kamu meninggalkan istri di depan penghulu. Saya bukan siapa-siapa kamu lagi. Mengerti!" Tegas Sri. Sri hanya akan menuntut surat cerai agar statusnya jelas. Tidak ada ampun lagi bagi Sri karena sakit hati yang dia rasakan begitu mendalam.
"Aku sungguh tidak menyangka jika janji pria sepertimu ternyata hanya sampah" Sri menangis terisak-isak berlari ke luar pagar meninggalkan rumah itu.
...~Bersambung~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!