“Kami tidak punya pilihan lain, Nerissa.”
Ungkapan yang kudengar barusan berhasil membuat air mataku jatuh bercucuran. Hatiku hancur sekali, terasa diremat-remat, mendadak pasokan oksigen pun menipis.
“Tapi ... Aku tidak bisa, Bu, Pak.” Kepalaku kian tertunduk, kedua tanganku yang berada di atas paha terus meremas rok hitam sebatas lutut, beberapa tetes air mata berjatuhan di sana.
Meski menunduk, aku bisa merasakan bahwa tangan yang saat ini sedang mengelus bahuku adalah milik ibu. Perlahan ia berjongkok dihadapanku, harum parfum tipisnya membuatku tahu tanpa perlu melihat.
“Anggaplah ini caramu membalas kebaikan kami selama ini, Nerissa. Kami benar-benar tidak punya cara lain. Kamu hanya perlu menikah dengannya. Percayalah, dia itu pria baik. Kamu akan hidup bahagia dengannya.”
Begitu kata ibuku. Mulutku langsung terkunci rapat. Tapi cairan bening yang semakin deras menuruni pipi menjadi saksi bisu atas perasaanku saat ini.
Sumpah demi apapun, aku tidak meminta diadopsi untuk melakukan ini di masa depan. Bagaimana bisa aku menikah dengan tunangan dari kakak angkatku sendiri? Hampir setiap hari aku menyaksikan kemesraan mereka, hampir setiap waktu aku mendengar cerita manis yang keluar dari Darius—tunangan kakakku itu.
Dan ibuku berkata bahwa jika menikah dengannya aku akan bahagia?
Perlahan aku mengangkat pandangan, jelaga kami langsung bertemu detik itu juga. Walau pandanganku masih mengabur, tapi aku masih bisa jelas melihat ekspresi memohonnya itu.
“Bu, seminggu yang lalu kekasihku datang kesini. Aku selalu cerita pada ibu bahwa aku sangat mencintainya. Dan sekarang, apa ibu tega memintaku menikahi tunangan Kak Soraya dan meninggalkan kekasihku?”
Sejurus kemudian, setelah perkataan itu keluar dari mulutku, tiba-tiba saja kedua bahuku dicengkram kuat. Ibu sudah berubah posisi, ia berdiri menggunakan lututnya, tubuhnya lebih mencondong padaku, dalam jarak yang tersisa beberapa centi itu aku bisa melihatnya menangis dengan mulut bergetar.
“Soraya sudah meninggal, Nerissa!”
Aku membeku. Kalimat itu diutarakan dengan suara yang melengking. Tanganku tak berdaya untuk sekedar menutup telinga, membiarkan raungan itu yang kini dibubuhi oleh tangis menggebu itu menusuk-nusuk gendang telinga.
“Apa kamu tidak mengerti juga?! Jika dia masih hidup, Soraya yang amat kusayangi itu masih ada di sini, saya juga tidak akan mengemis seperti ini pada kamu!” tambahnya yang kini mulai menunjuk-nunjuk wajahku.
Suasana semakin tegang. Aku menangis, ibuku juga menangis histeris. Aku bisa merasakan rasa sedih yang dialami beliau. Tepat tiga hari lalu, kami semua kehilangan sosok keluarga. Soraya, kakak angkatku itu telah meninggal dunia, padahal seharusnya kemarin itu adalah hari pernikahannya.
“Dasar anak tidak tahu diuntung! Jika bukan karena saya, kamu mungkin akan tetap tinggal di panti asuhan kumuh itu!”
Aku menundukkan kepala. Sudah tak sanggup lagi. Bicaranya mulai melantur ke mana-mana. Tak lama ayahku melerai, membawa pergi ibu dari hadapanku, sedang aku terus menangis sesenggukan.
Selama ini, selama hidup di rumah ini dan berbaur dengan mereka, aku tidak pernah merasa diasingkan ataupun dibeda-bedakan. Aku tumbuh seperti anak kandung mereka sendiri, tapi hari ini perasaan itu tak lagi bisa aku rasakan.
Pada akhirnya aku tahu, bahwa sampai kapanpun aku hanyalah anak angkat mereka. Dan mungkin memang dengan cara yang mereka minta, aku bisa membalas jasa dan kebaikan yang telah mereka lakukan padaku selama ini.
“Nerissa,” panggil ayahku yang tanpa kusadari sudah ada di sampingku.
Perlahan aku menyusut air mata yang masih menyisakan jejak pada kedua pipi. Kepalaku masih menunduk, tak mungkin bisa menatapnya dengan tatapan sedih.
“Kamu tahu, ibumu tak mungkin benar-benar mengatakan hal itu, Nerissa. Dia hanya masih belum menerima. Tuntutan pernikahan ini harus tetap berjalan. Kami tahu itu tak mungkin bisa dibatalkan, sementara Darius, putra mereka saja masih selamat dari tragedi itu. Mereka pasti menagih janji kami dalam kesepakatan yang telah dibuat.”
Aku mengangguk tipis. “Iya, Ayah. Aku mengerti.”
Terdengar helaan napas yang dikeluarkan oleh ayahku. “Bisakah kamu menemui Darius besok di rumah sakit? Karena luka yang dia dapat bisa dikatakan tidak terlalu parah, sehingga besok dia sudah bisa pulang. Kamu mungkin bisa memulai pendekatan perlahan dengannya.”
Setelah semua hal yang terjadi, tetap saja aku tak diberi pilihan untuk menolak bukan? Itu sebabnya aku hanya mengangguk, meng-iyakan tanpa perlu mengatakan tentang ketidaksukaan ini.
Setelah ayah melengang pergi. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, ingin puas menangis di sana. Langsung menjatuhkan diri ke kasur dengan wajah yang ditempelkan pada bantal, kemudian menjerit-jerit, suaraku tertahan, membuat leherku terasa sakit sesudahnya.
Di tengah suasana sedih menyelimuti, sebuah suara notifikasi dari ponselku yang tergeletak tak jauh dari posisi baringku langsung membuatku mengangkat wajah dari bantal. Tanganku memanjang, meraih ponsel tersebut, melihat siapa yang mengirimi pesan.
Saat nama ‘Arjuna’ muncul dalam layar sebagai pengirim pesan, air mataku semakin deras. Sedih sekali saat menyadari bahwa hubunganku dengan pria yang kucintai mesti kandas hanya karena akan menjalani peran pengantin pengganti dalam waktu dekat ini.
Belum sempat pesan itu kubaca, tiba-tiba saja layar ponsel itu menampilkan bahwa Arjuna meneleponku. Seperkian detik, aku hanya mendengarkan dering teleponnya, memandangi namanya yang kububuhi emoticon love, tanpa berniat untuk mengangkatnya, sampai akhirnya layar tersebut menunjukkan bahwa panggilan darinya tak kujawab.
“Aku bahkan tak sanggup mendengar suaranya.” Aku menjatuhkan wajahku pada layar ponsel, “Aku semakin takut, karena di masa depan nanti aku tak akan bisa lagi mendengar suaranya.”
Tanpa kusadari rupanya ponsel yang kugenggam dan kujadikan sandaran dahi mendadak mengeluarkan suara. Dan yang lebih mengejutkan lagi, suara itu adalah suara Arjuna.
Kenapa bisa ini terjadi? Apa mungkin saat menempelkan dahi tadi, Arjuna kembali menelepon dan tak sengaja kutekan tombol hijau di sana? Ah, sudahlah, sepertinya semesta tak mengizinkanku untuk melarikan diri.
“Kamu habis menangis? Atau masih menangis?”
Buru-buru aku menjauhkan ponsel. Beringsut dari posisi telungkup, dengan sigap mencari tissue. Menghapus sisa-sisa air mata, mengeluarkan cairan dari hidung. Mengabaikan panggilan Arjuna dari seberang telepon yang terus memanggil-manggil namaku dengan suara khasnya.
“Iya, iya sebentar, Juna,” ujarku sambil mendekat kembali pada ponsel, berbaring dengan posisi nyamanku.
“Kamu kenapa? Baik-baik saja di sana, kan?”
“Y-ya, baik-baik saja. Kamu kan tahu kalau aku ini hobi sekali nonton film. Hari ini aku baru selesai nonton drama yang menguras air mata, dan itu membuatku jadi sedikit mellow,” dalihku, berharap dia tak curiga.
“Sudahilah tontonan sedihmu itu. Pulang nanti, aku akan memberimu kejutan. Jadi pastikan suasana hatimu baik.”
Aku mengerutkan alis. “Kejutan?”
“Apa kamu mau mendengarnya sekarang?”
“Memangnya kejutan apa? Kamu pulang di minggu ini, kan? Bagaimana jika—”
“Bagaimana jika kukatakan, aku akan melamarmu, Nerissa?”
***
Setelah mendengar pernyataan yang dilontarkan oleh Arjuna, aku merasakan jantungku lebih berdebar-debar. Semalaman penuh, hingga aku tak bisa terlelap dengan nyenyak.
Padahal aku tahu setelah dia mengatakan hal demikian, sebuah tawa candaan terdengar nyaring dari balik telepon. Dia tak benar-benar serius saat mengatakannya bukan?
Entahlah. Serius atau tidak, kenyataannya aku akan tetap menjadi calon pengantin dalam waktu dekat ini. Meski bukan ... Arjuna yang akan menikah denganku.
“Kamu siap, Nerissa?”
Kepalaku sedikit menanggah—menatap seseorang yang barusan mengajakku bicara. Lantas mengangguk ragu. “Iya, Yah. Aku ... siap.”
Dia tersenyum simpul, menyerahkan sebuah goodie bag. Aku menerimanya meski tidak tahu apa isinya.
“Kata dokter, Darius susah sekali makan. Dia beberapa kali menolak, bahkan enggan meminum obat. Dia selalu menyebut nama Soraya. Kamu ... tahu kan harus berbuat apa?”
Hembusan napas berat aku keluarkan, rasanya seperti baru saja punggungku ditimpa beban berat. Siap tidak siap, bukankah dalam pilihannya aku hanya boleh memilih untuk tetap siap?
Menjalani peran sebagai orang lain, tanpa ada persiapan apapun. Mereka tidak mau tahu tentang itu, mereka hanya ingin aku melakukan apa yang mereka minta.
Menjadi pengantin pengganti dan berada dalam pernikahan yang penuh dengan kepura-puraan.
Tapi ... sampai kapan aku harus melakukannya?
Tangan Ayah menyentuh pundak, memberi usapan kecil di sana. “Andaikan ada solusi selain ini, maka kami tidak akan pernah tega membiarkan kamu melakukan ini, Nerissa. Kamu tahu, kami sangat menyayangi kamu layaknya anak sendiri.”
Aku mengangguk meng-iyakan. “Iya, Ayah. Aku akan berusaha semampuku.”
Kakiku melangkah pergi setelah berpamitan, pagi ini hanya ayah yang kulihat. Ibu masih belum menunjukkan diri—mungkin masih terpukul dan memendam rasa benci atas kejadian tadi malam.
Menuruni undakan tangga teras rumah, menghampiri taxi yang terparkir di sana. Kurasakan rintik-rintik hujan berlomba-lomba menyentuh kulit, aku sedikit melihat awan kelabu yang memenuhi langit sebelum memasuki mobil.
“Rumah sakit Pelita Harapan kan, Mbak?” Matanya yang terpantul melalui kaca spion melirik padaku.
Aku hanya memberi anggukan singkat. Kembali membuang pandangan pada jendela mobil, mengamati jalanan raya yang tak pernah kosong oleh lalu lalang kendaraan.
20 menit berlalu, akhirnya mobil yang kutumpangi sudah tiba di pekarangan rumah sakit. Sambil mencari tempat parkir yang pas, aku bersiap-siap untuk turun.
“Gerimisnya cukup deras, Mbak. Mau pinjam—”
“Tidak usah, Pak. Saya bisa jalan buru-buru, kok,” tolakku sambil membuka pintu mobil, celingukan sebentar sebelum akhirnya menuruni kaki untuk menyentuh aspal.
Gerimis mengiringi langkahku menuju lorong rumah sakit, menabuh jalanan dengan irama samar yang entah kenapa terdengar seperti pertanda buruk. Langkahku berhenti di depan pintu rumah sakit, mengambil napas sebentar sebelum memasuki lobby.
Sebentar aku mengamati pantulan diriku pada kaca pintu rumah sakit, aku tahu seharusnya tak ada di sini. Basah ujung rok milikku yang terkena genangan hujan tadi terasa dingin menusuk, menambah rasa tegang.
Ini bukan pertama kalinya aku ke sini untuk menemuinya—menemui pria yang telah kehilangan ingatan. Tepat sebelum aku tahu bahwa kecelakaan yang telah merenggut banyak memori hingga membuatnya berpikir bahwa aku adalah Soraya—kakak angkatku yang menjadi calon tunangannya, dan kini telah tiada.
Pelan, aku melewati lorong putih berbau antiseptik yang menyengat menuju ruangan 37 di mana Darius sedang dirawat. Langkahku terasa berat, seolah sesuatu menahanku agar tidak mendekati kamar tersebut.
Aku menarik napas perlahan sebelum akhirnya mendorong pintu itu. Di sana ... dia duduk bersandar di atas brankar, wajahnya amat tirus dan pucat, tapi saat tatapan mata kami bertemu—dia langsung tersenyum sumringah.
Senyumannya benar-benar lebar. Mata itu penuh kehangatan, penuh kerinduan yang mendalam.
“Soraya?” panggilnya lembut, matanya berbinar-binar.
Seketika hatiku remuk, aku mematung di tempat, di ambang pintu sambil memegangi knop pintu. Itu bukan namaku, aku bukan tunangannya. Aku bahkan belum mengenalnya sebaik itu. Tapi dia...
Dia ... percaya bahwa aku adalah perempuan yang dia cintai, yang seharusnya saat ini mereka sudah menjadi sepasang suami-istri.
Aku menelan ludah, mencoba untuk tetap tenang. Kakiku berderap mendekat padanya. “Iya ... Ini aku.”
Kebohongan telah terucap. Padahal bisa saja aku mengatakan yang sebenarnya—mengatakan bahwa aku adalah orang lain, seorang perempuan yang pada kenyataannya hanya pendengar yang baik selama ini untuk kisah cintanya.
Dia mengulurkan tangan, memberi kode bahwa ingin membawaku ke dalam pelukan. Aku melihat caranya tersenyum—senyum yang seolah-olah menunjukkan dirinya baru saja bangkit dari keterpurukan, mana mungkin aku begitu tega untuk tetap berdiri di atas egoku.
“Soraya,” panggilnya lagi sembari mendekapku lebih erat.
Kurasakan jari jemarinya yang mengusap-usap punggung. Isak tangisnya menelusup jelas melalui gendang telinga, dia menangis tersedu-sedu.
“Aku takut ... takut sekali. Aku pikir aku tak akan pernah melihat kamu lagi.”
Aku tak mampu berkata-kata. Hanya diam mendengar rentetan kalimat itu di antara rintihan tangisnya yang begitu jerih, Darius semakin terisak.
“Maafkan aku, ya, sayang?” Dia melonggarkan pelukan, menatapku lebih dekat—wajahku ia belai menggunakan jemarinya yang gemetar.
“Kamu ... masih mau kan menikah denganku?”
Mulutku terkunci. Mataku berkaca-kaca, aku sedih. Perasaanku campur aduk. Melihat kondisinya yang begini membuatku pilu—entah apa yang membuatnya beranggapan bahwa aku adalah sosok perempuan yang dicintainya.
Jemarinya bergerak turun, menyentuh kedua tanganku. Menggenggamnya kuat. Hembusan napasnya yang terasa hangat dapat kurasakan samar-samar, sebab jarak antara wajah kami hanya tersisa beberapa centi.
“Mari kita lupakan semuanya. Kita buka lembaran baru. Aku akan tetap cinta kamu, Soraya. Apapun keadaannya.”
Kuamati parasnya itu, tatapannya menyiratkan makna sesuatu. Seperti menyimpan rahasia—yang mungkin telah diketahui oleh mendiang Soraya.
Aku mengangguk pelan. Menaruh goodie bag yang aku bawa dari rumah, mengeluarkan isinya dari dalam sana. Rantang susun berisi beberapa lauk makanan aku perlihatkan padanya, salah satu lauknya itu adalah kesukaan Darius— telur sambalado.
“Iya, Mas. Tapi untuk sekarang ini, ada baiknya kamu pikirkan kesehatan kamu dulu. Kamu masih belum sembuh total. Aku ada bawakan makanan, dokter bilang kamu tidak mau makan belakangan ini. Jadi—”
“Tunggu dulu, sayang.” Darius tiba-tiba menyentuh perutku, tentu saja aku sedikit melonjak kaget.
Tatapannya itu berubah. Seperti sedang mengintimidasi. “Kandunganmu ... bagaimana? Apakah baik-baik saja?”
Aku tertegun. Mataku berhenti berkedip sejenak. “Kandunganku?”
Aku bahkan tidak pernah tahu—bahkan di keluarga kami tak ada yang tahu jikalau Soraya sedang mengandung. Mendiang kakak angkatku itu tak pernah bercerita apapun soal ini.
Dan saat dihadapkan dengan posisi ini ... aku benar-benar bingung. Aku harus menjawab apa sementara aku tidak mungkin semakin melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa kandunganku baik-baik saja.
Karena kenyataannya aku tidak pernah mengandung anak siapapun.
Mencoba berhubungan hingga hamil hanya demi sandiwara ini? Oh, itu tidak mungkin. Aku akan benar-benar gila jika sampai melakukannya!
***
Darius tersenyum.
Bukan senyum haru, bukan senyum lega ataupun yang menyimpan kekhawatiran perihal kondisi kandungan yang dia belum ketahui jawabannya. Akan tetapi sebuah senyum aneh—penuh kemenangan.
“Aku tahu,” katanya dengan tatapan mata yang seolah mengartikan segalanya.
Mataku mengerjap-ngerjap, merasa bingung. Mulutku sedikit bergetar. “Apa, Mas?”
Dia terkekeh kecil, ekspresinya berubah total. Tak ada lagi tatapan teduh yang membuatku iba ingin mengasihaninya—dia justru tertawa senang, tawaan itu keluar dengan ekspresi yang membuat perutku terasa mual.
“Jadi, kamu benar-benar ... menggugurkannya, ya?”
Aku terhenyak beberapa saat, merasakan ketakutan yang berbeda. Lebih dari aku yang telah berpura-pura menjadi seseorang yang bukan diriku. Tetapi karena aku menyadari sesuatu yang lebih besar.
Laki-laki ini ... laki-laki yang seharusnya berduka karena tunangannya sudah tiada—juga tidak terlihat hancur karena kemungkinan bahwa anaknya ikut meninggal.
“Syukurlah kalau kamu memang benar-benar menggugurkannya.”
Dia terlihat senang.
Seolah dia telah menunggu momen ini. Seolah, dalam benaknya—aku telah berhasil membersihkan ‘aib’ itu dari dalam hidupnya.
Tanganku turun dari pegangan brankar, mencengkram kuat rok yang kupakai—menahan getar yang membuat napasku terasa kian menipis. Dadaku kembang kempis, merasakan ruangan yang tampak kian mengecil, aku kekurangan pasokan oksigen.
“A-aku ... tidak ... aku.” Napasku tersendat-sendat, rasanya sulit sekali bicara normal. Suaraku terdengar rapuh.
Dia menyeringai, tangannya yang penuh dengan perban itu menyentuhku, di detik yang sama aku sedikit terkesiap. Sentuhannya itu laksana ancaman, tatapan matanya bagai teror yang mengintai setiap gerak-gerik tubuhku.
“Tidak apa-apa, Soraya. Aku mengerti. Itu keputusan yang sulit. Tapi kita sudah sepakat sebelumya, kan?”
Kali ini aku benar-benar diam. Membeku. Mulutku terkunci rapat, sementara napasku mulai tak beraturan. Aku tak bisa lepas dari tatapannya itu, tatapan yang semula membuatku iba—kini justru malah menenggelamkanku ke dalam rahasia yang tak mungkin aku tahu.
Darius mengelus-elus pergelangan tanganku, masih dengan senyum yang sama. “Kita bisa memulai semuanya dari awal, Soraya. Kita bisa menjalani kehidupan baru ... tanpa masa lalu yang akan membuat kita sama-sama tersakiti. Kamu mau kan memulainya lagi dari awal?”
Dari awal? Aku termangu, mengamatinya lebih lekat.
Dia ingin melanjutkan hidup seperti tidak pernah terjadi sesuatu—seperti semuanya kembali normal hanya karena bayi itu ... tidak ada?
Buru-buru aku menepis tangannya dari tubuhku. Aku tak sanggup lagi. Aku ingin muntah membayangkan hal yang seharusnya tak aku ketahui.
“Maaf, sepertinya aku harus pergi. Aku lupa aku punya janji untuk menemui seseorang.” Aku membenarkan tas selempangku yang melorot pada bahu.
“Kapan-kapan aku akan ke sini lagi. Aku—”
“Menemui siapa?” Darius menahan tanganku, tak membiarkanku pergi begitu saja.
Mataku berkedip-kedip pelan. “Te-temanku.”
Sebelah alisnya terangkat naik. “Teman ... yang mana? Jangan bilang kalau—”
“Permisi!”
Kami serempak menoleh ke arah pintu. Beberapa suster masuk ke dalam ruangan. Mereka membawa sesuatu di atas nampan, mungkin akan melakukan pemeriksaan.
Aku langsung mengambil kesempatan ini untuk pergi, dengan cepat mengambil tas dan bergerak mundur. Aku lebih dulu memutus kontak mata—meski tahu bahwa dia sudah memberi kode padaku untuk jangan pergi.
Pikiranku hanya satu. Cepat keluar dari sana sebelum aku kembali dicecar banyak pertanyaan yang tak mungkin tahu apa jawabannya.
Aku tidak tahu apa yang lebih buruk—kebenaran dibalik kandungan yang dimaksud Darius tadi atau aku yang masih belum tahu apa-apa tentang hubungan mereka dan tetap dipaksa untuk menjalani peran ini.
“Aku harus membicarakan ini kepada Ayah dan Ibu,” gumamku seraya mempercepat langkah.
Kakiku berlari kecil saat melewati lorong rumah sakit, jantungku terasa sedang bertalu-talu di dalam sana. Aku berjalan tanpa memperdulikan tatapan keheranan para perawat atau orang-orang yang sedang berlalu lalang—melihatku yang berjalan tergesa-gesa keluar.
Udara dingin langsung menerpa wajahku saat akhirnya aku keluar dari rumah sakit, bergegas aku merogoh ke dalam tas. Mencari ponsel untuk memesan taxi online.
***
Hampir setengah jam berlalu, akhirnya setelah melewati jalanan padat merayap, aku tiba di rumah. Hujan telah reda, menyisakan genangan, tapi awan mendung masih setia membentang pada kaki-kaki langit.
Saat akan melangkah memasuki halaman rumah, aku mendadak tertegun. Kakiku tak lagi melangkah, terpaku dengan mata yang memicing—melihat mobil putih mengkilap yang tak asing dalam ingatanku.
Dadaku kembali berdegup kencang. Buru-buru menggerakkan tungkai kaki, dalam pikiran sudah banyak potongan asumsi buruk tentang apa yang sedang terjadi.
Tepat di ambang pintu yang terbuka, aku melihatnya. Dia duduk di sofa, dihadapannya ada ibu dan ayah. Mereka tampak berbincang serius, sebelum akhirnya aku memecah obrolan mereka dengan menunjukkan diri.
Mereka kompak menoleh padaku.
Jantungku berhenti sejenak.
Arjuna—kekasihku yang amat kucintai itu beranjak dari posisi duduk, lantas berjalan menghampiriku. Ekspresinya tampak lega. “Nerissa, kamu dari mana saja? Aku sudah menunggu kamu.”
“Aku ... baru dari luar,” jawabku sedikit terbata-bata.
Aku bisa merasakan desir darahku mengalir cepat. Ini tidak benar—bukan waktu yang tepat untuk Arjuna tahu tentang semuanya.
Sebelum menariknya menjauh dari teras rumah, aku sempat melakukan kontak mata dengan ibu juga ayah. Mereka menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku tafsirkan.
“Hei, sayang. Ada apa? Kenapa harus terburu-buru?”
Aku tak menjawabnya, melepas pegangan tangan ketika sampai di pintu mobil.
“Apa kamu marah karena aku datang tiba-tiba tanpa mengabari dulu?”
Aku tetap diam. Masih sedikit syok. Dilihat dari ekspresi dan respon Arjuna, nampaknya ibu dan ayah belum menceritakan apapun padanya.
Arjuna menggenggam tanganku dengan lembut, dia menatapku dengan tatapan yang sama seperti dulu— saat dia mengutarakan cinta, tatapan yang tak pernah kudapatkan dari pria manapun.
Kulihat dia mengambil napas, terlihat agak gugup, sorot matanya tak dia alihkan meski sebentar. “Aku ingin membuat kejutan.”
Tatapannya semakin berbinar. “Aku ingin bicara dengan orang tuamu sebelum—”
“Tunggu!” Aku menyela ucapannya, aku merasa tahu kemana arah pembicaraan ini.
Panik merayap di sekujur tubuh, menyadari bahwa dia ternyata tak bohong jika ingin melamarku. Seharusnya aku bahagia sebab ini momen yang aku tunggu sejak dulu, tapi aku sadar bahwa aku punya tanggung jawab lain yang bagi mereka itu lebih penting.
“Ayo kita keluar sebentar. Kita bicara di tempat lain,” ajakku sambil membuka pintu mobil.
“Eh? Tapi, aku—”
Aku menoleh sebelum mendaratkan bokong di kursi. “Kita harus bicara di luar.”
Tatapan matanya berubah pasrah, tangannya mengusap-usap rambutnya. Terlihat bingung. Aku tahu ada hal yang ingin dia sampaikan, tapi aku menahannya.
“Kamu tidak mau masuk?” tanyaku sambil melirik-lirik padanya.
Arjuna terlihat kebingungan, dia maju mundur. Berakhir berdiri di dekat jendela mobil, kaca mobilnya diturunkan.
“Biarkan aku bicara sebentar, ini darurat.”
“Seberapa darurat?”
“Sangat darurat.”
Aku mengangguk pasrah. Membiarkannya bicara.
Terdengar jelas saat dia berulang kali mengambil napas, dalam sekejap wajahnya terlihat pucat. “Aku ... mungkin tidak bisa jadi laki-laki romantis seperti drama yang sering kamu tonton. Tapi...”
Arjuna menggantungkan ucapan, tangannya turun untuk merogoh sesuatu di dalam celana. Aku menutup mata beberapa detik, menahan napas, aku tak bisa menghindar lagi ketika tahu yang dia keluarkan ternyata sebuah kotak cincin.
Perlahan Arjuna membuka kotak itu, sebuah cincin yang dihiasi permata tampak berkilau. Tangannya gemetaran, dia gugup sekali, aku terharu tapi di sisi lain aku sedih.
“... karena situasinya sangat darurat dan aku tidak punya banyak waktu untuk mempersiapkan segalanya, jadi dengan kesederhanaan ini ... maukah kamu menikah denganku, Nerissa?”
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!