NovelToon NovelToon

Sang Purnama

Titik Balik (opening act)

“Aku sudah belajar dari kesuksesan dan kehancuran para idola yang tidak peka akan hal ini. Dan aku hanya ingin kamu ngerti.”

***

Angela mantap melangkahkan kakinya menuju ke sebuah cafe. cafe yang sederhana dengan lampu-lampu kecil serupa belukar. Tapi kata Julius, cafe itu telah menjadi bagian sejarah penting dan saksi perjalanan karier musiknya. Angela setuju cafe itu menjadi cafe bersejarah. Secara pribadi di cafe itu juga ia pertama kali bertemu langsung dengan Julius, pujaannya hatinya. Setelah sekian lama ia menikmati suara keren, penampilan keren dan syair-syair lagu keren yang meresap jauh ke dalam hatinya. Lewat televisi, streaming media sosial dan koleksi DVD dan sebagainya. Di cafe itu akhirnya ia bertemu langsung, mendengarkan langsung si dia bernyanyi, duduk bersama bahkan mulai mengenal aroma tubuhnya yang kalem. Meski sama-sama publik figur, Angela baru berkenalan secara langsung dengan Julius di cafe itu.

Julius menatap Angela. Bila ditanya apa yang paling menarik dari kekasihnya itu, Angela pasti menjawab mata. Yah, mata yang bening dan jernih dan tatapan yang fokus itu seolah memancarkan sinar laser yang selalu mampu membuat Angela meleleh.

Tapi malam ini, seperti yang sudah dijanjikan dengan tergesa-gesa dan tanpa alasan pasti, Julius mengajaknya bertemu di sini. Di tempat pertama kali mereka berkenalan. Angela datang dan duduk memenuhi janji.

Dari dekat, kini Angela leluasa memperhatikan kekasihnya itu. Rambutnya yang panjang dan agak kekuningan seperti mahasiswa urakan yang rambutnya kuning karena sering demo dan panas-panasan. Tapi sumpah! Angela sampai kaget, ketika ia pertama kali membelai rambut Julius itu. Lembut sekali. Seperti bulu kucing Persia. Tipuan yang sempurna.

Perhatian Angela kini menyusuri wajah Julius dan air muka Julius. kulitnya yang putih tampak begitu putih atau pucat. Angela pun membandingkan dengan intensitas cahaya di tempat itu. Redup. Jadi Angela putuskan, Julius memang pucat. Kelopak matanya pun agak kemerahan, seperti orang yang kurang tidur.

Yang paling menarik perhatian Angela adalah gerak-gerik Julius yang tampak kagok dan serba salah. Angela jadi makin tajam menatap Julius.

“Ada apa sih, muka kamu pucat gitu,” kata Angela, “kayak habis dikejar hantu aja,” ucap Angela sekenanya.

“Di sini kita pertama kenalan," kata Julius datar dengan wajah muram. Otomatis Angela terpancing jadi makin serius. Seolah itu pra kata untuk kata putus. Seperti, di sini kita pertama kenalan, di sini juga kita putus.

"Ah, tidak-tidak! Tidak mungkin," batin Angela.

“Kamu kenapa sih? Sakit??” tanya Angela sambil kembali ia sematkan tatapan ke mata kekasihnya itu. Angela mencoba masuk. Tapi Julius seolah menghalaunya dengan gerak-gerik yang mencurigakan. Angela menyerah, mata itu kini tampak terlalu pekat dan gelap. Seperti lorong yang penuh misteri.

“Engga,” jawab Julius datar, “Aku baik-baik aja, cuma kelelahan," jawab Julius. Tapi Angela tetap merasa ada yang aneh dan Julius sembunyikan. Mungkinkah, sesuatu yang aneh itu yang hendak ia ungkapkan malam ini?

“Mau pesan sesuatu,” kata Julius mengalihkan perhatian Angela.

“Nanti saja,” jawab Angela. Ia tidak mau di ganggu, ia sedang konsentrasi atas apa yang hendak Julius perbincangkan malam ini. Sejenak Julius terpaku. Seperti sulit memulai sesuatu.

“Apa kamu percaya hantu, nasib dan takdir,” tanya Julius tiba-tiba serius menyematkan tatapan pada Angela. Tatapan yang penuh keseriusan jelas tidak seperti biasanya.

“Astaga, kamu beneran habis melihat hantu?” ucap Angela. Seolah ia mengerti ke mana arah pembicaraan Julius. Julius sedikit menggelengkan kepala.

“Please deh Julius, kamu ngundang aku ketemuan di sini buat ngomongin apaan sih?” Angela jadi tidak sabar.

“Aku mau ngomongin sesuatu yang terasa mengganjal di hati. Aku, aku merasa sudah membuat suatu kesalahan dalam hidupku. Memang hidup untuk masa depan. Tapi masa lalu yang telah membangunnya. Aku mau kembali ke masa lalu dan melakukan apa yang seharusnya aku lakukan waktu itu,” kata Julius lancar dan mengalir begitu saja. Perkataan yang lancar, tapi kaku seperti sebuah hafalan. Lantang dan jelas ada sebuah keyakinan coba Julius tekankan, “baru sekarang aku yakin, aku merasa telah mengabaikan sesuatu dan sebelum semuanya terlambat.” Sejenak Julius menelan ludah. Seperti mencari ujung kata-kata hafalan yang hilang. Wajah Julius mendadak suram dengan dada redup redam.

"Ada apa ini?" batin Angela pongah dibuatnya.

“Aku mau pergi jauh untuk sementara waktu dan...” Sampai di situ Julius memandang Angela dengan lekat. Seperti menilai, sejauh mana Angela mengerti ucapannya.

“Dan sendirian?” tebak Angela dan Julius membenarkan dengan anggukan kecil.

Keputusan sendiri dari Julius itu hampir tak ada beda dengan kata putus atau sendiri dulu.

“Aku takut mengecewakanmu,” ucap Julius sambil perlahan menangkap jemari Angela, “aku tidak sebaik yang kamu kira.” Genggaman tangan Julius itu seolah menggenggam hati Angela agar tidak hancur berserakan. Tapi hati Angela telah retak dan siap-siap untuk hancur saat itu juga.

“Kamu tidak perlu memberitahu aku segala masa lalu kamu. Bagiku, aku mendapatkan kamu yang sekarang ini sudah menjelaskan siapa dirimu di masa lalu,” kata Angela ringan. Namun tatapannya kian tajam menatap Julius. Seolah tatapan itu berkata, aku yang terbaik untukmu Julius, lupakan masa lalu.

“Intinya, seburuk apa pun kamu di masa lalu, biarkan berlalu.” Sejenak Julius termenung. Sunyi kemudian Julius coba mencairkan suasana.

“Kamu cantik sekali malam ini-”

“Tidak usah memuji kalau ujung-ujungnya gak enak,” tepis Angela dengan senyuman sinis sambil menarik jemari dari sentuhan Julius. Angela menterjemahkan masa lalu dengan serampangan dan gampang sekali. Masa lalu yang Julius maksud pasti juga tentang orang-orang di masa lalu tersebut.

“Aku mau terbuka, aku mau menjelaskan supaya kamu ngerti dan kita sudah dewasa,” ujar Julius coba memulai menjelaskan. Tapi sayang, Angela punya pemahaman tersendiri akan ke mana arah pembicaraan Julius. Julius hendak ke masa lalu, mungkin yang terpenting adalah tentang seseorang di masa lalu. Terbukti dirinya tidak diajak. Angela bangkit.

“Aku belum selesai Jel.”

“Kamu tidak akan pernah selesai,” kata Angela. Nada ucapannya begitu berat. Seperti beratnya langkah meninggalkan Julius. Sedikit harap dihatinya. Julius akan mengejar dan menariknya dan meminta maaf. Seperti adegan dalam sinetron yang pernah diperankannya. Tapi kenyataannya, Julius tetap diam dan ini bukan sinetron.

Garis di wajah Julius begitu keras. Ia punya keyakinan dan segera menunaikannya.

***

Slideshow konser satu hari sebelumnya

***

Seorang penonton bersorak, memandu ratusan sorak penonton lainnya, ratusan teriakan memandu teriakan ribuan penonton lainnya. Ini konser tunggal paling fenomenal di penghujung tahun. Persembahan terbaik dari band terbaik. Venue kembali terang, sinar-sinar laser kembali berpendar, menyala menyilaukan. Dimulai dengan dentuman drum yang memompa ribuan gelora penonton, disusul lengkingan gitar yang merobek-robek kebosanan.

Kemeriahan seolah tidak ingin mereka akhiri. Ridwan semakin liar menabuh drum dengan keringat bercucuran, begitu pula Rudolf dengan betotan bassnya yang mantap mengiringi gitar dan teriakan Julius yang lantang.

Di balik panggung, dua orang kru tampak kewalahan mengamankan seorang gadis yang berhasil meloncati pagar pembatas setinggi dada orang dewasa. Gadis mungil itu tampak mengenakan hijab.

Musik dan riuh rendah penonton yang seperti semut itu pun akhirnya usai. Menyisakan letih dan puas setelah menjadi satu lautan manusia. Mereka berteriak bersama, menyanyikan lagu yang memang disukai. Jelas itu kepuasan tersendiri dalam dunia yang kebanyakan formal dan mengharuskan diam, bahkan bungkam.

***

Angela melayang sendiri dengan sedannya. Menembus hiruk-pikuk kota. Bayangan cahaya gedung-gedung yang membias di kaca sedannya seperti slide show kenangannya bersama Julius yang berputar dalam benaknya.

***

Malam belum terlalu malam ketika Julius melangkah pulang dan masuk ke dalam rumahnya. Tapi sepi menawan hati. Dielusnya pilar rumah. Kokoh. Tapi hatinya semakin rapuh. Mempunyai rumah yang mewah memang menjadi impian setiap orang. Tapi sekarang, rumah itu seperti kastil terkutuk yang mengurungnya. Sepi. Ngeri. Julius tinggal sendiri di rumah itu.

Sesampainya di dalam rumah. Segenggam koran yang dari tadi Julius bawa dan hendak ia tunjukkan pada Angela kini ia jatuhkan ke atas meja. Koran dengan berita utama tentang seorang gadis model majalah pria dewasa yang tewas bunuh diri, loncat dari lantai enam apartemen.

***

“Aku sangat bersyukur dengan keadaanku yang sekarang. Tapi, aku bisa sampai seperti ini karena mereka. Mereka yang aku lupakan, mereka yang aku sakiti, mereka yang banyak berjasa, mereka yang seharusnya aku hampiri dan aku bantu. Mungkin mereka tidak seberuntung aku. Semakin aku sukses, semakin aku punya banyak uang. Perasaan bersalah ini semakin besar.”

Slide Slide Scene

Kabut pagi masih mengambang menyelimuti dan dinginnya meresapi pori-pori. Tapi Julius tak peduli, ia melesat dengan kecepatan di atas rata-rata.

***

“Oke! Oke aku ngerti Panjul! Tapi, tapi ini kenapa tiba-tiba banget,” suara Cepi dari ujung handphone Julius.

***

“Pantes aja lo susah dapet cewek. Kurang apalagi si Angela coba??” ucap Rudolf.

“Lo inget cewek yang sering gua ceritain,” suara Julius dari ujung handphone Rudolf.

“Nah itu masalahnya. Lo bahkan gak tahu di mana dia sekarang, bahkan menurut gua. Sorry nih yah, sangat mungkin dia udah gak inget elu. Lu korbanin surga demi mimpi buruk. inget itu Juli!” teriak Rudolf.

***

Angela menjalani hari seperti biasa. Ia seolah coba melupakan Julius yang sepertinya hendak menggantung hubungan. Tapi hidupnya terlalu biasa dan tidak banyak tantangan. Bahkan mencari uang pun dirinya hanya cukup sedikit memutar pinggang di hadapan kamera dan tersenyum palsu, sepalsu-palsunya kepalsuan. Beda ketika masih jalan bareng Julius. Banyak hal-hal baru ia pelajari. Belajar musik, belajar masak, mengunjungi tempat-tempat baru dan kemesraan yang baru seumur jagung. Sebentar hidupnya dihiasi keindahan bersama Julius, sekarang hampa lagi.

Selesai sesi pemotretan di pinggir pantai, Angela coba menghubungi Julius. Ia hendak meminta penjelasan soal perbincangan semalam. Angela mau mencoba membuka hati untuk mengerti. Tapi rupanya nomor handphone Julius tidak aktif. Angela jadi tak enak hati dan ngedumel sendiri.

“Anjrit! Separah ini sikapnya padaku? Ada apa sebenarnya ini?? Apa aku pantas berdiam diri diperlakukan seperti ini???” gerutu Angela dalam hati. Hampir ia banting handphonenya.

“Angel, yuk kita lanjut. Mataharinya ke-buru minggir tuh.”

“Oh iya, tentu.” Angela terkesiap dan kembali menata hati, menata diri lalu melanjutkan sesi pemotretannya.

***

Julius memelankan laju kendaraannya setelah ia sampai ke hadapan bangunan serbaguna berlantai tiga di satu sudut kota yang sudah tak terpakai. Bahkan beberapa atapnya sudah ada yang ambruk dan ditumbuhi belukar. Sejenak Julius terpaku lantas menghisap aroma masa lalu. Mesin kendaraan ia matikan dan seketika itupula. aroma masa lalu datang dari segala penjuru. Di tempat ini ia pernah tinggal dan banyak kenangan yang tidak mungkin ia lupakan. Ia melihat di gerbang itu, Tina bersandar jongkok sambil mendekap kedua lutut. Saat itu hujan gerimis. Tapi cukup membuat baju Julius, Widya dan Tina basah. Ditambah lagi angin yang bertiup kencang. Mereka bergidik dingin.

“Kuncinya mana?” tanya Julius pada Widya waktu itu.

“Aku kasih Tina. Mana kuncinya Tina?” Widya balik bertanya pada Tina.

“Aku titipin ke kak Wini! Aku lupa.”

“Bagus, dan Wini pulangnya entar jam sembilan malam. Sekarang baru jam lima sore,” kata Julius menatap kecewa.

Tina tampak tak nyaman. Perlahan ia bersandar sampai jongkok mendekap kedua lutut.

“Aku harus ganti pembalut,” kata Tina dengan polosnya. Kenangan itu tidak hanya membuat Julius tersenyum. Tapi membangkitkan rindu yang menggulung dalam kalbu.

***

Sementara itu, Angela putuskan untuk mampir ke markas bandnya Julius. Kebetulan Rudolf dan Ridwan ada di situ.

“Hay, apa kabar kalian,” sapa Angela basa-basi sambil menyelonong masuk begitu saja.

“Eh, Angel. Tumben nih. Silakan duduk,” sambut Rudolf. Seolah ia tidak tahu apa-apa dan menampilkan wajah lugu sambil mengelus sofa.

“Ada yang tahu Julius ke mana?” Tanya Angela malas bertele-tele sambil melipat tangan seolah menyangga payudara.

“Aku kira dia jalan sama kamu. Dari kemarin dia gak ke sini tuh,” jawab Rudolf.

“Handphone-nya gak aktif. Kalian pasti tahu sesuatu,” tuduh Angela sambil menatap Ridwan dan Rudolf bergantian.

Akhirnya Rudolf dan Ridwan tidak bisa sepenuhnya bungkam. Mereka pun duduk dan tampak serius.

"Masalahnya sulit untuk dijelaskan,” Ridwan mulai angkat bicara.

“Bukannya dia mau jelasin langsung ke kamu?” ujar Rudolf.

“Aku ke-buru emosi,” jawab Angela.

“sepertinya ini pribadi banget deh. Sampai-sampai hp-nya dimatiin, kalian gak diajak.”

“Dia sendiri tidak tahu, ke mana harus mencari perempuan itu,” kata Rudolf langsung menutup mulut dan mata melotot. Rudolf keceplosan.

“Jadi ini hanya soal cewek???” Serobot Angela dengan senyum bete dan merasa dugaannya benar.

“Dia bukan cewek sembarangan,” tutur Rudolf sangat serius. Seperti hendak menceritakan kisah misteri “cewek itu berputar-putar terus di dalam kepala si Juli. Bahkan dalam mimpinya.”

“Maaf Jel, Rudolf hanya bercanda. Maksud kami...” Ridwan menengahi. Walaupun Ridwan jauh lebih muda dari Rudolf, Ridwan tampak lebih dewasa dalam urusan bicara.

“Ke mana Leader kalian itu, dan siapa perempuan yang kalian maksud?” potong Angela.

Tiba-tiba Cepi datang dan menarik perhatian.

“Coba kalian tebak, apa yang saya dapatkan dari rumah si Panjul. Eh Angel, kamu ada di sini,” Cepi menarik ucapannya karena mendapati Angela yang tidak ia duga keberadaannya. Cepi adalah manajer Julius, pria botak berkaca mata yang banyak gaya, walaupun usianya sudah menginjak kepala lima, tapi penampilannya seperti boyband. Cepi pun menyembunyikan sesuatu itu yang hendak ia tunjukkan kepada Rudolf dan Ridwan.

“Apa itu Om,” tanya Ridwan yang selalu menganggap dirinya paling jauh lebih muda dibanding manajernya itu. Ridwan seperti keponakan yang paling kecil.

Cepi mau menunjukkan sesuatu itu. Tapi canggung karena ada Angela.

“Aku juga berhak tahu. Apa itu?” pinta Angela. Sejenak Cepi berpikir. Tapi akhirnya ia tidak punya pilihan lain.

“Ya sudah, ini hanya sebuah koran. Tapi lihat berita utamanya. Si Panjul minggat gara-gara baca berita ini,” tunjuk Cepi pada foto dan halaman berita yang dilingkari spidol.

“Bagaimana Om bisa masuk ke rumah Julius,” tanya Ridwan penuh heran.

“Rumah itu saya yang belikan. Wajar lah kalo saya punya kunci cadangannya.” Angela merebut koran itu dari tangan Cepi dan matanya terbuka lebar. Karena sekilas, foto wanita dan berita yang dilingkari spidol itu adalah berita duka.

“Apa kalian ada yang kenal dengan perempuan naas itu?” tanya Cepi menatap satu persatu. Koran itu sedang dibaca Angela. Sejenak Ridwan menatap Rudolf. Tatapan yang seolah meminta izin atau meminta kesepakatan. Antara terbuka atau mari kita sembunyikan saja. Namun akhirnya, Rudolf putuskan untuk membukanya saja. toh tadi ia sudah keceplosan. Sambil duduk dan coba membawa suasana kembali santai.

“Julius itu, dulu dia pernah masuk manajemen artis dan belajar seni peran. Dulu, dulu sekali,” cerita Rudolf.

“Pantas dia luwes sekali main drama dalam video klipnya,” gumam Angela sambil duduk berhadapan dengan Rudolf. Begitupula dengan Ridwan dan Cepi.

“Permisi,” ucap seorang perempuan di balik kaca pintu kantor manajemen Cepi itu. Sayup-sayup Cepi mendengarnya dan memusatkan perhatian ke pintu kaca itu, Cepi pun bangkit dan sejenak membetulkan posisi kacamata lalu beranjak menghampiri pintu. Didapatinya seorang perempuan berhijab sederhana menggendong sebuah ransel sedang clingak-clinguk di balik pintu. Pintu kayu itu di bagian tengahnya diberi kaca yang berfungsi melihat keluar. Jadi orang yang di dalam atau di luar bisa saling lihat tanpa membuka pintu terlebih dahulu.

“Siapa Om?” tanya Ridwan.

“Cewek lo kali,” jawab Cepi sambil membuka pintu dan mendekati perempuan itu.

“Ada apa yah,” sambut Cepi ramah.

“Saya teman sekolahnya Julius. Mm... Dulu waktu SMA,” jawab perempuan itu dengan kikuk. Tubuhnya yang mungil tampak ciut karena malu dan tidak tahu apalagi yang harus diutarakan selain alasan itu ia datang mencari Julius. “Saya mau ketemu dia Om, ini kantor manajemennya kan?”

“Betul sekali. Saya sendiri adalah manajernya. Tapi tolong, jangan panggil saya Om. Panggil saya? Kakak, kak Cepi. Silakan masuk, kebetulan Juli sedang tidak ada di sini.”

“Siapa Om?” tanya Ridwan.

“Saya masih muda!” teriak Cepi merasa risih dipanggil Om terus, ”tanya sendiri nih sama orangnya. Kali aja dia bisa ngasih petunjuk di mana si Panjul sekarang,” lanjut Cepi lantas keluar mencari sekuriti gedung. Setelah ketemu Cepi langsung menegurnya dengan pelan namun tegas.

“Harus berapa kali saya bilang, jangan biarkan orang yang gak jelas macam itu mengganggu saya.”

“Tapi saya kasihan pak, dari kemarin dia mohon-mohon pengen ketemu artis bapak,” kilah sekuriti itu.

“Lain kali jangan kasihan sama orang gak jelas. Ngerti kamu?”

“Siap pak.”

“Perempuan yang mana lagi ini?” Gumam Angela.

“Mampus si Panjul! Dan sepertinya gue kenal nih cewek?” bisik Rudolf pada Ridwan.

“Huss!” Ridwan mendepak Rudolf. Keduanya pun sepaham untuk bungkam.

Angela bangkit dan mendekati perempuan itu dan mengajaknya duduk.

“Santai lah, silakan duduk.” Perempuan itu pun duduk dikelilingi orang-orang bertampang penasaran. Persis seperti maling yang datang menyerahkan diri dan siap dimintai keterangan. Tiba-tiba dalam kebekuan suasana. Perut perempuan itu berbunyi,

KRUCUK! KRUCUK!

“Kebetulan saya juga belum makan,” ujar Angela coba cairkan suasana dan mengulurkan tangan. Tampak perempuan itu malu bukan kepalang. Wajahnya yang lusuh pun tertunduk.

“Banyak yang mau saya tanya soal Julius. Sambil makan yuk, saya yang traktir.” Mendengar kata traktir Cepi yang baru masuk lagi langsung unjuk diri.

“Kakak juga belum makan Jel.”

“Sorry, ini urusan cewek,” jawab Angela sembari berlalu membawa perempuan itu.

“Kakak, kakak? Kakek Kali,” gerutu Rudolf sambil cuek baca koran.

“Sialan luh!” Cepi pun mendepak Rudolf. Mereka lantas ribut masalah usia dan penampilan. Sebaiknya kita ikuti Angela dan Nani, daripada ngurusin si Rudolf dan managernya yang lantas ngeributin pepesan kosong.

Sesampainya di dalam sebuah restoran sambil menunggu pesanan datang, Angela tampak sudah tidak sabar untuk mengorek informasi tentang Julius.

“Boleh saya tahu namamu.”

“Nama saya Nani, teman Julius.”

“Temen apa temen?” goda Angela dengan senyuman.

“Jangan malu, terbuka saja. Lagian saya juga sudah putus kok sama dia. Tidak mungkinkan kalo cuma temen sampai-sampai kamu cari dia sejauh ini.” Perempuan yang mengaku bernama Nani itu benar-benar tersudut. Entah alasan apalagi yang hendak ia utarakan. Ia sama sekali tidak berharap untuk bertemu dengan Angela. Tapi apa mau dikata, ia sudah terlanjur masuk dan mau diajak makan.

“Bodoh sekali kamu Nani”

Akhirnya mau tidak mau Nani pun mulai angkat cerita.

***

Nani mulai mengenal Julius dengan baik ketika keduanya tergabung dalam eskul karawitan di kelas dua SMA. Keduanya selalu datang lebih awal dan pulang lebih lambat. Pada satu kesempatan Nani mendapati Julius sedang membunyikan bonang dalam sepi dengan ketukan yang teratur. Teman-teman yang lain sudah pulang semua. Begitu pula dengan guru karawitannya. Entah ke mana perginya sang Guru itu. Ketukan Bonang yang Julius timbulkan seperti membangkitkan kesunyian. Sepi. Nani terpancing untuk maju dan tanpa aba-aba Nani perlahan menari. Nani begitu cuek. Seperti penari yang sudah pro. Julius tetap serius memainkan bonang-bonangnya tidak peduli dengan Nani, ia tetap serius dengan ketukan perlahan seperti sedang menghafal sesuai dengan apa yang ia pelajari dan Nani makin hanyut dalam gerakannya. Entah benar atau salah Nani tak peduli. Ia terus menikmati sepi dalam bunyi sedenting demi sedenting dalam redup yang kian larut.

Keduanya baru sadar setelah datang segerombolan teman-temannya Julius.

“Woy! Kalian ini lagi pada ngapain sih?” teriak Firman. Spontan Nani dan Julius seperti orang yang sadar dari mimpi. Firman datang bersama Gugun dan Dodi.

“Kamu lupa Jul? Kita kan punya jadwal baru,” lanjut Firman.

“Katanya selesai kamu eskul karawitan,” kata Gugun menggenapi kekecewaan Firman.

“Eh, malah asik ngelenong ama si Abal-abal,” Firman lanjut meledek Nani. Sontak Nani mengacungkan tinju.

“Udah-udah,” Julius melerai Firman dan Nani yang hendak meninju Firman, “sorry lupa. Yuk,” ajak Julius pada teman-temannya. Terakhir ia menatap Nani yang jadi melongo sendirian. “Kamu mau ikut?”

“Ke mana?”

“Udah ikut aja,” paksa Julius menarik tangan mungil Nani, “kamu pasti suka.”

Sampai akhirnya di satu ruangan kedap suara dan ber-AC. Nani tampak menutup kuping di samping box speaker kala Gugun ngetes gitar dengan sound efek yang melengking. Tubuhnya yang mungil kalah besar oleh box speaker di sampingnya.

“Oke? Semuanya siap?!” seru Julius kemudian setelah selesai cek vokal dan cek sound.

Mereka memainkan sebuah lagu. Tidak terlalu keras, justru nge-beat dan nge-pop. Perlahan Nani membuka telinga.

“Enak juga,” pikir Nani lantas manggut-manggut dan tersenyum. Dilihatnya teman-temannya satu persatu. Nani tidak menyangka, ternyata selain bolos atau kesiangan teman-temannya ini pandai juga memainkan alat musik. Nani kian hanyut dalam irama nyanyian yang kebanyakan syairnya tentang puja-puji untuk perempuan. Kebetulan ia perempuan satu-satunya di ruangan itu dan merasa tersanjung sendiri. Tanpa sadar ia pun joget-joget. Tapi bukan gerakan tari tradisional seperti tadi di ruang karawitan. Lebih ke tarian modern yang tidak sinkron sama seragam putih abu-abu dan hijabnya. Nani orangnya cuek. Mungkin karena sikap cueknya itu ia sampai hati di panggil Abal-abal sama teman-temannya.

Satu jam berlalu, dua jam berlalu. Akhirnya mereka keluar dan melangkah pulang.

“Heaaah! Kalian hebat juga,” kata Nani.

Nani jadi sering ikut ke studio musik. Bahkan ngambek kalo ketinggalan. Setelah beberapa kali ikut. Nani pun sadar, lagu-lagu yang Julius cs mainkan adalah lagu-lagu yang belum pernah ia dengar dari radio atau TV.

“ngomong-ngomong, lagu-lagu yang suka kalian mainin itu lagu band siapa sih?” tanya Nani saat di kantin bersama Julius dan Gugun. Julius tersenyum sebelum menjawabnya.

“lagunya Dream Projects Band.”

“Apa? Band baru yah, kok aku belum pernah denger tuh,”

“Ya emang belum keluar albumnya,” ujar Gugun lantas menyeruput es teh manis. Nani jadi bingung.

“Trus, kalo albumnya belum keluar? Kok kalian tau lagu itu, heran deh, puyeng aku.” Gugun jadi tertawa geli.

“Pemain bass-nya keren loh. Cute abis.”

“Itu lagu ciptaan kita-kita Nan,” ucap Julius. Nani jadi bengong. Matanya hampir meloncat keluar.

“Benaran kamu!”

“iya, suwer,” jawab Gugun.

“Wah?” Nani jadi melotot sambil mangap.

“Jelek lo, jadi cewek mangap jangan gede-gede,” protes Gugun sambil menyumbat mulut Nani dengan kerupuk. Nani pun ribut sama Gugun. Nani memang terkesan nyaman bergaul sama cowok. Meski penampilannya tidak tomboi.

Lama-kelaman Nani percaya dan bangga. Bahkan ia menawarkan diri untuk terlibat. Awalnya Gugun keberatan “Gak, ah. Ngapain pake manajer segala.” Tapi setelah diberi pengarahan sedemikian rupa oleh Julius. Akhirnya mereka setuju dan menjadikan Nani sebagai manajer. Mulai dari menentukan jadwal latihan, membuat tabungan, menentukan aliran musik, memilih lagu bahkan sampai memperdebatkan style seperti apa yang akan mereka gunakan nantinya.

“Karena dewasa ini, musik sudah bukan sekedar musik. Tapi juga tentang gaya hidup, style.” Gaya bicara Nani sudah seperti profesional saat mereka tengah berkumpul di satu sudut taman sekolah.

“Emang kita mau ke mana? Pake ngurusin gaya segala? Gaya berpakaian? Gaya rambut, mau bikin video klip?” tanya Firman.

“Siapa tau? Kalo kita ada dana mencukupi. Kita bikin video klip. Kita udah buka rekening kan?”

“Iya, tapi isinya mandek seratus mulu dari bulan kemaren,” jawab Gugun. Memancing tawa Firman dan Dodi. Mereka menertawakan diri mereka sendiri.

“Lihat, di hadapan kalian berdiri seorang Nani yang sudi ngedengerin musik kalian berulang-ulang,” tukas Nani seketika berdiri sambil mengibaskan kerudung lalu berkacak pinggang “seorang Nani yang mau melihat konser kalian. Sekarang lihat di luar sana,” lanjut Nani sambil menunjuk hamparan lapang basket kosong. “Ada berapa puluh Nani, berapa ratus, berapa juta Nani yang nunggu kalian rekaman, nunggu kalian konser. Terutama kamu Juli, syair lagu-lagu kamu. Uh, mantap. Ayo kita latihan lagi. Target awal kita sudah dekat.” Target awal yang dimaksud Nani adalah perayaan kenaikan kelas. Mereka makin giat latihan dan mempersiapkan segala sesuatunya.

Tiba waktu yang mereka tunggu. Semua berjalan sesuai rencana dan dengan bangganya Nani bercerita pada teman-teman dan guru kesenian yang memuji penampilan Julius dan kawan-kawan.

“Siapa dulu dong manajernya.”

Sayapnya Patah

Tapi, setelah kenaikan kelas...” cerita Nani tersekat. Nani tidak buru-buru melanjutkan ceritanya. Ia menghabiskan dulu makan dan meneguk minum. Lantas sejenak termenung. Ia merasa ada sesuatu yang berat untuk ia ceritakan pada Angela.

“Ada apa setelah kenaikan kelas?” tanya Angela. Tapi Angela tidak mendesak. Angela paham, mungkin ada sesuatu yang terlalu pribadi untuk diceritakan.

Siang semakin terik. Selesai makan Angela membawa Nani muter-muter ibukota. Seperti Nani bilang ia belum pernah ke sana dan ke situ, tugu ini dan tugu itu. Angela pun dengan sukarela membawa Nani ke sana dan ke situ demi mengorek masa lalu atau informasi apa saja tentang Julius. Kini keduanya mengunjungi kota tua. Seperti yang Nani katakan. Sudah lama ia ingin kembali ke kota tua sejak tiga tahun lalu. Keduanya pun sampai dan berjalan santai di antara pengunjung lain.

Tiba-tiba Nani bersendawa. Sontak Angela kaget.

“Kamu ini jadi cewek malu-maluin aja.”

“Maaf Kak, keceplosan.”

“Eit, jangan panggil aku Kakak. Sepertinya usia kamu lebih tua deh? Ya kan?” tuding Angela membuat Nani sedikit mengulas senyum dan setuju akan hal itu. Ia seusia dengan Julius. Sedangkan Angela, bisa jadi lima tahun lebih muda dari Julius.

“Jangan mentang-mentang punya tubuh kecil seenaknya saja merasa lebih muda,” Angela puas menggerutu lantas tersenyum lucu. Karena walaupun usia Nani lebih tua darinya. Tapi tingkah dan kepolosan Nani seperti ABG dan didukung oleh wajah yang bersih dan tubuh yang mungil.

“Ngomong-ngomong malam ini kamu tidur di mana?” Nani tampak malu menjawab pertanyaan itu.

“Gak mungkinkan kamu pulang ke kotamu udah sore begini? Sendirian lagi.”

“Kemarin aku tidur di hotel dan udah cek out. Gak tau sekarang mau tidur di mana.”

“Tidur di apartemen aku aja yuk. Kebetulan minggu ini aku lagi gak ada kerjaan.” Nani tidak kuasa menolak. Selain memang ia masih betah di ibukota dan pencariannya belum menemukan titik terang dan juga ia ingin tahu seperti apa Julius yang sekarang lewat Angela. Masa lalu ingin tahu dia di masa sekarang dan masa sekarang ingin tahu si dia di masa lalu.

Nani mengangguk saja dan Angela tampak senang. Memang baginya seorang Nani ini adalah orang asing. Tapi bagi Julius, jelas ini kejutan tersendiri. Angela jadi membayangkan, bagaimana mimik wajah Julius ketika ia berhasil mempertemukan Julius dengan cinta pertamanya ini. Angela jadi merasa lucu sendiri. Angela yakin, perempuan ini cinta pertama Julius.

Nani pun punya penilaian sendiri. Kalau Angela sudah putus dengan Julius, ngapain ia repot-repot ngorek informasi Julius darinya. Nani yakin itu kenyataanya. Angela belum putus dengan Julius.

Nani meminta Angela mengambil foto dirinya dengan Pengamen anonim yang berpakaian seperti patung. Angela menurut saja. Pose Nani lucu-lucu. Kesepian hati Angela terobati. Setelah bosan. Angela pun membawa Nani pulang.

Keduanya pun berlalu dan menuju lantai 3 dalam gedung apartemen mewah di kawasan bergengsi. Walau Nani seorang sarjana, tapi ia terlahir dari keluarga sederhana dan begitu masuk ke dalam apartemen Angela, ia merasa asing dengan perabotan Angela yang serba lux dan wah.

“Mau mandi? Mandi lah dulu. Tuh pintunya di pojok sana.”

“Ia, makasih. Tapi, kamu tinggal sama siapa di sini.”

“Sendirian aja,” jawab Angela. Tiba-tiba Nani jadi berpikir apa yang sangat mungkin pernah terjadi di tempat ini, antara Julius dan Angela. Apartemen yang luas, lebih mirip rumah mewah bertingkat.

***

Pagi itu, Nani menyambut pagi dengan riang. Seperti kebiasaan setiap naik kelas, ibunya selalu memberikan seragam yang baru, tas baru dan sebagainya. Apalagi kalau dia mendapat nilai yang baik. Nani selalu merasa kecil. Seperti anak SD yang dimanja. Padahal sekarang ia sudah kelas tiga SMA. “Sudah waktunya untuk punya gebetan, hehe.” pikir Nani sambil senyam-senyum sendiri. Dengan semangat dan senyuman Nani memasuki gerbang sekolah. Seperti semut-semut yang berkerumun, bersalaman, berjalan dan berbaris.

Tapi, Nani merasa ada yang kurang.

Sampai waktu istirahat tiba, Nani putuskan untuk mencari kekurangannya itu. Dicarinya satu persatu teman-teman karibnya. Semua mengaku tidak tahu. Yang terakhir dia hampiri adalah Firman. Tapi Firman tampak sok sibuk dan menjauh. Nani tidak punya pilihan lain selain mencegat Firman. Firman satu kampung dengan Julius, tidak mungkin Firman bilang tidak tahu. Sepulang jam sekolah Nani langsung mengejar Firman dan menghujani Firman dengan pertanyaan.

“Tidak mungkin kamu tidak tau apa-apa.

Sekarang Julius di kelas mana?

Apa dia pindah sekolah??

Ke sekolah mana??? Gara-gara apa, kok gak bilang-bilang!

Mau sampai kapan kamu bungkam? Firman!!!”

***

Awan-awan bergulung dan memudar. Matahari bersinar begitu terik. Hari belum lah terlalu petang ketika Nani menapaki jalanan becek. Sendiri.

“Semua tidak ada yang menduga,” Firman pun angkat bicara.

Nani mulai mencium bau bumbu-bumbu giling, bau anyir, bau busuk. Nani terus melangkah dengan hati semakin tidak percaya dan berharap Firman berbohong. Nani masih mengenakan seragam sekolah. Sambil terus masuk ke dalam pasar tradisional seperti yang tertera dalam alamat yang Firman berikan. Nani menatapi satu persatu para pekerja yang ada. Nani terkesiap, tidak semua pekerja orang dewasa. Bahkan ada yang tubuhnya lebih kecil dari dirinya. Nani memang bukan baru kali ini masuk ke dalam pasar tradisional. Tapi Nani baru sadar. Betapa tidak beruntungnya mereka yang masih kecil harus rela bekerja demi menyambung hidup.

“Tapi inilah kenyataannya, Julius sekarang bekerja. Orangtuanya bangkrut.” Ucap Firman saat tersudut oleh Hujaman pertanyaan-pertanyaan Nani itu.

Nani terus melangkah, Nani terus menatapi satu persatu orang-orang pasar itu. Akhirnya, sosok yang dicari ketemu. Dia yang Nani cari terlihat lusuh dengan wajah tertekuk belepotan oleh terigu, sedang membungkusi terigu. Nani tak kuasa menyapa. Ia bingung sendiri. Akhirnya ia putuskan untuk pergi secepat mungkin. Sebelum Julius sadar ada yang memperhatikan.

***

“Sejak saat itu, saya lost kontak dengannya,” Nani menutup cerita lalu menarik selimut. Di sampingnya Angela tampak menyimak dengan saksama. Angela baru tahu, kalo Julius pernah bekerja seperti itu. Padahal setahu Angela, Julius hanya tidak lulus kuliah.

Lampu-lampu di lantai-lantai Apartemen itu mulai padam satu persatu. Menandai malam yang mulai larut. Angela yang seperti susah terpejam kembali mengajak Nani bicara.

“Apa kamu sempat menciumnya?”

“Ah, kok pertanyaan ke situ-situ sih,” protes Nani sambil mendelik tak enak hati.

“Eh, kenapa emang? Malu yah?? Kalo malu berarti udah pernah ya kan? Maaf, cuma nanya. Aku malah tidak sempat.” Angela terus menggoda.

“Tidak sempat apa?” Nani jadi balik bertanya.

“Tidak sempat lama-lama. Selalu sebentar ciumannya.”

“Ih! Apaan sih??”

“Hahaha.”

“Udah ah udah!”

Sampai di situ keduanya tertawa di tengah kesunyian malam.

“Ini misal yah, ibarat quiz. Aku, kamu, dan wanita itu. Ada di hadapan Julius. Kira-kira Julius pilih mana?” ucap Angela.

“Berapa kali harus aku jelasin. Kami Cuma teman. Jadi pilihannya cuman dua. Kamu atau perempuan itu,” protes Nani.

“Aku jadi penasaran banget, cewek macam apa sih yang Julius kejar?” ucap Angela.

“Kalo misalnya Julius. Maaf ya, ini misal. Misalkan Julius lebih memilih perempuan itu, gimana?” tanya Nani dengan nada penuh kehati-hatian takut lawan bicara tersinggung. Sejenak Angela tercenung.

“Mm, begini. Aku pegang kedua tangannya,” ucap Angela sambil memperagakannya memegang tangan Nani terus aku cubit sampai mati tuh cewek.” Angela beneran mencubit Nani dan menggelitik Nani.

“Aw, geli tau! Udah Angel, udah!!!” teriak Nani kegelian. Keduanya pun cekikikan. Selesai puas bercanda keduanya saling berbalik dan tersenyum. Puas tersenyum, keduanya termenung. Tiba-tiba Angela berucap tanya.

“Saya hanya ingin tahu. Seberapa pantas dia memiliki Julius.” Nani mengerti betul perasaan di balik ucapan itu.

“Tapi bukan kah cewek itu udah mati? Lalu apa yang Julius kejar?" ucap Angela kemudian. Ia seolah mendapat pencerahan, pikirannya terbuka tiba-tiba.

“Cewek yang mana lagi yang Rudolf maksud???”

“Hm. Entahlah,” jawab Nani lantas memejamkan mata. Nani lelah dan sedang malas menduga-duga. Tapi Angela jadi berpikir.

“Ada sesuatu yang janggal?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!