Sinar mentari masuk menembus dinding kaca, karena tirai yang menutupinya telah terbuka. Cahaya yang menyilaukan telah mengusik kedamaian sang penghuni kamar.
" Plaakk.." suara tepukan tangan mendarat di bokong gadis cantik yang masih terlelap meski hari sudah nampak siang. "Aww.." teriak gadis itu yang tak lain adalah Ara.
"Mama, bisa nggak sih banguninnya biasa aja? Ara kan kaget." seru gadis itu matanya mendelik kesal ke arah mamanya.
Ya, gadis itu adalah Ara, tepatnya Mutiara Fahira Sanjaya. Gadis 23 tahun, anak tunggal dari pasangan Fahri Sanjaya dan Rania Azzahra. Ara juga telah menjalankan bisnisnya sendiri di bidang fashion di usianya yang masih muda.
Sejak ia duduk di bangku SMA Ara sudah mempunyai bakat menggambar design pakaian. Setelah Ara menyelesaikan studinya di Paris selama dua tahun, ia mulai merintis kariernya sebagai designer di butiknya sendiri. Awalnya butik itu dibangun oleh papanya, karena orangtuanya pun mendukung keinginan Ara. Namun lama kelamaan impiannya pun terwujud, kini butik yang dikelolanya semakin maju dan terkenal.
"Makanya, jadi anak perempuan itu yang rajin, jangan malas-malasan, jam segini masih tidur aja. Kamu belum shalat subuh ya? Ya, ampun. ini kamar berantakan udah kaya kapal pecah. Anak gadis ko jorok banget." mamanya mulai cerewet, bola matanya memutar mengedar pandangan ke seluruh kamar Ara yang ternyata memang sangat berantakan.
Baju yang berserak dimana-mana, serta kertas yang bekas diremas, tidak berhasil mendarat di tempat sampah. Ara pun dibuat jengah dengan ocehan yang terlontar dari mulut mamanya, ia mencibir mamanya dibalik selimut yang Ara tarik kembali untuk menutupi tubuhnya. Mama Rani memang mama yang cerewet dan sedikit galak, berbeda dengan papanya yang selalu santai dan memanjakan Ara.
Mama Rani hendak beranjak dari kamar Ara, namun yang dibalik selimut masih saja tetap bergeming. Bahkan tidak menjawab pertanyaannya. Hingga mama Rani kembali berteriak "Ara, apa kamu tidak dengar? Kamu ga mau bangun?" sentak mama Rani sambil menarik selimut Ara. Terlihat mata mamanya yang sudah memelototinya seakan ingin menerkamnya.
"Ya, mama. Ara bangun. Jangan cerewet deh! Lagian Ara sedang berhalangan, jadi ga sholat subuh. Mama jangan marah-marah terus, nanti cepet tua." Jawab Ara dengan cueknya sambil berlalu meninggalkan mamanya dengan mulut yang masih komat-kamit merutuki anaknya. "Ya ampun anak ini." keluh mama.
"Sudahlah mah, jangan terlalu keras sama Ara." Suara lembut terdengar dari balik pintu, berjalan menghampiri isterinya. Pemilik suara itu tak lain adalah papanya Ara, "Gara-gara papa manjain Ara terus, Ara jadi seenaknya kaya gitu." keluh mama Rani. Papa Fahri hanya tersenyum mendengar keluhan isterinya. Mereka pun keluar dari kamar mengikuti Ara.
Sementara Ara berjalan keluar kamar menuruni anak tangga dengan langkah kaki terseok-seok, karena matanya masih merasa ngantuk. Akibat semalaman mengerjakan design gaun pengantin untuk kliennya.
"Ara" panggil seseorang dari ruang tengah, Ara pun terhenyak karena kaget mendengar suara yang memanggilnya dan sudah tidak asing lagi di telinganya. Ara pun menoleh ke arah suara yang memanggilnya, dan refleks melihat kebagian bawah tubuhnya yang hanya memakai celana pendek, dan tangtop yang sudah tak beraturan juga rambut panjangnya yang acak-acakan. Ara bahkan belum mencuci wajahnya, sedangkan yang memanggil hanya tertawa geli melihatnya.
"Ya ampun." teriak Ara sambil berlari ke arah dapur. "Aduhhh.. " ringis Ara, ia merasa kesakitan karena kakinya tidak sengaja terbentur kaki meja, karena Ara berlari dengan tergesa-gesa.
"Memalukan" kesal Ara, sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya.
"Kenapa Non?" tanya Bi Ina pembantu keluarga Sanjaya. Ara pun kembali terhenyak mendengar pertanyaan dari Bibi.
"OMG, bibi ngagetin aja." Ara memonyongkan bibirnya ke arah Bibi. Bibi hanya terkekeh melihat kelakuan anak majikannya itu. Padahal Arvan sudah terbiasa dengan perilakunya, tapi tetap saja Ara selalu terlihat malu dan kaget jika kejadian itu terulang.
"Aku lupa ini hari minggu, kenapa mama ga bilang ada Arvan sih." gumam Ara.
Arvan adalah kekasih Ara sejak di bangku SMA. Meski Ara selalu mempermainkannya, tapi Arvan masih tetap setia dan sabar menghadapi sikap Ara. Arvan berharap suatu saat Ara berubah dan menyadari ketulusannya, dan Ara pun enggan berpisah dari Arvan entah karena kasihan atau entahlah...
Author masih pemula, jadi mohon bimbingannya. 🙏🏻🙏🏻Karena sering baca novel, jadi author terobsesi membuat novel😅
Setelah kembali ke kamar, Ara segera membersihkan diri dan memakai pakaian sekenanya. Mengenakan celana hotpant dan sweater lengan panjang longgar, rambut diikat cepol ke belakang dengan polesan make up tipis.
Ara gadis yang cantik dan feminim, narsis tingkat akut, yang penampilannya ingin selalu terlihat sempurna dan menarik dimata lawan jenisnya, itu adalah kebanggaan tersendiri untuk Ara. Seringkali Ara mengunggah potret dirinya di akun sosial media miliknya, hanya untuk mencari perhatian netizen, seberapa banyak like yang akan dia dapat. Tapi jika sedang malas Ara berdandan biasa saja, kalau memang sudah cantik memakai apapun akan selalu terlihat cantik.
Ara menuruni anak tangga hendak menemui Arvan, setiap hari minggu Arvan memang selalu mengajak Ara hanya untuk sekedar berjalan-jalan. Itu adalah kebiasaan Arvan sejak menjalin hubungan dengan Ara sejak beberapa tahun yang lalu.
Ara melirik ke ruang tengah, terlihat Arvan sedang ditemani oleh orangtuanya. Ara menghela nafas, ia merasa malas jika harus berhadapan dengan mamanya. Karena baru saja ia mendapat omelan dari mamanya, hari ini Ia merasa lelah dan malas jika harus keluar rumah, Ara menghempas nafas dengan kasar.
Mau bagaimana lagi Ara pun menghampiri Arvan dan orang tuanya, ia lantas duduk di atas sofa disebelah Arvan. "Liat Pah, kelakuan anakmu!" keluh mama.
"Memangnya Ara kenapa ma?" heran Ara.
"Kan udah mama bilangin, kalau pakai baju yang bener! Katanya designer, bikin baju itu yang sopan. Malu tau, masa celana anak tiga tahun masih dipake." seloroh Mama.
Ara hanya membulatkan matanya, merasa kesal dengan apa yang diucapkan oleh mamanya. Sedangkan papa dan Arvan hanya tertawa ringan mendengarnya.
Mendengar tawa papa Fahri malah membuat mama menjadi tambah kesal. "Papa, bukannya di nasihati malah ketawa. Gara-gara papa manjain Ara terus, Ara jadi kaya gini." protes mama.
Mama Rania mengomel dengan nada bicara yang ketus membuat Fahri menjadi bingung, seketika ia memasang wajah datarnya. Fahri bingung harus membela anak atau isterinya, papa Fahri memang selalu memanjakan Ara karena Ara adalah anak satu-satunya.
"Sudah biarin aja mah." Ara melebarkan senyumnya penuh kemenangan karena merasa senang papanya selalu membela dirinya.
"Iya mah, besok-besok ara buang celananya, sekarang udah terlanjur." Ara malas jika harus lama-lama berdebat dengan mamanya.
"Belain aja terus Pah!" mama Rani sudah mulai merasa jengah dengan sikap suami dan anaknya itu.
"Mama tuh malu sama Arvan, gimana kalau nanti Ara nikah sama Arvan? Arvan harus menghadapi sikap Ara yang seperti itu setiap hari. Udah malas, cuek, jorok lagi." ujar mama dengan segala keluhannya terhadap Ara.
"Tapi cantik kan?" Ara mengedipkan sebelah matanya dengan percaya diri, ia mengklaim bahwa dirinya memang cantik.
"Emang cantiknya dari mama, tapi ga tau malasnya darimana? Apa jangan-jangan dari tetangga?" semua orang tertawa mendengar perkataan Rania yang ngawur.
Arvan dibuat bingung dengan tingkah Ibu dan anak dihadapannya yang seringkali ia lihat, Arvan hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Arvan pun berinisiatif segera mengajak Ara pergi, agar drama dihadapannya ini cepat selesai. Setelah meminta izin, Ara dan Arvan berpamitan pada orang tua Ara, tak lupa mencium punggung tangan keduanya.
Mobil yang ditumpangi mereka melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan ibukota. Hening, tak ada pembicaraan diantara mereka, hanya deru mesin mobil yang terdengar.
Tring.. bunyi notifikasi ponsel Ara.
Ara segera memeriksa pesan di ponselnya, Arvan melirik dengan ekor matanya, terlihat Ara tersenyum membaca pesan yang diterimanya.
"Siapa yang mengirim pesan, kenapa Ara terlihat senang?" batin Arvan.
Karena hari masih terlalu pagi, Arvan mengajak Ara mampir ke taman kota. Taman sudah terlihat ramai dipadati pengunjung, karena hari ini adalah akhir pekan. Banyak orang dari berbagai kalangan sibuk dengan aktifitasnya masing- masing. Ada yang sedang berolahraga, ada yang berjualan, bahkan ada juga yang hanya sekedar duduk.
Arvan mengajak Ara berkeliling taman sebentar, anggap saja mereka sedang berolahraga. Banyak pedagang yang berjualan di sana, Arvan menawari Ara salah satunya, tapi Ara menolak.
"Sayang, kamu mau beli nasi uduk nggak?" tanya Arvan.
"Nggak ah.. Kalau kamu mau pesan aja." tolak Ara.
"Kalau gitu kita ke cafe xx aja, yuk!! ajak Arvan pada Ara yang sudah terlihat mulai bosan.
"Ya.. Terserah kamu." Ara menjawab lirih. Ia merasa tidak enak pada Arvan karena menolak tawarannya, tapi mau bagaimana lagi ia tidak bisa makan sembarangan.
Setelah matahari mulai terik dan terasa membakar kulit. Arvan mengajak Ara pergi ke cafe yang tidak jauh dari taman untuk mengisi perut mereka yang masih kosong.
Beberapa menit berlalu, mereka sampai di cafe xx yang bernuansa klasik. Ara dan Arvan menuruni mobil lalu memasuki cafe, Arvan mengedar pandangan mencari tempat duduk yang dirasa nyaman.
Arvan memilih meja dipojokan yang dekat dengan jendela kaca, Arvan melambaikan tangannya memanggil pelayan memesan makanan. Arvan memesan menu untuk sarapan, ia tahu Ara belum sarapan. Ara masih terlihat asyik memainkan ponselnya, Arvan yang merasa diabaikan hanya menghela nafasnya panjang, ia sudah terbiasa dengan sikap Ara yang cuek.
Tak menunggu lama makanan sudah tersaji di atas dimeja. "Ara, ayo dimakan nanti keburu dingin!" seru Arvan seraya menyodorkan makanan ke hadapan Ara. Ara hanya manggut-manggut dengan mata dan tangan yang masih sibuk dengan ponselnya, membuat Arvan geram melihatnya.
"Ara simpan dulu ponselnya, apa mau aku suapin?" tawar Arvan. Ara menoleh ke arah Arvan sambil tersenyum, senyumnya mengartikan bahwa dia mengiyakan tawarannya. Dengan senang hati Arvan menyuapi Ara, Arvan memang suka jika Ara bermanja-manja dengannya. Ponsel yang tak kunjung berhenti bergetar, ia letakan di atas meja. Saat ini ia fokus menerima suapan dari Arvan.
Saat sedang asyik, tiba-tiba..
"Ara!" seseorang memanggil namanya dari arah belakang, lalu menghampiri dan merangkul pundak Ara. Ara tersentak dan membelalakkan matanya, ia terkejut dengan perlakuan dari laki laki yang baru saja datang menghampirinya. Ara melirik ke arah Arvan, seketika Arvan menunduk menahan kesal di dalam benaknya.
Arvan hanya tertunduk lesu seakan sudah terbiasa dengan kejadian seperti ini. Ara merasa kesal kepada laki laki yang baru saja datang menghampirinya. Sadar akan perubahan sikap Arvan, Ara pun berdiri sambil menarik tangan Arvan hendak beranjak dari cafe, bahkan mereka belum menghabiskan makanannya. Tapi orang yang baru saja datang, laki laki yang bernama Rizky mencekal tangan Ara.
"Sayang, mau kemana? kok aku samperin kamu malah pergi? tanya Rizky heran.
"Sayang, sayang, pala lu peang." ujar Ara sambil berlalu pergi menarik tangan Arvan meninggalkan Rizky disana.
Saat Ara akan menarik handle pintu cafe, Arvan menghentikan langkahnya. Ara merasa gugup, ia diam sejenak sebelum menoleh pada Arvan, "Apa Arvan marah?" batin Ara.
Lalu Ara membalikan badannya kearah Arvan, "Ke..kenapa?" tanya Ara terbata.
"Mmh.. aku belum bayar." jawab Arvan sambil tersenyum.
"Oh.." Ara mengusap dadanya merasa lega dengan jawaban Arvan.
"Aku tunggu di mobil ya." ujar Ara
"Ok!!" Arvan berjalan kearah meja kasir dan membayar tagihannya.
Rizky hanya mematung ditempatnya, "Berani-beraninya Ara mempermainkan ku." batin Rizky
Rizky merasa malas jika ia harus mengejar Ara, walaupun ia merasa sakit hati padanya. Namun percuma saja jika dia mengejarnya, Ara gadis yang keras kepala. Rizky adalah laki laki yang baru dua bulan menjadi pacar Ara, mungkin tak lama lagi Rizky akan dipecat dari daftar laki laki yang pernah dekat dengannya.
Didalam mobil Ara merasa tidak enak terhadap Arvan, Ara mencari celah untuk memulai pembicaraan dengannya, "Arvan?" panggil Ara.
"Emhh.."
"Emhh.. tadi itu hanya.. " ucapan Ara menggantung di udara.
Belum selesai Ara menjelaskan Arvan menyela perkataan Ara. "Temen?" sambung Arvan. Ara seketika terdiam mendengar ucapan Arvan.
"Sudahlah ayo kita jalan! gimana kalau kita nonton film sekarang?" ajak Arvan. Arvan memang pintar menyembunyikan emosinya.
Ara tersenyum mendengar ajakan dari Arvan, itu berarti Arvan tidak marah padanya. Mungkin itulah yang Ara sukai dari sikap Arvan yang santai dan tidak pernah membuatnya repot. Arvan melajukan mobilnya menuju bioskop yang berada di Senayan city, salah satu mall ternama Jakarta. Mall yang kini sudah ramai dipadati orang-orang dari berbagai kalangan, mulai dari balita sampai orang tua, karena hari ini adalah akhir pekan.
Arvan menyuruh Ara menunggunya di bangku yang berada didalam mall. Dia segera membeli tiket, sengaja memilih genre romantis, berharap Ara akan bermanja-manja padanya. Hanya memikirkannya saja sudah membuat Arvan senyum-senyum sendiri. Ia juga membeli popcorn dan minuman bersoda, untuk camilan saat mereka sedang menonton film. Ara hanya duduk memperhatikan Arvan, ada rasa iba terlintas dibenak Ara karena dirinya selalu membuat Arvan kecewa.
Saat Ara sedang menunggu Arvan dikursi yang tak jauh dari food court mall, Ara melihat ada Gian berjalan menuju kearahnya. Ara jadi salah tingkah dibuatnya, tanpa fikir panjang Ara menyambar brosur yang tergeletak disamping tempat duduknya. Ara menutupi wajahnya dengan brosur itu, berharap Gian tak bisa melihatnya. Tapi sayang Ara terlambat bertindak, Gian lebih dulu melihat Ara.
"Ara" sapa Gian.
Ara terpaksa menurunkan brosur yang menghalangi wajahnya sampai pangkal hidungnya, kini hanya mata indahnya yang terlihat sedang mengintip dari balik brosur. Gian adalah laki laki yang baru dikenal Ara dua minggu yang lalu. Mungkin Gian sedang mendekati Ara, karena setelah dua minggu perkenalan mereka, Gian selalu mengajak Ara jalan.
Ara hanya tersenyum kikuk pada Gian,
"Ara, kamu kesini sama siapa?" tanya Gian penasaran.
"Mmh... shiit." Ara mengumpat dalam hati.
Belum sempat Ara menjawab pertanyaan Gian, Arvan sudah menghampirinya memasang wajah datarnya, dengan makanan dan minuman dikedua tangannya.
"Ara, kamu ngapain?" tanya Arvan heran.
"Mmh.. aku lagi liat-liat brosur makanan, Van." jawab Ara dengan mulut yang bergetar. Arvan dan Gian menatap Ara heran.
Melihat reaksi wajah Arvan dan Gian yang sama-sama mengeryitkan dahinya, Ara pun menjadi penasaran.
"Kalian, kenapa?" tanya Ara
"Baca ko kebalik," jawab mereka bersamaan. Arvan dan Gian saling membuang tatapannya kearah berlawanan.
"Ada orang baca kebalik, depan jadi belakang, atas jadi bawah. Bilang aja lagi ngumpet. Brosur alat olahraga dibilang brosur makanan pula." gerutu Arvan yang masih terdengar ditelinga Ara. Ara yang merasa malu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Siapa lagi?" batin Arvan. Ia berjalan memasuki ruangan bioskop meninggalkan Ara dan Gian, bahkan Arvan tak menghiraukan panggilan Ara. "Arvan" panggil Ara, Arvan terus saja melangkahkan kakinya tanpa berniat menunggu Ara.
"Gagal sudah rencana ku." gumam Arvan dalam hati. Kini Arvan sudah terlanjur badmood.
Akhirnya Ara berhasil mengejar Arvan, ia mendudukan tubuhnya disamping kursi yang diduduki Arvan. Didalam ruangan yang besar dan gelap dengan kursi yang tersusun rapi memenuhi ruangan, terlihat beberapa orang telah mengisi sebagian kursi. Ara berniat menjelaskan lagi, siapa laki laki yang menghampirinya. Barusaja Ara membuka mulutnya Arvan sudah mendahului ucapannya.
"Hanya temen kan?" ucap Arvan melirik ke arah Ara dengan senyum yang dipaksakan. Ara hanya menundukan wajahnya, dan memainkan jari tangannya yang saling bertautan. Ia bingung harus mencari alasan apa lagi.
Sementara diluar gedung bioskop, Gian mendudukan tubuhnya dikursi yang sempat diduduki Ara. Matanya masih tak berpaling dari Ara, sampai Ara menghilang di balik pintu ruangan bioskop. "Siapa dia, apa dia pacarnya? aku pikir Ara belum punya pacar," batin Gian.
Netra Arvan menatap layar bioskop, namun tidak dengan fikirannya. Arvan melamun, fikirannya sibuk berkelana entah kemana. Ara mengeluarkan ponsel disaku celananya, untuk melihat pesan yang diterimanya tadi pagi.
flashback on
Saat di mobil,
Tring,
Gian : Ara lagi ngapain?
Ara : duduk (ya emang lagi duduk di mobil)
Gian : Jalan yuk! ajak Gian
Ara : kapan?
Gian : sekarang😊
Ara : ga bisa sekarang
1 pesan belum dibaca
Gian : Ara aku lagi di mall Senayan city, kalau kamu mau datang aku bisa jemput!
Saat di cafe
Tring
Rizky : sayang... Ara,
Ara : mhh..
Rizky : aku kangen, ketemu yuk! kamu lagi apa? 😘
Ara : makan
Rizky : dimana?
Ara : cafe xx
Ara belum sempat membaca balasan dari Rizky, ponselnya sudah Ara simpan diatas meja. Ara juga mengubah nada ponselnya menjadi mode silent, Ara fokus menerima suapan dari Arvan.
1 pesan belum dibaca
Rizky : yang, kebetulan aku lagi deket cafe xx. aku sekarang kesana ya?
Dan masih banyak lagi pesan masuk dari laki laki lain, yang sudah enggan dibaca Ara.
flashback off
"PANTESAN, aku cari penyakit dengan kecerobohan ku sendiri. sial.." batin Ara.
Setelah film selesai, mereka memutuskan untuk mengantar Ara kembali pulang ke rumahnya. Sejak kejadian tadi Arvan jadi lebih banyak diam dan tak banyak bicara, ia merasa sangat kesal pada Ara. Harapannya ingin menghabiskan momentum hari ini berdua bersama Ara, semuanya berakhir berantakan.
Mobil yang ditumpangi Ara dan Arvan telah memasuki gerbang rumah Ara, dan berhenti di pelataran rumahnya. Belum ada yang mengeluarkan suara, Ara pun tak kunjung keluar dari dalam mobil. Merasa tak ada pergerakan, Arvan menoleh kearah Ara.
"Kenapa?" tanya Arvan.
"Mmh.. kamu marah? dari tadi diem terus?" jawab Ara.
"Menurut kamu?" Arvan yang merasa kesal malah balik bertanya.
"Arvan" panggil Ara.
Arvan hanya diam tak berniat menjawab panggilan Ara, walaupun sudah beberapa kali Ara memanggilnya, namun Arvan tetap tidak menghiraukannya dan sampai pada akhirnya.
"Sayang.." panggil Ara sambil tersenyum manis kearah Arvan. Kata-kata yang jarang terlontar dari mulutnya, panggilan yang ingin sekali Arvan dengar dari mulut Ara. Hari ini Arvan puas mendengar panggilan sayang untuk dirinya, ia segera menolehkan wajahnya menatap Ara sambil melebarkan senyumnya.
"Udah ga marah kan? Sekarang kamu pulang ya!" ujar Ara sambil turun dari mobil, dan berjalan kedalam rumahnya. Senyuman lebar Arvan seketika memudar, berganti dengan raut wajah yang ditekuk. Ara berhasil mematahkan semangat Arvan, Ara malah meninggalkannya begitu saja, bahkan Ara tak memintanya untuk mampir.
Hati yang melambung tinggi, kini terhempas sampai akhirnya hancur lagi. Begitulah kira-kira, Ara yang selalu membuat Arvan kecewa. Dan Arvan yang selalu kembali memaafkan Ara. Entah apa yang sebenarnya mereka rasakan..
"Dasar nggak peka." batin Arvan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!